Rabu, 24 Februari 2010

Risalah

meratapi kaca tanpa harap
mengorek luka dari pecahan
jalan tak berujung, katanya
sialnya tak bisa kurindukan
bayang tak mengenal engkau
hanya peluh yang tahu jawabnya

telepon semalam membentukku
dari harap penuh asa yang tak dibinasakan
aku percaya
pada waktunya ada pertemuan tak kita duga
dan dari itu juga
rindu yang meletup
meresap dalam degup tiada nafi

pada juganya
ada mimpi yang jualah nyata
kita rasa dan akan kau katakan:
"betapa bermaknanya hidup ini"


Cipularang, 25 Februari 2010
AA - dalam sebuah perjalanan

Senin, 22 Februari 2010

Perubahan Sederhana

Berubah? Apa yang selalu di dalam benak kita mengenai kata tersebut? Sederhana, bukan?! Suatu hal yang tak lagi mengherankan bahkan dianggap hal yang biasa jika kita melakukan sebuah perubahan dalam diri kita, lingkungan kita, dan segalanya. Adalah hal yang dapat dikatakan aneh ketika kita tidak berpartisipasi dalam perubahan yang seiring waktu, seiring juga kedewasaan yang kita peroleh.

Kini aku memulai sebuah perubahan sederhana. Baiklah, memanglah tidak terlalu drastis. Tetapi aku harus dapat menikmatinya untuk satu-dua bulan ke depan. Di mana hari-hari akhir pekan kunikmati dengan menulis kini harus kulepaskan dengan bekerja. Kejar target sampai dua bulan ke depan kemudian kucecapkan sebuah kenikmatan.

Perubahan ini secara tidak langsung membawaku pada masa-masa baru di mana kesempatan tidaklah datang lagi dan lagi, menawarkan sesuatu yang membuatku akan tertarik lagi pada masa mendatang atau aku mendatanginya lagi. Tidak. Maka untuk itu, perubahan-perubahan sederhana kini kunikmati untuk sementara waktu karena aku percaya di mana aku telah memilih adalah sebagai tanggung jawabku untuk menuntaskan semua pekerjaan-pekerjaan yang pada akhirnya kuterima.

Awal yang dimulai dengan kesederhanaan. Aku sendiri haruslah percaya: ada hal-hal yang baik selama kita masih siap untuk menantang fase-fase yang akan membentang.

Nah, kunikmati saja kesempatan ini dalam sebuah perubahan yang tak begitu drastis tetapi aku dapat sesuatu yang menarik darinya. Dia -kesempatan itu- taklah lagi datang esok hari.



Jakarta, 22 Februari 2010 | 19.07
AA - dalam sebuah inisial

Rabu, 17 Februari 2010

Cerita Tentang Negeri Impian

Ada sesuatu yang dapat lagi kubawa ke dalam mimpi
Tentang sebuah masa depan yang begitu baik
Menceritakan harapan-harapan yang tak pernah sirna

Bukan cerita tentang permusuhan dan argumentasi
Debat memenuhi layat televisi yang mulai bersemut
Ayah yang tua pun bosan menyaksikannya

Tak satu dua penduduk yang mengharapkan perubahan
Mereka bisa menyekolahkan anak-anak mereka
Walau ke depannya hanya sebagai pegawai negeri

Tak ada lagi mereka yang harus mati kelaparan
Memakan sampah atau melepaskan jiwa anaknya
Jualah menggali kubur mereka sendiri

Tanah ini mencukupkan anak-anak yang menginjakkan kakinya
Mereka menaruh kasih sayang kepada negerinya
Mereka tahu rasa terima kasih yang berlimpah tiada tara

Tak ada air mata penuh belas kasih untuk mengemis
Tawa dalam gelaknya terdengar dari berbagai penjuru mata angin negeri
Tiada lagi mereka rakus duduk di kursi parlemen dan memakan uang

Televisi bersemut tak dipenuhi kemasan politik bau sinetron
Ayah tetap setia duduk menyaksikan acara musik tempo dulu
Berita mulai bernuansa warna-warni

Dan... kuinsafi: ini hanya sekadar mimpi






Jakarta, 17 Februari 2010 | 22.22
AA - dalam sebuah inisial

Minggu, 07 Februari 2010

Cakra*

Pro Mena Larasati

"Terasa pendeknya hidup memandang sejarah. Tapi terasa panjangnya karena derita. Maut, tempat perhentian terakhir. Nikmat datangnya dan selalu diberi salam." - Soe Hok Gie

Mungkin ini sudah menjadi yang ketiga aku menghapus tulisan ini dan keempat kalinya aku kembali menuliskannya. Aku tak tahu mengapa aku harus menuliskannya. Ketika tak menuliskannya, aku merasakan sesuatu yang sangat hambar. Begitu hambarnya ketika aku mengingat namamu. Aku tak tahu harus mengawali tulisan ini dari mana. Aku bagai orang sakau, ingin narkoba tetapi tak tahu harus mencarinya di mana.

Aku sengaja mengawali tulisanku ini dengan "sebuah pesan" dari Soe Hok Gie. Terlintas kubaca memang sederhana sekali puisi yang diberinya judul "Hidup" ini. Ketika kubaca pertama kali, tak tersirat makna sama sekali. Ketika kali kedua kubaca, kutemui arti dari apa yang Gie maksudkan di dalam puisi tersebut. Aku tergagap. Bergetar tanganku memegang buku yang kubaca kala itu.

Jujur, aku memang manusia yang setidaknya sedikit terinspirasi oleh kehidupan Gie dan Pram. Aku menyukai kata-kata yang mereka bentuk baik dalam esai, prosa, maupun sampai catatan hariannya. Aku menyetujui beberapa poin yang Gie utarakan dan aku mengamini beberapa quotes yang Pram tulis di dalam bukunya. Aku tak bisa lari dari kedua hal itu. Mungkin karena hobiku yang sama dengan Gie dan Pram, candu menulis tengah malam.

Aku selalu percaya di dalam setiap kehidupan manusia, Tuhan sudah menciptakan relnya masing-masing untuk manusia yang akan datang melaluinya dan melintasinya. Hanyalah manusia bandel yang terpaksa menyerong dari lintasan relnya. Ibarat kereta, datang dan pergi. Silih berganti kehidupan ini. Melintasi waktu dan setiap dinamikanya sepanjang jalan. Siapa nyana, ketika kita larut di dalam suka dan tawa, kita akan tiba di stasiun berikutnya kemudian pergi lagi. Kala duka dan nestapa merundung hari, semua itu terlepas dari kita.

Kadang jua manusia butuh satu hal untuk bermetamorfosa di dalam kehidupannya. Dia butuh perenungan lebih untuk mengenal seutuhnya siapa dirinya itu. Apa tujuan Tuhan mendatangkannya ke muka bumi ini tanpa kehendaknya dan apa yang harus dicari dari dunia yang sangatlah fana ini? Pernahkah terpikir demikian?

Buddha butuh perenungan, dia bertapa untuk mengenal jauh siapa dirinya. Nabi Isa, sebelum wafat, mencari tempat yang paling hening untuk tahu apakah dunia mengenalnya selama ini. Mungkin aku butuh hal itu, dan kurasa setiap manusia yang akan melanjutkan sisa kehidupannya pasti butuh perenungan. Metamorfosa untuk kedewasaan dan persiapan yang matang. Seutuhnya.

Kuhanturkan terima kasih yang sangatlah tak terhingga untuk perhatianmu. Sungguh, kutepati janjiku kembali dan nyatanya adalah aku menuliskan ini untukmu. Mulai dari SMS sampai merepotkanmu untuk posting yang membuatku geli sendiri kala membacanya. Segitunyakah aku? - tanyaku suatu ketika. Akan kukabulkan suatu ketika Jakarta mempertemukan kita entah di mana tempat dan waktunya yang masih dirahasiakan angin. Mungkin juga akan kubawa merpati putih itu.

Adalah seperti yang pernah kukatakan kepadamu secara tak langsung, aku menghargai semua yang kalian tuliskan di manapun. Aku sangat mengapresiasi semua karya imajinatif. Hanyalah manusia yang bodoh yang tak ingin berkarya. Apapun karyanya, itulah hasilnya. Suka dan tidak suka adalah hal yang sangatlah primitif menurutku. Sangat subyektif. Jadi, jangan pernah katakan bahwa semua hal yang kau anggap itu sangatlah benar. Aku tak mengamininya seluruh.

Kadang aku merasa bahagia, tetapi aku juga merasa sedih. Kadang aku merasa sedih, sisi lain aku dapat tertawa. Hidup sangatlah berkelindan dan seperti sudah tertata rapi jadwalnya. Aku juga manusia biasa yang berhak dan berkewajiban merasa marah, sedih, kesal, bahagia, dan aku juga berhak memilih karakter apa yang akan kukembangkan di dalam hidupku. Tawaku adalah hidupku dan dukaku adalah matiku. Ketika itu kuputuskan untuk berkarya agar aku tak tetap mati melainkan hidup baik secara rohani maupun jasmani.

Baik dua zaman atau apapun, bukanlah halangan untuk berkawan. Menjamu tamu dalam anjangsana. Senantiasa kubukakan pintu selebar-lebarnya bagi semua yang ingin berkawan dan aku juga berharap dibukakan pintu ketika kuketuk untuk menjadi teman. Jangan pernah menjadikan zaman sebagai alasan, kita semua pasti akan menjadi tua entah kapan.

Mungkin masih banyak lagi yang harus kuutarakan tetapi tak dapat lagi kutuliskan dengan kata per kata. Ada baiknya ketika kita bertemu dalam sebuah anjangsana, kita saling mengenal. Begitu juga dalam hidup, ketika kau menemukan pertapaanmu, selepas dari itu kau akan mampu mengatakan: c'est la vie.**


Jakarta, 7 Februari 2010 | 22.17
AA - dalam sebuah inisial




* Cakra:
dari bahasa Sansekerta yang berarti roda kehidupan.
** C'est la vie: dari Pepatah Perancis yang berarti begitulah hidup.

Selasa, 02 Februari 2010

Sepotong Kue Penuh Kasih

Aku tak pernah tahu bagaimana caranya membahagiakan seseorang. Apakah harus dengan ungkapan kasih sayang dan penuh mesra atau dengan kado yang seseorang inginkan? Aku bukanlah tipe orang yang romantis. Malah cenderung apatis terhadap sesuatu yang ada. Maka adalah hal yang wajar ketika aku terpaksa berputar otak berkali-kali menjelang hari ini.

Sampai kemarin pun aku tak tahu apa yang hendak kuberikan.

Di usianya yang memasuki kepala lima beberapa tahun lagi, aku -sebagai anaknya- merasa tidak pernah bisa membahagiakannya. Acap kali aku kecewa dengan diriku sendiri, mengapa hal yang begitu mudah kubuat sulit? Apa yang membuatku harus melakukan itu? Kemudian pertanyaan-pertanyaan lainnya berebut tempat di dalam benakku, sementara waktu terus berjalan. Dia tidak menungguku untuk membahagiakannya.

Apa yang membuatnya belum bahagia? Suami yang begitu mencintainya telah dicecapnya sampai saat ini. Kurasa ayahku sudah memberikan semua yang mampu diberikannya kepada ibuku. Hanya aku yang sebagai anak belum mampu memberikan kebahagiaan sepenuhnya. Aku hanya mengejar target hidupku sementara dia selalu menunggu kabar baik dariku, entah apa yang kuraih dalam masa-masa kehidupan ini.

Genaplah sudah, 2 Februari. Entah apalah keputusanku untuk orang yang kukasihi tanpa dia sadari. Dia yang selalu menelponku ketika aku sedang berada di dalam perkemahan atau tak pulang. (Maafkan anakmu ini kalau jarang pulang, Ma...) Selalu sibuk dengan telepon, komputer, dan pekerjaan-pekerjaannya sendiri. Acap kali lupa dengan ibunya yang panik dan was-was ketika tak pernah ada kabar di mana anaknya berada kini. Apa kabarnya dan bagaimana nasibnya kini. Atau terkadang emosinya harus dilampiaskan kepadanya.

Terkadang harus terjaga ketika aku terbaring sakit. 24 jam menjadi dokter siaga ketika penyakitku kumat kapan saja tanpa kukehendaki. Seorang pekerja keras dan tiada henti. Tahu cara mencari sela-sela yang membuat orang terenyuh. Peduli dengan sesama. Jauh dari anaknya yang satu ini. Anak yang mewarisi gen ayahnya, berjiwa keras dan cenderung emosional. Kadang tak pernah serius kalau diajak bicara, tetapi bisa menjadi 180 derajat ketika emosinya membuncah.

Apakah dia bahagia saat ini? Apakah aku pernah membahagiakannya? Entahlah! Aku sendiri tak dapat menjawabnya langsung. Hanya dia yang tahu apa yang ada di dalam lubuk hatinya itu.

Subuh tadi, kue yang terpatri namanya kuberikan. Kunyalakan lilin dan membiarkan dia meniupkannya. Mungkin dengan cara sederhana inilah, dia tahu aku sungguh mencintainya. Aku menyayanginya lebih dari apapun. Entah bahagia atau tidak, inilah yang kumampukan untuk membahagiakannya. Hanya ini, kue kecil tanpa nilai namun ada kasih dariku tiada batas. Semoga dia tahu ada yang mencintainya, sungguh mencintainya.

Ma, dari lubuk hati yang paling dalam, kulepaskan kalimat sederhana: selamat ulang tahun. Mungkin dengan cara ini, kudapati kau bahagia walau tak sebahagia yang kau pinta.



Jakarta, 2 Februari 2010 | 21.10


Mundurlah, wahai Waktu
Ada "Selamat ulang tahun"
Yang tertahan tuk kuucapkan
Yang harusnya tiba tepat waktunya
Dan rasa cinta yang s'lalu membara
Untuk dia yang terjaga
Menantiku

Dewi Lestari - Selamat Ulang Tahun