Selasa, 22 Mei 2012

Life After Life

G yang baik,
pernahkah engkau percaya
tentang kehidupan setelah kematian
dan kehidupan itu yang menjadikan
seseorang menjadi lebih abadi
lebih merasakan akan kekal
dan berpihak kepada kenyataan

G yang baik,
kalaupun engkau tidak percaya
bila memang benar ada
kehidupan setelah kematian itu
kelak, ketika kita mengalaminya
tetaplah berbuat baik
senantiasalah untuk menjadi kekal

G yang baik,
dan bila jauh hari kau telah percaya
sudah kuaminkan engkau pasti
melakukan seribu satu hal yang baik
dari seribu kewajiban untuk berbuat baik
saat itu pula orang-orang mengagungkanmu
dan akan merindukanmu bila kau berlalu
entah ke mana



Bandung, 23 Mei 2012 | 00.51
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 19 Mei 2012

Anjangsana

seribu mil dari tempat kau berpijak
selalu ada yang menunggumu pulang
di depan beranda
akan mengajakmu bercengkrama

seribu mil dari tempat kau berpijak
ada yang dengan sabar menantimu
di depan pintu rumah
akan menarikmu masuk dan berteduh bersama

seribu mil dari tempat kau berpijak
ada yang selalu mengasihimu, tak henti
tak letih



Jakarta, 19 Mei 2012 | 20.38
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 17 Mei 2012

Dream Catcher

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Nonfiction
Author:Alanda Kariza
Mimpi: Sekadar Diciptakan atau Diejawantahkan?

Mungkin –sekali lagi, mungkin- Alanda Kariza menggeleng-gelengkan kepalanya ketika melihat seseorang yang berpenampilan tak sewajarnya di dalam talkshow Dream Catcher-nya kali pertama di Bandung. Seseorang yang memakai jaket hitam dan bersandal jepit, tergesa di antara orang-orang yang mengantre untuk booksigning. Baru datang. Fatalnya adalah ia bukan menyapa Alanda yang di hari Sabtu itu menjadi idola, melainkan menyapa seseorang yang lain dan tertawa-tawa bersamanya. Kemudian, orang itu ikut serta santap malam bersama Alanda. Haks!

Iya, itu saya. Dan saya memang bukan menyambut Alanda, mengajaknya berkenalan. Malah saya menyapa seorang teman yang terlebih dahulu sudah saya kenal -tepatnya seminggu sebelum bertemu Alanda, saya sudah berkenalan dengan teman saya itu-. Awalnya, memang saya tidak ingin ikut serta di dalam antrean itu karena dua hal: Alanda sedang repot dengan para teman barunya di ITB dan kebetulan pula saya belum membaca buku Alanda yang satu ini.

Mengetahui siapa Alanda memang bukanlah hal yang baru untuk saya. Dengan segala cita-citanya dan apa yang telah ia dapatkan selama ini, bagi saya memang sudah menjadi hal yang selayaknya atas apa yang ia perjuangkan. Saya percaya akan keberadaan semesta yang akan memberikan hal-hal baik bagi mereka yang mau memperjuangkan mimpi-mimpinya. Bahkan, memang sudah selayaknya bagi seluruh manusia yang bertumbuh dewasa untuk memiliki mimpi. Memiliki cita-cita.

Bagi saya, sesungguhnya tidak ada yang spesial dengan apa yang ditulis oleh Alanda setelah saya mengetahui seperti apa konsep buku Dream Catcher ini. Saya lebih berharap bahwa Alanda menerbitkan novel atau kumpulan cerpen terbarunya. Hal ini terjadi karena memang saya tidak pernah menyukai buku yang berbau motivasi. Jujur saja, saya anti akan Mario Teguh dan kawan-kawannya. Saya hanya percaya satu hal: motivasi lahir dari diri sendiri, bukan dari (kata-kata mutiara) seorang motivator.

Selepas menemaninya wawancara di sebuah radio di Bandung, saya diberikan sebuah buku Dream Catcher beserta tanda tangannya. Ampun! Begitulah pekerjaan pemburu tanda tangan ini. Buku gratis saja dimintai tanda tangan. "Jangan lupa review ya!" pesannya sebelum kami berpisah. Saya tersenyum simpul. Pesan yang membuat saya harus berteori apa lagi untuk menjawabnya (dan untuk menghindarinya karena genre buku ini yang menjadi masalah bagi saya).

Setiap orang memang harus memiliki mimpi. Itu bukan hak, melainkan kewajiban. Mimpi akan menjadikan seseorang memiliki tujuan. Mimpi harus dibangun sejak muda. Tak mengherankan apabila orang tua kita dengan sigap membangun pondasi untuk mewujudkan mimpi kita lewat apa saja yang dapat mereka berikan. Mimpi akan menjadikan seseorang memiliki target apa yang harus dicapainya. Kalau kata teman saya, mimpi itu seperti utang yang harus dibayar kepada diri sendiri.


Tapi, ada mimpi yang tinggal mimpi. Ada pula mimpi yang bisa terwujudkan. Menurut saya, itu kembali lagi kepada diri masing-masing: apakah ia menginginkan mimpi hanya sekadar mimpi atau diejawantahkan. Seseorang harus memilih untuk berjuang untuk mimpi-mimpinya atau duduk manis menunggu mimpi itu terwujud sendiri. Keberhasilan untuk mengejawantahkan mimpi tidaklah jatuh dari langit.

Mungkin, dengan maksud yang mulia itu, Alanda mengajak kaum muda untuk mengejawantahkan mimpinya. Menyadarkan satu hal: mimpi tidak akan pernah terwujud apabila mimpi hanya ditunggu untuk menjadi nyata. Pengalaman hidupnya yang sudah menuai banyak pujian itulah yang menjadi landasan bagaimana ia berani untuk menuliskan buku ini.

Saya percaya, di dunia ini ada pilihan-pilihan yang tidaklah kita kehendaki, tetapi kita dipaksa untuk memilih. Demikian pula dengan Alanda. Ia pernah diharuskan memilih, menghadapi mimpi yang mana yang harus diejawantahkan. Pengalamannya itu yang membuatnya lebih berada. Kini, ia tidak pernah menyesali dengan keputusan yang sempat membuatnya bimbang.

Dengan konsep yang sedikit berbeda dari buku motivasi lainnya yang pernah saya baca, ditambah dengan pengalaman dan halaman di mana kita diajak untuk lebih berusaha mewujudkan mimpi-mimpi kita, Alanda mengundang kita untuk masuk ke dalam dunia mimpi. Dunia mimpi yang harus diwujudkan, bukan hanya ditunggu begitu saja.

Ya, berbagi justru bisa membuat kita lebih kaya.


Ya, dengan berbagi, kita bisa lebih kaya, Alanda. Jangan pernah lelah untuk berbagi pengalamanmu. Mimpi yang telah kau harapkan dulu setidaknya sudah banyak yang diraih dengan apa yang dinamakan dengan 'berjuang'. Dan lewat karya terbarumu, kau berbagi untuk mengundang kaum muda untuk mengejawantahkan mimpi.

Selamat berbagi!

Malam ini, kulunasi utangku kepadamu untuk meresensi karyamu.




Jakarta, 17 Mei 2012 | 18.17
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 11 Mei 2012

Hari Ini Empat Belas Tahun Lalu

Hari ini empat belas tahun lalu:

Sedang apa kau, sayang?

aku bermain senapan di depan DPR
aku bermain orasi di atas mimbar
aku bermain gas air mata di muka MPR

siapakah perduli?

aku yang akan dijerang peluru
aku yang akan berdarah jadikan mati
aku yang tergeletak di tengah Gatot Soebroto

selamatkah engkau?

dari huru hara itu
dari amukan itu
dari atas nama reformasi

engkaukah itu?

yang menjadi jenazah
yang masih berlarian
yang berdiri di mimbar

akankah kau kenang itu?

semua kematian yang jadinya kisah
semua perjuangan kita jadinya angan
semua tragedi hidup jadinya air mata

apa yang akan diwariskan pada mereka?

sebuah cita-cita atas reformasi
sebuah kemenangan untuk demokrasi
sebuah harapan yang jadikan mimpi adanya

Hari ini empat belas tahun lalu

akankah sejarah mencatatnya?




Jakarta, 13 Mei 1998 - 12 Mei 2012

Mari melawan LUPA!

Kamis, 03 Mei 2012

Sebuah Tanya

Bahagia itu,
seperti angin yang bisa dirasakan, tapi tak bisa disentuh
seperti laju bus yang akan selalu maju, tapi akan kembali lagi
seperti setan yang tak diundang, tapi bisa dilepas

Nestapa itu,
seperti neraka yang tak tahu di mana, tapi tahu bagaimana panasnya
seperti kapal yang begitu mewah, tapi karam pun pasti
seperti luka yang kering, tapi bekas tak bisa pudar


Lalu, mana yang kamu pilih? Menjadi bahagia atau nestapa?


: aku memilih untuk tidak memilih.




Bandung, 3 Mei 2012 | 23.19
A.A. - dalam sebuah inisial

Menulislah di Semeru

Dimuat di dalam buku Untukmu, Pena Inspirasi (2011)


Kepada Soe Hok-gie,

 

apa kau masih menulis di surga sana?

di Semeru di mana tulangmu berterbangan

 

masih senang mengkritik?

ah, kalau kau sekarang masih hidup

banyak yang bisa kau kritik

 

tapi, bukan hanya kau

demikian pula aku yang tetap menulis

kita yang pernah bermimpi tentang dunia

dunia yang tak pernah akan datang

 

Gie,

kalau kau memang ingin menetap di Semeru

titipkan salam kepada matahari

ucapkan cita-cita idealisme dan pluralisme kita

kita yang masih muda memang yang harus bergerak

 

tapi Gie,

kalau kau turun dari Semeru

jangan lupa kirimkan tulisanmu ke koran

biar mereka yang merasa busuk itu bungkam

meski kita masih bau kencur di mata mereka

 

Gie,

jangan pernah berhenti menulis

terus mendaki dan menetaplah di puncak Semeru

 

 

Jakarta, 19 Maret 2011 | 13.13

A.A. - dalam sebuah inisial


Rabu, 02 Mei 2012

Sajak Cinta di Tengah Hujan

G,

Hari Rabu terasa begitu kelabu. Seharian langit berwarna abu-abu, pertanda sendu dibawa oleh rindu. Beku, di dalam hampa yang begitu sunyi karena risau. Aku tahu ada kekosongan yang berbicara di antara kita karena jarak yang begitu jauh. Seorang musafir pun mengerti bagaimana perpisahan itu terjadi karena waktu. Tapi biarkan cinta yang bersemayam di dalam hati setiap orang yang merasa kelu.

Kalau memang kamu menyebutnya cinta, rindu itu biarkan melebur bersama waktu. Bagai es yang tak lagi bisa mempertahankan kebekuannya karena semua di dunia ini seperti bersifat semu. Pula duka itu bersifat bayang-bayang seperti bahagia yang bisa berganti bagaikan musim sepanjang waktu.

G,

Mencintaimu adalah menjadi bahagiaku. Mencintaimu adalah tugasku yang tidak mengenal perhentian akhir. Demikian semestinya terjadi, karena cinta itu yang membuat seseorang begitu berarti. Aku mengerti bagaimana rasanya jatuh cinta, terluka di dalamnya, terpisah karenanya, dan terobati deminya. Ada pengorbanan yang harus diberikan untuk menerima yang lain. Tapi, mencintaimu adalah suatu kewajiban yang tidak boleh kuhentikan begitu saja.

G,

Bahagiaku adalah mencintaimu. Meski di dalam dukaku ada rasa rindu yang meletup, ada gerimis air mata yang membentuk aliran sungai di pipi. Secangkir kopi sebagai penawar perih rasa kangen yang mencabik-cabik membuatku mengerti ada kenangan yang tidak akan pernah hilang ditarik oleh waktu. Kenangan yang membuat seseorang berani untuk melihat cinta itu selalu ada, di dalam ketiadaan sekalipun.

Dan aku selalu percaya.



Bandung, 2 Mei 2012 | 22.00
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 01 Mei 2012

Di Mana Sekolah Sesungguhnya?

Oleh: Aveline Agrippina


Jadikan setiap tempat sebagai sekolah dan jadikan setiap orang sebagai guru. - Ki Hajar Dewantara



Tentu saja, saya bukanlah seorang yang ahli dalam bidang pendidikan. Saya pun masih belajar dan akan terus belajar. Saya tidak pernah diundang sebagai pembicara untuk pendidikan atau pula diajak menulis mengenai pendidikan. Ralat, mungkin diajak menulis pernah, tapi saya tolak karena bukanlah di sana letak keahlian saya. Saya bukan praktisi yang praktis bisa diteladani oleh para pendidik dan mereka yang terdidik.

Pendidikan di masa kini bukanlah sesuatu yang mewah lagi. Bukan termasuk di dalam kebutuhan sekunder apalagi tersier. Ia tak kalah pentingnya dengan apa yang dibutuhkan oleh hidup kita, yakni sandang, pangan, dan papan. Maka tidaklah mengherankan apabila orangtua terus berjerih payah untuk dapat menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Dengan gelar yang berderet, mereka meyakini anaknya dapat dijadikan lumbung masa depan yang hidup. Mereka akan bergantung kepada anak-anaknya di hari tua.

Untuk saya, sekolah yang ada saat ini bisa menjadi terbagi dua: satu, sebuah bangunan di mana guru dan murid berkumpul, mengadakan proses belajar-mengajar, dan memberikan hasil berupa nilai di dalam wujud apa pun. Kedua, sebuah proses di mana kita diperkenalkan kepada kehidupan yang sebenar-benarnya. Semua orang boleh mendefinisikan 'sekolah' menurut kepercayaan mereka masing-masing, termasuk Anda. Tak perlu terpaku dengan kata-kata di sini.

Bagi saya, sekolah sebagai bangunan hanyalah sebuah formalitas semata. Di sana, kita hanya diajarkan hal-hal mendasar untuk mengakrabi lingkungan sekitar. Mengerti tentang ilmu-ilmu yang berkembang di dunia ini. Bahkan mengajarkan kita untuk lebih ambisius untuk mengejar setinggi mungkin nilai yang dicapai, sebanyak mungkin deret gelar yang didapat. Ia hanya fasilitas resmi di mana membuktikan kita akan menjadi kaum yang terpelajar dengan ijazah yang kita genggam kelak setelah menyelesaikan pendidikan di sana.

Sekolah yang saya anggap sebagai benar-benar sekolah adalah ketika kita sudah terjun di dalam masyarakat itu sendiri. Ada ilmu-ilmu yang tidaklah terpakai saat menerjuninya. Di sana, kita dituntut terus untuk semakin giat di dalam belajar dan mengenal dunia seluas-luasnya. Kehidupan itulah yang sesungguhnya 'sekolah hidup' yang menghidupi saya. Menghidupi seseorang untuk bangun dari tidur, mewujudkan apa yang harus dicapainya.

Sekolah yang sesungguhnya tidaklah menghasilkan ijazah. Anda patut dikatakan lulus ketika Anda sudah menyelesaikan tugas di dalam kehidupan itu dengan sebaik-baiknya. Maka, tak perlu heran apabila saya selalu lebih banyak belajar kepada sekolah kehidupan dibandingkan di sekolah yang bersifat formalitas semata itu.

Sekolah yang sesungguhnya bukan hanya mengajarkan saya bagaimana mempertahankan hidup, tetapi bagaimana berbagi dan menerima, bagaimana mewujudkan mimpi yang selalu saya dambakan, bagaimana untuk bisa membuka mata, telinga, dan indera peraba lebih peka. Sekolah itu yang mengajarkan saya bagaimana membuka pikiran dan hati di dalam waktu yang bersamaan dan memutuskan seluruh hal dengan rasional tanpa perlu berteori. Sekolah yang mengajarkan saya untuk melihat dunia yang lebih luas, melihat kenyataan semanis dan sepahit apa pun itu.

Saya meyakini setiap orang memiliki sekolahnya sendiri. Entah di mana pun mereka, bagaimana pun keadaan mereka. Saya yakini mereka belajar di dalam sekolah yang mereka ciptakan, mereka lihat, dan mereka rasakan. Keterikatan batin antara sesama manusia yang bisa membentuk sekolah baru. Sekolah kehidupan, begitu saya menyebutnya. Tak perlu ada gelar berderet di dalamnya, tak perlu ijazah yang dibawa pulang. Yang membanggakan adalah ketika kau dinyatakan lulus di dalam sekolah kehidupan itu oleh orang-orang yang ada di sekitarmu sebagai gurunya.

Itulah sekolahku yang sesungguhnya, di mana sekolahmu?

Selamat belajar! Selamat Hari Pendidikan Nasional.



Bandung, 2 Mei 2012 | 09.21
A.A. - dalam sebuah inisial



*) Ada kerinduan tersendiri untuk bercerita, dan hari ini saya mengejawantahkannya. Menyenangkan sekali rasanya.

The Prayer

terima kasih tuhan karena engkau menciptakan kehidupan di dunia ini
sehingga aku tahu bahwa tujuan dari kehidupan itu adalah kematian
dan kematian itu yang mengajarkan aku untuk tidak pernah menyia-nyiakan kehidupan
karena kehidupan itulah yang membuat segalanya menjadi hal yang fana
dan aku tidak pernah bisa menafikan waktu yang berjalan yang menggiringku kepada usia tua
atau kepada waktu yang terbatas tanpa bisa kutebak atau kuterka

terima kasih tuhan karena engkau menciptakan kebahagiaan di dunia ini
agar aku mengerti tentang kesedihan yang pernah atau sedang melanda hidupku
mereka akan selalu berganti, berseling bagai matahari di pagi dan bulan di malam
mereka yang memberikan senyum dan air mata bisa mengalir sendiri, atau mengalir bersama
biar aku tidak akan melewati setiap bahagiaku dengan rasa sedih, dan sedihku dengan bahagia
biarkan aku mencintai kehidupan ini dengan kebahagiaan dan kesedihan

terima kasih tuhan karena engkau menciptakan rasa lelah di dunia ini
sehingga aku tidak selalu menjadi manusia yang bergiat akan menghabiskan waktu untuk bekerja
agar aku tidaklah menjadi manusia yang candu akan kerja seperti orang yang rakus akan kekayaan
tapi lewat rasa lelah yang aku alami itu, aku sadar jika aku pun hanya manusia yang terbatas
dan aku tidak melewati waktuku dengan melupakan orang-orang yang kukasihi
agar tidak melupakan untuk mengistirahatkan seluruh tubuhku yang bukanlah mesin yang harus dikontrol oleh teknisi
melainkan akulah yang harus mengerti segala keterbatasan yang kupunya

terima kasih tuhan karena engkau menciptakan sakit di dunia ini
agar aku menghargai bagaimana nikmatnya sehat yang lebih banyak kau karuniakan
biar aku tahu bagaimana menderita di dalam kerusakan fisikku karena egoisku semata
dan sehat sangatlah bernilai ketika aku sudah merindukannya seperti induk yang dirindu anaknya
biar aku tahu sakit pun bisa datang dari tubuh yang kau ciptakan ini ada mereka yang mengasihiku
dan sesungguhnya aku tidaklah pernah hidup seorang diri, tidak boleh tidak peduli
karena kesembuhan itu berasal dari mereka yang mencintaiku

terima kasih tuhan karena engkau menciptakan kesepian di dunia ini
karena keramaian pun tidak selalu dapat memberikan kedamaian secara lahiriah dan batiniah
melainkan kesepian itu bisa membuatku mengerti apa yang diriku butuhkan
lewat rasa sepi itulah aku tahu ada orang-orang yang mengisi waktunya bersamaku
tidak ingin membiarkan aku diam di dalam sepi seorang diri
mereka mau kuajak berbagi di dalam hening yang menikam atau sepi yang menyayat

terima kasih tuhan karena ada batas-batas yang kau ciptakan
agar aku mengerti untuk selalu bersyukur
agar aku mengerti untuk selalu berbagi
agar aku mengerti bagaimana untuk menerima
dan agar aku pahami darimana aku berasal dan akan kembali



Bandung, 1 Mei 2012 | 21.14
A.A. - dalam sebuah inisial