Selasa, 09 Oktober 2012

Merayakan Che Guevara

duhai kasih
aku sebenarnya berharap ada kau disisiku
bercumbu dalam orasi-orasi tentang pembebasan
berkasih-kasih dalam debat panjang revolusi
berpeluk mesra dalam kejaran tirani

duhai kasih
aku sebenarnya berharap kau ada disisiku
berjalan bergandengan dengan kaum tertindas
bernyanyi mesra dalam tarian penantian
atau hanya sekedar diam dan saling memandang
sambil berpikir berdua adakah ruang untuk kita
berucap mesra dalam tangisan kehilangan

duhai kasih
sekali lagi aku berharap
bukankah kamu tau
revolusi butuh pejuang
siapkan dirimu...
agar kutanamkan benih revolusi dirahimmu

***

aku tahu, ya aku tahu!
jika aku keluar, sungai menelanku
inilah takdirku, hari ini aku pasti mati!
tapi tidak, kekuatan jiwa kan mengatasi segalanya
ada beribu rintangan, ku akui itu
tak kan ku keluar
jika harus mati, biarlah terjadi di gua ini

peluru, apakah yang dapat ia lakukan
jika takdirku adalah mati tenggelam?
tapi, kan kukalahkan takdir itu
kekuatan jiwa kan mengalahkannya

mati? tentu saja!
tapi di tembusi peluru, di robek banyonet?
TIDAK!
tenggelam, tidak!
kenangan kan mencatat namaku abadi
aku melawan!
aku mati melawan!




- Che Guevara

Minggu, 23 September 2012

Perihal: Eulogi

G,
bagiku semua kehilangan adalah hal yang menyakitkan, bagaimana tidak ketika kau harus melepas orang yang kaukasihi dan tidak lagi dapat menggapai mereka. kepedihan bagai tombak yang menikam punggungmu, sampai berdarah menembus jantungmu, lalu lenyap. keniskalaan yang kaudapatkan.

G,
bagiku semua kesedihan adalah sama, tidak bisa tidak untuk belajar merelakan atau tetap berjalan bersama waktu yang tidak akan pernah meninggalkanmu dan aku. sementara itu kehilangan akan semakin nyata saat orang yang kaukasihi berlalu dan berjalan entah ke dunia mana lagi.

G,
bagiku semua kehilangan dan kesedihan adalah sama. yang berbeda pada saat kautahu apa yang kaurasa hilang dan dukamu semakin mendalam. untukku, kehilangan yang paling menyakitkan bukan pada saat kaurasakan kehilangan akan seseorang, tetapi ketika kau telah kehilangan hatinya.

karena cinta yang kaukasihi itu tidak akan lagi berlabuh kepada dirimu



Jakarta, 23 September 2012 | 19.32

A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 14 September 2012

Medio September

puisi-puisimu tidak berbeda seperti daun-daun kering
: berserak di mana-mana, meminta orang memungutnya
setiap kata yang terempas di kertas tidak dibiarkannya diam
hanya seakan-akan butuh kepastian untuk berharap lebih
saat waktu memasuki September dan bergegas pergi

sampai suatu saat, kesadaran manusia pun ada
tidak ada yang tidak fana di dunia ini
dan kekekalan hanyalah bukti nyata tentang manusia
yang ingin menyamakan diri dengan penciptanya


Bandung, 15 September 2012 | 02.32

A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 12 September 2012

Tentang Musim Gugur

katanya, musim gugur akan segera berakhir
menghabiskan usianya yang tersisa di tahun ini
kelak ia akan berangkat ke tahun yang lain
dengan cerita yang berbeda, menemui orang-orang baru
seakan musim gugur akan menjadi sebuah kerinduan

lalu, setiap orang akan berhadapan dengan musim lain
di mana akan semakin jarang terlihat dan ditemukan
ranting-ranting yang gugur di kala petang tiba
angin yang membawa daun berterbang ke luasnya langit
dan mengiring cinta yang tidak akan pernah putus


Bandung, 12 September 2012 | 18.23

A.A. - dalam sebuah inisial

Senin, 27 Agustus 2012

Bukan Euforia Kekasih

G,
senyata apa kita bisa menyentuh perpisahan
semampu apa kita bisa memeluk bahagia
atau itu hanya bagian dari euforia sesaat saja

eulogi untuk petang yang akan berangkat
fitri kepada muasal di langit yang menjingga
tapi bukankah demikian hidup akan kembali ke asal
bagai jerami yang mengering bersama usia

ada fajar di pangkal hari esok, bisakah membuatmu tersenyum?

mereka yang berlalu dari kota, mengatakannya mudik
menciptakan kekosongan kota dan kepedihan yang asing
kealpaan waktu tidak lagi seperti gurauan semata
melawan ketiadaan, kekosongan, seperti melawan stigma

perlu air mata, darah, dan juang yang terlalu mahal, G

langkah di pucuk rinai hujan memeluk yang akan berangkat
mengantar seseorang yang disebut kekasih untuk kembali
berpisah sejenak, merasakan bahagia sendiri-sendiri

tapi tidaklah senikmat bersama

bukankah begitu, G?




Bandung, 27 Agustus 2012 | 18.22

A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 17 Agustus 2012

Keputusan

semudah keputusan untuk berangkat
kaumengepakkan segala keperluanmu
pergi ke stasiun, membeli tiket
jika tiada, kau akan berlari ke terminal
mencari tiket yang masih tersisa
atau kau memilih bermalam sejenak di sana

semudah keputusan untuk berkelana
kau berjalan ke mana saja tanpa tujuan
kau berlalu melintasi apa saja
kau bertemu dengan orang-orang asing
berbicara dengan bahasa yang mengerutkan dahi mereka
atau memilih bermalam di jalan yang sepi dan sunyi

semudah keputusan yang kita buat
segala konsekuensi menjadi kesenangan
atau penderitaan


Jakarta, 17 Agustus 2012 | 20.07

A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 12 Agustus 2012

Tentang Prolog

Adalah sebuah terima kasih karena kamu telah berani masuk ke dalam hidupku, mengisinya dengan apa yang mungkin tidak dapat orang lain rasakan, memberikanku harapan yang seharusnya aku tak perlu berharap setinggi apa yang ada di dalam pikiranku. Kemudian kamu memilih untuk keluar, meninggalkan aku bersama harapan itu. Kosong. Harapan itu tidaklah bernilai apa-apa. Lalu, tidak ada jejak yang kamu tinggalkan sebagai pertanggungjawaban atas perasaan yang telah kamu tanamkan kepadaku

Aku marah. Marah kepada kamu, marah kepada diriku sendiri. Marah kepada orang-orang di sekitarku yang membuatku mengenal kamu. Harapan yang kosong itu berisi amarah. Air mata yang membuatku tidak lagi merasakan dunia sekitar. Aku marah dengan air mataku sendiri. Betapa lancangnya ia datang untuk menjadi senjata bagi kaum perempuan dan aku tidak bisa pernah menerimanya. Ia adalah titik lemah, bagiku.


- sebuah bagian yang belum usai

Selasa, 07 Agustus 2012

Kereta Senja

di stasiun, kita pernah bertemu dan memulai kisah
tentang perjalanan anak manusia
ada suka dan duka yang membalut di dalamnya
ada senyum yang ternyata berbentuk air mata
ada air mata yang berwujud tawa

kita tak pernah tahu
sampai pada saatnya
kereta senja lewat, berlalu ke stasiun berikutnya

di gerbong-gerbong kereta
ada kesibukan dan egoisme manusia yang fasih
tapi kasih akan tetap nyata di tengah-tengah mereka
di tengah-tengahku, di antara kamu
menuju ke tempat berikutnya

kita tak perlu menyangkal bagian dari perpisahan
kereta senja merekam setiap langkah
ia mematri bahwa kita pernah jatuh cinta di dalam perjalanan
kita pernah duduk, saling kenal, saling tatap
untuk apa mengutuk petang kalau pagi tidak bisa membuatmu bahagia
adalah waktu yang sebenarnya merenggut kita

bahkan cinta itu sendiri tidak bisa abadi
kecuali

jika kau percaya cinta kita abadi



Jakarta, 7 Agustus 2012 | 18.59

A.A. - dalam sebuah inisial


Minggu, 05 Agustus 2012

Tukang Tulis, Bukan Penulis

Aku memang seorang tukang tulis
Bukan seorang penulis

Apa bedanya?

Aku sendiri tidak tahu.

Bahan baku tukang tulis dan penulis itu sama:

Huruf.

Tapi aku bukan penulis
Kalau ada yang bertanya apa profesiku, katakan saja:

Ia tukang tulis


Jakarta, 6 Agustus 2012 | 01.44
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 01 Agustus 2012

Prolog of August

i wish i can fly
above the sky
above the words
i wish...
i pray for you
then,
i will wait the goals

god has been waiting
since the 2012 came

Jumat, 27 Juli 2012

Di Lorong Kereta

ada mereka yang berlalu begitu saja
menumpang lewat tanpa permisi
senja berlalu, bersama kereta melaju
dan waktu tersibak di dalam kaku


Jakarta, 27 Juli 2012 - 18.41

A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 26 Juli 2012

27 Juli, Enam Belas Tahun yang Lalu


 

Oleh: Aveline Agrippina


Seharusnya Jalan Diponegoro masih dalam keadaan tenang pagi itu. Sabtu, 27 Juli, enam belas tahun yang lalu menjadi bagian yang tidak boleh dilupakan di dalam catatan kelam Indonesia. Menteng mendadak berubah menjadi berdarah, Jakarta berubah menjadi beringas; ada tangis yang didengar, ada emosi untuk mempertahankan kekuasaan, ada yang harus mengorbankan apa pun, ada yang hanya bisa menerima kejadian ini semata.

Peristiwa ini menjadi noda hitam untuk pemerintahan Soeharto, pemerintahan Megawati, dan Indonesia. Ketika kekerasan menjadi jalan keluar untuk menembus zona politik dan mempertahankan kedudukan dengan keras kepala dan otoriter, di saat itu pula ada yang harus menerima kematian, ada yang dipenjarakan, ada yang diadili tanpa duduk perkara yang jelas. Ada yang mesti dikorbankan dari setiap peristiwa. Mengingat kembali Peristiwa Kudatuli adalah kembali mengorek luka yang belum sembuh di tubuh Indonesia. Ada yang harus diusut dari awal terjadinya, ada yang harus ditindaklanjuti dari segala duduk perkara, dan harus ada yang diadili apabila pemerintah masih teguh menomorsatukan hak asasi manusia di Indonesia.

Memang mengingat kembali Kudatuli bukan sekadar menuntut hak, tetapi kewajiban setiap warga negara untuk menagih kebenaran terhadap rekaman hitam Indonesia. Di dalamnya ada tugas yang harus diemban oleh pemerintah untuk menjawab sebenarnya apa yang terjadi, apa tujuan penyerangan tersebut, dan siapa aktor di baliknya. Di dalamnya ada tugas yang diwariskan kepada rakyat untuk selalu memperingatkan pemerintah bahwa Indonesia tidak bisa lupa untuk menuntaskan tragedi kemanusiaan itu. Memang harta yang sudah dimusnahkan dan nyawa yang sudah melayang tidak lagi dapat kembali, tetapi menyelesaikan perkara yang digantung selama enam belas tahun bisa mengeringkan sedikit luka yang ditanggung oleh mereka yang menjadi korban politik kekuasaan dan otoriter.

November 2012, kepada pers A. M. Fatwa mengatakan Kudatuli bisa saja diungkap, tetapi bukanlah sekarang. Alasan bukan sekarang tersebut didefinisikannya karena ada pelaku di balik penyerangan itu yang masih berkuasa. Terselip alasan politik dan kekuasaan yang diperhalus untuk memperlambat proses pengungkapan Kudatuli di saat yang terjadi sudah seharusnya terjawab. Membiarkan para aktor bermain secara bebas di lapangan pemerintahan adalah mempertahankan kejahatan. Membiarkan kejahatan berada adalah kekejian.

Pernyataan A. M. Fatwa boleh saja dibenarkan mengingat salah satu orang yang sering disebut-sebut berperan penting terhadap Kudatuli masih memegang jajaran tertinggi di dalam pemerintahan. Adalah penyelidikan yang tidak dapat menyeluruh jika proses peradilan terhadap tragedi ini bisa terjawab dan dituntaskan sampai ke akar. Tetapi kebenaran dan keadilan yang ditunggu oleh korban dan rakyat tidak bisa dilupakan begitu saja. Cinta dan kepentingan begitu nyata meski tipis di saat yang dibela dulu duduk di kursi pemerintahan sekarang tetapi tidak mampu berbuat apa-apa. Tidak mampu memberikan jawaban untuk menuntaskannya.

Adalah di saat Megawati duduk di kursi kepresidenan, banyak orang menaruh harap pengusutan terhadap kasus-kasus HAM, termasuk Peristiwa Kudatuli, dapat terselesaikan dan para pelaku sudah saatnya menerima konsekuensi. Peristiwa Kudatuli bukan bertujuan mendukung Megawati, melainkan kebuntuaan pemerintahan Orde Baru yang hanya berada di antara titik kepentingan dan kekuasaansaja. Mempertahankan gedung bernomor 58 itu berarti mempertahankan demokrasi, bukan mempertahankan kekuasaan. Yang harus diingat oleh para petinggi PDI Perjuangan adalah Kudatuli yang bisa membesarkan nama mereka dan mengantar para petinggi partai untuk berangkat ke tahta pemerintahan saat ini. PDI Perjuangan berutang budi kepada Partai Rakyat Demokratik di mana Budiman Sutjamiko –sang ketua– dipenjarakan 13 tahun setelah diberikan peran fiktif sebagai aktor utama yang mendalangi kerusuhan tersebut. Melupakan Kudatuli menjadi puncak kedurhakaan PDI Perjuangan di mana ada pihak yang harus bertanggung jawab menanggung beban psikologis rakyat yang menjadi korban kekerasan politik. Namun saat ini, keadaan negara hari ini dianggap lebih penting dan berdamai dengan para konseptor merupakan jalan keluar untuk menempatkan pelanggaran HAM ini sebagai bagian dari kesalahan masa lalu. Membiarkannya rakyat yang lebih dominan menjadi korban harus menunggu berlarut-larut, tanpa tahu kapan keadilan dapat memberikan kebenaran sebagai jawaban.

Hari ini, dengan tetap mengingatkan peristiwa yang belum tuntas, kita telah melawan lupa terhadap sejarah, setidaknya terhadap ketidakadilan yang merajalela. Meski mengingat Peristiwa Kudatuli tidak berbeda dengan melahirkan rasa sakit, setidaknya perjuangan melawan lupa terhadap sejarah harus bisa dilakukan sampai pengusutan terhadap kejadian ini tertuntaskan. Milan Kundera mengingatkan perjuangan melawan lupa sama sulitnya dengan menumbangkan kekuasaan. Dengan menjaga sejarah dan mengingatnya sebagai bagian dari identitas diri bangsa, kita telah menjaga kebenaran dan keadilan dari sikap manipulatif untuk kepentingan yang konservatif serta menjauhkan altar pemerintahan dari kekuasaan subjektif.

Rabu, 25 Juli 2012

Be the Best of Whatever You Are

If you can’t be a pine on the top of the hill,
Be a scrub in the valley — but be
The best little scrub by the side of the rill;
Be a bush if you can’t be a tree.

If you can’t be a bush be a bit of the grass,
And some highway happier make;
If you can’t be a muskie then just be a bass —
But the liveliest bass in the lake!

We can’t all be captains, we’ve got to be crew,
There’s something for all of us here,
There’s big work to do, and there’s lesser to do,
And the task you must do is the near.

If you can’t be a highway then just be a trail,
If you can’t be the sun be a star;
It isn’t by size that you win or you fail —
Be the best of whatever you are!


Douglas Malloch

Selasa, 24 Juli 2012

Membangun Rahasia

Setiap yang kautulis adalah rahasia
seperti rumah yang hendak kaudirikan
di balik tembok-temboknya, tak seorang pun tahu
apa yang kautanamkan untuk menjadikannya kokoh
di balik dasar tanah di mana tembok itu bersemayam
apa yang kaurahasiakan di dalamnya
bersama bongkah batu, bersama kata-kata
bersama puisi yang kautuliskan itu

Setiap yang kauucap adalah rahasia
seperti keputusanmu untuk pergi tanpa pesan
tanpa kabar yang akan menunjukkanku harus ke mana
membiarkan aku menerka-nerka ke mana engkau bertujuan
tanpa alasan apa yang membuatku bisa membiarkanmu pergi
dan ada rasa khawatir yang berevolusi bersama waktu yang kulintasi
mungkinkah itu rindu, aku bertanya suatu ketika
dan bila benar, kau hanya menginginkan aku
menjelmakan rindu sebagai rahasia, seperi yang kau ucap
bersama kalimat yang kaumadahkan ke langit

Setiap yang kauembuskan adalah rahasia
seperti yang tak dapat kuketahui
ketika itu aku hanya boleh merasakan semata
tanpa bisa menyentuhnya, memeluknya
dibiarkannya menyiksa, sama seperti rindu yang tak habis
kemudian tak ada yang menjemputnya
di mana semestinya ia bersandar kepada hatinya yang kosong

Setiap yang kaurindukan adalah rahasia
rindu itu rahasianya, dan aku tak bisa membongkar rahasiamu


maaf,
kalau memang benar, rindu yang menjadi rahasiamu






Jakarta, 25 Juli 2012 | 00.12

A.A.- dalam sebuah inisial

Minggu, 22 Juli 2012

Bagian yang Belum Usai

Kadang cinta dapat membelenggu siapa saja tanpa permisi, tanpa memikirkan di mana kita berada dan sedang apa kita saat itu. Dia bisa saja menggoda diri untuk berlari dari sebuah kenyataan dan mengundang kita untuk berada di dunia lain. Menggondol sebuah keyakinan bahwa benar kita sedang jatuh cinta dalam keadaan macam apapun. Dengan siapa saja kita hiraukan dengan persepsi bahwa cinta sebegitu menggoda kita pada sebuah situasi yang tak pernah sulit untuk ditekuni, merasakannya.

- sebuah bagian yang belum usai

Selasa, 17 Juli 2012

Meski Ada Matahari

Meski ada matahari di pagi ini
Aku tetap tak dapat melihat surga, G
Meski ada matahari di pagi ini
Aku tetap merasa berbalut dingin, G
Mungkin orang yang hatinya biasa terluka
Hanya bisa merasakan dingin, sedinginhatinya
Hanya bisa merasakan gelap, segelap lukanya


Bandung, 18 Juli 2012 | 08.09
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 08 Juli 2012

Kepada yang Tak Memiliki Segalanya

G,
Pada dasarnya memang kita tak memiliki apa-apa
sejak lahir, segalanya diawali dengan pemberian
bahkan untuk kembali pun, kita harus menyerahkannya kembali

G,
Pada dasarnya memang kita tak memiliki apa-apa
kita diciptakan untuk menciptakan hal yang lain
kemudian memberikan lagi kepada Yang Mencipta

G,
Pada dasarnya memang kita tak memiliki apa-apa
tak perlu tinggi-tinggi berharap, tak perlu sempurna
demikianlah apa yang harusnya, itulah yang kamu jalani



Jakarta, 8 Juli 2012 | 21.45
A.A. - dalam sebuah inisial

Bapa Kami

Kudengar seorang anak berdoa di pinggir jalan, katanya kepada Tuhan:

Bapa kami yang di sorga,
dikuduskanlah nama-Mu.
Datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu,
di bumi seperti di sorga.
Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya,
dan ampunilah kami akan kesalahan kami seperti kami juga mengampuni
orang yang bersalah kepada kami.
Dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan,
tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat.


Kemudian, air mataku meleleh.

Jatuh ke tanah, untuk menguap
Seperti doa-doa yang dilangitkan anak itu




Jakarta, 8 Juli 2012 | 21.39
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 03 Juli 2012

Baik

Sesederhana bahagia, itulah kebaikan sesungguhnya
kekalahan yang terkecap untuk dinikmati pahitnya
air mata yang mengalir mengajarkan melepas kebahagiaan
terluka yang terbekas meninggalkan perih yang membatin

lalu, bagaimana kamu menikmatinya?

Rasakan bahagia yang tersisa, melekat, dan jangan larut
dan kamu merasakan sesuatu yang baik
lantas, apa lagi yang harus kamu sangkal?



Jakarta, 3 Juli 2012 | 22.07
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 23 Juni 2012

Ketika di Suatu Masa

ketika segala khawatirmu membelenggu
tenanglah, G
setenang karang di lautan yang keras

ketika segala kegagalan berdiam untukmu
tersenyumlah, G
tak semua kegagalan itu sia-sia

ketika segala nestapa menunggumu
bersabarlah, G
nestapa itu mendewasakan dari luka

ketika segala kekecewaan melandamu
tertawalah, G
mungkin dunia mengajakmu bergurau

lelaplah, G

ketika di suatu masa akan ada yang lebih
lebih baik
lebih terang
lebih dari sesuatu yang kau pikirkan

lelaplah, larutlah dalam mimpi
seperti malam


Jakarta, 23 Juni 2012 | 22.40
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 22 Juni 2012

Langit di Jakarta


Picture from here



apa yang kau kenang dari kotamu itu
diam-diam lampu kota menyala
langitnya dari terang pun remang
kemudian gelap
kemudian tak lagi ada matahari
lalu orang bergegas pergi
lantas kembali pulang

diam-diam seorang karwayan belajar jatuh cinta
di tengah kemacetan
yang begitu asing di negeri lain

diam-diam seorang pengamen belajar berjuang
di tengah keterasingan
yang begitu keras dan tiada ampun

diam-diam seorang pemulung belajar sabar
di tengah bah musiman
untuk lari dari keberadaan

di dalam kota yang begitu kecil
seperti sesak, di langit pun demikian
bahkan
langit di kota ini pun
terlalu sulit untuk menjadi terang lagi

kemudian
seorang pengemis kecil
yang mengiba di pinggir lampu merah
menatap tulisan
"Dirgahayu 485 DKI Jakarta"

ia pun bergetar membacanya
lirih, haru
sekaligus perih

"beginikah semua ibu?
bahkan termasuk ibukota?"
bisiknya di tengah klakson
yang memekakan telinganya



Jakarta, 22 Juni 2012 | 21.22
A.A. - dalam sebuah inisial

Agenda Jakarta Book Fair 2012

Start:     Jun 23, '12
End:     Jul 1, '12


Info lengkap, silakan mampir ke http://www.jakartabookfair.com atau mention mereka di @jakartabookfair

Selasa, 19 Juni 2012

Surat yang Tak Kunjung Usai

G,

Aku pernah menulis surat cinta. Sama seperti orang-orang yang pernah merasakan cinta. Mereka akan menuliskan apa saja, kapan saja, di mana saja. Tentang perasaan mereka yang malu-malu, tentang degup yang tak terdengar, tentang kesunyian yang begitu ramai. Tentang cinta itu sendiri.

Benar. Cinta seringkali membuat orang menjadi tidak berdaya, menjadi lebih berani sampai kepada nekat, menjadi siap untuk menghadapi segala sesuatu sampai kepada ketiadaan persiapan apa pun untuk dihadapi. Tapi cinta pula yang mengajarkan aku untuk bisa menuliskan perasaan. Menulis surat cinta.

Benar lagi. Surat cinta tak harus ditulis di atas kertas berwarna merah jambu. Tak pula perlu diberikan kecupan di penghujung tulisan. Tak perlu kata-kata romantis -yang sering kusebut picisan- dan membuatku tertawa sendiri. Seperti ada sesuatu yang tak terungkapkan di dalam kata-kata dan itulah mereka menyebutnya cinta.

Kemudian, masih banyak lagi cinta-cinta yang dimuarakan kepada angin, kepada air, dan kepada waktu. Mereka menggiring cinta itu entah ke mana, tetapi ia akan menemukan perhentiannya sendiri. Seperti kapal yang akan berlabuh, demikianlah cinta yang tiada pernah henti untuk terus dikredokan dan dimadahkan. Aku tetap dibuatnya bahagia.

Surat itu pun, tak kunjung usai. Sama seperti cinta.

G,

Surat cinta pun sama seperti cinta. Tak tahu kapan dimulai, tak tahu kapan diakhiri. Aku percaya cinta yang menuliskan kebenarannya di dalam surat-surat yang kubaktikan kepadamu. Dan aku pun selalu berdoa...

jangan pernah usai.


Dan aku bahagia di dalam ketidakusaian itu.



Jakarta, 19 Juni 2012 | 20.36
A.A. - dalam sebuah inisial

Senin, 11 Juni 2012

Do What You Love, Love What You Do

Bekerja, bagi saya, adalah sebuah kesempatan untuk memaknai kehidupan sekecil apa pun itu. Bahkan, kebahagiaan pun dapat bersumber dari apa yang saya lakukan pada saat ini, pada waktu saya bekerja, atau hal-hal remeh yang sering dianggap orang sebagai kutukan atau beban yang harus dipikulnya.

Bekerja adalah momen untuk menangkap momen keindahan seminimal apa pun. Untuk saya, bekerja pun bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Tanpa pernah bisa diduga, kadang pula tanpa bisa direncanakan, atau bisa saja di dalam kondisi yang tidak diharapkan untuk bekerja.

Setidaknya saya adalah salah satu manusia yang paling berbahagia di dunia ini. Meskipun saya bekerja, sesungguhnya saya pun tidak merasakan apa yang dinamakan oleh orang-orang sebagai beban atau keterpaksaan. Saya bekerja atas dasar saya mencintai apa yang saya kerjakan, apa yang saya lakukan. Dengan demikian, saya pun sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Confucius bahwa dengan mencari pekerjaan yang sesuai dengan hatimu, engkau tidak akan pernah merasakan bekerja.

Itulah saya. Saya pun tidak merasakan bagaimana beban bekerja, malah sebaliknya, saya menganggapnya itu sebagai wahana permainan yang menyenangkan. Wahana di mana saya bisa bebas berpikir dan bertindak. Bebas untuk membebaskan diri sendiri.

Kalau ditanya, di mana saya bekerja, saya sendiri pun sering merasa kesulitan untuk menjawabnya. Pekerjaan saya hanya butuh media untuk menulis dan kebebasan untuk berpikir. Saya sering bekerja ketika sedang menunggu jam masuk kuliah, di restoran, di dalam mobil travel, atau sedang menunggu jadwal rapat. Saya pernah diharuskan membuat esai di tengah seminar sedang berlangsung. Atau saya pun pernah dikontak tengah malam di saat baru tiba di bandara untuk mengirimkan materi presentasi.

Semua itu saya lakukan tanpa beban. Saya melakukannya dengan cinta karena dengan berbagai alasan yang membuat saya mencintai pekerjaan saya. Tanpa perlu saya mengeluh, tapa perlu merasa tersiksa, dan saya pun melakukan sesuatu yang belum tentu orang lain dapat melakukannya: mencintai apa yang mereka lakukan, melakukan apa yang mereka cintai.

Tabik!



Jakarta, 12 Juni 2012 | 16.10
A.A. - dalma sebuah inisial

Minggu, 10 Juni 2012

Menjelang Pagi

G,
apa doa yang lebih baik daripada mendoakan mereka yang selalu kita kasihi? aku selalu memilih untuk mendoakan untuk kehidupan yang lebih bijaksana. aku selalu berdoa agar aku dan mereka yang kukasihi selalu siap untuk menghadapi hari, bukan lagi berdoa agar hari-hari yang memeluk setiap kita.

G,
apa ada pagi yang lebih baik daripada melihat mereka yang kita kasihi sedang terbangun? aku selalu menunggu pagi utuh agar mereka yang selalu kita kasihi bangun di dalam bahagianya, menceritakan mimpinya semalam. aku selalu menunggu matahari datang di mana harapan itu ikut terbit bersamanya.

G,
apa ada cerita yang tidak bisa membuatmu kembali menjadi manusia yang bahagia? aku menanti kabarmu yang paling baik di setiap pagi dan cerita sepanjang hari akan segera dimulai. aku ingin menjadi waktu di mana kamu tidak lagi dapat menghindari aku. kita sama-sama berjalan. kita ada di dalam dimensi yang seirama.

G,
pagi sedang aku tunggu. tepatnya menunggu harapan. menunggu seseorang yang akan bangun dan menceritakan mimpinya.



Jakarta, 11 Juni 2012 | 00.56
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 01 Juni 2012

Lebih dari Hujan Bulan Juni

:Sapardi Djoko Damono


sesungguhnya ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
ia tak merahasiakan rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

sesungguhnya ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
ia tak menghapus jejak-jejak kakinya
ia tak ragu di jalan itu

sesungguhnya ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
tak dibiarkannya yang tak terucapkan
tak terserap akar pohon bunga itu






Jakarta, 2 Juni 2012 | 08.28
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 22 Mei 2012

Life After Life

G yang baik,
pernahkah engkau percaya
tentang kehidupan setelah kematian
dan kehidupan itu yang menjadikan
seseorang menjadi lebih abadi
lebih merasakan akan kekal
dan berpihak kepada kenyataan

G yang baik,
kalaupun engkau tidak percaya
bila memang benar ada
kehidupan setelah kematian itu
kelak, ketika kita mengalaminya
tetaplah berbuat baik
senantiasalah untuk menjadi kekal

G yang baik,
dan bila jauh hari kau telah percaya
sudah kuaminkan engkau pasti
melakukan seribu satu hal yang baik
dari seribu kewajiban untuk berbuat baik
saat itu pula orang-orang mengagungkanmu
dan akan merindukanmu bila kau berlalu
entah ke mana



Bandung, 23 Mei 2012 | 00.51
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 19 Mei 2012

Anjangsana

seribu mil dari tempat kau berpijak
selalu ada yang menunggumu pulang
di depan beranda
akan mengajakmu bercengkrama

seribu mil dari tempat kau berpijak
ada yang dengan sabar menantimu
di depan pintu rumah
akan menarikmu masuk dan berteduh bersama

seribu mil dari tempat kau berpijak
ada yang selalu mengasihimu, tak henti
tak letih



Jakarta, 19 Mei 2012 | 20.38
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 17 Mei 2012

Dream Catcher

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Nonfiction
Author:Alanda Kariza
Mimpi: Sekadar Diciptakan atau Diejawantahkan?

Mungkin –sekali lagi, mungkin- Alanda Kariza menggeleng-gelengkan kepalanya ketika melihat seseorang yang berpenampilan tak sewajarnya di dalam talkshow Dream Catcher-nya kali pertama di Bandung. Seseorang yang memakai jaket hitam dan bersandal jepit, tergesa di antara orang-orang yang mengantre untuk booksigning. Baru datang. Fatalnya adalah ia bukan menyapa Alanda yang di hari Sabtu itu menjadi idola, melainkan menyapa seseorang yang lain dan tertawa-tawa bersamanya. Kemudian, orang itu ikut serta santap malam bersama Alanda. Haks!

Iya, itu saya. Dan saya memang bukan menyambut Alanda, mengajaknya berkenalan. Malah saya menyapa seorang teman yang terlebih dahulu sudah saya kenal -tepatnya seminggu sebelum bertemu Alanda, saya sudah berkenalan dengan teman saya itu-. Awalnya, memang saya tidak ingin ikut serta di dalam antrean itu karena dua hal: Alanda sedang repot dengan para teman barunya di ITB dan kebetulan pula saya belum membaca buku Alanda yang satu ini.

Mengetahui siapa Alanda memang bukanlah hal yang baru untuk saya. Dengan segala cita-citanya dan apa yang telah ia dapatkan selama ini, bagi saya memang sudah menjadi hal yang selayaknya atas apa yang ia perjuangkan. Saya percaya akan keberadaan semesta yang akan memberikan hal-hal baik bagi mereka yang mau memperjuangkan mimpi-mimpinya. Bahkan, memang sudah selayaknya bagi seluruh manusia yang bertumbuh dewasa untuk memiliki mimpi. Memiliki cita-cita.

Bagi saya, sesungguhnya tidak ada yang spesial dengan apa yang ditulis oleh Alanda setelah saya mengetahui seperti apa konsep buku Dream Catcher ini. Saya lebih berharap bahwa Alanda menerbitkan novel atau kumpulan cerpen terbarunya. Hal ini terjadi karena memang saya tidak pernah menyukai buku yang berbau motivasi. Jujur saja, saya anti akan Mario Teguh dan kawan-kawannya. Saya hanya percaya satu hal: motivasi lahir dari diri sendiri, bukan dari (kata-kata mutiara) seorang motivator.

Selepas menemaninya wawancara di sebuah radio di Bandung, saya diberikan sebuah buku Dream Catcher beserta tanda tangannya. Ampun! Begitulah pekerjaan pemburu tanda tangan ini. Buku gratis saja dimintai tanda tangan. "Jangan lupa review ya!" pesannya sebelum kami berpisah. Saya tersenyum simpul. Pesan yang membuat saya harus berteori apa lagi untuk menjawabnya (dan untuk menghindarinya karena genre buku ini yang menjadi masalah bagi saya).

Setiap orang memang harus memiliki mimpi. Itu bukan hak, melainkan kewajiban. Mimpi akan menjadikan seseorang memiliki tujuan. Mimpi harus dibangun sejak muda. Tak mengherankan apabila orang tua kita dengan sigap membangun pondasi untuk mewujudkan mimpi kita lewat apa saja yang dapat mereka berikan. Mimpi akan menjadikan seseorang memiliki target apa yang harus dicapainya. Kalau kata teman saya, mimpi itu seperti utang yang harus dibayar kepada diri sendiri.


Tapi, ada mimpi yang tinggal mimpi. Ada pula mimpi yang bisa terwujudkan. Menurut saya, itu kembali lagi kepada diri masing-masing: apakah ia menginginkan mimpi hanya sekadar mimpi atau diejawantahkan. Seseorang harus memilih untuk berjuang untuk mimpi-mimpinya atau duduk manis menunggu mimpi itu terwujud sendiri. Keberhasilan untuk mengejawantahkan mimpi tidaklah jatuh dari langit.

Mungkin, dengan maksud yang mulia itu, Alanda mengajak kaum muda untuk mengejawantahkan mimpinya. Menyadarkan satu hal: mimpi tidak akan pernah terwujud apabila mimpi hanya ditunggu untuk menjadi nyata. Pengalaman hidupnya yang sudah menuai banyak pujian itulah yang menjadi landasan bagaimana ia berani untuk menuliskan buku ini.

Saya percaya, di dunia ini ada pilihan-pilihan yang tidaklah kita kehendaki, tetapi kita dipaksa untuk memilih. Demikian pula dengan Alanda. Ia pernah diharuskan memilih, menghadapi mimpi yang mana yang harus diejawantahkan. Pengalamannya itu yang membuatnya lebih berada. Kini, ia tidak pernah menyesali dengan keputusan yang sempat membuatnya bimbang.

Dengan konsep yang sedikit berbeda dari buku motivasi lainnya yang pernah saya baca, ditambah dengan pengalaman dan halaman di mana kita diajak untuk lebih berusaha mewujudkan mimpi-mimpi kita, Alanda mengundang kita untuk masuk ke dalam dunia mimpi. Dunia mimpi yang harus diwujudkan, bukan hanya ditunggu begitu saja.

Ya, berbagi justru bisa membuat kita lebih kaya.


Ya, dengan berbagi, kita bisa lebih kaya, Alanda. Jangan pernah lelah untuk berbagi pengalamanmu. Mimpi yang telah kau harapkan dulu setidaknya sudah banyak yang diraih dengan apa yang dinamakan dengan 'berjuang'. Dan lewat karya terbarumu, kau berbagi untuk mengundang kaum muda untuk mengejawantahkan mimpi.

Selamat berbagi!

Malam ini, kulunasi utangku kepadamu untuk meresensi karyamu.




Jakarta, 17 Mei 2012 | 18.17
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 11 Mei 2012

Hari Ini Empat Belas Tahun Lalu

Hari ini empat belas tahun lalu:

Sedang apa kau, sayang?

aku bermain senapan di depan DPR
aku bermain orasi di atas mimbar
aku bermain gas air mata di muka MPR

siapakah perduli?

aku yang akan dijerang peluru
aku yang akan berdarah jadikan mati
aku yang tergeletak di tengah Gatot Soebroto

selamatkah engkau?

dari huru hara itu
dari amukan itu
dari atas nama reformasi

engkaukah itu?

yang menjadi jenazah
yang masih berlarian
yang berdiri di mimbar

akankah kau kenang itu?

semua kematian yang jadinya kisah
semua perjuangan kita jadinya angan
semua tragedi hidup jadinya air mata

apa yang akan diwariskan pada mereka?

sebuah cita-cita atas reformasi
sebuah kemenangan untuk demokrasi
sebuah harapan yang jadikan mimpi adanya

Hari ini empat belas tahun lalu

akankah sejarah mencatatnya?




Jakarta, 13 Mei 1998 - 12 Mei 2012

Mari melawan LUPA!

Kamis, 03 Mei 2012

Sebuah Tanya

Bahagia itu,
seperti angin yang bisa dirasakan, tapi tak bisa disentuh
seperti laju bus yang akan selalu maju, tapi akan kembali lagi
seperti setan yang tak diundang, tapi bisa dilepas

Nestapa itu,
seperti neraka yang tak tahu di mana, tapi tahu bagaimana panasnya
seperti kapal yang begitu mewah, tapi karam pun pasti
seperti luka yang kering, tapi bekas tak bisa pudar


Lalu, mana yang kamu pilih? Menjadi bahagia atau nestapa?


: aku memilih untuk tidak memilih.




Bandung, 3 Mei 2012 | 23.19
A.A. - dalam sebuah inisial

Menulislah di Semeru

Dimuat di dalam buku Untukmu, Pena Inspirasi (2011)


Kepada Soe Hok-gie,

 

apa kau masih menulis di surga sana?

di Semeru di mana tulangmu berterbangan

 

masih senang mengkritik?

ah, kalau kau sekarang masih hidup

banyak yang bisa kau kritik

 

tapi, bukan hanya kau

demikian pula aku yang tetap menulis

kita yang pernah bermimpi tentang dunia

dunia yang tak pernah akan datang

 

Gie,

kalau kau memang ingin menetap di Semeru

titipkan salam kepada matahari

ucapkan cita-cita idealisme dan pluralisme kita

kita yang masih muda memang yang harus bergerak

 

tapi Gie,

kalau kau turun dari Semeru

jangan lupa kirimkan tulisanmu ke koran

biar mereka yang merasa busuk itu bungkam

meski kita masih bau kencur di mata mereka

 

Gie,

jangan pernah berhenti menulis

terus mendaki dan menetaplah di puncak Semeru

 

 

Jakarta, 19 Maret 2011 | 13.13

A.A. - dalam sebuah inisial


Rabu, 02 Mei 2012

Sajak Cinta di Tengah Hujan

G,

Hari Rabu terasa begitu kelabu. Seharian langit berwarna abu-abu, pertanda sendu dibawa oleh rindu. Beku, di dalam hampa yang begitu sunyi karena risau. Aku tahu ada kekosongan yang berbicara di antara kita karena jarak yang begitu jauh. Seorang musafir pun mengerti bagaimana perpisahan itu terjadi karena waktu. Tapi biarkan cinta yang bersemayam di dalam hati setiap orang yang merasa kelu.

Kalau memang kamu menyebutnya cinta, rindu itu biarkan melebur bersama waktu. Bagai es yang tak lagi bisa mempertahankan kebekuannya karena semua di dunia ini seperti bersifat semu. Pula duka itu bersifat bayang-bayang seperti bahagia yang bisa berganti bagaikan musim sepanjang waktu.

G,

Mencintaimu adalah menjadi bahagiaku. Mencintaimu adalah tugasku yang tidak mengenal perhentian akhir. Demikian semestinya terjadi, karena cinta itu yang membuat seseorang begitu berarti. Aku mengerti bagaimana rasanya jatuh cinta, terluka di dalamnya, terpisah karenanya, dan terobati deminya. Ada pengorbanan yang harus diberikan untuk menerima yang lain. Tapi, mencintaimu adalah suatu kewajiban yang tidak boleh kuhentikan begitu saja.

G,

Bahagiaku adalah mencintaimu. Meski di dalam dukaku ada rasa rindu yang meletup, ada gerimis air mata yang membentuk aliran sungai di pipi. Secangkir kopi sebagai penawar perih rasa kangen yang mencabik-cabik membuatku mengerti ada kenangan yang tidak akan pernah hilang ditarik oleh waktu. Kenangan yang membuat seseorang berani untuk melihat cinta itu selalu ada, di dalam ketiadaan sekalipun.

Dan aku selalu percaya.



Bandung, 2 Mei 2012 | 22.00
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 01 Mei 2012

Di Mana Sekolah Sesungguhnya?

Oleh: Aveline Agrippina


Jadikan setiap tempat sebagai sekolah dan jadikan setiap orang sebagai guru. - Ki Hajar Dewantara



Tentu saja, saya bukanlah seorang yang ahli dalam bidang pendidikan. Saya pun masih belajar dan akan terus belajar. Saya tidak pernah diundang sebagai pembicara untuk pendidikan atau pula diajak menulis mengenai pendidikan. Ralat, mungkin diajak menulis pernah, tapi saya tolak karena bukanlah di sana letak keahlian saya. Saya bukan praktisi yang praktis bisa diteladani oleh para pendidik dan mereka yang terdidik.

Pendidikan di masa kini bukanlah sesuatu yang mewah lagi. Bukan termasuk di dalam kebutuhan sekunder apalagi tersier. Ia tak kalah pentingnya dengan apa yang dibutuhkan oleh hidup kita, yakni sandang, pangan, dan papan. Maka tidaklah mengherankan apabila orangtua terus berjerih payah untuk dapat menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Dengan gelar yang berderet, mereka meyakini anaknya dapat dijadikan lumbung masa depan yang hidup. Mereka akan bergantung kepada anak-anaknya di hari tua.

Untuk saya, sekolah yang ada saat ini bisa menjadi terbagi dua: satu, sebuah bangunan di mana guru dan murid berkumpul, mengadakan proses belajar-mengajar, dan memberikan hasil berupa nilai di dalam wujud apa pun. Kedua, sebuah proses di mana kita diperkenalkan kepada kehidupan yang sebenar-benarnya. Semua orang boleh mendefinisikan 'sekolah' menurut kepercayaan mereka masing-masing, termasuk Anda. Tak perlu terpaku dengan kata-kata di sini.

Bagi saya, sekolah sebagai bangunan hanyalah sebuah formalitas semata. Di sana, kita hanya diajarkan hal-hal mendasar untuk mengakrabi lingkungan sekitar. Mengerti tentang ilmu-ilmu yang berkembang di dunia ini. Bahkan mengajarkan kita untuk lebih ambisius untuk mengejar setinggi mungkin nilai yang dicapai, sebanyak mungkin deret gelar yang didapat. Ia hanya fasilitas resmi di mana membuktikan kita akan menjadi kaum yang terpelajar dengan ijazah yang kita genggam kelak setelah menyelesaikan pendidikan di sana.

Sekolah yang saya anggap sebagai benar-benar sekolah adalah ketika kita sudah terjun di dalam masyarakat itu sendiri. Ada ilmu-ilmu yang tidaklah terpakai saat menerjuninya. Di sana, kita dituntut terus untuk semakin giat di dalam belajar dan mengenal dunia seluas-luasnya. Kehidupan itulah yang sesungguhnya 'sekolah hidup' yang menghidupi saya. Menghidupi seseorang untuk bangun dari tidur, mewujudkan apa yang harus dicapainya.

Sekolah yang sesungguhnya tidaklah menghasilkan ijazah. Anda patut dikatakan lulus ketika Anda sudah menyelesaikan tugas di dalam kehidupan itu dengan sebaik-baiknya. Maka, tak perlu heran apabila saya selalu lebih banyak belajar kepada sekolah kehidupan dibandingkan di sekolah yang bersifat formalitas semata itu.

Sekolah yang sesungguhnya bukan hanya mengajarkan saya bagaimana mempertahankan hidup, tetapi bagaimana berbagi dan menerima, bagaimana mewujudkan mimpi yang selalu saya dambakan, bagaimana untuk bisa membuka mata, telinga, dan indera peraba lebih peka. Sekolah itu yang mengajarkan saya bagaimana membuka pikiran dan hati di dalam waktu yang bersamaan dan memutuskan seluruh hal dengan rasional tanpa perlu berteori. Sekolah yang mengajarkan saya untuk melihat dunia yang lebih luas, melihat kenyataan semanis dan sepahit apa pun itu.

Saya meyakini setiap orang memiliki sekolahnya sendiri. Entah di mana pun mereka, bagaimana pun keadaan mereka. Saya yakini mereka belajar di dalam sekolah yang mereka ciptakan, mereka lihat, dan mereka rasakan. Keterikatan batin antara sesama manusia yang bisa membentuk sekolah baru. Sekolah kehidupan, begitu saya menyebutnya. Tak perlu ada gelar berderet di dalamnya, tak perlu ijazah yang dibawa pulang. Yang membanggakan adalah ketika kau dinyatakan lulus di dalam sekolah kehidupan itu oleh orang-orang yang ada di sekitarmu sebagai gurunya.

Itulah sekolahku yang sesungguhnya, di mana sekolahmu?

Selamat belajar! Selamat Hari Pendidikan Nasional.



Bandung, 2 Mei 2012 | 09.21
A.A. - dalam sebuah inisial



*) Ada kerinduan tersendiri untuk bercerita, dan hari ini saya mengejawantahkannya. Menyenangkan sekali rasanya.

The Prayer

terima kasih tuhan karena engkau menciptakan kehidupan di dunia ini
sehingga aku tahu bahwa tujuan dari kehidupan itu adalah kematian
dan kematian itu yang mengajarkan aku untuk tidak pernah menyia-nyiakan kehidupan
karena kehidupan itulah yang membuat segalanya menjadi hal yang fana
dan aku tidak pernah bisa menafikan waktu yang berjalan yang menggiringku kepada usia tua
atau kepada waktu yang terbatas tanpa bisa kutebak atau kuterka

terima kasih tuhan karena engkau menciptakan kebahagiaan di dunia ini
agar aku mengerti tentang kesedihan yang pernah atau sedang melanda hidupku
mereka akan selalu berganti, berseling bagai matahari di pagi dan bulan di malam
mereka yang memberikan senyum dan air mata bisa mengalir sendiri, atau mengalir bersama
biar aku tidak akan melewati setiap bahagiaku dengan rasa sedih, dan sedihku dengan bahagia
biarkan aku mencintai kehidupan ini dengan kebahagiaan dan kesedihan

terima kasih tuhan karena engkau menciptakan rasa lelah di dunia ini
sehingga aku tidak selalu menjadi manusia yang bergiat akan menghabiskan waktu untuk bekerja
agar aku tidaklah menjadi manusia yang candu akan kerja seperti orang yang rakus akan kekayaan
tapi lewat rasa lelah yang aku alami itu, aku sadar jika aku pun hanya manusia yang terbatas
dan aku tidak melewati waktuku dengan melupakan orang-orang yang kukasihi
agar tidak melupakan untuk mengistirahatkan seluruh tubuhku yang bukanlah mesin yang harus dikontrol oleh teknisi
melainkan akulah yang harus mengerti segala keterbatasan yang kupunya

terima kasih tuhan karena engkau menciptakan sakit di dunia ini
agar aku menghargai bagaimana nikmatnya sehat yang lebih banyak kau karuniakan
biar aku tahu bagaimana menderita di dalam kerusakan fisikku karena egoisku semata
dan sehat sangatlah bernilai ketika aku sudah merindukannya seperti induk yang dirindu anaknya
biar aku tahu sakit pun bisa datang dari tubuh yang kau ciptakan ini ada mereka yang mengasihiku
dan sesungguhnya aku tidaklah pernah hidup seorang diri, tidak boleh tidak peduli
karena kesembuhan itu berasal dari mereka yang mencintaiku

terima kasih tuhan karena engkau menciptakan kesepian di dunia ini
karena keramaian pun tidak selalu dapat memberikan kedamaian secara lahiriah dan batiniah
melainkan kesepian itu bisa membuatku mengerti apa yang diriku butuhkan
lewat rasa sepi itulah aku tahu ada orang-orang yang mengisi waktunya bersamaku
tidak ingin membiarkan aku diam di dalam sepi seorang diri
mereka mau kuajak berbagi di dalam hening yang menikam atau sepi yang menyayat

terima kasih tuhan karena ada batas-batas yang kau ciptakan
agar aku mengerti untuk selalu bersyukur
agar aku mengerti untuk selalu berbagi
agar aku mengerti bagaimana untuk menerima
dan agar aku pahami darimana aku berasal dan akan kembali



Bandung, 1 Mei 2012 | 21.14
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 27 April 2012

Hari Ini, Seribu Tahun yang Lalu

mungkin alam tercipta dengan caranya yang dahsyat
dengan misteri yang tak seorang manusia pun mengerti
betapa kelamnya dunia tanpa hiruk-pikuk
atau ditemukan cara yang menarik mengisi kekosongan

andai nenek moyangku masih hidup
mungkin kini akan diceritakannya tentang kehidupan
yang sering diceritakan dalam dongeng-dongeng
diantarkannya aku dalam tidur kepada mimpi-mimpi
agar ada dunia baru tercipta dari kata-kata

manusia kini hanya mengerti tentang ramai
udara yang benar-benar tak terlihat hampir tak lagi ada
kupercaya nenekku akan bercerita betapa mudahnya ia menemukan
hanya cukup membuka jendela rumah dari atas pohon
diberikan hadiah pula oleh pagi dengan riuh cicit burung
berlomba mengisi suara pagi yang masih mengenal dingin

kalau nenekku bercerita tentang apa yang ada
di seribu tahun yang lalu
aku percaya, sekarang aku sedang tertidur
sembari mengigit jariku
karena iri yang begitu tinggi, iri yang ada di hati
untuk dunia yang masih mengenal hal-hal baik



Bandung, 27 April 2012 | 19.19
A.A.- dalam sebuah inisial

*) Ah, betapa baiknya waktu itu. Ia menunjukkan apa yang terjadi saat ini, apa yang aku rasakan sekarang, memberikan pertanda akan umur dan usia.

Rabu, 25 April 2012

Nocturnal

pabrik kata-kata memulai produksi ketika malam menjelang
buruh-buruh mulai bekerja
mesin-mesin menyala
asap pun mengepul tinggi

pabrik kata-kata mulai sibuk dengan setiap kata yang keluar
disusunnya dengan komposisi huruf
dirapikan dengan tanda baca
ditata di dalam paragraf

pabrik kata-kata bersiap mendistribusikan kata yang telah terproduksi
dibungkusnya rapi di dalam plastik esai
dimasukkannya ke dalam kotak cerita
disiapkannya untuk diberangkatkan kepada pembaca

kemudian, pagi menjelang, pabrik pun merasakan lelah
mesin-mesin dimatikan
buruh-buruh pulang
asap pun tak terlihat lagi

dan, setiap kata yang tercipta telah memilih pelanggannya sendiri, yakni pembaca


Bandung, 25 April 2012 | 23.34
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 17 April 2012

Perjalanan ke Atap Dunia

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Travel
Author:Daniel Mahendra
Hai Om Daniel,

Entah mengapa baru kusadari aku memanggilmu dengan sebutan 'om' setelah beberapa kawanku bertanya,"kok lo manggilnya 'om'?" Kujawab saja pertanyaan itu dengan seloroh asal,"lupa ceritanya" untuk menghindari jawaban yang harus kubuat-buat. Sesungguhnya memang aku tidak tahu jawabannya. Tapi, izinkanlah aku memanggilmu dengan sebutan itu.

Akhirnya, setelah sekian lama ditunggu, Perjalanan ke Atap Dunia ini pun terbit. Kuhabiskan dalam waktu tiga hari di mana saja. Di kamar, di kampus, di kedai kopi, sampai di tempatmu meresmikan kelahiran anakmu ini. Lantas, ketika aku menutup buku ini di sebuah kedai kopi, aku tetiba teringat dengan pernah kulakukan dan ingin kulakukan.

Menjelang akhir tahun 2009, selepas turun dari Gunung Bundar, aku dan beberapa kawan seperjalanan lain langsung disambut hujan lebat. Memang benar, Desember begitu kelabu dan sendu sendiri. Alhasil pakaian kami basah kuyup ditangisi oleh langit. Tetapi aku tidak pernah bisa memungkiri rasa gembira yang selalu ada di dalam hatiku ketika bisa naik pula bisa kembali turun dari gunung. Di bawah kaki gunung tersebut, basecamp kami berada. Lekaslah aku dan kawan seperjalananku memasuki tenda.

"Gunung Bundar sudah! What's next?" tanya seorang kawanku.
"Gunung Semeru! Cartenz Pyramid! Atau kita langsung berangkat ke Everest?" jawabku asal.
"Hueh! Ongkosin sih boleh."
"Kalau ke Cartenz, gue gak mau pulang," ujarku sembari tertawa.

Beberapa kawanku tahu apa yang selalu kucita-citakan. Aku ingin ke Papua. Ingin kudaki seluruh puncak yang ada di Pegunungan Jaya. Ingin kudaki Puncak Sudirman, Puncak Sukarno, Puncak Cartenz Pyramid.

Siapa nyana, sampai kini, Gunung Bundar itulah pendakian terakhirku. Kesibukan yang melanda di daratan lebih mendominasi. Bahkan di waktu liburku, aku harus mengerjakan apa yang tertunda. Tak ada lagi waktu yang cukup bagiku untuk mendaki gunung. Kerinduan itu selalu menggebu ketika aku melihat foto-foto pendakian atau tetiba teringat dengan deru tronton atau bertemu dengan backpack-ku yang selalu menanti di rumah untuk kuajak berkelana.

Tapi percayalah, mimpiku untuk menginjakkan kaki ke Cartenz masih begitu liar. Buas! Aku masih ingin ke sana. Kalau perlu menghabiskan sisa hidup di sana pun, bukanlah masalah besar bagiku. Sebuah kebahagiaan adalah ketika apa yang kita inginkan tercapai.

Om Daniel,

Perjalanan ke Tibet tentu pernah pula menjadi impianku dan sampai kini masih menjadi harapanku. Suatu ketika, aku pun akan menginjakkan kakiku ke sana. Meninggalkan bekas sepatuku di setiap jalannya. Mungkin pula ketika aku pulang, aku sudah membawa setumpuk rekaman perjalananku untuk didokumentasikan dalam bentuk apa. Bisa sama sepertimu, bisa juga tidak.

Petualangan adalah candu, begitu kata Bubin Lantang. Sesungguhnya aku sangat bahagia menjadi insan muda yang pernah berkeliling Pulau Jawa sampai Bali. Aku pernah merasakan bagaimana duduk di kursi pesawat, menghabiskan malam di dalam bus, merasakan getar gerbong kereta yang membawaku, digoncang ombak ketika menaiki perahu. Aveline muda pernah merasakan itu.

Maka, dari banyaknya orang yang pernah menginjakkan kakinya di Tibet, mereka semua pun tentu pasti pernah bermimpi suatu ketika akan berada di Potala, hinggap di kaki Gunung Everest, atau pula akan mendaratkan dirinya sampai ke puncak yang akan membuatnya menjadi manusia tertinggi di dunia. Kau pernah memimpikannya bukan? Aku pun demikian. Mungkin, di luar sana akan ada seribu atau sejuta atau lebih umat manusia yang menginginkannya mendaratkan di Tibet. Kau adalah salah satu yang beruntung.

Perjalanan dimulai ketika mendarat di Thailand, kemudian sampai ke Chengdu, dan pada akhirnya Rooftop of The World. Mengelilingi Nepal sebagai bonusnya dan bertemu dengan teman-teman seperjalanan tanpa pernah diduga.

Ah, aku pernah merasakannya seperti itu meski di tempat yang berbeda, Om. Bertemu dengan orang-orang yang tak pernah kuduga, apa yang akan terjadi di perjalanan, sampai kepada kehabisan uang di tengah jalan. Ha! Kehidupan sesungguhnya memang ada ketika kita berani keluar dari rumah dan mengeksplorasi diri kita seluas-luasnya.

Om Daniel,

Perjalanan adalah sebuah skenario film yang bisa berubah kapan saja tanpa pernah kita kehendaki. Tapi di sanalah letak serunya untuk menjalani hidup seluas-luasnya. Akanlah sangat memalukan bila aku hanya pandai secara intelektual semata, tetapi kepekaanku terhadap dunia sekitar sungguh mati. Perjalanan adalah sekolah yang paling dekat kepada kenyataan hidup. Di sana, kita diajarkan menjadi manusia sejati. Manusia yang tidak manja, manusia yang tidak cengeng, dan manusia yang bisa tersentuh dengan panasnya aspal, dinginnya malam, atau penuh tamparan debu di sepanjang perjalanan.

Ketika keinginan telah tercapai dan kita telah berada di sana, semua menjadi selesai dan berhenti seketika. Terkadang proses untuk mencapai sesuatu acap kali jauh lebih bermakna ketimbang tujuan itu sendiri. - hal 114

Setiap orang harus berani bermimpi karena mimpi itulah yang akan membawanya kepada hari-hari yang lebih diharapkan pada masa lalu. Aku selalu berani untuk tetap bermimpi dan selalu berjuang untuk mewujudkan mimpi-mimpiku dengan berbagai macam caranya tersebut. Benar apa yang dikatakan oleh kakekku, orang-orang muda harus berani bermimpi dan berani juga untuk merealisasikannya. Modal kehidupan nomor wahid adalah bermimpi sebagai tujuan ke mana kelak kita akan melangkah ke depannya.

Om Daniel,

Jangan pernah berhenti bermimpi. Jangan pernah berhenti berbagi. Jangan pernah merasa lelah untuk tetap mengejawantahkan segala mimpi-mimpimu. Dari sanalah, kehidupan selalu bermuara dengan caranya yang dahsyat dan tidak pernah terduga.



Jabat erat selalu,


Bandung, 17 April 2012 | 20.59
A.A. - dalam sebuah inisial




PS: Kalau bukunya cetak ulang, mau ah melamar jadi penyelaras aksaranya. :p

Minggu, 15 April 2012

Perihal: Menunggu Pagi

G,
Begitulah keseharianku: menunggu pagi. Pagi yang utuh bagiku adalah pagi dengan matahari yang ada di langit, dingin yang menusuk-nusuk, dan embun yang masih bersandar mesra di dedaunan. Pagiku sempurna karena setangkup roti dan secangkir kopi tersedia lagi. Pagiku manis karena suara burung yang membangunkanku dengan perlahan. Pagiku indah karena aku bangun kembali untuk menunaikan tugas yang tak pernah usai. Aku tak lantas mengeluh, bukan keinginanku pula untuk hal itu.

Menunggu pagi adalah menunggu dengan baik, mengajarkan sabar kepadaku sampai tiba waktunya.



Bandung, 16 April 2012 | 04.18
A.A. - dalam sebuah inisial

Senin, 09 April 2012

Waktu di Antara Kenyataan

G yang baik,
Pada akhirnya aku memilih untuk mengikuti kenyataan, entah seburuk dan semanis apa. Entah seperih dan segembira mana. Entah sejauh dan sedekat apa. Aku telah memilih untuk menjadi seseorang yang memiliki langkah ke mana harus berjalan di antara kesendirian dan keramaian; mengikuti waktu di antara kenyataan yang tidak lagi dapat ditolak.

Penyangkalan memang bisa membuat kita merasakan sakit sendiri. Lari daripada kenyataan bisa meruntuhkan jati diri yang penuh akan kebimbangan dan penolakan hanya akan membuat kita berpendar pada cahaya yang tidak membutuhkan kita.

G yang baik,
Senantiasa aku memilih langkahku sebagai awal dari hidup yang pasti bisa lebih banyak berharap. Harapanlah yang memberi kita porsi lebih untuk berani menghadapi kenyataan, sepahit apa pun itu.

Doaku selalu,

A.A.



Bandung, 10 April 2012 | 05.58
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 06 April 2012

19.56

entah apa yang menarik dengan angka itu
aku sendiri tidak tahu, tapi aku bergetar
di dalam diam hari ini, kelu bibir
aku menjadi enggan untuk berbicara lebih

kukatakan kepada kawanku tentang digit itu
katanya, ah, sekadar perasaanmu yang bisu
ada pula yang mengatakan hanya menit yang berlalu
tapi tubuhku bergetar ketika aku tahu apa yang ada

kata seorang kepadaku di dalam perjalanan
semakin dewasa, kita semakin takut akan kehilangan
kini aku percaya, sungguh kata-kata itu tak kusangkal
bahkan waktu yang akan berlalu pun aku takut kehilangannya

entah, aku merasa ada yang tidak biasa
dan entah apa pun itu, aku takut dengan kehilangan
seperti manusia dewasa lainnya
atau pula, aku takut untuk kehilangan masa kecil



Jakarta, 6 April 2012 | 20.02
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 05 April 2012

Menunggu Pagi

Menunggu kehilangan malam
Kehilangan gelap yang paling gelap

Menunggu kedatangan pagi
Kedatangan terang yang paling terang

Ada yang datang dan pergi
Seperti apa pun yang telah ada di dunia

Untuk berakhir

Sabtu, 24 Maret 2012

Maserasi Cakrawala

suatu ketika, seperti apa yang diduga
ibarat cengkiak yang tahu akan gula
semua yang tersembunyi tidaklah lagi rahasia
ia akan dibuka dengan caranya yang nyata
pada rahasianya sendiri, pada waktunya

kepercayaan adalah modular yang baik
seperti sampaian yang harus dijunjung
meski mencaduk semua keniscayaan
dan niskala!
hilang dari pemberontakan yang dipercaya akan maukuf
menyegel segala kepatrian iman yang hakiki

tuhan pun tahu apa insan yang inginkan
tak perlu mereka bertindak ala seorang yang merapu
pula mesti berukup untuk sesuatu yang ia tahu
biar ciptaannya tak perlu pondik
bertingkar di zona yang nyaman saja

dan biar cakrawala bermaserasi
guna waktu akan kepercayaan dan rahasia
mereka saling bergandeng




Bandung, 25 Maret 2012 | 07.15
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 18 Maret 2012

Eulogi


Saya rindu, Pak. Saya rindu dengan karisma seorang bapak yang bisa melindungi anaknya. Tapi saya tidak bisa meluapkan rindu itu, karena Bapak tidak bisa melindungi anaknya. Bapak lebih mirip perempuan yang sangat cengeng: curhat di sana-sini.

Saya rindu, Pak. Saya rindu dengan sosok orang tua yang bisa mendampingi anaknya dan tahu cara melengkapi kebutuhan anaknya dalam kesulitan apa pun. Tapi saya tidak bisa meluapkan rindu itu, karena Bapak tidak bisa mendampingi dan melengkapi kebutuhan anaknya. Bapak lebih mirip sapi: mengeluh selalu.

Saya rindu, Pak. Saya rindu dengan orang tua yang tahu caranya melindungi anaknya. Tapi saya tidak bisa meluapkan rindu itu, karena Bapak sudah mencari perlindungan dahulu untuk diri Bapak. Bapak lebih mirip tentara takut mati: kabur sebelum perang. (Eh, Bapak seorang militer 'kan?)

Saya rindu, Pak. Saya rindu dengan acara televisi yang menampilkan Bapak dengan wajah gagah dan tegas untuk berorasi, membakar semangat anak-anaknya. Tapi saya tidak bisa meluapkan rindu itu, karena Bapak sudah melampiaskan curahan hati Bapak dengan gaya feminin. Bapak mirip remaja galau: mengeluarkan sikap cengeng.

Pak, Bapak sudah memilih jalan untuk menjadi siapa. Anak-anakmu pula tahu apa yang harus dituntut dari bapaknya. Mereka tidak meminta rumah yang bermiliaran seperti kediaman Bapak. Cukup bagi mereka rumah yang bisa melindungi dari panas dan hujan. Mereka tidak meminta mobil yang berharga ratusan juta seperti kendaraan Bapak lengkap dengan sopir. Cukup bagi mereka angkot, bus kota, atau sekadar berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lainnya.

Bapak, Bapak membawa nama Bapak kami yang sebelumnya. Bapak Soekarno berat hati untuk menaikkan harga BBM. Bapak Soeharto gundah gulana untuk membebankan harga BBM kepada rakyat. Ya, saya tahu, Pak. Bapak pun berat hati. Tapi kedua bapak saya yang Bapak bawa-bawa namanya itu berani memberikan jaminan hidup yang lebih nyata.

Tiba-tiba saya ingin gerimis air mata. Bapak ternyata begitu lemah. Jaminan hidup untuk anak-anak di hari esok masih berupa tanda tanya. Entah, anak-anak Bapak akankah masih dapat makan esok, berangkat ke sekolah, atau masih bisa melanjutkan hari esok. Bukan rumah, bukan mobil, bukan harta kekayaan Bapak yang kami tuntut. Tapi gerak hati Bapak untuk tidak mengeluh kepada anak-anak Bapak.

Cukuplah anak-anak Bapak mengeluh kepada nasibnya sendiri, padahal Bapak bisa menolong mereka dari lidah Bapak yang sering berkata 'prihatin' itu.






Bandung, 19 Maret 2012 | 09.30
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 14 Maret 2012

Perihal: Waktu

G,

musim kemarau akan segera tiba
hari pun berganti terasa begitu cepat
tetapi biarlah, biar waktu berlari
dan bebaskanlah ia
bila ingin merenggutmu

karena ada kebahagiaan lain menunggu
di tepi waktu yang lain, G
percaya saja untuk hal itu

dan percaya, membuat kita berani menghadapi esok
termasuk kehilangan



Bandung, 15 Maret 2012 | 06.14
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 13 Maret 2012

Gairah kerja adalah pertanda daya hidup. Selama orang masih suka bekerja, dia masih suka hidup; dan selama orang tidak suka bekerja sebenarnya ia sedang berjabatan dengan maut. - Pramoedya Ananta Toer: Rumah Kaca

Perihal: Dua Pertemuan, Tiga Tatap

G yang baik,

Bukankah kita tidak pernah berpikir atau merancang atau mengagendakan suatu pertemuan di awal tahun ini? Sebuah pertemuan telah membuatku berani menentukan pilihan yang seharusnya kuambil. Pada mulanya, kita tidaklah saling mengenal. Pada mulanya, kita bukanlah siapa yang mengerti tentang apa-apa. Tetapi pada akhirnya, kita tidak bisa menyangkal bahwa kita pernah saling kenal, bertemu, sapa, berbagi senyum, dan bertukar tawa.

Pertemuan seringkali dalam wujud yang tidak terduga, tidak bisa menduga-duga seperti kita menerka kapan matahari akan datang. Aku percaya, setelah dua pertemuan yang tersisa sejak hari ini, kita masih akan bertemu lagi entah di mana dan kapan. Kepercayaan yang telah membuatku berani, kepercayaan pula yang telah membentukku untuk siap dan sigap menantang kehilangan. Menantang perpisahan. Menantang epilog yang memang harus terjadi sebagai penutup sebuah perjalanan.

Lalu, ada janji yang pernah kusimpan diam-diam di lubuk hati ketika aku tahu terlalu banyak tentang kamu. Percayalah, aku tetap setia untuk menyimpannya di dalam wujud rahasia. Meskipun prinsipku tetap sama: aku lebih bahagia untuk tidak mengetahui apa yang seharusnya tidak kuketahui. Sikap itu kurasakan berubah, tapi aku tidak dapat memungkirinya. Membiarkannya tetap menjadi sebuah rahasia. Selalu kucoba untuk bersikap biasa saja, apa adanya. Aku coba untuk mengabaikan rahasia yang terbongkar itu, yang membuatku menganga sendiri. Tak percaya dengan apa yang telah terjadi.

G yang baik,

Setiap orang memiliki rahasianya sendiri. Seperti langit yang diam-diam memiliki misteri yang tidak bisa diungkap begitu saja. Semakin bertumbuh besar, seseorang akan memiliki tabir rahasia yang berlimpah. Biar saja berbagai tabir itu tersimpan rapi sebagai rahasia yang harus kamu jaga sampai kelak menutup mata. Bila rahasia itu terbongkar, mungkin memang saatnya ia tidak lagi terjaga sebagai sebuah rahasia.

Dan tetaplah percaya kepadaku, rahasiamu tetap kupegang erat sebagai rahasia.

G yang baik,

Pada akhirnya, kita harus siap dengan bentuk perpisahan bagaimanapun bentuknya. Hari ini merupakan salah satu pertemuan yang kunantikan dan akan kurindukan kelak. Tersisa satu pertemuan lagi yang kurasa bisa saja tidak bisa terwujud karena suatu hal yang tak terprediksi. G, aku akan selalu pulang ketika aku memang butuh pulang. Tapi bukan di hatimu aku akan berlabuh untuk pulang. Ia hanyalah dermaga sesaat. Dermaga yang ingin melepaskanku dari penat sesaat. Pulang yang sesungguhnya adalah ke hati yang kumiliki sendiri. Pulang yang sesungguhnya adalah ketika hati memang selalu merasakan hal yang paling nyaman.

Terima kasih untuk berbagi cerita. Terima kasih untuk berbagi cerita, canda, tawa, dan ilmu yang bisa saja terlupa dari bangku sekolah. Terima kasih telah mengisi hari-hariku setidaknya sepekan kita pernah berpapas wajah sekadar untuk bertukar senyum.

Dan itu, akan kurindukan kelak.





Bandung, 14 Maret 2012 | 06.38
A.A. - dalam sebuah inisial

Senin, 12 Maret 2012

Perihal: Cinta

Manusia butuh rasa cinta untuk menetralisir segala beban kebencian yang dipikulnya, yang mendera dirinya, mencabik-cabik hatinya, dan bisa membuatnya bernanah karena waktu tidak bisa mengobatinya dengan bijaksana.


Sabtu, 10 Maret 2012

Filosofi Kopi

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Dewi Lestari
Kali pertama saya membaca Filosofi Kopi ketika tahun 2007. Setahun setelah buku ini dianugerahkan sebagai Karya Sastra Terbaik 2006 oleh Majalah Tempo. Setahun setelah buku ini terbit dan dicetak ulang berkali-kali. Dan beberapa menit sebelum teman saya yang akan berangkat untuk berpisah datang menjumpai saya untuk berdiskusi kecil.

Kali kedua saya membaca Filosofi Kopi ketika lima tahun yang lalu kali pertama saya membacanya. Enam tahun buku itu dianugerahkan sebagai Karya Sastra Terbaik 2006 oleh Majalah Tempo. Enam tahun setelah buku ini terbit dan dicetak ulang berkali-kali dan akhirnya berganti penerbit. Dan enam tahun sebelum teman saya yang akan berangkat untuk berpisah datang menjumpai saya untuk berdiskusi kecil.

Dan ini adalah kali kedua saya harus meresensi buku ini. Ada kewajiban yang tersisa setiap kali mengakhirinya. Ada tugas yang sesungguhnya ditinggalkan pada lembaran terakhir dari buku ini: menuliskan kisahnya lagi. Tentu saja, akan ada sesuatu yang bisa saya bagikan dari hasil saya membaca buku ini untuk kali kedua.

Nyatanya, rasa tidak pernah bisa berbohong. Itu frase yang digunakan oleh salah satu iklan kecap di televisi. Dan saya tidak bisa membohongi diri saya sendiri bahwa saya telah jatuh hati kepada buku ini. Sejak 2007, sejak 2012.

Membaca cerpen Dee adalah membaca dongeng. Itu yang selalu saya rasakan. Seakan-akan yang ia ceritakan adalah hal yang sepele, tetapi dengan duga-duga yang bisa saja mengejutkan pada akhirnya. Ada pula prosa-prosanya yang terasa dekat dan lekat di dalam pembendaharaan katanya yang cukup dahsyat.

Saya tidak berubah dengan pikiran saya. Membaca buku ini terasa deja vu. Sangat! Tersibak kembali soal menunggu dan menghabiskan buku ini, terasa sekali kedekatan saya dan sahabat yang ditunggu itu di dalam zona jarak. Sahabat saya itu pun berangkat dengan bekal buku ini di perjalanannya. Buku yang saya beli bersamaan dengan buku yang saya berikan kepada sahabat saya itu telah berpindah tangan kepada yang lain. Maka, buku penggantinya pun sudah ada meski dengan sampul yang berbeda dan nyatanya kemasan tetap sama yang semakin membuat saya pernah berada di suatu masa.

Bagi saya, Filosofi Kopi memberikan kesan yang baik untuk pembacanya bahwa di dunia ini hanyalah mencari dan menemukan, mencipta dan mempertahankan. Semanis apa pun kopi, ia akan selalu meninggalkan sisi pahit. Seperti itulah manusia yang sebenarnya. Segembira apa pun seseorang, ia akan mengecap kenestapaan.

Seindah apa pun huruf terukir, dapatkan ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?

Membaca Dee untuk saya tidak perlu berpikir dua-tiga kali untuk memahami inti kalimatnya. Meskipun bersajak-bermajas, saya bisa menikmatinya dengan cara saya sendiri. Baik dengan sudut pandang manusia sampai sudut pandang seekor kecoak. Membacanya selalu membuat saya tersenyum atau bersimpati dengan tokoh-tokohnya.

Adalah hal yang menyenangkan bila Dee menerbitkan salah satu karya agungnya ini. Dan terima kasih untuk membuat saya kembali teringat kepada sahabat saya itu.



Jakarta, 10 Maret 2012 | 21.28
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 06 Maret 2012

Segenggam Mimpi

cuma soal keberanian untuk mewujudkannya
ditambah pula dengan perjuangan untuk mengejawantahkannya
itu, sangat cukup

Senin, 05 Maret 2012

[Resensi] 'Menuju Timur' dari Rike Jokanan


http://rikejokanan.multiply.com/reviews/item/13/MENUJU_TIMUR_Aveline_Agrippina_Tando
Oleh: Rike Jokanan

MENUJU TIMUR


Buku ini sudah saya tunggu terbitnya sejak lama. Bahkan saya bisa dibilang berjasa karena saya tidak bosan-bosan ngoprak-oprak (mengingatkan dengan semangat, Bahasa Jawa) si penulis untuk sesegera mungkin menelorkan karyanya. Ada saja alasannya: yang naskahnya kebakar bareng hard disk lah, yang sibuk lah, yang ini lah, yang itu lah…

Ok, buku ini jelas diluar dugaan saya. Saya berpikir akan menemukan cerita panjang berbentuk prosa. Ternyata buku ini berisi puisi-puisi dan nukilan-nukilan kata yang saya yakin pasti diharapkan penulisnya menjadikannya abadi.

Saya penyuka puisi walau tak pernah merasa akurat mengupas puisi. Puisi Aveline kadang bisa saya pahami kadang tidak. walau begitu puisi yang menurut saya dapat dipahami dengan mudah bukan jaminan kupahami secara tepat.

Dari sekian banyak ada satu yang sangat berkesan di hati yaitu sebuah kata bijak Aveline di halaman 45 yang bunyinya sebagai berikut:

Membaca adalah anugrah yang biasa.
Memahami bacaan adalah anugrah yang luar biasa.

Saya suka membaca tapi mungkin kemampuan saya hanya membaca dalam artian merangkai huruf menjadi kata, kata menjadi kalimat yang bermakna, namun makna yang saya tangkap hanya sekedar permukaan luar saja. Anggapan saya jika membaca tak mendapatkan makna yang lebih dalam maka itu belum membaca dan itulah yang membuat saya MALAS menulis review buku. Keinginan saya tentunya bisa memahami bacaan dan dua larik kalimat tentang membaca di buku Ave sangat menohok batin saya.

Satu lagi yang menjadi perhatian saya adalah puisi berjulul Boarding. Saya ingat benar ini adalah judul novel Ave yang naskahnya terbakar di hard disk komputer dia dan batal terbit hingga sekarang.

Ada satu lagi puisi yang berjudul Pagi di Ciumbuleuit. Isinya membuatku bersemangat menjalani hari karena isinya menceritakan seseorang (saya rasa ini Ave karena dia mondok di daerah Ciumbuleuit) yang kesepian di pagi hari lalu menemukan makna hidup di siang dan sore hari karena memang hidup ini tak bisa berhenti baik sendiri maupun ramai-ramai. Tapi ada satu kalimat yang menurut saya agak aneh: keringat siap berpeluh. Apa maksudnya ini? Masa kan keringat berpeluh? Bukankah keringat adalah peluh itu sendiri?

Yah begitu saja review saya. Sederhana sesuai dengan pemahaman saya terhadap tulisan Ave yang dalam tapi tak menjemukan. Semoga bermanfaat sebagai semacam bocoran tentang buku ini.

seperti janjiku,
aku akan tetap belajar

Terima kasih Ave, telah mengingatkanku untuk tetap membaca, belajar dan bersemangat dalam hidup seberat apapun beban itu kurasa…

Tangerang – 5 Maret 2012 – 9:09 malam

Kamis, 01 Maret 2012

If I Could Be Where You Are

Where are you this moment
Only in my dreams
You're missing, but you're always
a heartbeat from me.

I'm lost now without you.
I don't know where you are.
I keep watching,
I keep hoping,
but time keeps us apart.

[chorus]
Is there a way I can find you?
Is there a sign I should know?
Is there a road I could follow,
to bring you back home?

Winter lies before me,
Now you're so far away
In the darkness of my dreaming
The light of you will stay

If I could be close beside you,
If I could be where you are,
If I could reach out and touch you,
And bring you back home.

[chorus]
Is there a way I can find you?
Is there a sign I should know?
Is there a road I could follow,
to bring you back home?

To me...



- Enya

Rabu, 29 Februari 2012

Menggenggam Dunia

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Biographies & Memoirs
Author:Gol A Gong
Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara, karena bila jurnalisme bersumber dari fakta, maka sastra bersumber dari kebenaran. ... Kebenaran bisa sampai apapun bentuknya. Bagi saya, dalam bentuk fakta maupun fiksi, kebenaran adalah kebenaran - yang getarannya bisa dirasakan setiap orang. - Seno Gumira Ajidarma

Membuka halaman pertama dari buku Gol A Gong ini membuat saya sempat ragu apakah saya akan berpikiran sama dengan apa yang dituliskannya. Ia menuliskan bahwa dirinya sendiri pun ragu apakah Menggenggam Dunia harus diterbitkan sebagai autobiografi dari dirinya. Apa kata orang setelah membaca buku ini? Mengecap dirinya sebagai penulis yang narsis dan angkuh? Mengecap dirinya tak berbeda dengan penulis yang membanggakan hasil kerjanya sendiri.

Nyaris saya tutup buku ini. Sudah dapat dipastikan kalau buku ini akan saya tutup dan enggan saya baca kalau bukan sedang menunggu di depan Ruang Radiologi RS Borromeus nyaris empat jam dan saya sudah membawa buku bacaan lain selain Menggenggam Dunia ini karena Gol A Gong menuliskan tentang kepercaya-diriannya untuk menggenggam dunia lewat Rumah Dunia hanya untuk mewujudkan mimpinya yang dianggap sebagian orang adalah mimpi yang konyol.

Tapi, pada akhirnya, saya habiskan juga buku ini selama enam hari. Tepat di hari terakhir bulan Februari yang kabisat ini, saya menuliskan resensi saya untuk kali pertama di tahun ini. Ha! Silakan ditertawakan betapa malasnya saya untuk menulis resensi.

Membalik halaman demi halaman, hampir habis separuh buku ini saya baca ketika menunggu tersebut. Sisanya, saya baca beberapa halaman sebelum tidur atau pagi sebelum berangkat mengikuti kuliah. Berselingan dengan buku lainnya yang saya baca. Dan saya pun candu. Gol A Gong patut menuliskan buku ini sebagai sebuah peringatan bahwa negeri ini masih butuh bacaan.

Ketidakpedulian pemerintah terhadap keberadaan literasi terungkap jelas dengan rincian yang (seharusnya) bisa dibuktikan. Gol A Gong -secara tidak langsung- menjadikan buku perjalanannya membangun Rumah Dunia dengan kata-kata sebagai pondasi dan dindingnya ini menjadi sebuah laporan betapa 'korupsinya' pemerintahan di mana Rumah Dunia berdiri dan menjadi sebuah petaka apabila pemerintah hanya memperhatikan hal-hal yang sifatnya tidaklah begitu penting bila mereka tidak memperhatikan bahwa Banten bisa menjadi provinsi yang malas membaca. Gol A Gong melakukan pergerakan untuk itu.

Dikisahkan pula mengapa Gol A Gong berani memutuskan untuk menjadi penulis, menghidupi Tias Tatanka, keempat anaknya, dan Rumah Dunia. Siapa bilang menjadi penulis tidak dapat hidup? Penulis serial Balada Si Roy ini telah membuktikannya. ia pun mengisahkan juga bagaimana ia bisa candu untuk berjalan-jalan dan melahirkan Balada Si Roy, nekat menikahi Tias, dan perkembangan Banten dengan keberadaan Rumah Dunia.

Jangan lupa, jadikan alam sahabatmu; pantai, sungai, gunung, fajar, senja, angin, hujan, laut. Dari sana kamu akan menemukan arti kehidupan sesungguhnya." - hal. 62

Kupikir Gol A Gong patut mendapatkan apa yang telah ia lakukan dan perjuangkan selama ini. Ia patut mendapatkan Rumah Dunia, rumah yang selalu diimpikannya sejak kecil. Kini, mimpi itu tergapai. Bangunan di Komplek Hegar Alam, Serang, tersebut sudah terbangun sedikit demi sedikit. Dari berbagai bantuan, dari berbagai kucuran dana, dari setiap tetes darah Gol A Gong dan Tias Tatanka. Gol A Gong dan Tias boleh berbangga di sebelah rumahnya untuk tinggal ada rumah lain untuk membuat Banten lebih bertumbuh besar dan dewasa lewat bacaan dan media lainnya.

Kupikir terlalu berlebihan Gol A Gong itu di dalam kata pengantarnya. Ia bukanlah penulis yang angkuh, yang membangga-banggakan prestasinya dalam membangun Rumah Dunia. Ia hanya bercerita apa adanya. Ia telah berhasil menggenggam dunia dengan caranya sendiri, dengan mimpinya sendiri, dengan perjuangannya sendiri. Ia mengungkapkan apa yang jarang ditulis di dalam media massa. Ia mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya ketika jurnalisme tidak bisa menuliskannya.

Adalah hal yang tepat -kupikir- bila aku mencantumkan kutipan dari Seno Gumira Ajidarma itu sebagai prolog dari resensiku terhadap buku ini. Gol A Gong akan semakin kuat dengan bukti-bukti tersebut bila ia berani memasukkan artikel atau sekadar cuplikan atau kutipan dari apa yang telah dipublikasikan kepada media massa, terutama di bagian-bagian yang berbau dengan ketidakpedulian pemerintah itu.

Kini, Gol A Gong telah menggenggam mimpinya, menggenggam dunianya. Rumah Dunia menjadi bukti bahwa mimpi masa kecil yang dibangun dalam pikirannya bisa berdiri di halaman rumahnya di kota yang selalu dinantikannya untuk bergerak lebih baik.


Bandung, 29 Februari 2012
A.A.- dalam sebuah inisial



PS: Kalau buku ini cetak ulang, berani kusarankan kepada Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) untuk melakukan penyelarasan aksara berkali-kali terhadap buku ini. Maka, penilaian terhadap buku ini pun kuturunkan dari empat menjadi tiga karena untuk penerbit sebesar KPG, aku keberatan menemukan kesalahan eja yang banyak.

Epilog Februari

Kita akan berjumpa lagi
Di tahun mendatang, di tahun yang istimewa
Untuk sekali lagi perjalanan yang mahamanis

: terima kasih selalu




Bandung, 29 Februari 2012 | 16.19
A.A. - dalam sebuah inisial

Senin, 27 Februari 2012

Secarik Surat yang Tak Ditunggu

Kepada kamu,

 

Memang benar kalau seseorang yang sudah jatuh cinta, semua terasa indah. Bahkan sampai kopi yang rasanya pahit pun tetap dikecap manis, bunga yang layu pun tetap terlihat segar, dan masakan yang seperti makan garam di lidah tetap gurih di hati. Mereka yang pernah jatuh cinta adalah orang yang gila.

Aku pernah jatuh cinta. Kepada lelaki yang tak pernah menantikan kedatangan surat ini. Lelaki yang pernah menjadi teman seperjalananku. Hei, apa kabarmu kini? Masih suka bermain gitar dengan kunci G? Sudah berapa lagu yang kamu bisa sejak kita tak lagi bersua? Terakhir kuingat ada 23 lagu yang sudah kamu mainkan dalam kunci G.

Sebentar. Aku coba menebak isi kepalamu. Ah, pasti kamu sedang bertanya-tanya untuk apa aku mengirim surat ini kepadamu ‘kan? Aku juga tak tahu harus menjawab apa pertanyaanmu. Surat ini tertulis dengan sendirinya. Dirawi di luar kendaliku. Aku tak bisa menghentikannya, tapi aku menikmatinya. Kuharap juga kamu menikmatinya seperti aku menuliskannya sambil mengenang jutaan detik yang kita lalui bersama yang pada akhirnya kita memang harus tak menjadi satu.

Tak semua harus menjadi satu, aku masih teringat dengan katamu.

Dan kita memang tidak bisa bersatu, masih kamu ingat dengan kataku?

Ya, tak selamanya harus menjadi indah. Kadang juga harus ada air mata.

Kalau mengingat masa-masa dulu, lucu juga. Hujan-hujanan di atas motor tuamu yang mogok. Meski kamu selalu mampu membeli motor yang harganya berkali-kali lipat dari motor yang sering batuk-batuk saat di-starter, tetap kamu memilih motor tua itu. Juga ketika ada di laboratorium fisika, kamu selalu bingung membedakan rangkaian paralel dan rangkaian seri walau sudah berkali-kali kugambarkan di papan tulis.

Semua cerita itu masih ada di album tua yang kutemukan saat aku hendak pindah ke Jakarta. Memang, aku menyimpannya khusus di kotak kado itu. Bersama dengan semua benda pemberianmu. Aku tetap menyimpannya rapi.

Harus kuakui, awal pertama berjumpa denganmu, aku memang berdebar-debar. Seperti debaran yang sama saat aku menuliskan surat ini kepadamu. Kalau aku tahu kamu membuka dan membacanya, mungkin debarannya akan semakin membuncah.

Ini soal rasa rindu. Kamu tahu?

Harus kuakui, kali terakhir bersua denganmu, aku menangis. Mataku sembab. Meski aku tahu bahwa kita memang tidak akan bertahan lama, tetap saja air mata selalu membelah pipiku. Ia selalu melanggar perintahku agar tidak turun membasahi pipiku yang selalu dilapisi bedak. Kamu tak pernah tahu soal ini. Ya... aku memang sengaja menahan semua rasa sakit di depanmu. Seolah-olah tak terjadi apa-apa di antara kita. Aku tak mau terlihat cengeng di hadapanmu. Aku tak mau kamu mengatakanku gadis manja seperti sebelumnya di akhir pertemuan kita.

Kini aku menjadi perempuan yang mandiri sejak kita berpisah tiga tahun lalu. Tapi yang tetap sama adalah rambut yang panjang sebahu tak kupotong. Seperti katamu, aku terlihat manis kalau dengan rambut yang digerai dan berkibas di bahu. Kalung yang kamu berikan kepadaku juga masih kusimpan. Iya, kini leherku sudah berhias kalung yang lain. Pemberian laki-laki lain. Tapi bukan berarti aku lupa dengan pemberianmu.

Sekali lagi, apa kabarmu? Malam ini aku mengenang semua cerita kita. Canda kita, tawa kita, air mata kita, duka kita, dan cinta kita.

Aku, perempuan yang pernah mengisi relung hatimu yang kosong. Kemudian meninggalkannya setelah negosiasi di antara kita yang sebenarnya tak bisa kukatakan indah. Selalu mengganjal di hatiku sampai hari ini. Aku lupa mengucapkan tiga kata ajaib: maaf, tolong, terima kasih.

Sepele? Tentu. Tapi maknanya luar biasa.

Tak percaya? Ya ini buktinya. Surat yang sedang kamu hadapi ini.

Aku selalu kesulitan mengucapkan kata itu, terutama kepada kamu. Maka sampai saat kita berjumpa untuk yang terakhir, aku tetap tak bisa mengucapkannya.

Mungkin lewat ini, aku hanya mampu.

Maaf. Jika aku mencintai laki-laki lain selain daripadamu. Kemudian kamu merelakan aku untuk bahagia dengannya. “Dan memang aku tidak bisa membahagiakanmu selain daripada melepaskanmu untuk pergi dengannya, menjalankan kehidupan yang lebih realistis. Ini adalah cara untuk membuatmu merasa cukup.” Setiap kuingat katamu, bendungan air di mataku pecah. Di mana pun keberadaanku, aku pasti menangis. Bahkan aku pernah menangis di depan laki-laki lain yang tak lama lagi akan menjadi milikku seutuhnya.

Tolong. Bila memang kita tidak dapat bersatu, tolong maafkan aku. Untuk semua kesalahanku. Tak bisa kukatakan itu adalah sebuah khilaf. Cinta membuat seseorang menjadi buta, bukan hanya gila. Membuat kita bisa tertawa, menjadi orang yang paling bahagia di dunia ini. Membuat kita bisa menangis, menjadi orang yang paling malang di dunia ini. “Tolong lupakan aku dan bahagialah dengan dia. Ini menjadi bahagiaku juga yang berasal darimu.” Kata-katamu masih ada di dalam catatan harianku. Kutulis beberapa menit kemudian setelah kita tak pernah bertemu lagi.

Terima kasih. Terima kasih untuk jalan yang pernah kita jalani bersama, waktu yang pernah kita putar bersama, langkah yang pernah kita tapaki bersama, kata yang pernah kita ucap bersama, cerita yang pernah kita dongengkan bersama, cita yang pernah kita mimpikan bersama, lagu yang pernah kita lantunkan bersama, dan samua yang pernah kita semuakan bersama. “Terima kasih untuk kebersamaan yang indah.” Kata-kata itu, ia memang berlalu dibawa angin, tapi tidak untukku.

Ini hanya soal rindu, rindu aku kepadamu. Apakah kamu merasakan hal serupa?

 

Seorang yang pernah mencintaimu,

 

A, pemujamu sampai kini.





*) untuk sebuah proyek yang selalu ditunggu dengan senyum :-)