Jumat, 27 Juli 2012

Di Lorong Kereta

ada mereka yang berlalu begitu saja
menumpang lewat tanpa permisi
senja berlalu, bersama kereta melaju
dan waktu tersibak di dalam kaku


Jakarta, 27 Juli 2012 - 18.41

A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 26 Juli 2012

27 Juli, Enam Belas Tahun yang Lalu


 

Oleh: Aveline Agrippina


Seharusnya Jalan Diponegoro masih dalam keadaan tenang pagi itu. Sabtu, 27 Juli, enam belas tahun yang lalu menjadi bagian yang tidak boleh dilupakan di dalam catatan kelam Indonesia. Menteng mendadak berubah menjadi berdarah, Jakarta berubah menjadi beringas; ada tangis yang didengar, ada emosi untuk mempertahankan kekuasaan, ada yang harus mengorbankan apa pun, ada yang hanya bisa menerima kejadian ini semata.

Peristiwa ini menjadi noda hitam untuk pemerintahan Soeharto, pemerintahan Megawati, dan Indonesia. Ketika kekerasan menjadi jalan keluar untuk menembus zona politik dan mempertahankan kedudukan dengan keras kepala dan otoriter, di saat itu pula ada yang harus menerima kematian, ada yang dipenjarakan, ada yang diadili tanpa duduk perkara yang jelas. Ada yang mesti dikorbankan dari setiap peristiwa. Mengingat kembali Peristiwa Kudatuli adalah kembali mengorek luka yang belum sembuh di tubuh Indonesia. Ada yang harus diusut dari awal terjadinya, ada yang harus ditindaklanjuti dari segala duduk perkara, dan harus ada yang diadili apabila pemerintah masih teguh menomorsatukan hak asasi manusia di Indonesia.

Memang mengingat kembali Kudatuli bukan sekadar menuntut hak, tetapi kewajiban setiap warga negara untuk menagih kebenaran terhadap rekaman hitam Indonesia. Di dalamnya ada tugas yang harus diemban oleh pemerintah untuk menjawab sebenarnya apa yang terjadi, apa tujuan penyerangan tersebut, dan siapa aktor di baliknya. Di dalamnya ada tugas yang diwariskan kepada rakyat untuk selalu memperingatkan pemerintah bahwa Indonesia tidak bisa lupa untuk menuntaskan tragedi kemanusiaan itu. Memang harta yang sudah dimusnahkan dan nyawa yang sudah melayang tidak lagi dapat kembali, tetapi menyelesaikan perkara yang digantung selama enam belas tahun bisa mengeringkan sedikit luka yang ditanggung oleh mereka yang menjadi korban politik kekuasaan dan otoriter.

November 2012, kepada pers A. M. Fatwa mengatakan Kudatuli bisa saja diungkap, tetapi bukanlah sekarang. Alasan bukan sekarang tersebut didefinisikannya karena ada pelaku di balik penyerangan itu yang masih berkuasa. Terselip alasan politik dan kekuasaan yang diperhalus untuk memperlambat proses pengungkapan Kudatuli di saat yang terjadi sudah seharusnya terjawab. Membiarkan para aktor bermain secara bebas di lapangan pemerintahan adalah mempertahankan kejahatan. Membiarkan kejahatan berada adalah kekejian.

Pernyataan A. M. Fatwa boleh saja dibenarkan mengingat salah satu orang yang sering disebut-sebut berperan penting terhadap Kudatuli masih memegang jajaran tertinggi di dalam pemerintahan. Adalah penyelidikan yang tidak dapat menyeluruh jika proses peradilan terhadap tragedi ini bisa terjawab dan dituntaskan sampai ke akar. Tetapi kebenaran dan keadilan yang ditunggu oleh korban dan rakyat tidak bisa dilupakan begitu saja. Cinta dan kepentingan begitu nyata meski tipis di saat yang dibela dulu duduk di kursi pemerintahan sekarang tetapi tidak mampu berbuat apa-apa. Tidak mampu memberikan jawaban untuk menuntaskannya.

Adalah di saat Megawati duduk di kursi kepresidenan, banyak orang menaruh harap pengusutan terhadap kasus-kasus HAM, termasuk Peristiwa Kudatuli, dapat terselesaikan dan para pelaku sudah saatnya menerima konsekuensi. Peristiwa Kudatuli bukan bertujuan mendukung Megawati, melainkan kebuntuaan pemerintahan Orde Baru yang hanya berada di antara titik kepentingan dan kekuasaansaja. Mempertahankan gedung bernomor 58 itu berarti mempertahankan demokrasi, bukan mempertahankan kekuasaan. Yang harus diingat oleh para petinggi PDI Perjuangan adalah Kudatuli yang bisa membesarkan nama mereka dan mengantar para petinggi partai untuk berangkat ke tahta pemerintahan saat ini. PDI Perjuangan berutang budi kepada Partai Rakyat Demokratik di mana Budiman Sutjamiko –sang ketua– dipenjarakan 13 tahun setelah diberikan peran fiktif sebagai aktor utama yang mendalangi kerusuhan tersebut. Melupakan Kudatuli menjadi puncak kedurhakaan PDI Perjuangan di mana ada pihak yang harus bertanggung jawab menanggung beban psikologis rakyat yang menjadi korban kekerasan politik. Namun saat ini, keadaan negara hari ini dianggap lebih penting dan berdamai dengan para konseptor merupakan jalan keluar untuk menempatkan pelanggaran HAM ini sebagai bagian dari kesalahan masa lalu. Membiarkannya rakyat yang lebih dominan menjadi korban harus menunggu berlarut-larut, tanpa tahu kapan keadilan dapat memberikan kebenaran sebagai jawaban.

Hari ini, dengan tetap mengingatkan peristiwa yang belum tuntas, kita telah melawan lupa terhadap sejarah, setidaknya terhadap ketidakadilan yang merajalela. Meski mengingat Peristiwa Kudatuli tidak berbeda dengan melahirkan rasa sakit, setidaknya perjuangan melawan lupa terhadap sejarah harus bisa dilakukan sampai pengusutan terhadap kejadian ini tertuntaskan. Milan Kundera mengingatkan perjuangan melawan lupa sama sulitnya dengan menumbangkan kekuasaan. Dengan menjaga sejarah dan mengingatnya sebagai bagian dari identitas diri bangsa, kita telah menjaga kebenaran dan keadilan dari sikap manipulatif untuk kepentingan yang konservatif serta menjauhkan altar pemerintahan dari kekuasaan subjektif.

Rabu, 25 Juli 2012

Be the Best of Whatever You Are

If you can’t be a pine on the top of the hill,
Be a scrub in the valley — but be
The best little scrub by the side of the rill;
Be a bush if you can’t be a tree.

If you can’t be a bush be a bit of the grass,
And some highway happier make;
If you can’t be a muskie then just be a bass —
But the liveliest bass in the lake!

We can’t all be captains, we’ve got to be crew,
There’s something for all of us here,
There’s big work to do, and there’s lesser to do,
And the task you must do is the near.

If you can’t be a highway then just be a trail,
If you can’t be the sun be a star;
It isn’t by size that you win or you fail —
Be the best of whatever you are!


Douglas Malloch

Selasa, 24 Juli 2012

Membangun Rahasia

Setiap yang kautulis adalah rahasia
seperti rumah yang hendak kaudirikan
di balik tembok-temboknya, tak seorang pun tahu
apa yang kautanamkan untuk menjadikannya kokoh
di balik dasar tanah di mana tembok itu bersemayam
apa yang kaurahasiakan di dalamnya
bersama bongkah batu, bersama kata-kata
bersama puisi yang kautuliskan itu

Setiap yang kauucap adalah rahasia
seperti keputusanmu untuk pergi tanpa pesan
tanpa kabar yang akan menunjukkanku harus ke mana
membiarkan aku menerka-nerka ke mana engkau bertujuan
tanpa alasan apa yang membuatku bisa membiarkanmu pergi
dan ada rasa khawatir yang berevolusi bersama waktu yang kulintasi
mungkinkah itu rindu, aku bertanya suatu ketika
dan bila benar, kau hanya menginginkan aku
menjelmakan rindu sebagai rahasia, seperi yang kau ucap
bersama kalimat yang kaumadahkan ke langit

Setiap yang kauembuskan adalah rahasia
seperti yang tak dapat kuketahui
ketika itu aku hanya boleh merasakan semata
tanpa bisa menyentuhnya, memeluknya
dibiarkannya menyiksa, sama seperti rindu yang tak habis
kemudian tak ada yang menjemputnya
di mana semestinya ia bersandar kepada hatinya yang kosong

Setiap yang kaurindukan adalah rahasia
rindu itu rahasianya, dan aku tak bisa membongkar rahasiamu


maaf,
kalau memang benar, rindu yang menjadi rahasiamu






Jakarta, 25 Juli 2012 | 00.12

A.A.- dalam sebuah inisial

Minggu, 22 Juli 2012

Bagian yang Belum Usai

Kadang cinta dapat membelenggu siapa saja tanpa permisi, tanpa memikirkan di mana kita berada dan sedang apa kita saat itu. Dia bisa saja menggoda diri untuk berlari dari sebuah kenyataan dan mengundang kita untuk berada di dunia lain. Menggondol sebuah keyakinan bahwa benar kita sedang jatuh cinta dalam keadaan macam apapun. Dengan siapa saja kita hiraukan dengan persepsi bahwa cinta sebegitu menggoda kita pada sebuah situasi yang tak pernah sulit untuk ditekuni, merasakannya.

- sebuah bagian yang belum usai

Selasa, 17 Juli 2012

Meski Ada Matahari

Meski ada matahari di pagi ini
Aku tetap tak dapat melihat surga, G
Meski ada matahari di pagi ini
Aku tetap merasa berbalut dingin, G
Mungkin orang yang hatinya biasa terluka
Hanya bisa merasakan dingin, sedinginhatinya
Hanya bisa merasakan gelap, segelap lukanya


Bandung, 18 Juli 2012 | 08.09
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 08 Juli 2012

Kepada yang Tak Memiliki Segalanya

G,
Pada dasarnya memang kita tak memiliki apa-apa
sejak lahir, segalanya diawali dengan pemberian
bahkan untuk kembali pun, kita harus menyerahkannya kembali

G,
Pada dasarnya memang kita tak memiliki apa-apa
kita diciptakan untuk menciptakan hal yang lain
kemudian memberikan lagi kepada Yang Mencipta

G,
Pada dasarnya memang kita tak memiliki apa-apa
tak perlu tinggi-tinggi berharap, tak perlu sempurna
demikianlah apa yang harusnya, itulah yang kamu jalani



Jakarta, 8 Juli 2012 | 21.45
A.A. - dalam sebuah inisial

Bapa Kami

Kudengar seorang anak berdoa di pinggir jalan, katanya kepada Tuhan:

Bapa kami yang di sorga,
dikuduskanlah nama-Mu.
Datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu,
di bumi seperti di sorga.
Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya,
dan ampunilah kami akan kesalahan kami seperti kami juga mengampuni
orang yang bersalah kepada kami.
Dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan,
tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat.


Kemudian, air mataku meleleh.

Jatuh ke tanah, untuk menguap
Seperti doa-doa yang dilangitkan anak itu




Jakarta, 8 Juli 2012 | 21.39
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 03 Juli 2012

Baik

Sesederhana bahagia, itulah kebaikan sesungguhnya
kekalahan yang terkecap untuk dinikmati pahitnya
air mata yang mengalir mengajarkan melepas kebahagiaan
terluka yang terbekas meninggalkan perih yang membatin

lalu, bagaimana kamu menikmatinya?

Rasakan bahagia yang tersisa, melekat, dan jangan larut
dan kamu merasakan sesuatu yang baik
lantas, apa lagi yang harus kamu sangkal?



Jakarta, 3 Juli 2012 | 22.07
A.A. - dalam sebuah inisial