Selasa, 01 Mei 2012

Di Mana Sekolah Sesungguhnya?

Oleh: Aveline Agrippina


Jadikan setiap tempat sebagai sekolah dan jadikan setiap orang sebagai guru. - Ki Hajar Dewantara



Tentu saja, saya bukanlah seorang yang ahli dalam bidang pendidikan. Saya pun masih belajar dan akan terus belajar. Saya tidak pernah diundang sebagai pembicara untuk pendidikan atau pula diajak menulis mengenai pendidikan. Ralat, mungkin diajak menulis pernah, tapi saya tolak karena bukanlah di sana letak keahlian saya. Saya bukan praktisi yang praktis bisa diteladani oleh para pendidik dan mereka yang terdidik.

Pendidikan di masa kini bukanlah sesuatu yang mewah lagi. Bukan termasuk di dalam kebutuhan sekunder apalagi tersier. Ia tak kalah pentingnya dengan apa yang dibutuhkan oleh hidup kita, yakni sandang, pangan, dan papan. Maka tidaklah mengherankan apabila orangtua terus berjerih payah untuk dapat menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Dengan gelar yang berderet, mereka meyakini anaknya dapat dijadikan lumbung masa depan yang hidup. Mereka akan bergantung kepada anak-anaknya di hari tua.

Untuk saya, sekolah yang ada saat ini bisa menjadi terbagi dua: satu, sebuah bangunan di mana guru dan murid berkumpul, mengadakan proses belajar-mengajar, dan memberikan hasil berupa nilai di dalam wujud apa pun. Kedua, sebuah proses di mana kita diperkenalkan kepada kehidupan yang sebenar-benarnya. Semua orang boleh mendefinisikan 'sekolah' menurut kepercayaan mereka masing-masing, termasuk Anda. Tak perlu terpaku dengan kata-kata di sini.

Bagi saya, sekolah sebagai bangunan hanyalah sebuah formalitas semata. Di sana, kita hanya diajarkan hal-hal mendasar untuk mengakrabi lingkungan sekitar. Mengerti tentang ilmu-ilmu yang berkembang di dunia ini. Bahkan mengajarkan kita untuk lebih ambisius untuk mengejar setinggi mungkin nilai yang dicapai, sebanyak mungkin deret gelar yang didapat. Ia hanya fasilitas resmi di mana membuktikan kita akan menjadi kaum yang terpelajar dengan ijazah yang kita genggam kelak setelah menyelesaikan pendidikan di sana.

Sekolah yang saya anggap sebagai benar-benar sekolah adalah ketika kita sudah terjun di dalam masyarakat itu sendiri. Ada ilmu-ilmu yang tidaklah terpakai saat menerjuninya. Di sana, kita dituntut terus untuk semakin giat di dalam belajar dan mengenal dunia seluas-luasnya. Kehidupan itulah yang sesungguhnya 'sekolah hidup' yang menghidupi saya. Menghidupi seseorang untuk bangun dari tidur, mewujudkan apa yang harus dicapainya.

Sekolah yang sesungguhnya tidaklah menghasilkan ijazah. Anda patut dikatakan lulus ketika Anda sudah menyelesaikan tugas di dalam kehidupan itu dengan sebaik-baiknya. Maka, tak perlu heran apabila saya selalu lebih banyak belajar kepada sekolah kehidupan dibandingkan di sekolah yang bersifat formalitas semata itu.

Sekolah yang sesungguhnya bukan hanya mengajarkan saya bagaimana mempertahankan hidup, tetapi bagaimana berbagi dan menerima, bagaimana mewujudkan mimpi yang selalu saya dambakan, bagaimana untuk bisa membuka mata, telinga, dan indera peraba lebih peka. Sekolah itu yang mengajarkan saya bagaimana membuka pikiran dan hati di dalam waktu yang bersamaan dan memutuskan seluruh hal dengan rasional tanpa perlu berteori. Sekolah yang mengajarkan saya untuk melihat dunia yang lebih luas, melihat kenyataan semanis dan sepahit apa pun itu.

Saya meyakini setiap orang memiliki sekolahnya sendiri. Entah di mana pun mereka, bagaimana pun keadaan mereka. Saya yakini mereka belajar di dalam sekolah yang mereka ciptakan, mereka lihat, dan mereka rasakan. Keterikatan batin antara sesama manusia yang bisa membentuk sekolah baru. Sekolah kehidupan, begitu saya menyebutnya. Tak perlu ada gelar berderet di dalamnya, tak perlu ijazah yang dibawa pulang. Yang membanggakan adalah ketika kau dinyatakan lulus di dalam sekolah kehidupan itu oleh orang-orang yang ada di sekitarmu sebagai gurunya.

Itulah sekolahku yang sesungguhnya, di mana sekolahmu?

Selamat belajar! Selamat Hari Pendidikan Nasional.



Bandung, 2 Mei 2012 | 09.21
A.A. - dalam sebuah inisial



*) Ada kerinduan tersendiri untuk bercerita, dan hari ini saya mengejawantahkannya. Menyenangkan sekali rasanya.

7 komentar:

  1. selamat hari pendidikan nasional... semoga dimasa depan para pendidik kehidupan menemukan cara terbaik untuk mendidik anak bangsa, bukan hanya sekedar menjerumuskan mereka dalam mimpi menang kompetisi

    BalasHapus
  2. sekolah bisa dimana saja dan kapan saja, tidak dikungkung oleh waktu dan tempat.
    pendidikan formal dan non formal tetap perlu dan harus berjalan seiring dengan harmonis.

    yang cukup penting saat ini juga adalah Sudahkah kita menjadi pendidik yang baik? dapat kita lihat, baca, dengar banyak sekali tindak kriminal, dekadensi moral ataupun perbuatan yang sebenarnya tidak salah namun secara etika tidak benar yang dilakukan generasi baru yang masih sd,smp, sma bahkan anak kuliahan.

    BalasHapus
  3. Salam untuk Aceh dan rekan-rekan pendidik di sana, Tante Cici. :-)

    BalasHapus
  4. Sekolahku adalah di sepanjang jalan aku berjalan
    Di setiap titik aku terjatuh
    Di setiap tikungan aku mengambil sikap
    Di setiap waktu aku dibangunkan
    Dan di setiap pertemuanku dengan penghuni semesta...

    Selamat Hari Pendidikan, pon...

    BalasHapus
  5. Selamat melangkah, Bu. Jangan pernah lelah untuk selalu belajar.

    BalasHapus