Rabu, 30 April 2008

Dan Jika Ini Bukanlah Akhir Hidupmu

Kalau aku boleh mengucapkan kata
Aku akan berkata tentangmu, kasih
Meratapi peraduan alam kita
Yang tak kunjung kutempati dalam hidupku

Dan jika kau selalu berpikir akan kematian
Itulah kau sedang merasakan kehidupan
Saat ini, katakanlah kasih
Ini bukanlah akhir hidupmu

Ini bukanlah akhir dari hidupmu
Karena jalan yang kita tempuh masih teramat panjang
Terlalu dini kau ucapkan itu
Terlalu singkat untuk semuanya

Lepaskan pikiran itu
Karena hidupmu masih panjang

Selasa, 29 April 2008

Ejaan Yang Disempurnakan (Part 1)

Ejaan Yang Disempurnakan (Bagian 1)
Hanya untuk berbagi sekaligus belajar…

By: Aveline Agrippina Tando


Pemakaian Huruf

 

1. Abjad dalam Indonesia terdiri dari 26 huruf yaitu

Aa, Bb, Cc, Dd, Ee, Ff, Gg, Hh, Ii, Jj, Kk, Ll, Mm, Nn, Oo, Pp, Qq, Rr, Ss, Tt, Uu, Vv, Ww, Xx, Yy, Zz

 

2. Huruf vokal yaitu

Aa, Ee, Ii, Oo, Uu

 

3. Huruf konsonan yaitu

Bb, Cc, Dd, Ff, Gg, Hh, Jj, Kk, Ll, Mm, Nn, Pp, Qq, Rr, Ss, Tt, Vv, Ww, Xx, Yy, Zz

 

4. Diftong adalah gabungan dua huruf vokal yang berbunyi rangkap

            Ai dalam kata bermain

            Au dalam kata haus

            Ao dalam kata disaoskan

            Ia dalam kata diameter

            Ua dalam kata haluan

            Iu dalam kata iuran

 

5. Persuku kataan

Persuku kataan biasa digunakan dalam penulisan dialog yang adegan atau cara bicaranya tergagap – gagap atau sejenisnya.

 

Contoh:

A. Vokal = a-ku

B. Vokal konsonan = ar-ti

C. Konsonan vokal = ti-dur

D. Konsonan vokal konsonan = la-yang

 

(Dengan bantuan berbagai sumber)

Akan dilanjutkan setelah Ujian Nasional dan Ujian Praktek...

Sabtu, 26 April 2008

Agripzzz In Penulis Indonesia

http://www.penulisindonesia.com/Agripzzz
AKu hadir di Penulis Indonesia

Harmonikaku 8 - Terbongkarnya Hubungan Rahasia

Harmonikaku 8 - Terbongkarnya Hubungan Rahasia

Ruang makan itu telah kehadiran tamu besar untuk malam ini. Seorang calon mertua di hadapan Panji. Pak Wibisono menyambutnya dalam acara makan malam spesial di rumahnya. Entahlah, mengapa tidak di rumah sang calon menantunya, mungkin karena Pak Wibisono ingin memperkenalkan istri yang baru beberapa tahun ia nikahi, Ibu Indah Sinaringlintang, yang tak lain adalah ibu kandung dari Henggar Lintang, anak tiri dari Pak Wibisono. Memang Ibu Indah adalah seorang yang amat pemalu dan tak suka untuk keluar rumah.

"Pap, papa nggak bisa begitu! Panji sudah besar, Panji berhak menentukan masa depan Panji sendiri."

Suara itu memecahkan suasana suka di meja makan itu. Risa -yang sengaja duduk di sebelah Panji-   memegang tangan kiri Panji dan mengelusnya," kamu kok bicaranya begitu sih sama bapakmu, sayang?" Panji menjadi risih dengan kelakuan Risa. Ditariknya tangannya dari Risa. Risa pun terpaksa menarik tangannya. "Ada yang salah, Panji?" tanya Pak Johan yang ingin mematikan langkah Panji yang sedari tadi ingin menunda pertunangan itu.

"Ya, salah. Karena saya tidak pernah suka dan cinta pada Risa dan kita tidak perlu pertunangan ini."

Ketika kebohongan menjadi kejujuran berarti
Aku tak bisa bergerak dan berkata apa - apa lagi.

"Jadi selama ini, kamu berbohong padaku?" Risa menjadi geram.
  "Aku hanya ingin membuat papa bahagia. Itu saja, tak lebih. Dan sepertinya kamu bukanlah wanita yang memenuhi kriteria diriku. Maafkan aku, Risa! Lebih baik kita berhenti sampai di sini daripada melanjutkan hubungan yang tak jelas arahnya ini."
  "PANJI! LANCANG SEKALI KAMU BICARA BEGITU!" Suasana berubah menjadi ketegangan. Ibu Indah mencoba menenangkan suaminya yang sedang naik darah.
"Pap, maafin Panji." Panji bangkit berdiri dan meninggalkan meja makan itu. Suasana semakin menegang. Pak Johan mulai terlihat kebingungan. Ia menatap Pak Wibisono yang masih geram dengan tingkah anaknya itu sambil berharap Panji berubah pikiran.

Dan kejujuran telah terbuka lebar,
Telah kukatakan segala yang kupendam sendiri
Kegelisahan ini telah kutumpahkan

Panji menutup pintu mobilnya. Ia menyalakan mesin mobilnya. Diinjaknya pedal gas dan membawa mobilnya keluar dari garasi. Panji kecewa dan sedih. Ia telah membuat sang ayah marah besar dan kecewa atas pilihan ini. Ia merasa sangat bersalah, namun di sisi lain, ia telah lega mengungkapkan kejujuran atas kebohongan di hati yang ia lakukan pada Risa.

Mobil sedan itu meluncur dari rumah ke-45 di Jalan Rereng Adu Manis. Panji ingin ke rumah seorang tukang rujak yang sering lewat di depan rumahnya, Ita.

Malam semakin larut. Ita masih duduk di sebelah ibunya yang masih tertidur. Ia menatap wajah ibu. Aku tak ingin berpisah dari ibu! Kata - kata itu terus mengisi sisa waktunya bersama ibu. Ibu terlelap dalam tidurnya. Ah, seandainya ibu tahu aku akan pergi, ibu pasti tak akan rela!

Sedan itu berhenti di ujung gang rumah Ita. Kampung itu akan semakin sepi jika malam telah menampakkan dirinya. Panji turun dari mobil. Ia berjalan ke depan rumah Ita yang amat berbeda dengan rumahnya. Ia memberanikan diri untuk mengetuk pintu  yang hanya terbuat dari kayu yang serat - seratnya sudah terlihat jelas.

"Tok... tok... tok..." Seorang gadis membukakan pintu untuknya. Ita kaget setengah mati melihat seseorang yang ada di depannya.

"Malam Ita, ganggu kamu?" tanya Panji. Ita berulah salah tingkah. Ia hanya menggelengkan kepala. Mereka duduk di dipan triplek.
  "Kamu diterima di perusahaan itu?" Panji mencoba membuka pembicaraan.
  "Iya mas!" Panji tersenyum lebar, diikuti Ita.
  "Lalu, kamu ditempatkan di mana?"
  "Di Jogja, mas!" Panji mengangguk - anggukkan kepala menandakan 'iya'. Mereka menikmati udara malam itu. Gerimis membasahi tanah Bandung nan dingin itu. Membuat saraf - saraf harus bekerja ekstra menahan rasa dingin itu. Suara parau keluar dari dalam rumah.

"Phhhrrrrrrr.... hhhrrrr...... kakakakakakakak..... hihihihihi.... hrrrrr......"

Ibu Ita terbangun dari tidurnya dan keluar dari kamar. Ita tersentak dengan suara parau itu dan hatinya was - was luar biasa. Jiwanya takut peristiwa itu kembali terulang.  Tangan ibu meracau - racau ingin mengusir Panji. Pak Henggar berupaya membawanya masuk. Mencoba menarik tangannya. Tapi Ibu Hastuti terlalu kuat untuknya. Ia kalah.

Nada - nada harmonika mengisi kekhawatiran ini
  Membuat kepedihan dalam jiwa dan raga
Hujan membasahi dunia, melodi membasahi hati

Ibu Hastuti kembali masuk setelah mendengar alunan harmonika itu. Hatinya meluluh lantak, ia tak lagi menampakkan wajahnya pada Ita dan Panji. Pak Henggar menuntunnya masuk ke dalam kamar. Ita melepaskan tiupan terakhir dari harmonika itu. Ditariknya harmonika dari ujung bibirnya.

"Maaf ya, mas!" Ita menatap mata Panji. Panji tak lagi menunjukkan mimik ketakutan seperti ketika pertama kali ia bertamu ke rumah Ita. "Nggak apa - apa! Aku sudah tak takut lagi kok!" Ita melirik ke dalam. Kosong. Ibu Hastuti telah kembali masuk ke dalam kamar. Mungkin bapak telah menemaninya.

"Aku ambilkan minum dulu ya!" Ita bangkit berdiri. Panji memegang tangannya, menahan langkahnya.
  "Tak usah. Aku tak haus." Ita kembali duduk di sebelahnya.
"Aku ingin kamu mainkan lagi harmonikamu! Aku ingin mendengarnya sekali lagi." lanjutnya.

Ita mengambil harmonika yang telah ia letakkan di sebelah kirinya. Ditiup harmonika itu dengan seksama. Suara harmonika itu memecah keheningan malam.

Harmonikaku
Kutiup dalam hening ini
  Nada - nada keluar mengalun lembut
  Membisir kepenatan dalam diri
  Membayangi kehampaan malam
  Alunan rintihan hati dengarkanlah
  Jelas tanpa ada nada - nada kegembiraan
 Tiup harmonikaku, dengar rintihan hati

Nada yang amat tinggi mengakhiri permainan harmonika Ita malam ini. Mata Panji berkaca - kaca. Ita melepaskan genggamannya dari harmonika itu. Ia menatap Panji yang menghapus air matanya yang hampir jatuh di hadapannya. Rintihan hati telah terlepas seiring bunyi harmonika memadu dan angin malam telah berhembus jauh. Gerimis telah berhenti mengguyur bumi Bandung.

"Kamu sudah siap berangkat ke Jogja?" Ita menganggukkan kepalanya.
  "Kapan berangkat?"
  "Besok mas, dari stasiun jam delapan."
"Ooh... kuantar ya?"
"Ndak usah, mas! Aku nggak mau membuat mas repot. Aku bisa sendiri."
"Ya sudah, hati - hati! Aku pulang dulu ya, sudah larut malam."

Panji merogoh kantung celananya dan mengeluarkan kunci mobilnya.  "Ita, aku sayang kamu! Sungguh!" ucapnya setengah berbisik. Ita hanya terdiam seolah tak beraga lagi. Hatinya bedebar. Panji pergi meninggalkan rumah Ita. Ita tetap berdiri memandang Panji yang keluar dari gang itu dari depan rumahnya.

Jangan pikir jalan ke Roma itu hanya satu
  Ada banyak cara ke Roma
  Begitu juga dengan menaklukkan dirimu
Aku memiliki banyak cara

Tanpa disadari Panji, Pak Johan dan Risa telah mengikutinya dari belakang, tak lama setelah Panji pergi. Mereka langsung berpamitan pulang. Risa yang merencanakan aksi mata - mata. Lika - liku dan arah mobil Panji berjalan telah diketahui oleh mereka. Termasuk duduk mesra dengan seorang gadis kampung. Mereka memberhentikan mobilnya agak jauh. Menatap kemesraan antara Panji dan Ita.

"Pa, aku tahu perempuan itu!" katanya.
  "Siapa, Ris? Katakan!"
  "Perempuan itu tukang rujak yang sering lewat di rumah kita waktu sore - sore."
"Kamu yakin?"
"Iya... Risa yakin sekali, pa! Risa sering beli rujak-nya dia."

Pak Johan sangat puas dengan jawaban Risa. Ada suatu rencana yang sudah disiapkan dengan matang. Siap menempur Panji kembali.  Ia yakin kali ini ia tak akan gagal menikahkan Risa dengan Panji. "Kamu akan segera menikah, nak!" Ia tersenyum licik di balik jendela mobilnya. Risa berbunga - bunga, sepertinya ia akan berhasil menjadi istri Panji. Hubungan tersembunyi telah dibongkar oleh mereka.

Setelah puas melihat dari jarak kejauhan, mereka meninggalkan Panji dan Ita, sebelum Panji mengetahui keberadaan mereka. Mobil sedan hitam itu berlalu dengan membawa suatu kejutan untuk Panji.

Aku tak ingin kembali dulu
Aku ingin diam sendiri dalam gonjang - ganjing hidupku

Panji memberhentikan mobilnya di pinggir Jalan Dago. Akhir minggu ini, Dago ramai seperti biasanya, ada live music di pinggir jalan. Memang dia telah berencana tak akan pulang ke rumah malam ini. Pak Wibisono akan marah besar kepadanya. Ia turun dari mobil dan menyaksikan acara mingguan  itu dari radius yang agak jauh. Ia berencana mau menghabiskan waktu dini harinya di sana.

"Panji!"
  Seseorang memberhentikan motornya di sebelah Panji. Bramantyo, kakaknya.

"Kak, baru sampai ya?"
  "Iya, tadi jam sebelas. Pesawatnya di-delay dua jam. Jadi agak terlambat. Ternyata kamu masih hobi juga ya nongkrong di sini? Aku kangen dengan suasana gini. Kan di Singapura ga ada acara musik tengah jalan begini. Oh ya, tadi papa nyariin kamu, kamu habis bertengkar sama papa, ya?"
  "Tadi Pak Johan  datang diundang papa.  Pak Johan sepertinya ingin aku menikahi Risa cepat - cepat. Tadi siang, Risa menelponku untuk segera meminangnya sebelum aku berangkat ke Semarang. Papa sih setuju - setuju saja kalau pertunangan kita dipercepat. Tapi aku-nya yang nggak mau. Mas kan tahu sendiri kalo aku memang tidak pernah suka dengan Risa. Aku membatalkan pertunangan yang sudah papa rencanakan dengan Pak Johan."
  "Iya Ji, aku juga enggak setuju kalo kamu menikah dengan Risa. Aku merasa Risa dan keluarganya itu keluarga yang enggak beres. Sepertinya mereka ada rencana untuk membuat bangkrut perusahaan papa. Kamu kan ingat sendiri, waktu papa buka cabang di sini, mereka langsung jatuh."
"Tapi papa itu bagai orang yang sudah melihat lubang tapi masih terperosok juga, iya kan?"

Bramantyo hanya tersenyum mendengar keluh adiknya. Mata Panji masih mengarah pada acara weekend itu. Kembali hujan membasahi bumi Bandung. Kali ini disertai kilat dan petir. Penonton di bawah panggung berlari - larian meninggalkan acara itu. Alun - alun panggung menjadi sepi.

"Ji, kamu pulang ya!"
  Bramantyo memakai helm-nya dan menyalakan mesin motornya. Panji masuk ke dalam mobil. Ia mengibaskan tangannya menandakan agar Bramantyo jalan terlebih dahulu. Bramantyo menarik tuas gas motornya dan meninggalkan Panji. Panji menjalankan mobilnya. Motor Bramantyo sudah tak terlihat lagi. Panji membelokkan mobilnya ke parkiran factory outlet yang tak dijaga satpam satupun. Ia hanya bisa tidur di dalam mobilnya. Ia lupa membawa uang dalam dompetnya, setidaknya malam ini ia tak akan tidur di dalam mobil seandainya ia tak melupakannya dan malam ini ia enggan untuk pulang.

Gelisah hati ini semakin  mengerat
Aku tak ingin kehilangan
Semua kebahagiaan yang telah kumiliki

"Bu, Ita tak ingin pisah sama ibu dan bapak." Suara lirih terdengar dari bibir kecil Ita. Ita menahan tangisnya, ia tak ingin menangis di depan ibunya. Ia tak mau ibu yang terlelap terbangun karena tangisnya, apalagi sampai ikut terbawa suasana.

Tapi tembok penahan air mata sepertinya telah tak sanggup menahan lagi, tembok itu hancur. Tangis Ita pecah seketika di depan ibunya. Ia gagal menahan kepedihan. Ia menangis sejadi - jadinya di depan ibu yang masih pulas dalam tidurnya. Ibu, waktu Ita bersama ibu semakin sempit!

Ita gelisah. Ia hanya tertidur dua jam saja sejak Panji pulang dari rumahnya.

Pagi ini bukanlah pagi yang sungguh kunanti
  Pagi ini adalah duka untukku
Pagi ini adalah perpisahan untuk kita

Suapan terakhir di sendok telah ibu kunyah. Ita berdiri dan keluar mencuci piring bekas makan pagi ibunya. Lalu ia kembali ke kamar melihat ibunya. Pandangan Ibu Henggar Adibroto kosong, tak tahu apa yang dilihatnya. Ita hanya menatapnya dari depan pintu. Lirih.

Di halaman parkir factory outlet, Panji terbangun dan menyalakan mesin mobilnya setelah salah seorang satpam mengetuk kaca mobilnya. Ia meninggalkan pelataran parkir dan pulang ke Jalan Rereng Adu Manis.

"Bu, Ita pergi dulu ya, cari uang untuk ibu berobat." Ita mengatakannya perlahan ke telinga sang ibu.
  "Phrrrr........ hrrrrrrrr........ kakakakakakak...... somprett..... kamu gilaaa........ kamu gilaaaa.... hahahahaha....." Ibu Ita seolah acuh pada kepergian anaknya. Ita memeluknya erat. Ita menitihkan butir - butir air dari matanya sebagai lambang perpisahan. Ibu Ita tertawa terkekeh - kekeh, entah apa yang dilihatnya. Ita mengusap wajahnya dan mencium pipinya.
"Bu, Ita janji kalo Ita sudah punya uang, kita ke rumah sakit."

Ita keluar dari kamar dan bersiap untuk ke stasiun. Pak Henggar mengantarnya sampai ke depan rumah. Ita mencium tangan bapaknya.
"Pak, Ita berangkat ya! Tolong jaga ibu!" Bapak mengangguk - anggukkan kepalanya. Ia memeluk bapaknya erat. Mata mereka berkaca - kaca menahan pedih.
"Hati - hati, nak!"

Ita melepaskan pelukan ayahnya. "Deeeee.........wi......... anakkuuuuuuu..... bapak..... jahaaaaaat sama ibuuuu....... Deeeee....wi..... bapaaak... gilaaaa.... " Ibu Ita berteriak - teriak sendiri di dalam kamarnya. Seolah ia marah pada Henggar Adibroto. Ita mendengar. Ita kembali masuk dan memeluknya. Tangisnya pecah seketika saat ibunya masih memanggil namanya, Dewi Paramita. Ibu, ibu memanggil anaknya, ibu masih ingat diriku?

"Kamu tahu mengapa ibu dan bapak memberimu nama Dewi?"
  Ita kecil menggeleng. "Karena kamu adalah permata hati ibu dan bapak. Ibu suka memanggilmu Dewi. Dewi itu nama yang amat ibu sukai. Tapi bapak lebih suka memanggilmu dengan Ita, ya?"

Dimulailah sebuah permainan
  Telah terencana dengan amat rapi
Siap untuk menghancurkan dirimu

Panji memukul setir mobilnya. Wajahnya berubah menjadi wajah penuh emosi. Kekesalannya memuncak ketika melihat sebuah mobil sedan diparkir di depan rumahnya. Pak Johan ada di dalam. Ternyata dia belum puas dengan jawaban Panji kemarin.

"Panji, dari mana kamu?"
 Pak Wibisono mencegatnya dengan kata - kata itu. Panji yang acuh tak acuh berjalan ke hadapan ayahnya.
"Dari Dago," jawabnya santai.
"Jangan bohong, kamu! Kemana saja semalaman?"
"Di Dago. Panji tak bohong."

Pak Johan tersenyum   melihat kedua orang tersebut yang sedang bertengkar. Dia merasa menang dalam hal ini. Risapun demikian.

"Bukannya kamu dari rumahnya penjual tukang rujak dan kamu kencan semalaman?"

Perkataan itu. Darimana mereka tahu? Panji hanya bisa diam. Risa, Pak Johan, dan Pak Wibisono telah mengetahui hubungan itu.

Keheningan malam menyambut diriku,
A. A. T. - 230408

Silahkan baca di SINI juga
Sebelumnya (Part 7) (Part 6) (Part 5) (Part 4) (Part 3) (Part 2) (Part 1)

Gambar dicopet dari SINI
(Boleh dong, Tante Zev???)

Jumat, 25 April 2008

LOVE LFP (2008)

Start:     Apr 26, '08
End:     Jun 1, '08
DICARI: NOVEL BERMUTU KARYA ANGGOTA FORUM LINGKAR PENA

Sejak tahun 2000 anggota FLP telah menerbitkan ratusan karya fiksi, baik berupa kumpulan cerpen maupun novel. Sayangnya masih sedikit karya fiksi FLP yang berkualitas dari segi materi maupun dari sisi bisnis. Karya fiksi FLP mengalami kejenuhan. Salah satu penyebabnya: keseragaman tema dan teknik penulisan.

Kabar baiknya, karya fiksi FLP masih dicari dan diminati. Hal ini terbukti dengan meledaknya beberapa karya fiksi FLP di pasar buku Indonesia. Tahun 2008 ini, Majelis Penulis FLP yang terdiri dari : Ahmadun Yosi Herfanda, Asma Nadia, Boim Lebon, Fahri Asiza, Helvy Tiana Rosa, Izzatul Jannah, Joni Ariadinata, Jamal D. Rahman, Mutmainnah, Muttaqwiati, Novia Syahidah, Pipiet Senja, Yus R. Ismail, berinisiatif mengadakan lokakarya novel (LOVE FLP) untuk 6 anggota FLP yang terpilih. Peserta akan dibimbing secara intensif selama 3 hari (11-13 Juli 2008) dan asistensi sampai novel diterbitkan dan diluncurkan pada Munas 2009.

Adapun persyaratan untuk mengikuti LOVE FLP adalah sebagai berikut:

Syarat umum mengikuti LOVE FLP:
* Lokakarya terbuka bagi anggota FLP baik di luar negeri maupun di dalam negeri
* Naskah berupa karya asli, bukan terjemahan atau saduran.
* Naskah belum pernah dipublikasikan di media massa, dan tidak sedang diikutsertakan dalam sayembara.
* Naskah telah dikritisi atau dibedah terlebih dahulu oleh pengurus wilayah/cabang di mana anggota bergiat dengan melampirkan surat rekomendasi dari pengurus wilayah/cabang.
* Peserta boleh mengirim lebih dari satu naskah.
* Kesempatan lokakarya ini berlaku juga bagi pengurus pusat, wilayah, cabang, maupun ranting.
* Biaya transportasi menuju tempat lokakarya (PSJ-UI) selama tiga hari ditanggung oleh peserta sendiri, sedangkan akomodasi ditanggung oleh panitia silnas FLP dengan mengurangi kuota peserta undangan yang telah ditetapkan oleh panitia (peserta termasuk dalam kuota undangan)

Syarat khusus LOVE FLP:
* Tema cerita bebas, lebih disukai jika mengangkat tema sastra hijau; sastra, lingkungan hidup dan kearifan lokal
* Ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar tetapi tetap lincah, segar, tidak vulgar, tidak mengandung SARA.
* Panjang naskah minimal 150 halaman, ukuran kertas A4, diketik 1,5 spasi, font Times New Roman 12 pt, sudah dijilid dan diberi nomor halaman, dikirim rangkap 3
* Kirimkan naskah (print out), sinopsis cerita, no handphone, biodata penulis, serta fotokopi tanda pengenal penulis (KTP/Kartu Pelajar) ke:

PANITIA SILATURAHIM NASIONAL FLP 2008
Rumah Cahaya

Jl. Keadilan Raya No 13 Blok XVI
Depok Timur 16418

* Karya kami tunggu selambat-lambatnya 1 Juni 2008 (cap pos)
* Hak untuk menerbitkan naskah ada pada keputusan Majelis Penulis FLP.

Peserta terpilih akan dihubungi via sms, website FLP, serta milis FLP.
Selama 3 hari Peserta akan dibimbing oleh majelis penulis FLP dalam kelas khusus

Untuk keterangan lebih lanjut hubungi Koko Nata (0813 6767 5459/0899 987 0071) atau Lia Octavia (0812 8146 426).

SEGERA KIRIMKAN NASKAH NOVEL TERBAIK ANDA
SAATNYA KARYA FLP MENJADI SEJARAH PALING BERPENGARUH DI JAGAT SASTRA
INDONESIA DAN DUNIA

http://kokonata.multiply.com
http://forumlingkarpena.multiply.com

http://mutiaracinta.multiply.com

Diambil dari Info Lomba

Lomba Resensi Buku Indiva 2008

Start:     Apr 26, '08
End:     Sep 30, '08
Jangan cuman jadi pembaca pasif! Kritisi yuk, buku-buku yang kamu baca. Nah, dalam rangka Milad Pertama, Penerbit Indiva Media Kreasi menggelar acara yang spektakuler banget: LOMBA RESENSI BUKU INDIVA 2008.

Caranya, guampang bangets…Kamu pilih satu dari buku-buku ini:

1. De Winst (Afifah Afra)
2. Pilkadal di Negeri Dongeng (Tundjungsari)
3. Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (15 Penulis FLP Jawa Tengah)
4. and The Star is Me (Afifah Afra)
5. Best Seller Sejak Cetakan Pertama (Agus M. Irkham)
6. Jangan Jadi Perempuan Cengeng (Pipiet Senja dkk.)
7. Agar Ngampus Nggak Hanya Status (Rabiah Al Adawiyah)
8. Road to Happines (Asa Mulchias)

Bikin resensinya, boleh ketik komputer, boleh tulis tangan (tapi jangan kayak tulisan resep dokter getoo…), maksimal 5 halaman kuarto, spasi 1,5 font 12.

Kirim atau antar langsung ke alamat ini…Kantor Indiva Media Kreasi:
Jl. Anggur VII No. 36 C Jajar, Laweyan, Surakarta
Atau TBD (Toko Buku Diskon) Indiva, Jl. Ahmad Yani, Pabelan, Kartasura (Ruko depan lampu merah/ gerbang kampus UMS)

Jangan lupa cantumin alamat, biodata singkat, fotokopi identitas yang masih berlaku dan struk (nota) pembelian buku tersebut. Resensi ditunggu sampai tanggal 30 September 2008 (cap pos)! Pemenang akan diumumkan di website www.indiva.mediakreasi.blogspot.com, diiklankan di Majalah Annida edisi November 2008 dan di Indiva Magazine.

Disediakan hadiah yang lumayan banget buat ngisi tabungan:



* Juara I: Rp 750.000
* juara II: Rp 600.000
* Juara III: Rp 450.0003
* Juara Harapan: @ Rp 250.000

Pengin informasi lebih jelas? Hubungi saja bagian promosi PT Indiva Media Kreasi, Aris Adenata (0271-7589916). atau email ke indiva_mediakreasi@yahoo.co.id atau indiva.mediakreasi@gmail.com

Diambil dari Info Lomba

Bolehkah Aku Berlari

Jika aku sedang merasa sendiri
Aku merasa dalam hampa tanpamu
Bolehkah aku berlari
Pada yang lain untuk menghilangkan jejakmu

Ketika aku jenuh padamu
Akankah engkau kembali padaku
Tidak! Kamu seolah tak mengenalku
Kamu berlari

Jika kamu bisa berlari pada yang lain
Mengapa aku tak bisa?
Jadi bolehkah aku berlari pada yang lain?


Catatan kecil Aveline Agrippina Tando - 2008

Pramoedya Ananta Toer

Rating:★★★★★
Category:Other
Pramoedya Ananta Toer (Blora, Jawa Tengah 6 Februari 1925 – Jakarta 30 April 2006) secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.
Masa kecil

Pramoedya dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925 sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya berdagang nasi. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.

Pasca kemerdekaan Indonesia
Pramoedya semasa muda


Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karir militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.

Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.

Penahanan dan masa setelahnya

Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan.

* 13 Oktober 1965 - Juli 1969
* Juli 1969 - 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan
* Agustus 1969 - 12 November 1979 di Pulau Buru
* November - 21 Desember 1979 di Magelang

Pramoedya bersama rekan-rekan saat sedang melakukan kerja paksa di pulau Buru


Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada jaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.

Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.

Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995).

Kontroversi

Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" di masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.

Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.

Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.

Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada jaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.

Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya di masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.

Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran.

Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka. Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan fasilitas yang lumayan - apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya akan menjadi 'bintangnya'.

Masa tua

Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an.

Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan.

Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.

Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.

Berpulang
Muthmainah, Istri Pramoedya


Pada 27 April 2006, Pram sempat tak sadar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa dia ke RS Sint Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes.

Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, dia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu 29 April, sekitar pukul 19.00, begitu sampai di rumahnya, kondisinya jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya.

Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sastrawan Eka Budianta menjenguknya. Pram juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa Soeharto masih hidup. Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Dia lantas meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00.

Setelah itu, beberapa kali dia kembali mengalami masa kritis. Pihak keluarga pun memutuskan menggelar tahlilan untuk mendoakan Pram. Pasang surut kondisi Pram tersebut terus berlangsung hingga pukul 02.00. Saat itu, dia menyatakan agar Tuhan segera menjemputnya. "Dorong saja saya," ujarnya. Namun, teman-teman dan kerabat yang menjaga Pram tak lelah memberi semangat hidup. Rumah Pram yang asri tidak hanya dipenuhi anak, cucu, dan cicitnya. Tapi, teman-teman hingga para penggemarnya ikut menunggui Pram.
Makam Pramoedya dipenuhi karangan bunga dan buku-buku karyanya


Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00. Tetangga-tetangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00, mereka kembali mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang, "Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang," katanya.

Pada 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun.

Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sujatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram.

Jenazah dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat.

Penghargaan
Pramoedya saat mendapat gelar kehormatan Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan tahun 1999

* Freedom to Write Award dari PEN American Center, AS, 1988
* Penghargaan dari The Fund for Free Expression, New York, AS, 1989
* Wertheim Award, "for his meritorious services to the struggle for emancipation of Indonesian people", dari The Wertheim Fondation, Leiden, Belanda, 1995
* Ramon Magsaysay Award, "for Journalism, Literature, and Creative Arts, in recognation of his illuminating with briliant stories the historical awakening, and modern experience of Indonesian people", dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina, 1995
* UNESCO Madanjeet Singh Prize, "in recognition of his outstanding contribution to the promotion of tolerance and non-violance" dari UNESCO, Perancis, 1996
* Doctor of Humane Letters, "in recognition of his remarkable imagination and distinguished literary contributions, his example to all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for intellectual freedom" dari Universitas Michigan, Madison, AS, 1999
* Chancellor's distinguished Honor Award, "for his outstanding literary archievements and for his contributions to ethnic tolerance and global understanding", dari Universitas California, Berkeley, AS, 1999
* Chevalier de l'Ordre des Arts et des Letters, dari Le Ministre de la Culture et de la Communication Republique, Paris, Perancis, 1999
* New York Foundation for the Arts Award, New York, AS, 2000
* Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka), Jepang, 2000
* The Norwegian Authors Union, 2004
* Centenario Pablo Neruda, Chili, 2004

Lain-lain

* Anggota Nederland Center, ketika masih di Pulau Buru, 1978
* Anggota kehormatan seumur hidup dari International PEN Australia Center, 1982
* Anggota kehormatan PEN Center, Swedia, 1982
* Anggota kehormatan PEN American Center, AS, 1987
* Deutschsweizeriches PEN member, Zentrum, Swiss, 1988
* International PEN English Center Award, Inggris, 1992
* International PEN Award Association of Writers Zentrum Deutschland, Jerman, 1999

Bibliografi

Kecuali judul pertama, semua judul sudah disesuaikan ke dalam Ejaan Yang Disempurnakan.

* Sepoeloeh Kepala Nica (1946), hilang di tangan penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta, 1947
* Kranji–Bekasi Jatuh (1947), fragmen dari Di Tepi Kali Bekasi
* Perburuan (1950), pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta, 1949
* Keluarga Gerilya (1950)
* Subuh (1951), kumpulan 3 cerpen
* Percikan Revolusi (1951), kumpulan cerpen
* Mereka yang Dilumpuhkan (I & II) (1951)
* Bukan Pasarmalam (1951)
* Di Tepi Kali Bekasi (1951), dari sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda pada 22 Juli 1947
* Dia yang Menyerah (1951), kemudian dicetak ulang dalam kumpulan cerpen
* Cerita dari Blora (1952), pemenang karya sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953
* Gulat di Jakarta (1953)
* Midah Si Manis Bergigi Emas (1954)
* Korupsi (1954)
* Mari Mengarang (1954), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
* Cerita Dari Jakarta (1957)
* Cerita Calon Arang (1957)
* Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958)
* Panggil Aku Kartini Saja (I & II, 1963; III & IV dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
* Kumpulan Karya Kartini, yang pernah diumumkan di berbagai media; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
* Wanita Sebelum Kartini; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
* Gadis Pantai (1962-65) dalam bentuk cerita bersambung, bagian pertama triologi tentang keluarga Pramoedya; terbit sebagai buku, 1987; dilarang Jaksa Agung. Jilid II & III dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
* Sejarah Bahasa Indonesia. Satu Percobaan (1964); dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
* Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963)
* Lentera (1965), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
* Bumi Manusia (1980); dilarang Jaksa Agung, 1981
* Anak Semua Bangsa (1981); dilarang Jaksa Agung, 1981
* Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga (1981)
* Tempo Doeloe (1982), antologi sastra pra-Indonesia
* Jejak Langkah (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
* Sang Pemula (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
* Hikayat Siti Mariah, (ed.) Hadji Moekti, (1987); dilarang Jaksa Agung, 1987
* Rumah Kaca (1988); dilarang Jaksa Agung, 1988
* Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) Oei Tjoe Tat, (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
* Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
* Arus Balik (1995)
* Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997)
* Arok Dedes (1999)
* Mangir (2000)
* Larasati (2000)
* Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005)

Buku tentang Pramoedya dan karyanya

* Pramoedya Ananta Toer dan Karja Seninja, oleh Bahrum Rangkuti (Penerbit Gunung Agung)
* Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya Ananta Toer, oleh A. Teeuw (Pustaka Jaya)
* Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, oleh Eka Kurniawan (Gramedia Pustaka Utama)
* Membaca Katrologi Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer, oleh Apsanti Djokosujatno (Tera Indonesia)
* Pramoedya Ananta Toer dan Manifestasi Karya Sastra, Daniel Mahendra, dkk (Penerbit Malka)

Diambil dari Wikipedia

Idrus

Rating:★★★★★
Category:Other
Idrus (Padang, 21 September 1921 - Padang, 18 Mei 1979, Sumatera Barat) adalah seorang sastrawan Indonesia. Ia menikah dengan Ratna Suri, pada tahun 1946. Mereka dikaruniai enam orang anak, empat putra dan dua putri, yaitu Prof. Dr. Ir. Nirwan Idrus, Slamet Riyadi Idrus, Rizal Idrus, Damayanti Idrus, Lanita Idrus, dan Taufik Idrus.
Dunia Sastra

Perkenalan Idrus dengan dunia sastra sudah dimulainya sejak duduk di bangku sekolah, terutama ketika di bangku sekolah menengah. Ia sangat rajin membaca karya-karya roman dan novel Eropa yang dijumpainya di perpustakaan sekolah. Ia pun sudah menghasilkan cerpen pada masa itu.

Minatnya pada dunia sastra mendorongnya untuk memilih Balai Pustaka sebagai tempatnya bekerja. Ia berharap dapat menyalurkan minat sastranya di tempat tersebut, membaca dan mendalami karya-karya sastra yang tersedia di sana dan berkenalan dengan para sastrawan terkenal. Keinginannya itu pun terwujud, ia berkenalan dengan H.B. Jassin, Sutan Takdir Alisyahbana, Noer Sutan Iskandar, Anas Makruf, dan lain-lain.

Meskipun menolak digolongkan sebagai sastrawan Angkatan ’45, ia tidak dapat memungkiri bahwa sebagian besar karyanya memang membicarakan persoalan-persoalan pada masa itu. Kekhasan gayanya dalam menulis pada masa itu membuatnya memperoleh tempat terhormat dalam dunia sastra, sebagai Pelopor Angkatan ’45 di bidang prosa, yang dikukuhkan H.B. Jassin dalam bukunya.

Hasratnya yang besar terhadap sastra membuatnya tidak hanya menulis karya sastra, tetapi juga menulis karya-karya ilmiah yang berkenaan dengan sastra, seperti Teknik Mengarang Cerpen dan International Understanding Through the Study of Foreign Literature. Kemampuannya menggunakan tiga bahasa asing (Belanda, Inggris, dan Jerman) membuatnya berpeluang untuk menerjemahkan buku-buku asing. Hasilnya antara lain adalah Perkenalan dengan Anton Chekov, Perkenalan dengan Jaroslov Hask, Perkenalan dengan Luigi Pirandello, dan Perkenalan dengan Guy de Maupassant.

Karena tekanan politik dan sikap permusuhan yang dilancarkan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat terhadap penulis-penulis yang tidak sepaham dengan mereka, Idrus terpaksa meninggalkan tanah air dan pindah ke Malaysia. Di Malaysia, lepas dari tekanan Lekra, ia terus berkarya. Karyanya saat itu, antara lain, Dengan Mata Terbuka (1961) dan Hati Nurani Manusia (1963).

Di dalam dunia sastra, kehebatan Idrus diakui khalayak sastra, terutama setelah karyanya Surabaya, Corat-Coret di Bawah Tanah, dan Aki diterbitkan. Ketiga karyanya itu menjadi karya monumental. Setelah ketiga karya itu, memang, pamor Idrus mulai menurun. Namun tidak berarti ia lantas tidak disebut lagi, ia masih tetap eksis dengan menulis kritik, esai, dan hal-hal yang berkenaan dengan sastra di surat kabar, majalah, dan RRI (untuk dibacakan).

Karya-karya

Novel

* Surabaya
* Aki
* Perempuan dan kebangsaan
* Dengan Mata Terbuka
* Hati Nurani Manusia
* Hikayat Putri Penelope
* Hikayat Petualang Lima

Cerpen

* Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma
* Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma
* Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma
* Anak Buta

Drama

* Dokter Bisma
* Jibaku Aceh
* Keluarga Surono
* Kejahatan Membalas Dendam

Karya Terjemahan

* Kereta Api Baja
* Roti Kita Sehari-hari
* Keju
* Perkenalan dengan Anton Chekov
* Cerita Wanita Termulia
* Dua Episode Masa Kecil
* Ibu yang Kukenang
* Acoka
* Dari Penciptaan Kedua

AA Navis

Rating:★★★★★
Category:Other
Haji Ali Akbar Navis adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama A.A. Navis. Ia menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya. Karyanya yang terkenal adalah cerita pendek 'Robohnya Surau Kami'.
Sekilas A.A. Navis dan keluarga

Sang Pencemooh kelahiran Kampung Jawa, Padang Panjang, 17 November 1924,ini adalah salah seorang tokoh yang ceplas-ceplos, apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi agar hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para kopruptor. Pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan tapi jika dikasih memilih ia akan pilih jadi penguasa untuk menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu risikonya, mungkin dalam tiga bulan, ia justeru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu.

Dunia sastra Indonesia kehilangan salah seorang sastrawan besar. Ia meninggalkan satu orang isteri Aksari Yasin yang dinikahi tahun 1957 dan tujuh orang anak yakni Dini Akbari, Lusi Bebasari, Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini serta sejumlah 13 cucu. Ia dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tunggul Hitam, Padang.

Gemala Ranti, kepada Wartawan Tokoh Indonesia mengatakan sastrawan besar ini telah lama mengidap komplikasi jantung, asma dan diabetes. Dua hari sebelum meninggal dunia, ia masih meminta puterinya itu untuk membalas surat kepada Kongres Budaya Padang bahwa tidak bisa ikut Kongres di Bali pada Mei nanti. Serta minta dikirimkan surat balasan bersedia untuk mencetak cerpen terakhir kepada Balai Pustaka.

Sebelum dikebumikan sejumlah tokoh, budayawan, seniman, pejabat, akademis dan masyarakat umum, melayat ke rumah duka di Jalan Bengkuang Nomor 5, Padang. Di antaranya Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah A Syafii Maarif, Gubernur Sumbar Zainal Bakar, mantan Menteri Agama Tarmizi Taher, dan mantan Gubernur Sumbar Hasan Basri Durin serta penyair Rusli Marzuki Saria.

Nama pria Minang yang untuk terkenal tidak harus merantau secara fisik, ini menjulang dalam sastra Indonesia sejak cerpennya yang fenomenal Robohnya Surau Kami terpilih menjadi satu dari tiga cerpen terbaik majalah sastra Kisah tahun 1955. Sebuah cerpen yang dinilai sangat berani. Kisah yang menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana seorang alim justru dimasukkan ke dalam neraka. Karena dengan kealimannya, orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi miskin.

Ia seorang seniman yang perspektif pemikirannya jauh ke depan. Karyanya Robohnya Surau Kami, juga mencerminkan perspektif pemikiran ini. Yang roboh itu bukan dalam pengertian fisik, tapi tata nilai. Hal yang terjadi saat ini di negeri ini. Ia memang sosok budayawan besar, kreatif, produktif, konsisten dan jujur pada dirinya sendiri.

Sepanjang hidupnya, ia telah melahirkan sejumlah karya monumental dalam lingkup kebudayaan dan kesenian. Ia bahkan telah menjadi guru bagi bamyak sastrawan. Ia seorang sastrawan intelektual yang telah banyak menyampaikan pemikiran-pemikiran di pentas nasional dan internasional. Ia banyak menulis berbagai hal. Walaupun karya sastralah yang paling banyak digelutinya. Karyanya sudah ratusan, mulai dari cerpen, novel, puisi, cerita anak-anak, sandiwara radio, esai mengenai masalah sosial budaya, hingga penulisan otobiografi dan biografi.

Buah karya

Ia yang mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru mendapat perhatian dari pimpinan media cetak sekitar 1955, itu telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia telah menulis 22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya dan delapan antologi luar negeri serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku 'Yang Berjalan Sepanjang Jalan'. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2002.

Beberapa karyanya yang amat terkenal, selain Robohnya Surau Kami (1955) adalah Bianglala (1963), Hujan Panas (1964); Kemarau (1967), Saraswati, si Gadis dalam Sunyi, (1970), Dermaga dengan Empat Sekoci, (1975), Di Lintasan Mendung (1983), Dialektika Minangkabau (editor 1983), Alam Terkembang Jadi Guru (1984), Hujan Panas dan Kabut Musim (1990), Cerita Rakyat Sumbar (1994), dan Jodoh (1998).

Ia seorang penulis yang tak pernah merasa tua. Pada usia gaek ia masih saja menulis. Buku terakhirnya, berjudul "Jodoh", diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta atas kerjasama Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, sebagai kado ulang tahun pada saat usianya genap 75 tahun. Cerpenis gaek dari Padang, A.A. Navis pada 17 November lalu genap berusia 75 tahun. Jodoh berisi sepuluh buah cerpen yang ditulisnya sendiri, yakni "Jodoh" (cerpen pemenang pertama sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldemroep 1975), "Cerita 3 Malam", "Kisah Seorang Hero", "Cina Buta", "Perebutan", "Kawin" (cerpen pemenang majalah Femina 1979), "Kisah Seorang Pengantin", "Maria", "Nora", dan "Ibu". Ada yang ditulis tahun 1990-an ada yang ditulis tahun 1950-an.

Padahal menulis bukanlah pekerjaan mudah, tapi memerlukan energi pemikiran serius dan santai. "Tidak semua gagasan dan ide dapat diimplementasikan dalam sebuah tulisan, dan bahkan terkadang memerlukan waktu 20 tahun untuk melahirkan sebuah tulisan. Kendati demikian, ada juga tulisan yang dapat diselesaikan dalam waktu sehari saja. Namun, semua itu harus dilaksanakan dengan tekun tanpa harus putus asa. Saya merasa tidak pernah tua dalam menulis segala sesuatu termasuk cerpen," katanya dalam suatu diskusi di Jakarta, dua tahun lalu.

Kiat menulis itu, menurutnya, adalah aktivitas menulis itu terus dilakukan, karena menulis itu sendiri harus dijadikan kebiasaan dan kebutuhan dalam kehidupan. Ia sendiri memang terus menulis, sepanjang hidup, sampai tua. Mengapa? "Soalnya, senjata saya hanya menulis," katanya. Baginya menulis adalah salah satu alat dalam kehidupannya. "Menulis itu alat, bukan pula alat pokok untuk mencetuskan ideologi saya. Jadi waktu ada mood menulis novel, menulis novel. Ada mood menulis cerpen, ya menulis cerpen," katanya seperti dikutip Kompas. Minggu, 7 Desember 1997.

Dalam setiap tulisan, menurutnya, permasalahan yang dijadikan topik pembahasan harus diketengahkan dengan bahasa menarik dan pemilihan kata selektif, sehingga pembaca tertarik untuk membacanya. Selain itu, persoalan yang tidak kalah pentingnya bagi seorang penulis adalah bahwa penulis dan pembaca memiliki pengetahuan yang tidak berbeda. Jadi pembaca atau calon pembaca yang menjadi sasaran penulis, bukan kelompok orang yang bodoh.

Pandangan-pandangan A.A. Navis

Ia juga menyinggung tentang karya sastra yang baik. Yang terpenting bagi seorang sastrawan, menurutnya, karyanya awet atau tidak? Ada karya yang bagus, tapi seperti kereta api; lewat saja. Itu banyak dan di mana-mana terjadi. Ia sendiri mengaku menulis dengan satu visi. Ia bukan mencari ketenaran.

Dalam konteks ini, ia amat merisaukan pendidikan nasional saat ini. Dari SD sampai perguruan tinggi orang hanya boleh menerima, tidak diajarkan orang mengemukakan pikiran. Anak-anak tidak diajarkan pandai menulis oleh karena menulis itu membuka pikiran. Anak-anak tidak diajarkan membaca karena membaca itu memberikan anak-anak perbandingan-perbandingan. Di perguruan tinggi orang tidak pandai membaca, orang tidak pandai menulis, jadi terjadi pembodohan terhadap generasi-generasi akibat dari kekuasaan.

Jadi, menurutnya, model pendidikan sastra atau mengarang di Indonesia sekarang merupakan strategi atau pembodohan, agar orang tidak kritis. Maka, ia berharap, strategi pembodohan ini harus dilawan, harus diperbaiki. "Tapi saya pikir itu kebodohan. Orang Indonesia tidak punya strategi. Strategi ekonomi Indonesia itu apa? Strategi politik orang Indonesia itu apa? Strategi pendidikan orang Indonesia itu apa? Strategi kebudayaan orang Indonesia itu apa? Mau dijadikan apa bangsa kita? Kita tidak punya strategi. Oleh karena itu kita ajak mereka supaya tidak bodoh lagi," katanya.

Maka, andai ia berkesempatan jadi menteri, ia akan memfungsikan sastra. "Sekarang sastra itu fungsinya apa?" tanyanya lirih. Pelajaran sastra adalah pelajaran orang berpikir kritis. Orang berpikir kritis dan orang memahami konsep-konsep hidup. Kita baca, karya mana saja yang baik, itu berarti menyuruh orang berpikir berbuat betul. Lalu karya-karya itu konsepnya yang jahat lawan yang buruk. Dalam karya sastra bisa terjadi yang jahat itu yang dimenangkan, tapi bukan artinya sastra memuja yang jahat. Banyak karya-karya sastra di Indonesia menceritakan hal-hal orang-orang munafik. Diajarkan itu ke anak-anak tentang orang munafik di tengah masyarakat kita yang banyak munafik. Anak-anak kan jadi tajam. Oleh karena itu pemerintah tampaknya tidak mengajarkan sastra supaya orang tidak melihat orang-orang yang munafik, umpamanya.

Hal ini tak terlepas dari mental korup para elit bangsa ini. Maka andai ia diberi pilihan alat kekuasaan, atau menulis dan berbicara, yang dia pilih adalah kekuasaan. Untuk apa? Untuk menyikat semua koruptor. Walaupun ia sadar bahwa mungkin justeru ia yang orang pertama kali ditembak. Sebab, "semua orang tidak suka ada orang yang menyikat koruptor," katanya seperti pesimis tentang kekuatan pena untuk memberantas korupsi.

Ia juga melihat Perkembangan sastra di Indonesia sedang macet.

Perihal orang Minang, dirinya sendiri, ia mengatakan keterlaluan kalau ada yang mengatakan orang Minang itu pelit. Yang benar, penuh perhitungan. Ia mengatakan sangat tak tepat mengatakan orang Minang itu licik. Yang benar galia (galir), ibarat pepatah "tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua" (terhimpit maunya di atas, terkurung maunya di luar). Itulah A.A. Navis "Sang Kepala Pencemooh".

Meninggal Dunia

Penulis 'Robohnya Surau Kami' dan menguasai berbagai kesenian seperti seni rupa dan musik, ini meninggal dunia dalam usia hampir 79 tahun, sekitar pukul 05.00, Sabtu 22 Maret 2003, di Rumah Sakit Yos Sudarso, Padang.

[sunting] Karya tulis

* Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis (2005)
* Gerhana: novel (2004)
* Bertanya Kerbau Pada Pedati: kumpulan cerpen (2002)
* Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 3 (2001)
* Kabut Negeri si Dali: Kumpulan Cerpen (2001)
* Dermaga Lima Sekoci (2000)
* Jodoh: Kumpulan Cerpen (1999)
* Yang Berjalan Sepanjang Jalan (1999)
* Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 2 (1998)
* Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei: Ruang Pendidik INS Kayutanam (1996)
* Otobiografi A.A. Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah (1994)
* Surat dan Kenangan Haji (1994)
* Cerita Rakyat dari Sumatra Barat (1994)
* Hujan Panas dan Kabut Musim: Kumpulan Cerita Pendek (1990)
* Pasang Surut Pengusaha Pejuang: Otobiografi Hasjim Ning (1986)
* Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau (1984)
* Di Lintasan Mendung (1983)
* Dialektika Minangkabau (editor) (1983)
* Dermaga dengan Empat Sekoci: Kumpulan Puisi (1975)
* Saraswati: Si Gadis dalam Sunyi: sebuah novel (1970)
* Kemarau (1967)
* Bianglala: Kumpulan Cerita Pendek (1963)
* Hudjan Panas (1963)
* Robohnya Surau Kami (1955)

Diambil dari Wikipedia

Sapardi Djoko Damono

Rating:★★★★★
Category:Other
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (lahir 20 Maret 1940 di Surakarta) adalah seorang pujangga Indonesia terkemuka. Ia dikenal dari berbagai puisi-puisi yang menggunakan kata-kata sederhana, sehingga beberapa di antaranya sangat populer.


Riwayat hidup

Masa mudanya dihabiskan di Surakarta. Pada masa ini ia sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sejak tahun 1974 ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, namun kini telah pensiun. Ia pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru besar. Pada masa tersebut ia juga menjadi redaktur pada majalah "Horison", "Basis", dan "Kalam".

Sapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan. Pada tahun 1986 SDD mendapatkan anugerah SEA Write Award. Ia juga penerima penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar.

Karya-karya

Sajak-sajak SDD, begitu ia sering dijuluki, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Sampai sekarang telah ada delapan kumpulan puisinya yang diterbitkan. Ia tidak saja menulis puisi, tetapi juga menerjemahkan berbagai karya asing, menulis esei, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.

Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti Aku Ingin (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari. Kepopuleran puisi-puisi ini sebagian disebabkan musikalisasi terhadapnya. Yang terkenal terutama adalah oleh Reda Gaudiamo dan Tatyana (tergabung dalam duet "Dua Ibu"). Ananda Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya SDD.

Berikut adalah karya-karya SDD (berupa kumpulan puisi), serta beberapa esei.

Kumpulan Puisi/Prosa

* "Duka-Mu Abadi", Bandung (1969)
* "Lelaki Tua dan Laut" (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
* "Mata Pisau" (1974)
* "Sepilihan Sajak George Seferis" (1975; terjemahan karya George Seferis)
* "Puisi Klasik Cina" (1976; terjemahan)
* "Lirik Klasik Parsi" (1977; terjemahan)
* "Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak" (1982, Pustaka Jaya)
* "Perahu Kertas" (1983)
* "Sihir Hujan" (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
* "Water Color Poems" (1986; translated by J.H. McGlynn)
* "Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono" (1988; translated by J.H. McGlynn)
* "Afrika yang Resah (1988; terjemahan)
* "Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia" (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)
* "Hujan Bulan Juni" (1994)
* "Black Magic Rain" (translated by Harry G Aveling)
* "Arloji" (1998)
* "Ayat-ayat Api" (2000)
* "Pengarang Telah Mati" (2001; kumpulan cerpen)
* "Mata Jendela" (2002)
* "Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro?" (2002)
* "Membunuh Orang Gila" (2003; kumpulan cerpen)
* "Nona Koelit Koetjing :Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870an - 1910an)" (2005; salah seorang penyusun)
* "Mantra Orang Jawa" (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)

Musikalisasi Puisi

Musikalisasi puisi karya SDD sebetulnya bukan karyanya sendiri, tetapi ia terlibat di dalamnya.

* Album "Hujan Bulan Juni" (1990) dari duet Reda dan Ari Malibu.
* Album "Hujan Dalam Komposisi" (1996) dari duet Reda dan Ari.
* Album "Gadis Kecil" dari duet Dua Ibu
* Album "Becoming Dew" (2007) dari duet Reda dan Ari Malibu
* satu lagu dari "Soundtrack Cinta dalam Sepotong Roti", berjudul Aku Ingin, diambil dari sajaknya dengan judul sama, digarap bersama Dwiki Dharmawan dan AGS Arya Dwipayana, dibawakan oleh Ratna Octaviani.

Ananda Sukarlan pada Tahun Baru 2008 juga mengadakan konser kantata "Ars Amatoria" yang berisi interpretasinya atas puisi-puisi SDD.

Buku

* "Sastra Lisan Indonesia" (1983), ditulis bersama Subagio Sastrowardoyo dan A. Kasim Achmad. Seri Bunga Rampai Sastra ASEAN.
* "Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan"
* "Dimensi Mistik dalam Islam" (1986), terjemahan karya Annemarie Schimmel "Mystical Dimension of Islam", salah seorang penulis.

Pustaka Firdaus

* "Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia" (2004), salah seorang penulis.
* "Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas" (1978).
* "Politik ideologi dan sastra hibrida" (1999).
* "Pegangan Penelitian Sastra Bandingan" (2005).
* "Babad Tanah Jawi" (2005; penyunting bersama Sonya Sondakh, terjemahan bahasa Indonesia dari versi bahasa Jawa karya Yasadipura, Balai Pustaka 1939).

Diambil dari Wikipedia

Kompetisi Menulis Esai Singkat 100 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL

Start:     Apr 25, '08
End:     May 20, '08
Location:     http://www.anandkrishna.org
Kompetisi Menulis Esai Singkat
KOMPETISI MENULIS ESAI SINGKAT VISI BUNG KARNO, BUNG HATTA DAN KI HAJAR DEWANTARA BAGI PELAJAR DAN MAHASISWA

DALAM RANGKA 100 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL

Dalam rangka memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional (20 Mei, 1908- 2008), Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan cabangnya di berbagai kota, Anand Krishna Centre (AKC) didukung oleh segenap sayap-sayap organisasinya­National Integration Movement (NIM), Forum Kebangkitan Jiwa (FKJ), Forum Pengajar Dokter dan Psikolog Bagi Ibu Pertiwi (FORADOKSI-BIP) dan Koprasi Global Anand Krishna menggelar KOMPETISI MENULIS ESAI SINGKAT VISI BUNG KARNO, BUNG HATTA DAN KI HAJAR DEWANTARA BAGI PELAJAR DAN MAHASISWA.

PENDAHULUAN

Tokoh Nasionalis, Spiritualis dan Humanis Lintas Agama serta penulis buku produktif, pengarang lebih dari 110 buku dalam kurun waktu 10 tahun, Bapak Anand Krishna dalam memaknai 100 tahun Kebangkitan Nasional mengajak kita bekerja bersama-sama memperbaiki tiga bidang utama kehidupan kita berbangsa dan bernegara dalam bidang Kebangsaan, bidang Ekonomi dan bidang Pendidikan. Beliau juga mengingatkan, bicara tentang kebangsaan kiblat kita adalah Visi Bung Karno. Kalau bicara masalah ekonomi kiblat kita adalah Visi Bung Hatta dan saat bicara pendidikan kiblat kita adalah Visi Ki Hajar Dewantara.

Sebagai bagian dari perayaan 100 tahun Kebangkitan Nasional dan sekaligus sebagai langkah awal untuk ikut berpartisipasi memperbaiki bidang Kebangsaan, Ekonomi dan Pendidikan, Yayasan Anand Ashram mengundang para Pelajar dan Mahasiswa untuk meningat dan mengkritalisasikan Visi Bung karno dalam Bidang Kebangsaan, Visi Bung Hatta dalam Bidang Ekonomi dan Visi Ki Hajar Dewantara dalam Bidang Pendidikan dalam bentuk esai singkat.
Kegiatan ini akan dikompetisikan dengan aturan lomba sebagai berikut:


ATURAN LOMBA

Siapa yang boleh ikut berpartisipasi? Pelajar SD, SLTP, SLTA dan Mahasiswa dari seluruh Indonesia

Katagori Lomba:

* SD: Esai dalam Bahasa Indonesia
* SLTP: Esai dalam Bahasa Indonesia
* SLTA: Esai dalam Bahasa Inggris
* Perguruan Tinggi (D1/D2/D3/S1): Esai dalam Bahasa Inggris Tema (Pilih Salah Satu):
1. Visi Bung Karno dalam Bidang Kebangsaan
2. Visi Bung Hatta dalam Bidang Ekonomi
3. Visa Ki Hadjar Dewantara dalam Didang Pendidikan

Persyaratan Lomba:

Karya tulis diketik di atas kertas ukuran A4 dengan panjang tulisan MAKSIMAL SATU HALAMAN dalam format sebagai berikut: Font: Time New Roman; Font Style: Regular; Size 12; Line Spacing: Single; Margins:
Top/Bottom/Left/Right­1”/1”/1”/1”; Alignment: Justified.

Tiap peserta wajib mencantumkan di halaman kedua karya tulisnya:

- Katagori Lomba (SD / SLTP / SLTA / Perguruan Tinggi)
- Tema yang dipilih
- Alasan pemilihan tema
- Judul karya tulis
- Nama lengkap
- Nama sekolah/peguruan Tinggi
- Kelas/tingkat
- Tanggal lahir dan Umur
- Jenis kelamin
- Alamat lengkap
- No telpon
- Fax/alamat e-mail (jika ada)


Pengiriman Karya dan Deadline :

Seleksi dan Pengiriman Karya Tulis dilakukan berdasarkan Wilayah Domisili Peserta. Karya Tulis dikirimkan lewat E-mail sebelum deadline Tanggal 20 Mei 2008 ke:

Wilayah Seleksi (Wilayah Domisili Peserta); Karya Tulis dikirimkan ke EMAIL:

Wilayah I (Sumatera, Jawa Barat, D.K.I Jakarta & Banten) ke info@anandkrishna.org

Wilayah II (D.I. Yogjakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur & Kalimantan) ke info@akcjoglosemar.org

Wilayah III (Bali, Sulawesi, NTB,NTT, Maluku, Papua) ke info@akcbali.org

Hadiah
* Piagam Penghargaan
* Souvenir
* Kaya Tulis Pemenang akan diposting di website Anand Ashram/Anand Krishna Centre: www.anandkrishna.org / www.akcjoglosemar.org / www.akcbali.org

Pengumuman Pemenang:
Seleksi dilakukan pada setiap wilayah domisili peserta: wilayah 1, II dan II. Dari setiap wilayah, untuk setiap katagori (SD / SLTP / SLTA / Perguruan Tinggi) akan dipilih TIGA KARYA TULIS terbaik.

Pengumumanpemenang akan dilakukan pada Hari Kelahiran Pancasila, 1 Juni 2008 di:

Untuk Wilayah Seleksi (Domisili Peserta); Pengumuman di

Wilayah I (Sumatera, Jawa Barat, D.K.I Jakarta & Banten) di

ANAND ASHRAM
Jl. Sunter Mas Barat II-E, Block H-10/1
Jakarta 14350 – Indonesia
Dan di: www.anandkrishna.org

Wilayah II (D.I. Yogjakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur & Kalimantan)

ANAND KRISHNA CENTRE JOGLOSEMAR
Jl. Kaliurang Km 8.5
Ferum Dayu Permai P18, Jogjakarta
Dan di: www.akcjoglosemar.org

Wilayah III (Bali, Sulawesi, NTB,NTT, Maluku, Papua)

ANAND KRISHNA CENTRE BALI
Jl. Pura Mertasari 27, Area Sunset Road Simpang Dewa Ruci, Kuta, Denpasar, Bali Dan di: www.akcbali.org

Untuk Penjelasan Tambahan,Hubungi:suriastini@indo.net.id

Diambil dari Forum Apresiasi Sastra

Jumat, 18 April 2008

Sepercik Harapan Untuk Kekasih

Kasihku… menarilah bersamaku walau untuk yang terakhir

Rayakanlah pesta akhir kebersamaan kita

Tutup hari – hari kita dulu dengan suka cita

Tanpa adanya dendam dan kebencian

 

Kasihku… Walau aku tak pernah mengharapkan ini

Tapi kita memang tak akan bisa untuk dipersatukan

Kita tetaplah satu di hati pribadi kita

 

Kasih… inilah harapanku untukmu yang terakhir

Aku tak ingin lagi berharap banyak padamu

Aku tahu akan keterbatasanmu

Aku tahu kau tak mampu akan menghadapi ini semua

 

Kasih…entah berapa lama lagi kau akan di pelukanku

Peluk aku, sayang…

Katakanlah apa yang kau rasakan bersamaku

Jangan kau tutupi semua kebohongan tentang dirimu

 

Kasih…bolehkah aku berharap padamu

Aku ingin melihat senyummu menari di hatiku

Sebelum kau menutup matamu

Sebelum kau hembuskan nafas akhirmu

Sebelum kau tinggalkan aku dan dunia

 

Kasih…kabulkanlah harapanku

Walau itu sulit, namun kupercaya

Kau akan mampu mengabulkannya

 

 

Just For You…

A. Agrippina Tando

Medio April 2008

 

Jangan Panaskan Bumi Kita!!!

http://bumikusayang.multiply.com
Pemanasan Global versi Aveline Agrippina

Aku Hanya Manusia Kecil

http://agripzzz.blogspot.com
Sedikit puisi dari Aveline Agrippina Tando

Aveline Agrippina - My Journal of The Day

http://agripzzz.multiply.com
Sedikit catatan keseharian hidup seorang Aveline Agrippina Tando

Warna Kehidupan

Aku merah, aku berlambangkan cinta yang akan ditebar ke seluruh dunia

Aku biru, aku berlambangkan seseorang yang akan mengalami jatuh cinta

Aku putih, aku melambangkan kesucian dalam dunia ini

Aku hitam, melambangkan kedukaan seseorang

Aku hijau, melambangkan rasa kesikapan seseorang

Aku kuning, melambangkan tanda – tanda jatuh cinta

Aku abu – abu, melambangkan kehampaan seseorang

Aku oranye, melambangkan cinta yang akan selalu bersemi

Aku ungu, melambangkan perasaan yang sungguh ingin memiliki dirimu

Aku coklat, melambangkan kesuburan akan cinta kita

Bersemilah selalu kisah kita, warnailahlah hidup kita dalam warna kehidupan.

Lenyap

Gelap sudah datang menyingsing

Air mata tak terhitung lagi

Bertumpah tercucur di tanah

Membasahi debu – debu kehilangan

Kalah... aku kalah...

Aku kalah untuk bersamamu

Aku kalah untuk mencintaimu

Kini kau melenyap dari hidupku

Tak ada bayangmu yang tersisa

Tak ada cintamu yang terasa di hidupku

Sakit... jiwa ini berteriak – teriak

Pedih... kucoba menahannya

Entah sampai kapan

Aku harus merasakan kelenyapanmu

Keresahan Hati

Pejamkan mata, gumamkan doa

Lepaskan nafas, desah meresah

Jiwaku meronta, menunggu jawabmu

Ragaku berlari, lelah menunggu

Hati melayang, resah terasa

Semakin lama, semakin mendalam

Melayang tanpa tujuan

Pergi merantau, namun hilang jejak

Langkahkan kaki, namun tak tahu jalan

Aku semakin resah

Aku lelah menunggu jawabanmu

Aku letih menunggumu berpikir

Katakan saja apa yang kau rasakan

Katakan saja apa yang kau inginkan

Jangan buat aku meresah

Aku tak ingin kau buat demikian

Aku jenuh, aku terkurung kehampaan

Katakan sajalah apa yang kau rasakan

Entah itu akan membuatku sakit

Aku siap menerima jawabanmu

Namun jangan kau siksa aku dengan membuatku meresah

Duniapun Menangis

Langit menggelap

Dan bumi semakin basah

Termandikan air mata

Yang bukan hanya dari mata insan

Tapi juga awan menangis

Menggelapkan dunia

Kami semua kehilangan

Kami semua terpukul

Sungguh berat mengatakan sejujurnya

Kami kehilanganmu, sayang

Duniapun menangis

Meratapi kepergianmu

Hujan tak henti membasahi tubuhku

Dan juga tubuhmu yang bersimbah darah

Merenggang nyawa

Melepas jiwa dari raga

Hilang...

Kami kehilanganmu

Duniapun menangis akan kepergianmu

Sabtu, 12 April 2008

Setitik Air Matamu

Setitik air matamu menggorekan luka mendalam

Bagi hidupku yang teropang di bahumu

Karena aku tak bisa melihatmu berduka

Aku harus mengembalikan hidupmu

Setitik air matamu tak hanya melukakan

Namun juga menimbulkan nanah kebencian mendalam

Yang harus aku hapus dari pikiranmu

Agar kau tak lagi mendendam

Setitik air matamu yang mengalir

Akan kuhapus dengan cintaku yang tak berhenti

Karena tetesan air matamu

Begitu bernilainya di hatiku

Kisah Semalam

Kemarin malam aku memimpikanmu, cinta

Kita berdua berada di sebuah pantai

Syahdu... mengiringi langkah kita

Berjalan di atas pasir yang menari

Mengikuti pola tingkah kita

Aku melihatmu menarik bibirmu

Senyum menawanmu membuat girang hati

Seruling bambu tertiup mesra

Di atas perpaduan desir ombak

Menggemburu hidup kita

Cinta, kamu tahu?

Kisah semalam itu akan kukenang

Kapan kita bisa seperti itu

Menjalani legenda cinta kita seperti itu

Menari... di atas pasir

Memimpikanmu... bersama aku, sang kekasih

Semalam itu kapan kembali lagi

Untuk mengingatmu selalu

Butakan Aku

Aku terlalu sakit untuk kau sakiti lagi

Aku telah kau buat terluka yang dalam

Sampai aku tak lagi ingin bertemu denganmu

Melihat poros wajahmu

Menghirup wangi tubuhmu

Aku telah terlalu sakit untuk kau lukakan

Butakan aku saja

Bisukan aku saja

Tulikan aku saja

Dengan cinta palsumu

Butakan aku saja

Agar aku tak bisa melihat apa yang kamu lakukan

Bisukan aku saja

Agar aku tak bisa berkata apa – apa denganmu

Tulikan saja aku

Agar aku tak bisa mendengar apa yang kau ucapkan

Aku sudah terluka

Dan kini kau ingin melukakan aku?

Begitu kejamnyakah kau

Engkau sampai ingin mengenyahkan aku

Meretakkan seluruh tulangku

Butakan aku saja

Karena aku tak mau melihatmu

Aku sudah terlalu benci padamu

Aku telah terlalu sakit

Kau perbuat demikian

Bisukan aku saja

Karena aku tak ingin mengucapkan apa – apa padamu

Aku sudah muak akan segala tingkahmu

Aku telah teriris dengan pisaumu

Yang begitu tajam menghunusku

Tulikan aku saja

Karena aku tak mau mendengar yang kau katakan

Karena semuanya itu hanyalah kehampaan

Palsu! Hanya dusta!

Hanya silat lidah yang kau katakan!

Butakan aku saja

Aku tak mau melihatmu!

Sakit, kamu tahu itu?

Pergi sekarang

Atau butakan aku?

Pergi

Entah mengapa akhir – akhir ini

Aku benar – benar merasa dekat

Dekat sekali... pada Tuhan

Dia mendekatiku

Aku merasa didekapanNya

Mungkin ini saatku

Pergi menjauh dari hal ini

Atau saatnya aku harus kembali

Meninggalkan semua ini

Pertanda apakah ini?

Aku merasa inilah saatku

Aku harus pergi

Karena Dia telah memanggilku

Mengajakku kembali