Jumat, 26 November 2010

Satu Sudut, Tiga Pandang

pandang pertama...

 

semua orang sibuk dengan dirinya sendiri. genggaman telepon, jemari yang menari di catatan digital, diskusi dengan kawannya, dan hanya duduk diam sembari mengetuk meja dengan jemari. ada kebutuhan dan kesibukan orang-orang dari sini. tak ada yang saling peduli, hendak apa di sebelahnya. juga aku, mungkin aku tak peduli dengan apa yang orang di sebelahku melakukan apa. meski aku tahu mereka sedang sibuk dengan makalahnya dan aku sibuk merawi catatan ini.

 

ya, aku tahu, aku sedang sibuk menunggu sebenarnya.

 

pandang kedua...

 

meski tak saling peduli, tapi semua orang di tempat ini saling memperhatikan apa yang terjadi. mereka melirik, mendelik, atau menontoni aktivitas sesama yang duduk di tempat ini. kemudian mereka kembali sibuk dengan aktivitasnya yang tadi sembari menunggu. ah, semua orang di sini pasti menunggu - pikirku. sebagaimana juga aku menunggu. mungkin yang ditunggu adalah hal yang berbeda.

 

ya aku tahu, aku sedang sibuk menunggu sebenarnya.

 

pandang ketiga...

 

orang yang kutunggu tak jua datang. hubungan komunikasi masih lewat jaringan seluler. ah, kamu takut sendirian? - sindir nurani. aku hanya tertawa kecil, meledeknya saja. toh aku juga tak peduli kapan yang kutunggu itu datang. semua orang di sini menunggu, bukan? hanya kami sibuk menunggu siapa dan siapa.

 

ya aku tahu, aku sedang sibuk menunggu sebenarnya.

 

menunggu waktu agar menjadi malam.

dan catatan ini menjadi tiga pandang dari satu sudut, di mana aku duduk di sini.

 

 

 

starbucks cp, 27 November 2010 | 12.40
A.A. - menanti gerombolan siberat :-)

Kamis, 25 November 2010

Aku Hanya Ingin Menjadi Peluru

aku hanya ingin menjadi pembunuh

itu saja

 

mungkin granat yang kulemparkan

hanya membuat dosa hitam di depan lapangan tembak

dan kau hangus di dalamnya

 

mungkin pula pisau yang kutusukkan

hanya membuat kau geli meski ususmu berjejal di jalan

dan kau dilihat jijik orang

 

mungkin pula gas air mata yang kusemprotkan

hanya membuat kau puas bersedu sedan

dan kau ditertawakan anak kecil

 

mungkin pula racun yang kutaburkan

hanya membuatmu menikmati makanan yang kusajikan

dan kau belum pulalah mati

 

aku hanya ingin menjadi pembunuh

itu saja

 

 

aku hanya ingin menjadi peluru

hanya ingin menjadi peluru

ingin menjadi peluru

menjadi peluru

peluru

 

 

peluru yang dapat membuatmu merasakan nyaman

peluru yang dapat mengurangi rasa sakit

peluru yang dapat merenggut nyawamu pelan

 

aku hanya ingin menjadi peluru

hari ini

yang bersarang mesra di dadamu

yang melubangi hatimu

 

aku hanya ingin menjadi peluru

hanya ingin menjadi peluru

ingin menjadi peluru

menjadi peluru

peluru

 

peluru

 

pelu... ru. Uh!

 

 

 

 

 

 

Jakarta, 14 November 2010 | 6.24
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 19 November 2010

Melawat Pagi

partitur di telapak jalan
musim membawa daun menjadi gugur
aku cuma ingin mendambamu lewat lawat pagi
meski lewat topi yang kau letakkan
di terban selasar ilusi yang tak lagi kejur

segala asa yang dibangun
hanya bisa kau diktekan kepada anakmu
bagaimana seorang bertongkat
berani untuk mencintaimu
mengabaikan satir yang mencambuknya
dan cinta itu terlalu obsolet...
obsolet sekali.






Jakarta, 19 November 2010 | 20.20
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 13 November 2010

Batas Angan dan Cita-cita

Mari kita berbicara!

Apa yang menjadi batas antara angan dan cita-cita hari ini, kemarin, esok, lusa, atau kapan pun itu semua?

Terlalu subyektif untuk mencari parameternya karena tentulah setiap orang memiliki persepsinya masing-masing.

Lalu apa yang menjadi satu landasan untuk mengatakan bahwa inilah cita-cita yang pernah kita cita-citakan?

Kemudian, bagaimana kita mewujudkannya? Apakah sekadar pemanis hidup atau memang sebagai angan yang terbang bebas dan berpindah-pindah seperti elektron?

Mari kita berbicara!



Jakarta, 14 November 2010 | 7.03
A.A. - dalam sebuah inisial

Malam ini, Semanggi tak lagi seperti 12 tahun lalu. Tak ada lagi simbahan darah, juga tak ada lagi desing peluru. Bayi di bawah jembatan pun dapat nyenyak terlelap malam ini.

Minggu, 07 November 2010

Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon

inilah sajakku
seorang tua yang berdiri di bawah pohon meranggas
dengan kedua tangan kugendongt di belakang
dan rokok kretek yang padam di mulutku

aku memandang jaman
aku melihat gambaran ekonomi
di etalase toko yang penuh merk asing
dan jalan – jalan bobrok antar desa
yang tidak memungkinkan pergaulan
aku melihat penggarongan dan pembusukan
aku meludah di atas tanah

aku berdiri di muka kantor polisi
aku melihat wajah berdarah seorang demonstran
aku melihat kekerasan tanpa undang – undang
dan sebatang jalan panjang
penuh debu
penuh kucing – kucing liar
penuh anak – anak berkudis
penuh serdadu – serdadu yang jelek dan menakutkan

aku berjalan menempuh matahari
menyusuri jalan sejarah pembangunan
yang kotor dan penuh penipuan
aku mendengar orang berkata :

"hak asasi manusia tidak sama di mana-mana
di sini, demi iklim pembangunan yang baik
kemerdekaan berpolitik harus dibatasi
mengatasi kemiskinan
meminta pengorbanan sedikit hak asasi"

astaga, tahi kerbo apa ini !!

apa disangka kentut bisa mengganti rasa keadilan ?
di negeri ini hak asasi dikurangi
justru untuk membela yang mapan dan kaya
buruh, tani, nelayan, wartawan dan mahasiswa
dibikin tidak berdaya

o, kepalsuan yang diberhalakan
berapa jauh akan bisa kau lawan kenyataan kehidupan

aku mendengar bising kendaraan
aku mendengar pengadilan sandiwara
aku mendengar warta berita
ada gerilya kota merajalela di eropa
seorang cukong bekas kaki tangan fasis
seorang yang gigih, melawan buruh
telah diculik dan dibunuh
oleh golongan orang – orang marah

aku menatap senjakala di pelabuhan
kakiku ngilu
dan rokok di mulutku padam lagi
aku melihat darah di langit
ya ! ya !
kekerasan mulai mempesona orang
yang kuasa serba menekan
yang marah mulai mengeluarkan senjata
bajingan dilawan secara bajingan
ya!
inilah kini kemungkinan yang mulai menggoda orang
bila pengadilan tidak menindak bajingan resmi
maka bajingan jalanan yang akan mengadili
lalu apa kata nurani kemanusiaan ?
siapakah yang menciptakan keadaan darurat ini ?
apakah orang harus meneladan tingkah laku bajingan resmi ?
bila tidak, kenapa bajingan resmi tidak ditindak ?
apakah kata nurani kemanusiaan ?

o, senjakala yang menyala !
singkat tapi menggetarkan hati !
lalu sebentar lagi orang kan mencari bulan dan bintang – bintang !

o, gambaran – gambaran yang fana !
kerna langit di badan tidak berhawa
dan langit di luar dilabur bias senjakala
maka nurani dibius tipudaya

ya ! ya !
akulah seorang tua !
yang capek tapi belum menyerah pada mati
kini aku berdiri di perempatan jalan
aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing
tetapi jiwaku mencoba menulis sajak
sebagai seorang manusia


W.S. Rendra - Potret Pembangunan dalam Puisi

7 November 1935 - 7 November 2010

Sabtu, 06 November 2010

Kepergian Seorang Penyair


tak lagi kudengarkan asamu, hai penyair
tak juga berhembus asap dari mulutmu
melepas hari demi hari dengan aksara
lanyau di mejamu hanyut diombang waktu

jingga langit mengantar memendam jasadmu
meski puisi masih bergayung di mesin percetakan
kobar namamu tak dipadamkan badai

apa? kamu masih ingin menulis
yang benar saja dirimu itu, hai penyair
apa Tuhan menyediakan kertas dan pena?
atau mesin tik yang terbaru?
atau pula komputer yang mengerti isi otakmu?

hatif dari rantai bergema mencambuk huruf yang nakal
enggan untuk diam, aku tahu itu ulahmu, hai penyair
mengapa kau masih enggan untuk menerima mati
jasadmu sudah disadap tanah, bung penyair

ha? kau mengatakan aku hanya suka bercerabih?
hai penyair, sampai kapan kau menolak mati?
sudahlah, kau sudah mati, penyair!


tapi, kamu masih berpuisi di surga 'kan?





Jakarta, 7 November 2010 | 12.43
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 04 November 2010

Cerita Tentang Kehilangan

Jakarta, 4 November 2010

Tak lagi dapat kupungkiri bahwa aku memang kehilanganmu. Kehilanganmu memang seperti kehilangan matahari di mana aku tak menemukan cahaya yang dapat melepaskan kegulitaan daripadaku. Meski semua hari berlari begitu cepat, melepaskanmu untuk pergi berlalu meninggalkanku seperti angin. Ia berhembus datang, bermain-main sedetik, kemudian pergi lagi. Walau sekuat apapun kita melawan, toh pada akhirnya kita juga harus menerima.

Bahwa kita tak akan pernah menemukan perjumpaan tanpa adanya perpisahan, seperti juga kelahiran tanpa adanya kematian. Jugalah seperti kata orang Jepang bahwa semua harus seimbang seperti Yin dan Yang. Mau sepeti apa kita melawan, toh kita juga akan kembali mengikuti arus. Percaya atau tidak, buktikan saja.

Malam ini aku kehilanganmu. Betapa jujurnya aku bukan? Ini bukan hal yang mudah untuk diterima tetapi mudah untuk kau mengerti bagaimana aku mendapatkan bahagia selama ini.

Mungkin hari ini aku bahagia, tapi semu. Tapi apakah aku menyadarinya? Aku tak tahu juga. Aku sendiri masih larut dalam kehilanganmu, di mana letak kebahagiaanku tertambat dalam jatimu.




20.44
A.A.- dalam sebuah inisial