Selasa, 19 Juni 2012

Surat yang Tak Kunjung Usai

G,

Aku pernah menulis surat cinta. Sama seperti orang-orang yang pernah merasakan cinta. Mereka akan menuliskan apa saja, kapan saja, di mana saja. Tentang perasaan mereka yang malu-malu, tentang degup yang tak terdengar, tentang kesunyian yang begitu ramai. Tentang cinta itu sendiri.

Benar. Cinta seringkali membuat orang menjadi tidak berdaya, menjadi lebih berani sampai kepada nekat, menjadi siap untuk menghadapi segala sesuatu sampai kepada ketiadaan persiapan apa pun untuk dihadapi. Tapi cinta pula yang mengajarkan aku untuk bisa menuliskan perasaan. Menulis surat cinta.

Benar lagi. Surat cinta tak harus ditulis di atas kertas berwarna merah jambu. Tak pula perlu diberikan kecupan di penghujung tulisan. Tak perlu kata-kata romantis -yang sering kusebut picisan- dan membuatku tertawa sendiri. Seperti ada sesuatu yang tak terungkapkan di dalam kata-kata dan itulah mereka menyebutnya cinta.

Kemudian, masih banyak lagi cinta-cinta yang dimuarakan kepada angin, kepada air, dan kepada waktu. Mereka menggiring cinta itu entah ke mana, tetapi ia akan menemukan perhentiannya sendiri. Seperti kapal yang akan berlabuh, demikianlah cinta yang tiada pernah henti untuk terus dikredokan dan dimadahkan. Aku tetap dibuatnya bahagia.

Surat itu pun, tak kunjung usai. Sama seperti cinta.

G,

Surat cinta pun sama seperti cinta. Tak tahu kapan dimulai, tak tahu kapan diakhiri. Aku percaya cinta yang menuliskan kebenarannya di dalam surat-surat yang kubaktikan kepadamu. Dan aku pun selalu berdoa...

jangan pernah usai.


Dan aku bahagia di dalam ketidakusaian itu.



Jakarta, 19 Juni 2012 | 20.36
A.A. - dalam sebuah inisial

Tidak ada komentar:

Posting Komentar