Sabtu, 10 Maret 2012

Filosofi Kopi

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Dewi Lestari
Kali pertama saya membaca Filosofi Kopi ketika tahun 2007. Setahun setelah buku ini dianugerahkan sebagai Karya Sastra Terbaik 2006 oleh Majalah Tempo. Setahun setelah buku ini terbit dan dicetak ulang berkali-kali. Dan beberapa menit sebelum teman saya yang akan berangkat untuk berpisah datang menjumpai saya untuk berdiskusi kecil.

Kali kedua saya membaca Filosofi Kopi ketika lima tahun yang lalu kali pertama saya membacanya. Enam tahun buku itu dianugerahkan sebagai Karya Sastra Terbaik 2006 oleh Majalah Tempo. Enam tahun setelah buku ini terbit dan dicetak ulang berkali-kali dan akhirnya berganti penerbit. Dan enam tahun sebelum teman saya yang akan berangkat untuk berpisah datang menjumpai saya untuk berdiskusi kecil.

Dan ini adalah kali kedua saya harus meresensi buku ini. Ada kewajiban yang tersisa setiap kali mengakhirinya. Ada tugas yang sesungguhnya ditinggalkan pada lembaran terakhir dari buku ini: menuliskan kisahnya lagi. Tentu saja, akan ada sesuatu yang bisa saya bagikan dari hasil saya membaca buku ini untuk kali kedua.

Nyatanya, rasa tidak pernah bisa berbohong. Itu frase yang digunakan oleh salah satu iklan kecap di televisi. Dan saya tidak bisa membohongi diri saya sendiri bahwa saya telah jatuh hati kepada buku ini. Sejak 2007, sejak 2012.

Membaca cerpen Dee adalah membaca dongeng. Itu yang selalu saya rasakan. Seakan-akan yang ia ceritakan adalah hal yang sepele, tetapi dengan duga-duga yang bisa saja mengejutkan pada akhirnya. Ada pula prosa-prosanya yang terasa dekat dan lekat di dalam pembendaharaan katanya yang cukup dahsyat.

Saya tidak berubah dengan pikiran saya. Membaca buku ini terasa deja vu. Sangat! Tersibak kembali soal menunggu dan menghabiskan buku ini, terasa sekali kedekatan saya dan sahabat yang ditunggu itu di dalam zona jarak. Sahabat saya itu pun berangkat dengan bekal buku ini di perjalanannya. Buku yang saya beli bersamaan dengan buku yang saya berikan kepada sahabat saya itu telah berpindah tangan kepada yang lain. Maka, buku penggantinya pun sudah ada meski dengan sampul yang berbeda dan nyatanya kemasan tetap sama yang semakin membuat saya pernah berada di suatu masa.

Bagi saya, Filosofi Kopi memberikan kesan yang baik untuk pembacanya bahwa di dunia ini hanyalah mencari dan menemukan, mencipta dan mempertahankan. Semanis apa pun kopi, ia akan selalu meninggalkan sisi pahit. Seperti itulah manusia yang sebenarnya. Segembira apa pun seseorang, ia akan mengecap kenestapaan.

Seindah apa pun huruf terukir, dapatkan ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?

Membaca Dee untuk saya tidak perlu berpikir dua-tiga kali untuk memahami inti kalimatnya. Meskipun bersajak-bermajas, saya bisa menikmatinya dengan cara saya sendiri. Baik dengan sudut pandang manusia sampai sudut pandang seekor kecoak. Membacanya selalu membuat saya tersenyum atau bersimpati dengan tokoh-tokohnya.

Adalah hal yang menyenangkan bila Dee menerbitkan salah satu karya agungnya ini. Dan terima kasih untuk membuat saya kembali teringat kepada sahabat saya itu.



Jakarta, 10 Maret 2012 | 21.28
A.A. - dalam sebuah inisial

9 komentar:

  1. Seindah apa pun huruf terukir, dapatkan ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?


    daleeemmm

    BalasHapus
  2. Karya-karya Dee emang ringan, tapi bikin imaji kita melayang-layang :)

    BalasHapus
  3. Aku jatuh cinta ama buku nyang inih.

    BalasHapus
  4. saya juga suka. kata-kata yang digunakan Dee memang dipilih dengan jeli :)

    BalasHapus
  5. Seindah apa pun huruf terukir, dapatkan ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?

    ...

    BalasHapus
  6. Selamat pagi, selamat menyeruput kopi, selamat berakhir pekan, kawan.

    Salam,
    A.A.

    BalasHapus
  7. Memang kalo kopi kagak ada rasa paitnya pasti cemplang ya?

    BalasHapus