Sabtu, 31 Desember 2011

Hujan Bulan Januari

tak akan ada rintik hujan yang tak jatuh
di mana pertama kali langit bersua dengan bumi
air menjadi penopang untuk jembatan
saat Tuhan ingin menyentuh manusia

tak akan ada rintik hujan yang tak jatuh
menghapus jejak yang direkam setiap jalan
dan kau akan tahu bagaimana menikmati peluk dingin
pada awal yang baik, yang tak pernah cacat

tak akan ada rintik hujan yang tak jatuh
membasahi tanah yang lupa akan air
duduk di atas dahan-dahan yang hijau
menusuk ke dalam bumi, di titik terjauh

tak akan ada rintik hujan yang tak jatuh
ketika orang bisa mengeluh kedatangannya
atau juga orang bisa jatuh cinta kepada rintik
lalu, keduanya tak bisa abadi karena musim berganti

tak akan ada rintik hujan yang tak jatuh
ketika orang bisa membenci akan basah
ketika orang bisa marah ternodai bercak jalan
ketika orang bisa jatuh cinta di bawahnya


tak akan ada rintik hujan yang tak jatuh
dan masih kau ingat tentang genang hujan
di jalan yang menatap setiap gandeng tangan
pula cinta yang tak sekadar itu-itu saja


Jakarta, 1 Januari 2012 | 09.26
A.A. - dalam sebuah inisial

Prolog Januari

adakah yang kau kenang dari tahun kemarin
lalu apa yang akan kau tanam di awal ini
kemudian pernah kau berpikir akan sama lagi
situasi ini, suasana ini, dan kembalilah berulang
bersulang bersama waktu, di dalam segelas keadaan
dan hari-hari tak dapat kunafikan



Jakarta, 1 Januari 2012 | 09.14
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 21 Desember 2011

Peluk

ingin aku kembali ke dalam peluk kali pertamamu, ibu. di dalam dekap itu, aku diam-diam merayap ke dadamu, mengisap puting kasihmu, mengalirlah aku oleh cintamu yang membuatku tumbuh. di labirin kasih itu, kau lengkapkan aku dengan nutrisi yang cukup untuk aku melawan masa yang akan kuhadapi kelak, saat itu kau sudah menghitung uban di kepalamu dan lelah menggerogoti tubuhmu.

ingin aku kembali ke dalam peluk kali keduamu, ibu. di dalam dekap itu, aku mendengar tangisku sendiri, kau tersenyum bahagia kala itu. tanda-tanda kehidupan dimulai dari sana. sesederhana itu. lalu aku sandarkan kepalaku di dadamu, membiarkan aku dibelai oleh keping-keping sayang yang ada di sisi-sisi kecil yang membuatku semakin tahu untuk menghadapi masa yang semakin kejam.

sesederhana itu kau mengajarkan aku adalah manusia, dan menjadi manusia itu harus berjuang. bahkan sekadar bernapas. itu harus kujalani sampai nanti, di masa aku akan menjadi letih dan aku pun akan mengajarkan hal serupa kepada generasimu.



Jakarta, 22 Desember 2011 | 04.44
A.A.- dalam sebuah inisial

Minggu, 18 Desember 2011

Puncak di Atas Segala Puncak

Catatan penutup tahun 2011 ini memang saya angkat dari topik yang berbeda. Catatan ini pun ditulis dari tempat yang berbeda dari biasanya dan waktu yang benar-benar singkat karena saya pun diterpa deadline yang bertubi-tubi. Tentunya kawan-kawan yang mengikuti lini masa di Twitter saya pasti tahu kapan saya tidur, kapan saya bangun, berapa jam saya tidur, atau aktivitas lannya dari ceracauan saya itu. Ya, mungkin saya masih menulis blog, tetapi tahun ini cukuplah rajin saya meng-update-nya dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Topik yang saya angkat tahun ini adalah puncak di atas segala puncak. Saya rasa pencapaian saya untuk tahun 2011 ini cukup dahsyat. Bagaimana tidak, di dalam waktu setahun saya sudah bisa berproduktif berkarya sepanjang hari, sepanjang bulan, sepanjang waktu. Ada rasa kepuasan batin tersendiri ketika seluruh karya kita diapresiasi dengan baik.

Seperti di sebuah pendakian, kita pun dari bawah ingin sekali menuju ke atas. Itulah yang saya lakukan untuk 2011 ini. Diawali dari bulan Januari yang kita tempuh. Pendakian menuju ke puncak pun terasa begitu sulit. Ada terpaan yang selalu menjadi penghadang. Saya pun tidak dapat menafikan terpaan itu, mau tidak mau maka kita harus melawannya. Awal tahun ini cukup sulit bagi saya untuk menemukan pola menulis-membaca-belajar-bekerja. Setidaknya di awal tahun dapat dilihat bahwa saya tidaklah terlalu produktif berkarya.

Kemudian, selepas dari awal tahun, saya mulai menemukan ritme bagaimana mendaki tahun ini untuk semakin menikmati setiap langkahnya. Di punggung pun sudah ada ransel yang berisi tugas-tugas yang cukup berat untuk saya pikul, tetapi dengan menikmati setiap langkahnya saya pun ikut di dalam bahagia. Saya tahu tugas itu dan saya mencintainya. Bagi saya, bekerja yang paling menyenangkan adalah bekerja karena kau mencintai pekerjaanmu, bukan mencintai yang lain. Maka, berbahagialah mereka yang mencintai pekerjaannya.

Totalitas saya untuk berkarya pun selalu menjadi pemicu untuk saya mencintai kehidupan ini. Nyatanya ada satu puisi saya yang tersangkut di dalam buku, serta ada dua buku yang saya bantu untuk proses kelahirannya. Ini sudah lebih dari cukup bagi saya. Bahkan yang lebih membuat saya bahagia adalah keberhasilan di tahun 2009 pun kembali terulang. Nah, penasaran keberhasilan apa? Silakan dicari sendiri. Hahaha...

Adapun saya merasakan ‘kembali pulang’ setelah cukup lama tidak mampir di tempat yang saya cintai, bertemu dengan sahabat-sahabat yang menyenangkan. Bahkan di kota yang baru pun, saya sempat bertemu dengan teman-teman baru dan teman-teman lama. Ini menjadikan kenyataan bahwa kita pun tidaklah pernah sendiri meski di dalam kesunyian. Lewat blog pula, saya bertemu dengan banyak kawan baru. Untuk itu, terima kasih bagi kalian!

Satu lagi yang membahagiakan bagi saya adalah ketika perpisahan tidak lagi begitu menikam saya di pertengahan Juli. Rasanya memang berat, seperti seorang pendaki yang berjuang mencari jalan ke puncak gunung. Itulah saya. Setidaknya perpisahan yang saya rasakan membuat saya lebih bijaksana untuk menghadapi kehidupan selanjutnya dan merekam setiap kejadian dengan lebih penuh kebajikan.

Suatu masa, seorang pendaki akan merasakan bahagia. Suatu masa pula, seorang pendaki akan merasakan duka. Setidaknya untuk mencapai ke puncak yang paling atas, ada siklus kehidupan yang harus dilewati. Keberhasilan tertinggi seorang pendaki adalah ketika mereka berhasil berdiri di puncak dalam keadaan apa pun. Atau keberhasilan lainnya adalah ketika mereka harus pergi ke puncak yang paling tinggi di dalam masa pendakian. Tak seorang pun tahu dan cukuplah bagi kita untuk tetap mendaki meski di dalam kondisi terburuk sekalipun.

Untuk itu, catatan penutup di tahun ini rasanya sudah mewakili apa yang ada di tahun 2011 bagi saya. Dengan segala kebahagiaan dan kesedihan yang silih berganti, setidaknya itu yang menjadikan perjalanan menuju ke puncak yang paling puncak yang memberikan suasana yang berbeda, meninggalkan kesan yang mengesankan, dan menciptakan bahagia yang paling bahagia.

Nah, kawan, selamat bila kau merasa 2011 adalah puncak tertinggimu sepanjang kau hidup! Selamat Natal bagi kawan-kawan yang merayakan! Selamat tahun baru untuk kalian semua!

Tetap tersenyum,

 

 

Bandung, 14 Desember 2011 | 07.59
A.A. – dalam sebuah inisial

Jumat, 16 Desember 2011

Mandalawangi - Pangrango

Senja ini, ketika matahari turun ke dalam jurang-jurang mu
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu

walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku

aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua

“hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya “tanpa kita mengerti,
tanpa kita bisa menawar
‘terimalah dan hadapilah

dan antara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas-batas hutanmu, melampaui batas-batas jurangmu

aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup



Soe Hok Gie
17 Desember 1942 - 17 Desember 2011

Minggu, 11 Desember 2011

Berapa Buku yang Anda Baca di Tahun 2011?

Berapa buku yang telah Anda baca tahun ini? Seperti tahun kemarin, saya membuat daftar bacaan yang telah saya habiskan untuk tahun ini. Mungkin saja bertambah karena Desember masih memiliki19 hari lagi. Mana tahu sebuah keajaiban saya bisa menambah 19 buku lagi sampai di akhir tahun ini.

Lagi-lagi kendala saya adalah waktu di mana deadline yang tak henti-hentinya menerpa sehingga beberapa buku sempat tertunda atau tidak memiliki catatan tukang baca. Nah, berikut daftar bacaan saya untuk tahun ini. Kalau ada yang pernah membaca buku serupa dengan saya, mari kita berbagi.


Angka tidak menunjukkan peringkat.

1. Balada Ching-ching, Maggie Tiojakin
2. Leaving Microsoft to Change The World, John Wood
3. The Goddess of The Hunt, Tessa Dare
4. Selepas Bapakku Hilang, Fitri Nganti Wani
5. The Lover's Book, Kate Gribble
6. Surrender of A Siren, Tessa Dare
7. The Magicians, Lev Grossman
8. The Man Who Loved Book So Much, Allison Hoover Bartlett
9. Coming Home, Sefryana Khairil Badariah
10. Ayat-ayat Api, Sapardi Djoko Damono
11. Surat Kecil untuk Tuhan, Agnes Davonar
12. A Lady of Persuasion, Tessa Dare
13. Mati, Bertahun yang Lalu, Soe Tjen Marching
14. Selamat Datang di Pengadilan, Daniel Mahendra
15. (Cerita-cerita) dari Luar Jendela, Maestaccato
16. Eclair, Prisca Primasari
17. The Journeys, Adithya Mulya, dkk
18. Oksimoron, Isman H. Suryaman
19. Dan Saya Telah Menyelesaikan Pertandingan Ini, Ronny Pattinasarani
20. Matahari yang Mengalir, Dorothea Rosa Herliany
21. Perempuan, Langit ke Timur, Olin Monteiro
22. Tuesday with Morrie, Mitch Albom
23. The Pilgrimage, Paulo Coelho
24. Larasati, Pramoedya Ananta Toer
25. Tales From The Road, Matatita
26. Snow Country: Daerah Salju, Yasunari Kawabata
27. Karena Kita Tidak Kenal, Farida Susanty
28. Cecilia dan Malaikat Ariel, Joestin Gaarder
29. Stanza dan Blues, W.S. Rendra
30. Abad yang Berlari, Afrizal Malna
31. The Naked Traveler 3, Trinity
32. Gelang Giok Naga, Leny Helena
33. Di Mana Ada Cinta, Di Sana Tuhan Ada, Leo Tolstoy
34. Sebelas Patriot, Andrea Hirata
35. Iluminasi, Lisa Febriyanti
36. Perahu Kertas, Dee [baca ulang]
37. Madre, Dee
38. Konde Penyair Han, Hanna Fransisca
39. Kedai 1001 Mimpi, Valiant Budi
40. Love, Aubrey, Suzanne LaFleur
41. That Camden Summer, LaVyrle Spencer
42. Presiden Prawiranegara, Akmal Nasery Basral
43. Kereta Tidur, Avianti Armand
44. Meraba Indonesia, Ahmad Yunus
45. Letters To Sam, Daniel Gotlieb
46. Life Traveler, Windy Ariestanty
47. Nasional.Is.Me, Pandji
48. Poconggg Juga Pocong, @poconggg
49. Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken, Joestin Gaarder
50. Asas-asas Manajemen, Ulber Silalahi
51. Once Upon a Love, Aditia Yudis
52. Jump, Moemoe Rizal
53. Dasar-dasar Ilmu Politik, Miriam Budiardjo
54. Principles of Economic, N. Georgy Mankiw
55. Pengantar Logika, B. Arief Sidharta
56. The Windflower, Sharon dan Tom Curtis
57. Never Let Me Go, Kazuo Ishiguro



Untuk tahun ini, buku terbaik veri saya jatuh kepada Never Let Me Go dari Kazuo Ishiguro.



Untuk buku dengan gaya bahasa penceritaan menarik jatuh kepada Kedai 1001 Mimpi dari Valiant Budi.


Untuk desain sampul terbaik versi saya jatuh kepada The Journeys dari Adithya Mulya, dkk.



Untuk buku yang paling tebal yang saya baca tahun ini adalah Principles of Economic dari N. Georgy Mankiw.



Untuk penulis dengan ide paling kreatif  versi saya jatuh kepada Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken dari Joestin Gaarder.



Untuk penulis dengan tema paling menarik versi saya jatuh kepada Never Let Me Go dari Kazuo Ishiguro.



Untuk penulis terbaik tahun ini versi saya jatuh kepada Akmal Nasery Basral.



Nah, begitulah daftar bacaan saya sepanjang tahun ini. Bagaimana dengan Anda?



Bandung, 12 Desember 2011 | 07.02
A.A. - dalam sebuah inisial

Bianglala Pasar Malam



katamu sendiri:
bahagia sering diciptakan di tempat tak dikira
lucunya adalah:
aku percaya dan aku berbisik 'amin'

lalu kita pergi ke pasar malam
anak-anak dibiarkan mendahului kita
'aku ingin naik kuda itu'
perempuan kecil memasang wajah iba
kita bertatap dan membiarkan ayahnya
membawa pergi ke depan loket

'aku tak punya uang cukup'
wajah iba berubah menjadi duka temaram
segelap malam, segelap perih dua ribu
'kita pulang saja, ayah' ajaknya
kita bertatap dan mencegatnya pulang
katamu:
'naiklah, dua ribu akan kubayarkan'

lalu kau memberinya uang sepuluh ribu
'kembalinya, om, tunggu aku ya'
kau memilih untuk meninggalkannya
'jajankan saja, dan ajak ayahmu'
kau menarik jemari kelingkingku
'bianglala?'
aku mengangguk, dan kita berangkat
ke sana, ke langit
aku menyebutmu bahagia

lalu diamlah bianglala itu
ia hanya menatap kita, menemani malam
di bawah, orang-orang memilih bahagia
di atas, sepasang kekasih
kini aku kau jadikan percaya
bahagia sering diciptakan di tempat tak dikira

katamu sendiri:
bahagia sering diciptakan di tempat tak dikira
lucunya adalah:
aku percaya dan aku berbisik 'amin'




Bandung, 11 Desember 2011 | 20.22
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 10 Desember 2011

Never Let Me Go

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Kazuo Ishiguro
Cinta dan Persahabatan Manusia-manusia Kloning

Kerap kali saya berpikir tentang dunia dengan teknologi yang berkembang semakin maju dan perubahan yang ada akan selalu mengejutkan dan menakjubkan. Setelah saya membaca banyak hal tentang Domba Dolly -domba betina pertama yang berhasil dikloning- untuk studi saya, saya akan percaya bahwa kloning terhadap manusia pun akan selalu dilakukan dan sangatlah memungkinkan bila di tahun-tahun mendatang kita akan berinteraksi langsung dengan mereka, manusia-manusia hasil kloningan. Memikirkan hal tersebut, bergidiklah saya dengan kemampuan manusia yang ingin menciptakan segala sesuatu serupa dengan Tuhan.

Buku ini kali pertama saya lihat ketika sedang browsing untuk mencari bacaan baru dan sekalian merekomendasikan kepada teman saya yang ingin belajar menerjemahkan buku. Melihat rating yang didapat dan komentar-komentar yang terlihat cerdas untuk buku ini, langsung saja saya katakan kepada teman saya tersebut untuk menjadikan buku ini sebagai contoh terjemahannya saja. Saat itu, saya tidak tahu kalau Gramedia sedang melakukan proses penerjemahan juga. Sampai ketika, di Twitter @Gramedia menuliskan bahwa buku ini telah diterjemahkan oleh mereka pada bulan September 2011. Memang saya mengharapkan buku ini diterjemahkan lekas-lekas karena ketertarikan saya terhadap makhluk-makhluk kloning tersebut.

Cukup sulit saya mendapatkan buku ini. Di beberapa toko buku yang saya sambangi di Jakarta dan Bandung menyatakan hal yang sama: buku kosong atau buku belum masuk. Ha! Permainan macam apa pula ini? Sampai ketika saya sudah melupakan buku ini dan lebih menginginkan membelinya di Kinokuniya atau Times Bookstore saja untuk edisi berbahasa Inggris atau menitip teman saya yang ada di Singapura, saya melihat buku ini tergeletak di tumpukan buku lain. Alang-kepalang bahagianya saya malam itu. Lekas-lekaslah saya membawa buku itu ke kasir, memberinya uang sebagai ganti, dan jadilah buku itu untuk saya.

Di balik tembok Hailsham-lah, Kathy, Ruth, Tommy, dan anak-anak lainnya yang seusia dengan mereka diajarkan seni, olahraga, dan ilmu pengetahuan. Segala kelengkapan dan kecukupan mereka dapatkan di sana, tetapi mereka tidak pernah tahu dunia yang seperti apa yang ada di luar Hailsham. Mereka dilindungi sedemikian rupa karena mereka adalah manusia kloning yang akan mendonorkan organ-organ bagi penduduk dunia.

Hailsham, sebuah asrama yang lebih mendekatkan Kathy dan Ruth sebagai sahabat dan Tommy yang membentuk mereka saling berhubungan cinta segitiga. Kathy dan Tommy saling mencintai, tetapi sampai selepas meninggalkan Hailsham, mereka tak sekalipun berani mengungkapkan perasaan mereka. Ruth pun yang pada akhirnya begitu erat dengan Tommy.

Tentu saja, selepasnya mereka dari Hailsham, mereka telah melihat banyak kejadian yang begitu menyesakkan. Manusia dikloning dan disiapkan sedemikian rupa untuk mendonorkan organ-organnya kepada pemilik mereka yang membutuhkannya. Ada tujuan yang mulia akan hal tersebut, tetapi manusia-manusia kloningan tidak pernah memiliki pilihan lain selain daripada itu. Ruth pada akhirnya meninggal pada donornya yang ketiga, serta Tommy dirawat oleh Kathy yang tentunya akan pula menjadi donor dan mereka harus siap berhadapan dengan apa yang dialami oleh Ruth.

Sisi kemanusiaan yang egois begitu terlihat di dalam novel ini. Bagaimana Kazuo Ishiguro berupaya menciptakan sudut pandang manusia-manusia kloning tersebut dengan menceritakan keegoisan manusia dengan kemajuan ilmu pengetahuan membuat dunia bisa terlihat lebih baik dan pula tidak. Entah memang diciptakan oleh Ishiguro yang demikian atau memang alurnya yang membuat keadaan demikian, tokoh-tokoh yang ada di dalamnya hanya bisa mengelola pilihan yang tak ingin mereka pilih. Mereka hanya menjalani keberadaan apa adanya, tanpa mau atau bisa memperjuangkannya.

Bagiku novel ini sangatlah mengharukan. Ketika waktu begitu sempit bagi manusia-manusia kloning, setidaknya mereka masih bisa membagikan kepada kita tentang cinta, persahabatan, dan pengorbanan. Begitu sederhana konflik-konflik yang disajikan, begitu bernilai makna yang dicurahkan selepas membacanya.

Dan kupikir, inilah karya terbaik yang pernah kubaca: Never Let Me Go.




Bandung, 11 Desember 2011 - 07.50
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 09 Desember 2011

Di Masa yang Pernah Ada





:G



Kembali kepada masa lalu adalah sebuah kebahagiaan bagi mereka yang tidak pernah mendambakan dewasa, itu kataku. Dan bagiku bercerita tentang masa lalu selalu membutuhkan keberanian yang tidaklah sedikit, apalagi mengenai masa-masa yang kelam dan tak lagi ingin kau mengenangnya. Setidaknya ia telah mengajarkan kepada kita bagaimana cara mensyukuri kebahagiaan yang sifatnya hanyalah fana, sebagaimana juga ketidakbahagiaan itu.

Kerap aku tertawa ketika mengenang kembali masa-masa bahagia. Dan kerap aku merasa pilu ketika harus mengenang kembali masa-masa ketiadaan. Merapal dengan harfiah, aku kembali menuliskan tentang kamu. Ternyata tidak pernah ada kata habis untuk mengingat selalu mereka yang pernah kita kasihi. Tak perlu pula memandang bagaimana kita bertemu pula berpisah. Selalu ada jalan dan cara untuk hal tersebut.

Kemudian, berjibakulah aku dibuat oleh kenangan yang sudah-sudah. Tentang pertemuan pertama, bagaimana caramu yang menyapaku. Kita berkelibat dalam diskusi yang tidak mengenal ujung. Ada kopi, setumpuk buku, dan secengkram topik pembicaraan. Waktu kita biarkan saja bebas memilih: berlari atau berjalan. Toh, semua akan sama saja, pikirku kala itu. Biarkan saja kita dihempaskan oleh waktu sebagaimana ombak menghempas karang di lautan dan matahari menghempas bumi di langit. Tak pernah ada perih di sana.

Sangatlah tak etis bila kita hanya mau mengenang bahagia tanpa mengingat perih. Harusnya bagaimanalah kita berterima kasih kepada perih yang mengingatkan kita bahwa bahagia pun serupa dengan angin yang bisa saja berlalu demikian. Tetapi orang cenderung mengumpat perih sebagai jodoh yang tak diundang. Orang membenci kedatangannya dan mencoba meninggalkannya. Ada yang sanggup, ada pula yang tidak.

Sampailah kita pada sebuah tujuan: stasiun untuk berhenti. Punggung yang saling bertatap dan wajah yang saling berbalik. Di sudut mata, ada air yang dihapuskan oleh hujan. Awalnya kita seiringan, dan di persimpangan kita telah memutuskan untuk menjadi sendiri-sendiri. Keputusan yang tidaklah menyenangkan, tetapi harus ditelan sebagai keberadaan.

Kelak, sesampaiku di stasiun itu lagi, pasti masih ada sisa senja yang mendokumentasikan setiap bagian perpisahan itu. Sekarang terlihatlah lebih manis, dan pilihan untuk berpisah tidaklah selamanya salah. Karena dengan cara tersebut, selalu ada kehidupan yang lain setelah kehidupan hari ini.

G, aku akan pulang. Meski bukan tepat di hadapanmu, setidaknya kekayaan kata-kata sudah cukup mewakili untuk masuk kepada partikel-partikel yang hidup untuk bersenyawa di kemudian hari.





Bandung, 10 Desember 2011 | 05.02
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 07 Desember 2011

Waspadai Plagiarisme dalam Tulisanmu

Oleh: Aveline Agrippina


Bukan barang satu-dua kali kasus plagiarisme terjadi di Indonesia. Masih segar di benak kita di awal 2010, seorang profesor mempublikasikan tulisannya yang terbukti hasil plagiarisme. Setelah seorang cerpenis terbukti melakukan pragiarisme dan cerpennya berhasil terbit di salah satu koran lokal dan satu lagi terbit di koran nasional, muncul lagi kasus salah satu penerbit di Bandung yang diduga menerbitkan buku hasil dari plagiarisme karena kalimat yang ada nyaris serupa dan hanya menggunakan sudut pandang yang berbeda.


Plagiarisme bukan lagi menjadi kata-kata yang asing di dalam dunia kepenulisan. Apalagi dengan semakin canggihnya teknologi yang ada, membuat sang plagiator semakin leluasa untuk memindahkan tulisan orang lain atas namanya sendiri. Bahkan dengan mudahnya, misalnya dunia internet, membantu sistem copy-paste untuk memperlancar aksi plagiarisme.

Apa yang dimaksud dengan plagiat? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, plagiat adalah pengambilan karangan orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri atau dengan kata lain menjiplak. Yang digolongkan ke dalam kasus plagiarisme adalah mengambil tulisan orang lain tanpa menyebutkan sumber, mengutip tanpa menuliskan sumber, atau menuliskan opini dan mengganti tulisan tersebut dengan perspektif berbeda tanpa menyeburkan sumber.

Plagiarisme memang terdengar hal yang simpel, tetapi bila kita sudah masuk ke dalam lubangnya, maka hukuman pun siap menjerat. Baik hukuman berupa penarikan gelar atau pemberhentian secara tidak terhormat di dalam bidang akademis, penarikan terbit di dalam bidang fiksi dan nonfiksi, atau yang paling berat adalah hukuman penjara atau denda. Di Indonesia sendiri sudah ada undang-undang yang menetapkan hal ini yaitu Undang-undang Republik Indonesia No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.

Dengan melakukan plagiat, terbukti sekali bahwa kita bukanlah orang-orang yang kreatif. Ide berserakan di mana-mana dan itu bisa kita jadikan sumber untuk menulis dan tak perlu melakukan plagiat. Bila kita harus mengutip, jangan lupa menyebutkan sumber yang membuktikan bahwa pernyataan itu bukanlah milik kita. Zona plagiarisme memang mudah dilakukan, tetapi mudah juga untuk dideteksi. Jangan sampai kita pun harus menahan malu karena aksi copy-paste.






Tulisan ini pernah direncanakan untuk dipublikasikan di dalam majalah kampus, tetapi saya urungkan dengan berbagai pertimbangan yang ada dan melihat kondisi kampus saat ini. Harap maklum adanya kalau hanya terpublikasikan di sini.

Senin, 05 Desember 2011

Kamu Tahu Apa yang Kita Perbincangkan

lalu semua orang menjadi diam ketika kita bicara
membiarkan kita menjadi bebas dan liar untuk bersuara
seakan dunia memang telah menelanjangi dirinya
dan siap untuk disetubuhi dengan umpat-puja
tapi,

terkadang kritik itu perih selebih sayat dengan garam
atau puja itu manis selebih tebu yang ditunggu
orang-orang terantuk, bisa saja begitu
atau geleng-geleng karena bimbang dan ragu

ah, aku yakin:
kamu tahu apa yang kita perbincangkan




Bandung, 6 Desember 2011 | 07.29
A.A. - dalam sebuah inisial

Dan

ternyata kehidupan hanyalah sebuah perjalanan yang menyesatkan
kita tak pernah tahu kapan harus pergi, kembali, kapan waktunya
kita tak pernah tahu ke mana harus pergi, kembali, di mana tempat itu
dan tak pernah ada yang tahu, dan tak ada yang mengerti

lantas,
dengan cara tersebut kehidupan hanyalah teka-teki
sebuah misteri dengan tanda tanya yang besar
atau lingkaran amnesti yang tak tahu apa maksudnya




Bandung, 5 Desember 2011 | 18.43
A.A. - dalam sebuah inisial

Senin, 28 November 2011

Tentang Hujan dan Kamu

ternyata masih saja tentang kamu
di balik segala rinai hujan dan air mata
di dalam rintik yang menari di langit
dan dalam genang dan kenang yang melantun

kamu adalah hujan, tapi kamu juga yang menjadi pelangi
kita begitu ragu menentukan pilihan
dan kita juga meragukan perasaan
apakah masih ada kamu dan tetap ada aku di balik kekamuan
masih tumbuh cinta setelah hujan turun

atau hujan itu kamu
dan aku yang tak paham


Bandung, 29 November 2011 | 11.36
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 25 November 2011

Di Sebuah Bagian yang Hilang

Di mana letak hati berada ketika ia tak dapat menemukan jalan pulang?

Sementara kita harus tetap belajar untuk memahami hidup agar lebih berarti

Di lapisan cerita indah, kadang membuat kita tersenyum

Meski kita sudah tak tahu tersesat sampai sejauh mana kini

Lalu, ke mana hati harus melangkah? Tanyaku.

Rabu, 23 November 2011

Ternyata

ternyata masih ada tentang kamu
di dalam ruang yang bisu
di dalam dimensi tak terjamah
di segi segmen yang tak tersentuh

tenyata kamu boleh berbeda jarak
tetapi tetap ada di ruang tak terbatas



Bandung, 24 November 2011 | 3.39
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 18 November 2011

Di Dalam Sebuah Euforia

:Adryan Adisaputra Tando


kita selalu membicarakan hal yang remeh
mungkin persahabatan selalu dimulai dengan cara demikian
tapi bukankah pernah kukatakan tentang sebuah sahabat
dan kita telah membuktikannya, kehidupan kita berkelindan
dan kita bukanlah sahabat
:karena kita lebih dari sahabat, lebih dari sekadar bersahabat

kita selalu memberikan ilmu-ilmu yang sederhana
lebih mudah dimengerti dan tak perlu bergelut dengan rumus
tak perlu pembuktian teori semesta semata, karena itulah
pernah kukatakan kepadamu di suatu masa yang baik
dan kita telah membuktikannya, kehidupan kita mengajarkan
dan kita bukanlah guru
:karena kita lebih dari guru, lebih dari sekadar menggurui

kita selalu berjalan di dalam petualangan yang menakjubkan
sementara orang-orang menganggapnya itu sebagai hal biasa
karena mereka tak pernah merasakannya sendiri, tentang ini
kita sanggup menerjang kebahagiaan yang tak sekadar fana
ia akan selalu hidup di hati, ia membatin di dalam darah
dan kita telah membuktikannya, kehidupan kita memberikan
dan kita bukanlah petualang
:karena kita lebih dari petualang, lebih dari sekadar bertualang


tetap menjadi lebih dari sekadar sahabat
tetap menjadi lebih dari sekadar guru
tetap menjadi lebih dari sekadar petualang

sahabat bisa tercerai berai, tetapi tidak dengan kita
guru bisa meninggalkan di masa lain, tetapi tidak dengan kita
petualang bisa hilang di suatu waktu, tetapi tidak dengan kita

bagimu, adalah bahagia
dirgahayu untukmu, bertumbuhlah dan berdewasalah



Peluk dan cium mesra,

A.A. - dalam sebuah inisial
Jakarta, 19 November 2011 | 07.16



PS: Ketika kutulis ini, kuputar selalu Dewi Lestari, Selamat Ulang Tahun, dan aku tahu di saat yang sama pula, kau sedang berbahagia.

Kamis, 17 November 2011

Welcome Home

Kamu,

aku pernah bercerita suatu hari tentang harapan kita yang tak pernah lari, ia menetap di hati. seperti malam yang sunyi, ia mencabik keseluruhan hati yang tak ingin dilukai. tetapi dengan kembali kepada keadaan semestinya, kita bisa menjadi berada. dan ada pula yang kita kenang dengan kerasan di suatu masa, suatu tempat.

dengan demikianlah, bebanmu terangkat. tak lagi kau kenal luka dan nestapa. terlalu manis kelak hidup bila dilewati dengan cara yang sangat asing. dan aku dan kamu, kita-menyebutnya begitu- tahu ke mana harus pergi.



Bandung, 17 November 2011 | 18.51
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 16 November 2011

Festival Pembaca Indonesia 2011

Start:     Dec 4, '11 10:00a
End:     Dec 4, '11 6:00p
Location:     Plaza Area, GOR Soemantri Brojonegoro, Pasar Festival Kuningan


Website resmi: http://festivalpembacaindonesia.com

Agenda acara dan peserta Festival Pembaca Indonesia dapat dilihat di website tersebut.

Indonesia Book Fair 2011

Start:     Nov 24, '11
End:     Dec 4, '11
Location:     Istora Senayan, Jakarta


Agenda dapat diunduh di sini

Website resmi: http://indonesiabook-fair.com/

Perihal: Tahu

terkadang di dunia ini, kita bisa menjadi perih
bila kita terlalu banyak tahu dan keingintahuan menjadi luas
sementara tahu pun ada batasannya, ia tidak saja harus lebih
pula tahu pun tidak perlu kekurangan
mungkin tahu seperti obat, teguklah sesuai dosis
atau seperti makan, secukupnya saja

dengan cara itu, kita tak perlu menjadi mati
karena keracunan keingintahuan yang tak terbatas



Bandung, 17 November 2011 | 06.28
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 12 November 2011

Perihal: Malam

Dan kita selalu tahu,
kapan waktu harus menjamah matahari
dan melepaskannya


Bandung, 12 November 2011 | 19.02
A.A. - dalam sebuah inisial

Senin, 07 November 2011

Di Tempat yang (Tak) Asing

Dan selalu ada tempat yang tak pernah ingin kau sambangi
Kau selalu tahu aku membenci tempat di mana ada air mata
Ada jerit sakit yang membuatmu ngilu di hati

Aku benci akan obat-obat, dan aku benci tentang segala derita


Bandung, 8 November 2011 | 08.46
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 04 November 2011

Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Jaringan

http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/
Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikenal dengan sebutan KBBI terbit pertama 28 Oktober 1988 saat Pembukaan Kongres V Bahasa Indonesia. Sejak itu kamus tersebut telah menjadi sumber rujukan yang dipercaya baik di kalangan pengguna di dalam maupun di luar negeri. Setiap ada permasalahan tentang kata, KBBI selalu dianggap sebagai jalan keluar penyelesaiannya. Selain muatan isi, KBBI memang disusun tidak sekadar sebagai sumber rujukan, tetapi menjadi sumber penggalian ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta peradaban Indonesia. Oleh karena itu, rujukan tersebut kemudian semakin mengakar di dalam kehidupan berbahasa Indonesia walaupun upaya penyempurnaan isi tidak selamanya mengimbangi perkembangan kosakata bahasa Indonesia.

KBBI daring ini merupakan upaya penyediaan kemudahan akses terhadap Kamus Besar Bahasa Indonesia di mana pun, kapan pun, dan siapa pun selama dapat memanfaatkan jaringan teknologi informasi dan komunikasi.

Pangkalan data KBBI daring ini diambil dari KBBI edisi III. Pemutakhiran dan penyempurnaan isi KBBI sedang dilakukan dan akan diterbitkan dalam edisi IV tahun ini. Tampilan antarmuka KBBI daring sengaja didesain dalam bentuk sederhana agar pengguna tidak menemukan kesulitan dalam penggunaan kamus ini.

Saran dan kritik Anda silakan kirimkan kepada Pusat Bahasa.

Jakarta, 4 Februari 2008

Dr. Dendy Sugono
Kepala Pusat Bahasa

Tentang Hujan

karena sore
hujan pun datang saja
ia permisi pamit
dan terlihat jelas 
ada air mata di sana




Bandung, 4 November 2011 | 16.06
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 02 November 2011

Menjunjung Pagi

pagi begitu sunyi, ia pilu
di dalam hatinya, ia mendekap luka
orang-orang berujar ia kesepian
disandera oleh segala bilur-bilur
dan tentang cerita pedih tiada akhirnya

pagi menuju kepada hilir sungai
dibungkamnya sunyi, biar orang bergidik
karena sunyi itu tentang kefanaan yang arif
segala tentang yang arif harus dibunuh
untuk itu ia melakukannya

pagi membunuh sunyi, mengundang keramaian
biar esok sunyi datang diundang malam
dan pagi akan membunuhnya lagi

sementara di ujung sana, matahari menunggu
siapa yang akan menang dalam pertarungan itu




Bandung, 3 November 2011 | 05.42
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 01 November 2011

Nulis Yuk

Ketika sedang membereskan dokumen-dokumen di dalam laptop, tetiba saya menemukan sebuah file dengan nama yang sama seperti yang tertera di judul. Sebuah arsip postingan dari seorang Windy Ariestanty. Saya rasa Kak Windy -begitu saya memanggilnya- tak akan keberatan bila saya mempostingnya di blog saya dan membagikan ilmu menulisnya kepada banyak orang di sini.

Selamat membaca, selamat menulis. Semoga terinspirasi.

******



Nulis, Yuk!
Oleh : Windy Ariestanty*)





Kenapa menulis

Sudah seharusnya semua orang bisa menulis. Loh, kok bisa. Iya, semua orang pasti bisa menulis karena :
1.    hampir semua pekerjaan di dunia ini butuh komunikasi tertulis,
2.    menulis itu menguji pengetahuan kita sendiri. Lewat menulis kamu juga mengembangkan pengetahuan kamu,
3.    menulis melatih cara kita berpikir. Tulisan yang bagus mencerminkan cara berpikir yang bagus,
4.    profesi menulis itu menjanjikan. Jadi penulis professional bisa memberikan penghasilan yang asyik. Contohnya, J.K Rowling, Raditya Dika, Moammar Emka, Aditya Mulya, Icha Rahmanti, Ninit Yunita, Christian Simamora, dll. Tanyakan pada mereka, berapa penghasilan yang mereka peroleh dari menjadi penulis. Kamu pasti melongo!



Bukan bakat, bukan bacot

Pernah ada yang bilang kalau kamu berbakat menulis? Kalau pernah, pasti ada alasannya kenapa temanmu itu bilang kamu berbakat. Pasti karena kamu pernah nunjukin hasil tulisan kamu kan? Atau karena dia pernah lihat tulisanmu.

Kamu bisa disebut berbakat menulis kalau kamu menulis. Ini ibarat ramalan bintang yang kita bilang jitu kalau udah kejadian. Kamu nggak bisa bilang kamu berbakat menulis kalau kamu cuma ngobral bacot kanan-kiri tentang ide sebuah buku. Itu nggak bisa menjadi indikasi kalau kamu berbakat menulis.

Kenapa saya bilang begini? Karena redaksi GagasMedia kerap kali menerima surat yang isinya :

Dear redaksi Gagas,

Saya adalah orang sangat suka sekali mebaca dan memiliki bakat menulis. Saya punya banyak ide cerita yang bisa Gagas jadikan novel.
Apakah redaksi ada waktu untuk bertemu? Kita bisa bicarakan ide-ide menarik untuk novel saya. O,ya, saya membutuhkan orang yang bisa menuliskan ide-ide itu menjadi novel. Redaksi bisa melakukannya kan?

Terima kasih,
XXX


Kali lain, saya menerima telepon yang cukup menyenangkan. Setidaknya, membuat saya menahan tawa setelah menerima telepon. Begini ceritanya,

Si penelepon: Hallo, Mba Windy?
Windy: Iya. Ada yang bisa dibantu?
Si penelepon: Begini, Mba. Saya ingin banget jadi penulis. Pengen banget punya novel.
Windy: Wah, bagus banget.
Si penelepon: Nah, saya tuh punya kisah cinta yang kalau dijadikan novel tuh bisa bagus banget. …..(lalu dia bercerita tentang kisahnya)…Bisa nggak ya diterbitkan Gagas?
Windy: Kirimin aja dulu naskahnya ke saya. Nanti kita pelajari.
Si penelepon: Loh, bukannya Mba Windy nanti yang akan menuliskan novel saya itu?

Menurut kalian, apa yang harus dilakukan redaksi menghadapi orang berbakat ini?

Saya adaah salah satu orang yang termasuk dalam golongan tidak percaya bakat. Saya nggak pernah percaya ada bakat. Menulis buat saya bukan masalah bakat. Apalagi cuma banyak bacot. Bagaimana mungkin kamu bisa mengatakan berbakat menulis, sementara belum pernah ada satu tulisan pun kamu hasilkan.

Ide yang brilian, tema yang menarik nggak akan membuat kamu dicap berbakat menulis tanpa menuliskannya.

Jadi, menulis itu masalah apa?



Menulis masalah latihan

Suka menulis? Yup, cukup. Alasan itu sudah cukup buat kamu ada di sini dan belajar bareng bagaimana membuat tulisan yang seru dan tentunya bagus. Lupakan bakat. Lupakan kalau kamu punya banyak ide cerita menarik. Ambil kertas dan pena, yuuuk, bareng-bareng kita coba menuliskan ide cerita yang ada di kepalamu!


Kalau saya ditanya apa dasar dari menulis, jawaban saya cuma satu : Latihan. Teori menulis sehebat apa pun nggak akan bisa bikin kamu lebih jago menulis kalo nggak menulis. Yang akan bikin kamu semakin jago menulis cuman satu : Latihan. Menulis itu adalah tindakan!

Bahan dasar menulis:
1.bisa baca dan tulis
2. latihan





Nggak ada langkah standar untuk menulis!

Nggak ada tuh langkah standar atau resep untuk menghasilkan tulisan. Proses menulis bisa dimulai dari mana saja, dan berakhir di mana aja.  Kata Yayasn Sopyan, pengajar kelas menulis Gagas, menulis itu pekerjaan non linear, nggak mengenal langkah pertama apa dulu sebelum masuk ke langkah kedua, ketiga, dan seterusnya.

Kadang, kamu bertemu dengan penulis, yang belum mau memulai menulis kalau dia belum tahu ending novelnya. Jadi, hal pertama yang ia lakukan adalah menentukan ending terlebih dahulu. Satu ketika, kamu bisa bertemu penulis, yang baru memulai menulis kalau outline tulisannya sudah jadi. So, nggak ada hal standar untuk menulis. Kamu bisa memulainya dengan cara yang paling membuat kamu nyaman dan asyik untuk menulis.

Faktor penting dalam menulis adalah diri kita sendiri :
1.    seberapa kita menguasai hal-hal yang akan kita tulis,
2.    seberapa kita percaya diri bahwa yang kita tulis itu penting dan otentik.


Jenis-jenis kegiatan dalam menulis
Memang nggak ada urutan baku dalam menulis. Namun, aktivitas menulis umumnya terbagi dalam tiga jenis kegiatan.

1.    perencanaan. Ini adalah kegiatan menggali berbagai kemungkinan untuk menemukan dan mengorganisasikan ide.
2.    Drafting. Di sinilah kita menuangkan ide. Ada 3 jenis draft yang biasa dikenal di kalangan penulis :
         1.    exploratory draft : memastikan bahwa kita tahu apa yang ingin ditulis; lebih mencerminkan tulisan yang dilihat dari sudut pandang si penulis,
            2.    working draft : menganalisis, membaca ulang apa yang kita tulisa; tulisan kita harus dilihat dari sisi pembaca. Proses ini bisa berulang-ulang.
          3.    final draft : memastikan kelengkapan bukti dan argumentasi (non fiksi) detail kejadian (fiksi), menilik kata yang dipilih dan struktur kalimat, dsb.
3.    Perbaikan (revisi). Kegiatan ini berlangsung sejak dan hanya mulai setelah sebuah draft selesai dikerjakan.




Pengendali proses menulis


Karena proses menulis itu nggak mengenal urutan atau langkah, seorang penulis butuh alat untuk mengendalikan kegiatannya. Tanpa alat pengendali itu, tulisan yang dihasilkan bisa nggak karuan.


Menurut Frank O’Hare dan Dean Memering, ada lima komponen yang mengendalikan dan membuat proses menulis menjadi lebih beraturan :
1.    Tujuan (Purpose). Tentukanlah tujuan tulisn kita: untuk menghibur? Kasih inspirasi? Memberikan sudut pandang baru tentang sebuah topik? Memandu?
2.    Pembaca (Audience). Tentukanlah pembaca kita. Nggak ada buku untuk semua orang. Sebuah buku pasti cocok untuk sekelompok orang tertentu saja.
3.    Kode (Code). Tentukan cara kita menyampaikan ide kita. Di sinilah penulis akan menentukan gaya bahasa, strategi komunikasi, maupun pilihan kata yang akan dipakainya.
4.    Pengalaman (Experience). Tentukan pengalaman jenis apa yang akan kita bagi kepada pembaca. Tanpa pengalaman nggak ada yang bisa dibaca oleh pembaca.
5.    Diri penulis (Self). Tulisan yang bagus juga harus memunculkan diri penulis. Nah, diri macam apa yang akan kita munculkan di depan pembaca. Apakah kita akan hadir sebagai orang cerdas yang ngocol? Apakah kita akan hadir sebagai badur? Apakah kita kan hadir Sebagai orang yang cool and smart?

Kelima komponen tersebut bisa kamu jadikan pegangan untuk mengendalikan proses menulis.


Tentukan topik tulisan

Orang yang merasa punya banyak topik untuk ditulis dan orang yang mengaku sama sekali nggak punya topik untuk ditulis sebenarnya menghadapi masalah yang sama: topik apa yang sebaiknya ditulis?

Kita sering banget kebingungan menentukan topik. Nggak masalah. Itu wajar banget. Tapi, sebaiknya kamu harus bisa segera merumuskan. Karena kalau kamu biarkan, kamu nggak bakal bisa memulai menulis.

Ada beberapa patokan yang bisa digunakan untuk membantumu menentukan topik apa yang akan ditulis :
1.    kompetensi. Tulislah hal-hal yang kita kuasai saja,
2.    pertimbangkan pembaca. Jangan egois. Kita menulis agar tulisan kita dibaca oleh orang lain. Jadi, pertimbangkanlah untuk memilih topik yang cocok sama kebutuhan dan pengalaman pembaca.
3.    fokus dan spesifik. Biasakanlah untuk memilih topik yang spesifik. Topik yang isinya berisi gagasan besar saja nggak akan menarik. Gagasan-gagasan besar cenderung mengarah kepada menyatakan (telling), bukan memperlihatkan (showing). Fokus dan spesifiklah! Sebagai alat Bantu untuk menguji, gunakan pertanyaan, “So what?”
4.    Pinjam alat bantu jurnalis. Para jurnalis punya kriteria untuk menentukan apakah sebuah kejadian layak diberitakan. Nah, criteria itu bisa kita pinjam juga untuk menilai sebuah topik. Beberapa kriteria layak berita itu adalah :
            1.    yang terjadi sekarang,
            2.    yang berdampak,
            3.    yang terkenal,
            4.    yang dekat,
            5.    konflik,
            6.    yang aneh,
            7.    yang aktual.
 
 


Melawan kekosongan

Menulis itu adalah proses melawan kekosongan. Jadi, ketika kamu berkilah nggak punya ide atau mampet, saya curiga, itu cuman alasan kamu aja untuk menutupi kenyataan bahwa kamu nggak cukup mampu dan terampil dalam menulis.


Idea can hit you in everywhere. All what you have to do is just picking your paper and pen! Let’s start to write since now on.




Sumber bacaan : materi pelatihan menulis GagasMedia, Creative Writing karya A.S Laksana, The Complete Guide to Editing Your Fiction karya Michael Seidman, Berani Berekspresi karya Susan Shaughnessy







*) Windy Ariestanty adalah seorang editor di GagasMedia dan Bukune, penulis Studying Abroad, Tiara Lestari: Uncut Stories, Shit Happens (ditulis bersama Christian Simamora), dan Life Traveler. Tulisannya juga ada di dalam Kepada Cinta dan The Journeys. Penerjemah Letters To Sam.

Jumat, 28 Oktober 2011

Sebuah Pagi


pagi ini tidak hujan meski mendung
seperti kemarau yang disapu hujan
pelangi adalah senyum
hujan adalah air mata
pagi ini langit sedang tersenyum
ditampiknya air mata
dan jadilah hari ini





Jakarta, 29 Oktober 2011 | 07.15
A.A. - dalam sebuah inisial



Rabu, 19 Oktober 2011

Tentang Sepi yang Meraja

Dear G,

Rasanya tidak begitu lama kita tidak bersua meski telah berapa bulan kita terbentang jarak. Apa kabarmu, itu yang hendak kutanyakan. Berkali-kali kutanya lewat angin, hujan, matahari, dan bulan, mungkin aku tahu jawabmu adalah sama. Tetapi lewat pertanyaan berbasa-basi itu, aku setidaknya ingin membuat sebuah persetujuan denganmu bahwa kita memang baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Kalau kau bertanya tentang apa yang saat ini paling kunikmati, tentu akan kujawab adalah kesendirianku. Ternyata kesendirian itu lebih nikmat daripada hura-hura. Lewat kesendirian itu, aku lebih bebas dengan segala hal yang akan kulewati dan ingin kutempuh. Bahkan tulisan untukmu kali ini, kutulis dengan kesendirianku.

Semakin dewasa, aku semakin sadar ternyata kita akan semakin bergelut dengan kepentingan saja. Aku semakin mengerti bahwa keutuhan yang ada di dunia ini bersifat sementara. Ia akan melebur sendiri dengan keadaan, keberadaan, dan keberadaban. Dan semakin dewasa pula, kita pelan-pelan telah dilepas untuk sanggup berdiri sendiri dan melintasi segala hal yang ingin kita raih.

Sekarang aku cenderung memilih jauh dari hiruk-pikuk dan lebih memilih pulang, membuka laptop, membaca buku, atau mencari teman satu-dua orang untuk berdiskusi. Entah orang-orang mengatakan aku memang ingin mengasingkan diri atau tidak, tetapi dengan cara ini aku mendapatkan apa yang aku inginkan.

Dan aku pun sesekali rindu tentang rumah. Dengan cara ini, aku belajar berkawan, bukan melawan sepi. Aku mencintai sepi seperti aku mencintai diriku, seperti aku mencintai segala kenangan tentang kamu dan yang kutangkap dari segala medan perih ternyata tidak pernah menjadi nyata. Ia hanya lembaran yang begitu klise. Dengan mencintai sepi itu, selalu ada rasaku yang pulang meski jasmaniku masih berada di sini. Masih ada kehangatan tentang rumah yang tak pernah hilang dan kuketahui bahwa yang dinamakan rumah adalah ketika kita mampu menempatkan hati di mana saja kita bisa merasakan zona nyaman.

Di sini sangatlah sepi. Awan berarak ke timur, kata orang-orang dan aku percaya saja. Tidak ada suara kereta, mobil, atau kebisingan lain. Aku pun bisa memutar Enya dengan jelas meski volume suara yang sangat kecil. Cenderung pula aku menghabiskan waktuku dengan tidur meski tak pernah merasa nyenyak. Seringkali aku terbangun di tengah malam atau waktu tidurku tidak pernah sama dengan ketika aku berada di rumah. Tapi bagiku cukup.

G, aku akan pulang. Entah di hari apa, tetapi kurasa kita tidak akan sempat bertemu. Namun aku selalu mendapatkan bahagia ketika aku sanggup menuliskan surat kepadamu dan dengan cara ini kuketahui bahwa kekayaan kata-kata bisa membuatku lebih bernyawa. Lewat cara inilah, kita bertemu.



Bandung, 20 Oktober 2011 | 10.32
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 18 Oktober 2011

Suka, Duka, Murka

kau tahu, dengan mengenal sukamu kau akan dapatkan segala bahagia yang orang-orang nantikan, dengan mengenal dukamu kau akan dapatkan segala nestapa yang orang-orang asingkan, dengan mengenal murkamu kau akan dapatkan segala egois yang orang-orang abaikan. berangkat dari suka, duka, murka, kau telah menjadi manusia yang mengalami manis-pahit kehidupan dan tak perlu lagi mengeluh tentang hidup yang terasa sangatlah tawar.


Bandung, 19 Oktober 2011 | 08.08
A.A. - dalam sebuah inisial

Penyair

Penyair

Jika tak ada mesin ketik
aku akan menulis dengan tangan
jika tak ada tinta hitam
aku akan menulis dengan arang.

Jika tak ada kertas
aku akan menulis pada dinding
jika menulis dilarang
aku akan menulis dengan
tetes darah


Sarang Jagat Teater
19 Januari 1988.


Widji Thukul adalah seorang penyair dan aktivis yang lahir pada tanggal 26 Agustus 1963. Terlahir dari ayah yang seorang tukang becak. Rajin menulis puisi sejak SD dan bergabung dengan kelompok Sarang Jagat Teater. Sejak peristiwa 27 Juli 1996, Widji Thukul hilang dan diduga dilenyapkan oleh pemerintah orde baru karena kegiatan aktivisnya. Beberapa orang menyatakan masih melihatnya di tahun 1998. Sejak tahun 2000, ia dinyatakan hilang sampai kini. Salah satu buku kumpulan puisinya yang terkenal adalah 'Aku Ingin Jadi Peluru'.

Senin, 17 Oktober 2011

Bila Aku Dilarang Menulis

bila aku dilarang menulis, pun itu bukan masalah besar bagiku
aku akan menulis dengan tetes darah sebagai tinta*
dan tembok di muka rumahmu kujadikan kertas tak habis

bila aku dilarang menulis, aku tak akan pernah marah
akan kucabik setiap kata dan menempelkannya di pintumu
biar kau tahu kata-kata itu yang akan memenjarakanmu

bila aku dilarang menulis, aku memilih untuk diam
karena kau tidak akan pernah sadari dari diam itu
jantungmu telah berhenti karena jutaan aksara menyumbat detakmu




*) dari puisi Widji Thukul



Bandung, 18 Oktober 2011 | 01.46
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 14 Oktober 2011

'Senyawa Apologi' merdeka di dalam 21 Juara Harapan LMCR 2011. Eureka!

Perihal: Berangkat

mungkin memang pulang yang mesti menjadi jawaban
dari semua kegelisahan yang lahir dari rahim waktu
yang dikandung oleh perempuan bernama rindu
dari sana ia menjadi seonggok anak yang sempurna

mungkin memang pulang memberi kecukupan
tentang haus akan cinta dan kasih di dalam dekap
tentang peluk di dalam setiap sapaan yang lembut
tentang cium yang mesra di bibir usia yang menua

dan pula mungkin pulang yang memberikan kecup kenang
biar kamu enggan untuk pergi lagi karena kamu tahu langkahmu
kamu tahu semestinya kamu memang berada di mana
dan di sanalah sesungguhnya rumahmu, letak hatimu bersemayam





Jakarta, 14 Oktober 2011 | 20.12
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 13 Oktober 2011

A Part of A Farewell

be a part of you
be a part of your heart
be a part of your journey
and be a part of your life

thank you
to make my life wonderful
to make my love colorful
to make my day beautiful

nice to meet you
but (very) not nice to separate you






Jakarta, October 14th 2011 | 08.04
A.A. - in an initial

Selasa, 11 Oktober 2011

Perihal: Perih

mungkin tuhan tahu seberapa engkau menderita karena perih itu
perih yang tak bisa kau bagikan kepada sekitarmu, kepadaku
perih yang hanya boleh kau nikmati seorang diri di dalam waktumu
atau kau memang hanya ingin menjadikannya bagian dari dirimu

tentang sakit itu bisa saja terobati, tetapi sejarah sudah lebih lekas mencatat
boleh kulit hatimu terluka, ditahirkan, tetapi akan meninggalkan bekas
biar kau ingat lagi rasa sakitmu, rasa perih yang tak bisa kau lupakan
biar kau selalu berusaha untuk tidak menggores luka kepada lawan bicaramu

mungkin tuhan tahu seberapa perih luka jiwamu yang meradang
ia hanya butuh tempat untuk beristirah dan memulihkan isi batin
lebih mengenal siapa dirinya dan tahu caranya untuk menjadi pulih
dari sana, ia menghargai perih sebagai bagian dari darah waktunya



Bandung, 12 Oktober 2011 | 07.27
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 08 Oktober 2011

Ia yang Disebut dengan Cinta

Bukankah kau yang memanggilnya demikian? Adapun aku tidak pernah melarang akan kehadirannya.

Aku hanya membuka pintu agar ia hendak bertamu, menikmati segala suguhan yang ada di rumah hati.

Kau memanggilnya dengan nama itu, aku pun demikian.

Memang mungkin ia yang disebut dengan cinta, ia yang dikenal dengan cinta.

Sehingga bukanlah hal yang tidak indah bila orang-orang bahagia karena ia, pula berlara karena ia.

Ia bisa menjadi sumber bahagia dan sumber nestapa. Ia seperti air yang melegakan, tetapi juga air yang menjadi bah.

Tapi tanpanya, hidup adalah tawar, tak lagi beragi.


Jakarta, 8 Oktober 2011 | 11.18
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 04 Oktober 2011

Perihal: Air Mata

bukankah kita pernah mendiskusikan hal ini
di mana kita hanya bisa menderita sakit seorang diri
menyimpan dendam yang tak terbalaskan
mengubur rasa sakit hati yang tak terbuka
dan benar-benar sungguh kesepian
air mata menjadi jawaban untuk memilih langkah
sebagaimana kita pernah pergi kepada waktu
untuk mengemis agar ia tak cepat berlari
agar tak sia-sialah semua hari yang ada
agar tetap ada harapan meski di tengah sepi
meski kau dan aku benar-benar merasa kesepian
air mata menjadi jawaban, untuk kau tahu tentang sebuah kehidupan
yang tak selalu semua orang tahu tentangnya



Bandung, 5 Oktober 2011 |5.01
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 29 September 2011

Hari ini, 46 tahun yang lalu, Letkol Untung menjadi orang yang bengis. Enam perwira ditemukan di Lubang Buaya dalam keadaan tewas. Mengingat sejarah adalah melawan lupa, melawan matinya unsur kemanusiaan tentang masa kelam. Melawan lupa adalah tugas seorang manusia yang tak mengenal kata usai.

Epilog September

September hanya seperti pagi dan malam
ia datang untuk kemudian pergi lagi tanpa pamit
setidaknya kita tahu sehingga kita siap untuk kehilangannya lagi
mendoakannya di dalam perjalanannya dan membekalinya dengan asa
agar ia tak menjadi lenyap ketika dunia yang terlalu kejam memberangusnya
karena setiap orang berdoa agar September tidak lekas pergi
begitu juga aku dan kau, begitu juga kau dan aku

bukankah pergi memang untuk menemukan jalan pulang?
ketika itu gerimislah aku dengan air mata yang ada di pelupuk
tak hingga untuk melepas segala kenangan dan tak tampak wujud ikhlas
September menyimpan fajar dengan sebungkus ratap yang begitu manis
juga mengepak cinta yang tidak memandang sepi dan ramai
'aku harus pergi, sampai jumpa lagi di dimensi baru,' kata September

bukankah semua awal akan bertemu dengan akhir
bukankah semua pertemuan akan bertemu dengan perpisahan
bukankah kita hanya sekadar bertemu dan bertamu, duduk di beranda
seperti halnya September yang akan pamit, untuk pergi

entah ke negeri mana



Bandung, 29 September 2011 | 17.54
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 28 September 2011

Nasional.Is.Me

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Nonfiction
Author:Pandji Pragiwaksono
Nasional.Is.Pandji

Awal ketika saya melihat Pandji adalah ketika ia tampil di salah satu televisi dengan gayanya yang tidaklah terlihat seperti orang yang mencintai Indonesia. Berpakaian santai dan cara bicaranya yang juga sudah mengikuti tren masa kini. Ya, silakan Anda mengatakan ini adalah hasil dari globalisasi dan memang tidak dapat dipungkiri jawaban tersebut. Saya pun mengaminkannya.

Globalisasi, seperti kata Robert Jackson dan Georg Sorensen, bisa mengubah hal-hal yang ada di dalam sebuah negara. Mau tak mau, kita harus bisa memilih dan memilah hasil dari proses kebudayaan tersebut. Adalah menjadi kewajiban kita untuk menentukan hendak memilih yang mana. Di situlah bukti yang sangat nyata bagaimana kita mencintai negara kita, akan sejauh mana kita akan terseret oleh arus globalisasi yang tentunya saja bisa menanggalkan jati diri bangsa.

Globalisasi juga bisa menciptakan hal yang buruk seperti kemiskinan, perbedaan strata yang semakin jelas terlihat, dan kebudayaan yang lenyap. Indonesia sudah diambang itu semua. Silakan lihat berapa banyak pengamen dan pengemis yang berkeliaran di satu perempatan jalan. Tidak terbayangkan lagi keadaan ini menjadi sebuah perhatian yang harus dipandang serius.

Dengan gayanya tersebut, siapa pernah menyangka seorang Pandji benar-benar jatuh cinta kepada negerinya sendiri. Lewat tulisanlah ia mengapresiasi, mendukung, dan mewujudkan rasa nasionalisnya. Bukankah kita tak perlu mati untuk membuktikan bahwa kita cinta akan tanah air kita? Bukankah kita tak perlu mengangkat senjata dan berperang untuk menunjukkan sejauh apa kita cinta akan tanah air ini?

Pandji mengajak kita untuk mencintai bangsa ini lewat cerita-cerita dan pengalaman hidupnya yang tentu saja tak bisa dimiliki oleh orang lain. Setidaknya, dengan berbagi itu, ia telah mewujudkan apa yang diharapkan banyak orang: cinta akan tanah air.

Bukankah masih banyak yang bisa dibanggakan dari Indonesia? Silakan percaya atau tidak, orang-orang di luar negeri begitu mencintai Indonesia. Pernah mendengar nama Alfred Riedl? Apa yang diberitakan oleh media massa tentang dirinya? Ia mengatakan ia sudah terlanjur mencintai Indonesia dan berharap dapat kembali ke negeri ini.

Kita memiliki tanah yang sangat subur, alam yang luas, air yang mengalir, sawah yang bisa ditanami dengan bibit apa pun. Kita bisa berkeliling dan menikmati matahari terbit-terbenam tepat pada waktunya. Kita boleh berbangga dengan semua hal yang negeri lain belum tentu memilikinya.

Pandji boleh memilih untuk mewujudkan cinta akan tanah airnya dengan menulis tanpa harus menanggalkan jati dirinya yang terikat akan proses globalisasi. Demikian pula dengan kita. Tidaklah seharusnya kita hanya bisa mengkritik tanpa berani memberi saran. Dengan demikian, ada timbal balik antara negara dan penduduknya untuk saling mencintai dan saling memberi. Begitu sayang, ketika kita berada di negeri ini, kita hanya bisa mengeluh dan ketika meninggalkan negeri ini, kita hanya mendapatkan balasan: rasa rindu akan negeri sendiri.

Bisa saja benar apa yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer:

“Karena kau lahir, tumbuh, hidup dan bekerja di sini, dan kelak kau pun mungkin akan mati terbaring di tanah ini – tanah tumpah darahmu, maka itu sudah lebih dari cukup sebagai alasan untuk mencintai negerimu.”





Bandung, 29 September 2011 | 08.10
A.A. - dalam sebuah inisial

Life Traveler

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Travel
Author:Windy Ariestanty
Perihal: Surat untuk Seorang Penulis


Kak Windy,


Tentu kau tahu saya bukanlah seorang pembaca yang baik dan bukanlah seorang penulis resensi yang arif. Saya hanya menulis tentang apa yang ingin saya tulis, saya tidak pernah peduli dengan pembaca yang akan menilai apa dan apakah tulisan saya kelak dipuji atau dicerca. Dengan menyandangi apa yang dikatakan oleh Seno Gumira Ajidarma, setidaknya tulisan yang sudah dilemparkan ke tengah masyarakat, ia sudah menjadi milik publik dan penulis tidak berhak menghujat sang pembaca.

Demikian pula tentang surat yang saya tulis dan saya publikasikan ini. Tentu orang akan menilainya dengan cara mereka sendiri. Mungkin ada yang tersenyum, mengerutkan dahinya, atau pula langsung menutup laman ini tanpa acuh. Saya pun juga tidak harus memaksa orang lain membacanya. Termasuk seorang Windy Ariestanty.

Ini hanyalah sebuah surat dari seorang pembaca kepada seorang penulis yang jatuh cinta kepada aksara yang ditulisnya. Ya, seorang pembaca yang tanpa rasa malu menuliskan suratnya kepada sang penulis tanpa ia tahu harus dituju ke mana surat itu, atau haruskah dengan cara diam-diam mengirimkannya lewat email sang penulis? Ah, saya bukan tipikal orang yang sanggup mengirim pesan untuk menyatakan langsung dan terang-terangan. Biarkan saja, dengan cara ini, ketika kau tanpa sengaja melintas di dunia maya dan membaca apa yang kutulis ini. Tapi posisikanlah kau sebagai penulis sedangkan saya sebagai pembaca. Itu sangatlah cukup.

Kali pertama saya membaca tulisanmu ketika ada di dalam buku Kepada Cinta. Kali itu juga, saya memberikan penilaian secara pribadi bahwa memang seorang Windy Ariestanty ini bukanlah penulis yang tidak bisa tidak meninggalkan kesan ketika saya mengakhiri apa yang ditulisnya. Sederhana, itu yang saya kecap saat mata melintasi baris-baris aksara yang dirawinya.

Dan saya sebut Life Traveler ini tak lain dan tak bukan adalah catatan perjalanan dari seorang pelancong yang bekerja dan berjalan-jalan, Windy Ariestanty.

Adapun kisah Life Traveler sendiri adalah kisah menatap orang, bertemu dan berpisah, berbicara dan berinteraksi dari kota ke kota, negara ke negara, dan benua ke benua. Tugasmu hanya menceritakannya kembali apa yang kau rasa ketika melintas dan bertemu dengan orang-orang yang tak pernah kau temu sebelumnya. Mungkin dengan cara inilah, Life Traveler lahir dengan proses yang berbeda daripada anak-anak pada umumnya. Karena itu pula, Life Traveler dinanti-nantikan banyak orang sejak di dalam rahim.

Awalnya, biasa saja menurutku di bab-bab awal, seperti cerita-cerita yang kau celotehkan di Twitter, seperti ketika kau beranjak dari kota ke kota dan mengunduh foto di Twitter dan bercerita sedikit banyak mengenai perjalananmu. Sampai pada akhirnya, aku terantuk di dalam surat teruntuk Pak Mula yang ternyata telah memimpikanmu untuk pergi ke Eropa, menghadiri Frankfurt Book Fair. Sayang seribu sayang, Pak Mula sudah mendahuluimu untuk berangkat ke Eropa yang sangat abadi, entah di mana. Yang tersisa adalah Eropa di dalam kefanaan yang sungguh dapat kau tapaiki jejakmu dan surat yang tak akan pernah sampai itu setidaknya dibaca Pak Mula. Itu yang kuaminkan.

Lagi, yang berkesan bagiku adalah sosok Marjolein yang mencintai Indonesia meski ia taklah berdarah bumi ini dan untuk pandai berbahasa Indonesia pun ia harus jauh-jauh belajar. Kadang, untuk menjadi seorang yang nasionalis, kita harus diperingatkan dahulu oleh orang yang berada jauh jaraknya dari tanah Indonesia. Itulah Marjolein yang kurasa sesungguhnya ia adalah orang yang rindu pulang. Tak akan ada petualang yang tak rindu pulang seperti halnya tak ada merpati yang lupa akan kediamannya. Setidaknya bagi Marjolein, Indonesia adalah 'rumah' baginya untuk melepas rindu.

Beberapa bulan yang lalu, di dalam sebuah perjalanan pulang, saya menemukan ke mana memang seharusnya kita berada. A home is a house, but a house is not always a home. Itu yang saya katakan kepada teman saya. Ia hanya mengerutkan dahinya sembari berujar dan berpikir bagaimana menerjemahkan arti 'rumah' sesungguhnya. Dan memanglah esensi pulang adalah esensi yang menakjubkan. Jarak yang membuat perpisahan begitu nyata dan menjadikan perjalanan lebih menemukan eksistensinya. Makna di dalam perjalanan pun tak akan hilang begitu saja.

Kerap kali, saya menemukan hati saya bukanlah berada di rumah, tetapi di dalam perjalanan. Entah sedang di pelosok desa, di puncak gunung, di tepi danau, atau di tengah jalan. Juga kebahagiaan yang ditemukan tak melulu ada di rumah. Saya sering menemukan apa yang dinamakan dengan cinta di tempat yang begitu jauh dari rumah. Saya pun bersepakat dengan apa yang dikatakan oleh perempuan itu,"Home is a place where you can find your love."



Kak Windy,

Mungkin perjalanan sederhana bisa menciptakan pelajaran yang tidaklah sederhana untuk kita cerna. Tetapi perjalanan sendiri membuat kita lebih banyak belajar tentang apa yang tak pernah diajarkan oleh bangku sekolah, mungkin guru-guru pun tak tahu ketika mereka harus mendefinisikan hidup seperti apa. Di dalam perjalanan, dunia lebih mendidik kita untuk lebih berani menantang kehidupan itu sendiri.

Di dalam kata-katamu, selalu ada kekuatan yang meninggalkan jejak yang membekas ketika saya mengakhiri dari keping-keping ceritamu. Inilah dari kepiawaianmu merawi dan berangkat dari sesuatu yang terlihat sepele dan bernilai nihil dijadikan olehmu lebih berisi dan tak lagi bernilai kosong begitu saja. Adalah perjalanan yang menjadikan itu semua menjadi ada. Tentang hidup yang tak akan pernah habis untuk dieksplorasikan dan catatan perjalanan ini yang merupakan dokumentasi dari langkah demi langkah sudah memuatnya dari ribuan bahkan jutaan cerita yang ada di dunia ini setiap harinya.

Kurasa perjalanan yang kulintasi bersama anak rohanimu sudah lebih dari cukup.

Terima kasih untuk sebuah sajian di mana kau ternyata masih bersedia untuk selalu berbagi tentang pengalaman di dalam perjalanan, di mana tak semua orang pernah seberuntung engkau yang menikmati perjalanan dan berinteraksi dengan masyarakat. Doaku, jangan pernah lelah untuk tetap berbagi dan tetap menulis.

Tabik!



Bandung, 28 September 2011 |
A.A. - dalam sebuah inisial


Minggu, 25 September 2011

Petang Bersama Ayah

adalah petang yang paling mengagumkan
dan tak akan pernah terlupakan.






Bandung, 25 September 2011 | 17.26
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 22 September 2011

Lowongan Kerja Admin Kutukutubuku

Start:     Sep 22, '11
End:     Sep 30, '11
Dibutuhkan: Admin

Persyaratan :
Wanita/Pria, usia maksimal 25 tahun
Pendidikan minimal SMA atau sederajat
Terbiasa mengoperasikan Microsoft Word, Excel, dan internet.
Cekatan, teliti, rapih, bersih dan disiplin
Jujur dan berkepribadian baik
Tinggal di wilayah Jakarta Selatan lebih disukai
Bisa bekerja dalam tim
Suka membaca dan tahu dunia perbukuan
Non / Pengalaman
bersedia dikontrak selama 1 tahun

Kirimkan lamaran melalui email ke : taniaedoardo@gmail.com disertai pernyataan gaji yang diharapkan (expected salary)
Lowongan berlaku sampai tanggal 30 September 2011


Source here

Senin, 19 September 2011

LOMBA CERPEN JILFEST 2011

Start:     Sep 20, '11 12:00a
End:     Oct 15, '11
THE 2nd JAKARTA INTERNATIONAL LITERARY FESTIVAL (JILFest) 2011



LOMBA MENULIS CERPEN

“Spirit Persaudaraan dan Multikulturalisme”



Kerja Sama:

Komunitas Sastra Indonesia (KSI)

Komunitas Cerpen Indonesia (KCI)

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud)

Provinsi DKI Jakarta







Dasar Pemikiran



Jakarta sebagai ibukota negara, pusat pemerintahan, kota internasional, dan berbagai predikat lainnya –yang melekat pada reputasi dan nama baik Jakarta yang merepresentasikan citra Indonesia— memiliki arti penting tidak hanya bagi warga Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia, tetapi juga bagi masyarakat dunia. Artinya, posisi Jakarta sangat strategis bagi usaha mengangkat keharuman Indonesia serta menjalin kerja sama budaya untuk memperkenalkan Indonesia ke pentas dunia.

Dalam khazanah kesusastraan Indonesia, Jakarta dengan berbagai kekayaan kebudayaannya, keberagaman masyarakatnya, percepatan pembangunannya, serta latar geografik dan latar alamnya yang memancarkan perpaduan modernisme dan eksotisme, telah sejak lama menjadi lahan garapan para sastrawan Indonesia, bahkan juga sastrawan dari mancanegara. Kini, selepas memasuki alaf baru dan zaman ingar-bingar reformasi, sejauh manakah Jakarta masih memancarkan pesonanya, auranya yang menyebarkan daya tarik, dan semangat yang merepresentasikan keindonesiaan.

Dalam kaitan itulah, lomba penulisan cerita pendek berlatar Jakarta dengan tema “spirit persaudaraan dan multikulturalisme”, akan menawarkan catatan estetik yang khas, sekaligus juga universal dalam sebuah kemasan karya sastra. Maka, karya itu hadir sebagai totalitas kreativitas pengarang. Tanpa itu, latar atau tema Jakarta hanya akan menjadi sesuatu yang artifisial, tempelan, dan tidak menyodorkan ruh Jakarta sebagai representasi keindonesiaan.



Tema

“ Sprit persaudaraan dan multikulturalisme “.



Ketentuan Umum

Lomba ini terbuka bagi warga dunia (warga Indonesia dan warga asing)
Biodata dan alamat lengkap (termasuk nomor telepon, ponsel, dan e-mail) disertakan di luar naskah lomba.
Peserta boleh mengirimkan lebih dari satu naskah lomba.
Naskah lomba belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apa pun, baik sebagian maupun seluruhnya.
Naskah lomba ditulis dalam bahasa Indonesia dan merupakan karya asli.
Naskah lomba dikirim kepada Panitia sebanyak 5 (lima) kopi, disertai CD atau flash disk berisi file naskah, selambat-lambatnya tanggal 15 Oktober 2011 (stempel pos).
Di sebelah kiri amplop hendaknya ditulis “Lomba Menulis Cerpen JILFets 2011”.
Naskah lomba dialamatkan kepada:

Sekretariat Panitia Lomba Menulis Cerpen

Jakarta International Literary Festival (JILFest) 2011

Bidang Pemberdayaan Masyarakat

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) DKI Jakarta

Jl.Kuningan Barat No. 2, Gedung B Lt. 3, Kuningan, Jakarta Selatan

Telp. (021) 5263923



Ketentuan Khusus

1. Penjabaran tema dalam cerita dan penggambaran latarnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

2. Panjang karangan antara 8.000-15.000 karakter (with space), atau 4-8 halaman ketik 1,5 spasi, kertas ukuran A4 dengan huruf standar (Times New Roman, 12).

3. Peserta lomba adalah perseorangan, bukan kelompok.

4. Merupakan karya asli, bukan terjemahan ataupun saduran. Penjiplakan atas karya orang lain dalam bentuk apa pun, tidak dibenarkan, dan panitia berhak membatalkan keikutsertaannya dalam lomba ini.

5. Keputusan Dewan Juri bersifat mutlak dan tidak diadakan surat-menyurat.



Ketentuan Lain

1. Pengumuman Lomba dan penyerahan hadiah akan diselenggarakan pada acara khusus dalam rangkaian JILFest 2011, bulan Desember 2011.

2. Juara 1 s.d 3 akan diundang untuk mengikuti JILFest 2011 di Jakarta.

3. Hak Cipta ada pada pengarang.

4. Sebanyak 20 cerpen pilihan berikut karya para pemenang akan diterbitkan dalam bentuk buku, bersama 20 cerpen pilihan dan juara lomba menulis cerpen JILFest 2011. Buku ini diupayakan akan diluncurkan serta didiskusikan dalam JILFest 2011 di Jakarta.

5. Panitia berhak mengedit kesalahan pengetikan dalam cerpen.



Hadiah dan Honorarium

Juara 1 Rp 10.000.000,00

Juara 2 Rp 7.500.000,00

Juara 3 Rp 5.000.000,00

Juara Harapan 1 Rp 3.500.000,00

Juara Harapan 2 Rp 2.500.000,00



Keterangan Lain:

Juara 1 s.d 3 akan diundang ke Jakarta untuk mengikuti Jilfest 2011 dengan fasilitas (akomodasi, dan konsumsi) ditanggung Panitia. Keterangan lengkap tentang lomba ini dapat dilihat pada laman (web site) www.jilfest.org.



Jakarta, 5 Agustus 2011

PANITIA PELAKSANA JILFest 2011

Menulis Kisah Reflektif “Man Jadda Wajada” bareng A. Fuadi

Start:     Sep 20, '11
End:     Sep 30, '11
Menulis Kisah Reflektif “Man Jadda Wajada” bareng A. Fuadi



Tema: Pengalaman Orangtua Merawat Anak



“Cinta orangtua sepanjang masa, cinta anak sepanjang galah” (Pepatah)

“Dua hal yang tidak bisa ditunda adalah beramal dan berbakti kepada orangtua Anda” (Master Cheng Yen)



Orangtua memiliki peran yang sangat penting dalam menanamkan pondasi yang kuat kepada anak. Mereka banyak berjasa dalam kehidupan seorang anak. Terlebih orangtua yang mempunyai anak dalam kondisi yang tidak diharapkan sebelumnya, seperti terkena narkoba, autis, difabel, kecanduan merokok, dan lain sebagainya. Kita salut kepada para orangtua yang mengerahkan upayanya demi masa depan anak-anaknya yang mengalami keadaan seperti itu.



Oleh karena itu, kami mengajak kepada khalayak pembaca untuk berbagi pengalaman dalam merawat anak, baik anak kandung maupun bukan. Anda bisa menggali pengalamannya dari sudut orangtua, anak, dan yang lainnya.

Naskah yang terpilih akan disertakan dengan tulisan A. Fuadi dan diterbitkan oleh Bentang Pustaka.



Syarat-syarat dan ketentuan:

Panjang tulisan sekitar 10 halaman, Times New Roman spasi 2, Font 12, kertas A4.
Belum pernah dimuat dan dipublikasikan di media mana pun
Kirimkan tulisan Anda dalam bentuk file ke email redaksi: man.jadda2011@gmail.com dengan subjek: Man Jadda Wajada
Tulis biodata Anda dalam bentuk narasi di bawah tulisan Anda beserta alamat lengkap dan nomor telepon.
Tulisan yang terpilih berhak mendapatkan fee sebesar Rp 300.000,- (Tiga Ratus Ribu Rupiah) dan mendapat paket buku dari Bentang Pustaka, termasuk buku Pengalaman Orangtua Merawat Anak : Man Jadda Wajada Series (jika sudah terbit).
Naskah diterima paling lambat 30 September 2011

Terima kasih

Bentang Pustaka

Lowongan Editor di Gradien Mediatama

Start:     Sep 19, '11
End:     Sep 30, '11
Penerbit Gradien Mediatama – Yogyakarta, membutuh seorang EDITOR BUKU TERJEMAHAN (EBT) dengan persyaratan:

1. Perempuan
2. Usia maksimal 25 tahun, belum menikah
3. (Lebih disukai) lulusan S1 Sastra/Pendidikan Bahasa Inggris
4. Mahir berbahasa Inggris baik tulisan maupun lisan
5. Gemar membaca, terutama buku berbahasa Inggris
6. Memiliki pengetahuan bahasa Indonesia yang memadai
7. Berdomisili atau bersedia berdomisili di kota Yogyakarta
8. Sanggup bekerja mengikuti Deadline

Surat lamaran dengan kode (EBT) diterima paling lambat 30 September 2011, dikirimkan ke:

HRD Kelompok Agromedia
Divisi Rekrutmen
Jl. H. Montong No. 57, Ciganjur – Jagkarsa
Jakarta Selatan

ATAU

rekrutmen.agromedia@gmail.com



Source here

Dicari: Penerjemah Novel Korea

Start:     Sep 19, '11
End:     Sep 20, '11
Penerbit Gradien Mediatama membutuhkan Penerjemah Freelance andal untuk menerjemahkan novel-novel berbahasa Korea ke bahasa Indonesia.

Lowongan ini terbuka bagi Anda di mana saja (dalam maupun luar negeri), tanpa batasan latar belakang pendidikan, asalkan memenuhi prasyarat utama:

Menguasai bahasa Korea dengan baik dan mampu menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia yang luwes.

Apabila Anda berminat, silakan mengirimkan aplikasi ke email gradienmediatama(at)gmail



Source here

Mendengar Cita-cita

Sebuah malam Juli di Senayan, Jakarta, saya mencegat taksi untuk menumpang setelah hampir seharian berkelana di kota ini. Tepatnya bukan berkelana, tetapi menyerahkan hasil kerja dan hendak pulang. Jakarta sudah memperlihatkan langitnya yang pekat dalam gelap dan saya sudah enggan untuk berdesak-desak di dalam busway yang semakin hari semakin tidak bisa membuat puas para penumpangnya karena armada bus yang tak pernah sesuai dengan jumlah penumpang.

Masuklah saya ke dalam sebuah taksi. Seorang bapak, sebutlah namanya Pak Amir. Tak ada ucapan selamat malam, tak ada sapa hendak ke mana arah kita. Tiba-tiba ia langsung bercerita sendiri. Tapi saya membiarkannya saja apa yang hendak dikatakannya sembari mengatakan ke mana saya akan beranjak.

Langit Jakarta sudah terisi oleh kerlap-kerlip dari lampu-lampu. Jalanan ibukota tetap padat, apalagi saya pulang di jam orang-orang pulang ke rumah. Klakson, umpat, dan suara knalpot menjadi hal yang tak asing lagi ketika hidup di Jakarta. Rasanya hampir tak ada orang yang hidup di jalanan Jakarta yang tidak ingin mengumpat dengan sikap dan perilaku sesama pengguna jalan. Bahkan sampai pengemis dan pengamen pun bisa menjadi sasaran ketika seorang pengguna jalan sudah naik darah di jalanan ini.

Saya tahu, malam-malam itu adalah malam-malam terakhir saya menikmati kemacetan Jakarta secara utuh. Setelahnya, mungkin saya hanya menikmati udara dingin dan angkot-angkot yang tahu sopan santun dalam mencari penumpang. Jakarta keras, dan itu benar-benar keras. Dari jalanan saja kita bisa melihatnya.

Pembicaraan saya dan sopir taksi tadi belum usai. Tiba-tiba ia bertanya tentang hal yang tak biasa saya bicarakan dengan supir taksi lainnya.

"Dik, kerja di mana?"
"Kerja sambil kuliah, Pak. Kerja serabutan. Hahaha..."
"Kuliahnya di mana?"
"Bandung."
"Lho? Kok?"
"Kuliah belum mulai, saya di sini bekerja iseng-iseng saja. Isi waktu liburan."
"Kuliahnya apa, Dik?"
"Ilmu Politik, Pak. Kenapa?"
"Tahu dong kasusnya Nazaruddin?"
"Tahu, Pak."
"Menurut Adik, Nazar salah atau tidak?"
"Salah dong, Pak. Tapi masih ada kepalanya lagi yang lebih salah."
"Pernah bercita-cita dengan Indonesia yang bebas dari korupsi, Dik?"

Glek! Seorang sopir taksi menanyakan hal seperti ini kepada saya. Cukup mengejutkan sekaligus membuat sebuah hal yang tak pernah saya duga-duga sebelumnya. Selama ini, saya tahu kasus Nazaruddin seperti apa dan saya mengikutinya. Tetapi saya tidak pernah bertanya kepada diri saya apakah saya pernah berpikir dan bercita-cita memiliki negara yang bebas dari korupsi.

"Mungkin, Pak. Kalau Bapak sendiri?"
"Selalu. Saya sering sedih, tapi saya kan cuma sopir taksi."
"Lalu, mengapa dengan sopir taksi, Pak? Apa saya yang mahasiswa dan Bapak yang seorang sopir taksi tidak boleh bercita-cita?"
"Ya, boleh. Tapi cita-cita cuma cita-cita saja."
"Cita-cita bisa terwujud kalau mimpi kita tidak ketinggian dan kita mampu menggapainya, Pak. Kalau negara tanpa korupsi itu pasti tidak pernah ada di dunia ini."

Malam itu pula, telinga saya seperti mendengar lagu dari John Lennon, Imagine. "
You may say that I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will live as on"

"Saya dulunya kerja di Telkom, Dik. 15 tahun di sana. Semua tunjangan kesehatan dan sekolah anak ditanggung."
"Kok berhenti?"
"Gaji tak naik. Meski tunjangan ada, sering tidak cukup karena mereka tidak pernah menaikkan tunjangan sampai penuh. Tapi, sampai sekarang saya tetap ditanggung karena saya mengundurkan diri."

Di kursi belakang saya mengangguk. Kemudian mendengarkan lagi Bapak itu bercerita.

"Anak saya sudah selesai SMK. Syukur, saya bisa menyekolahkannya dari taksi. Kadang juga saya sedih, anak saya sebenarnya ingin kuliah. Tapi saya belum mampu. Untung dia mau masuk SMK. Sekarang dia bisa bantu bapaknya. Desain gelas, spanduk, dan baju."

Saya selalu percaya, semua orang memiliki cita-cita. Semua orang pasti akan bercita-cita. Seorang sopir taksi atau seorang mahasiswa yang duduk bersama di dalam satu mobil, melintasi jalan yang sama pun pasti memiliki cita-cita. Bukankah kita sedari kecil memang sudah ditanamkan cita-cita? Cita-cita membuat kita supaya bertahan hidup untuk memperjuangkannya dengan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada, membuat seseorang untuk menilai dirinya lebih berarti di dalam setiap kesempatan yang ada.

"Cita-cita itu ada batasnya, Pak. Kalau ketinggian, kita tak bisa menggapainya. Kalau kerendahan, mudah menggapainya, tetapi mudah juga untuk dilupakan oleh kita sendiri."
"Iya, Dik. Tapi orang miskin dilarang bercita-cita juga?"
"Cita-cita itu gratis, Pak. Semua orang bebas bercita-cita. Setinggi apa pun, serendah apa pun. Tapi kita harus sadar akan keterbatasan kita, Pak. Manusia pun ada batas dalam bermimpi. Bisa saja kita tidak sanggup menggapai cita-cita karena ketinggian."
"Jadi Adik tidak setuju dengan Sukarno?"
"Ya, tentu tidak. Memang bisa kita ke langit untuk menggapai cita-cita? Naik pesawat saja belum sampai ke langit paling atas. Hahaha..."

Perjalanan hampir usai. Saya hampir tiba sampai tujuan. Ada kesimpulan dalam hati bahwa Bapak Amir ini memang sudah bercita-cita. Orang kaya dan orang miskin boleh bercita-cita, perempuan dan laki-laki bebas bercita-cita. Cita-cita hanya berbeda dalam tinggi-rendah, besar-kecil, diperjuangkan-tidak, dan berhasil-belum berhasil. Tak ada cita-cita yang gagal.

Ada benarnya pula kata Andrea Hirata, berhenti bercita-cita adalah tragedi kehidupan manusia. Pak Amir bukannya ia tak mau memperjuangkannya, mungkin saja baginya dua cita-cita yang terdengar sederhana itu terlalu tinggi untuk digapainya seorang diri. Setidaknya, Beliau tidak berhenti untuk tetap bercita-cita.

Langit Jakarta hanya berhias lampu. Tibalah saya di destinasi berikutnya di mana teman saya sudah menunggu untuk obrolan malam sebelum saya pindah ke luar kota. Saya mengakhiri obrolan yang menarik dengan seorang sopir taksi yang memiliki cita-cita. Saya turun setelah membayar lebih sedikit sebagai bonus untuk mengisi kekosongan perjalanan saya yang terlalu membosankan hanya dengan diam.

Taksi itu melaju. Mungkin hanya saya dan Tuhan yang tahu, seorang sopir taksi pun memiliki cita-cita yang selalu ingin digapainya.




Bandung, 20 September 2011 | 07.19
A.A. - dalam sebuah inisial