Kamis, 25 Agustus 2011

Kepadamu, Pahlawanku

Category:   Books
Price:   Rp. 33.000,-

:Soe Hok Gie

Aku diajak bicara tentang bangsa. Yang kudengar adalah gema generasi gagap berpantulan di dinding jebakan zaman. Mungkin sekadar jelmaan cemarnya darah generasi ’90 yang kubawa sejak kesahihan sejarah habis terbakar dan lenyap sampai sisa abunya. Lalu kutemukan namamu yang menenggelamkan aku dalam pesona. Jejeran abjad sesisaan pikiranmu mengajakku berkaca.

Yang terbesar adalah kebenaran, ujarmu. Maka kepadanya aku berlari untuk menghadap, selagi kita sama-sama percaya bahwa menjadi manusia bebas adalah hakiki. Mungkin akan kau dengar eufoni dalam kepalaku menjelang petang, tentang amanat cinta terhadap manusia seperti yang kau, kawan yang kujumpa dalam aksara, cita-citakan. Ya, masih akan kukejar.

Eufoni Cita-cita – Ellena Ekarahendy

Seratus kata untuk pahlawan kita. Ada ibu, ada ayah, ada guru, ada pacar, dan ada pahlawan nasional. Tak akan pernah kita sangka bahwa di sekeliling kita ada pahlawan yang ada untuk kita. Tak akan pernah kita sangka bahwa ada pahlawan yang telah membuat kita merdeka. Seratus kata menjadi sebuah dedikasi bagi mereka, orang-orang yang selalu berjasa di dalam kehidupan kita.





Pemesanan bisa lewat nulisbuku


*) Harga belum termasuk ongkos kirim.


Rabu, 24 Agustus 2011

Menerbitkan Matahari

dan pagi di kotamu ini
aku menggeser matahari
dan orang-orang menyebutnya
menerbitkan matahari

dingin di kotamu ini
kuberi hangat matahari
dan orang-orang menyebutnya
menerbitkan matahari


Bandung, 25 Agustus 2011 | 06.27
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 21 Agustus 2011

Tentang Putus Asa

guruku di sekolah selalu mengajarkan aku
agar jangan pernah menyerah kepada keadaan
tetapi aku bukanlah murid yang patuh
bahkan aku murid yang selalu membangkang
aku hanya mengikuti keadaan ke mana semestinya berada

guruku di sekolah selalu mengajarkan aku
agar berani melawan arus meski tubuhmu perih
tetapi aku bukan murid yang taat
aku memilih mengikuti arus dan membiarkan jasadku hanyut
dan aku hanya bisa menangis saat aku tahu aku gagal

ternyata orang yang berhasil itu:
berani melawan keadaan bagaimana pun caranya
berani melawan arus meski terluka perih

akankah aku akan memilih jalan itu?
itulah tanyaku pagi ini




Bandung, 22 Agustus 2011 | 06.17
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 19 Agustus 2011

Pagi

lampu-lampu kota mulai menyelimuti diri
orang-orang mulai bangkit dari tidur
dan matahari lagi-lagi mendahului kita

mari mengejar matahari
mari mengejar pagi




Bandung, 20 Agustus 2011 | 07.45
A.A. - dalam sebuah inisial

Memilih Pergi

pada akhirnya
aku lebih memilih untuk beranjak pergi
daripada untuk tetap tinggal

dan ternyata
pilihan itu tidak bisa dikatakan benar
pula tak bisa dikatakan salah

karena kita
sudah pernah memilih hal tersebut
dan harus menikmati suka-duka

mungkin hari ini
biar semesta tahu bagaimana aku memeluk rindu
yang berderu untuk mengantar haru



Bandung, 19 Agustus 2011 | 16.13
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 17 Agustus 2011

Menjamah Merdeka

tahukah kamu
merdeka bukan sekadar melawan penjajah
tetapi juga melawan bangsa sendiri
dan itu tugas yang lebih berat

tahukah kamu
merdeka bukan sekadar bangga dengan bendera sendiri
tetapi juga mempertahankan kibas kibarnya
dan itu tugas yang sangat berat

tahukah kamu
merdeka bukan sekadar perayaan yang ramai
tetapi juga perhatian kepada mereka yang kesepian
dan itu bukanlah tugas yang ringan

tahukah kamu
merdeka bukan sekadar makan dengan kenyang
tetapi juga memberi makan kepada mereka yang kelaparan
dan itu tugas hari ini

merdeka hari ini bukan soal mengusir penjajah,
merdeka hari ini adalah soal mengusir ketidakadilan


Jakarta, 17 Agustus 2011 | 21.50
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 14 Agustus 2011

Dan Inilah

yang mungkin tak semua orang tahu,
ada kalanya kita pun merasa kesepian
meski kita di tengah hiruk pikuk
di tengah keramaian yang benar-benar ramai

dan aku pun akan pulang
sampai jumpa di hari mendatang
semoga kau pun tahu alasan mengapa sepi
begitu menjadi dalam darah dan nadiku

karena ketiadaan yang harusnya ada




Bandung, 14 Agustus 2011 | 4.44 PM
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 07 Agustus 2011

Perihal: Pergi

Biar hari-hari menjadi sebuah manifestasi karya yang sangat abadi, maka kita harus berani meninggalkan mereka yang kita kasihi untuk sebuah masa depan yang setiap detik akan kita sambut. Adapun tentang hari ini, biar waktu mengelolanya menjadi sebuah kenangan yang tersimpan rapi di sebuah ruang, di dalam rumah yang tak pernah lupa untuk mengingatnya.

Aku pun demikian adanya. Kuberanikan diri untuk pergi, menanggalkan semua yang telah kumiliki, meninggalkan semua yang kucinta, dan melangkahkan kaki ke negeri yang berbeda. Kita berpisah. Bukan berarti melupakan. Untuk itulah, mengapa mereka membenci apa yang dinamakan berpisah. Meski hari demi hari bergulir, cepat atau lambat, tahu atau tidak, sanggup menerima atau tidak, kehilangan akan datang seperti matahari yang terbit tanpa sanggup kita menjegalnya untuk tidak tenggelam.

Bahwa aku mengasihi semua kenangan yang pernah ada di kota ini. Maaf bila aku lebih sering menggerutu sebagai manusia daripada mensyukuri apa yang pernah kunikmati dalam suka dan duka, bahagia dan lara, senang dan susah. Dan aku pun hanyalah manusia; tak pernah lepas dari segala kesalahan.

Begitu banyak cerita yang kurawi di kota ini, terlalu banyak harapan yang kutaruh di tempat ini, namun masih adakah tempat bagiku untuk berpulang di suatu hari nanti? Sejauh apa pun aku pergi, aku percaya esok aku akan kembali, seperti petualang mana yang tak rindu akan rumah. Bagiku, tiada apa-apa bila aku tidak mengeja rasa rindu yang menggebu dan meletup di dada. Aku hanya sanggup menyimpannya dan menumpahkannya ketika pulang di hari depan.

Percayalah, aku tidak akan melupakan begitu saja. Terlalu manis untuk dilupakan begitu saja. Dan satu lagi, aku akan pulang untuk melepas cumbu mesra di hari esok.

Aku pergi dulu, sampai jumpa di lain waktu.




Peluk sapa dan cium mesra,

Jakarta, 7 Agustus 2011 | 23.15
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 06 Agustus 2011

Kredo Sunyi Pagi

di bawah matahari yang berangkat menuju langit
aku beranjak pergi menuju ke angkasa menggenggam asa
biar cinta menjadi sesuatu yang mengejawantah dan menghasilkan
buah-buah yang melimpah untuk sepanjang hari
dengan pembaruan yang kekal dan fana pun lenyap
aku meringkuk di atas awan, menyambut embun yang siap pergi
waktunya telah habis, katanya. dia harus pergi tidur dahulu
tugas telah usai dikerjakan dan matahari sudah senyum-senyum
tempatnya sudah dibersihkan oleh bulan yang letih
di cakrawala membentang, aku mendendang bunyi sangkakala
agar asa bukan sekadar asa, melainkan menjadi manifestasi yang manis




Jakarta, 7 Agustus 2011 | 09.05
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 05 Agustus 2011

Dongeng Sebelum Tidur

:Adryan Adisaputra Tando

lekas menujulah ke kasurmu, akan kudongengkan sebuah cerita pengantar tidurmu
ini cerita yang pernah kaudamba sewaktu kecil, kini kuulang kembali
adalah suatu ketika di negeri yang sangat jauh, seorang anak laki-laki berusaha menjadi seorang yang tinggi dan besar
kala itu, tubuhnya masih sangat kecil, hanya segenggam kepal orang dewasa
ia berkata kepada ibunya kapan ia bisa menjadi dewasa, ia ingin bertumbuh besar
ibunya hanya berucap tunggu saatnya, ketika itu juga ibunya menangis
sang ibu tahu kalau anaknya tidak akan bisa seukuran dirinya
ya, anak itu kerdil. ibu itu hanya menangis, memikirkan masa depan anak itu
anak itu semakin bertambah usia, ia hanya seukuran genggam kepal
sampai saat ibunya meninggal, ia tetap berukuran seperti itu
'kau tak akan bisa bertumbuh besar, tapi kau bisa bertumbuh dewasa. dewasa tidak memihak dan dia hanya bisa dipilih,' kata seorang temannya yang melihat dirinya bersedih
ia pun pergi berlari, entah ke mana. merayakan kedewasaannya.
sampai kini, aku pun tak tahu ke mana anak itu. rasaku, ia sudah menimang cucu dan bahagia
meski dengan tubuh mungilnya tersebut
nah, sekarang tidurlah. selamat tidur.


Jakarta, 6 Agustus 2011 | 00.04
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 04 Agustus 2011

Kereta Tidur

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Avianti Armand
Avianti Armand,

Ini kali pertama aku membaca tulisanmu. Aku tak pernah tahu seperti apa isi dari lembaran-lembaran yang teranyam di Negeri Para Peri,jua aku tak tahu apa yang kautulis di setiap halaman yang ada dalam Perempuan yang Dihapus Namanya, dan aku tak pernah menyentuh buku Dari Datuk ke Sakura Emas, apalagi cerpenmu.

Aku hanya tahu Perempuan Pertama memang bergelut dengan dosa karena ular, karena rayuan budak setan yang mengajak laki-laki untuk lekas meninggalkan Taman Eden dan harus mengenal apa yang disebut dengan rasa malu. Tapi, aku tidak tahu ketika itu juga, setan sedang mengenalkan mereka kepada kematian dan di baris ketujuh sebelah kiti, empat kursi dari ujung, Tuhan sedang duduk sambil menangis. Aku tidak tahu. Kejadian tidak menuliskannya. Ia hanya menulis Tuhan mengusir mereka dari Taman Eden. Itu saja.

Mungkin peta di tubuh setiap orang yang bercinta selalu ada, seperti Matahari yang sedang berselonjor di tubuh langit. Aku pun mengerti mengapa bahasa mereka yang terlanjur jatuh cinta begitu puitis atau mereka yang sangat mesra dalam kata-kata. Aih! Dicumbulah aku dalam tulisanmu yang ini. Seperti aku dibacakan cerita menjelang tidur oleh Ibunda dan ia berbagi pengalaman soal cinta, pelajaran yang harus dirasakan sendiri.

Aku bermain di taman dekat Gibraltar. Bermainlah aku oleh Dongeng dari Gibraltar yang begitu membuatku merasa kembali menjadi kanak-kanak. Semakin aku membalik halaman, ini bukan lagi soal cinta semata. Bukankah penantian akan menemukan ujung dan untuk mendapatkan sesuatu kita harus berkorban lebih? Aku merasa tidak adil dalam dongengmu ini, Avianti. Harusnya dongeng itu berakhir dengan bahagia, tetapi ini sungguh menjadi sesuatu yang begitu pilu.

Atau pula ini kelanjutan dari Hawa yang diusir dan tahu perihal kematian. Mungkin pula di dunia anak-cucunya sudah mengenal bagaimana cara merokok. Apa merek rokok dengan rasa yang paling nikmat dan bagaimana mulutnya bisa bersanding dengan asap kereta? Ah, tubuh adalah Bait Allah. Tapi kaurusak tubuh si dia dan harus bermain dengan lagu Requiem. Kejinya kau. Tapi kauhapus dosanya dengan pisau yang disayat perempuan bergaun putih itu? Andai semudah itu Tuhan menghapus dosa dan semua umat tahu, di tubuh ini tentu sudah ada salib yang berdarah.

Aku tahu betapa menyebalkannya bila disanding-sandingkan dengan mereka yang pandai. Aku juga ingin mem-PHK ibuku, tapi ia yang wajib memberikanku pesangon. Ia tak mau ku-PHK, tetapi tetap saja ibuku sering melakukan hal yang serupa dengan menyandingkan aku seperti orang-orang yang bernasib naas dengan Lara. Ih, betapa laranya hidupku bila harus berlara hati seperti Lara. Biar aku lebih mengaminkan saja bahwa kehidupan ini memang tidak akan bisa Sempurna meski kita bisa menjadi lebih baik dari orang lain. Terlalu ambisius!

Pula berapa banyak Kupu-kupu di negeri ini? Bukankah itu pertanyaanmu di halaman 69? Bukankah proses metamorfosis begitu melelahkan kupu-kupu sampai pada akhirnya ia akan menjadi indah? Bahwa kehidupan akan begitu indah ketika berada di ujung penantian. Hanya aku bertanya-tanya: mengapa harus Tudung Merah? Ke mana si Kerudung Merah? Mungkin Kerudung Merah hanya perempuan yang baik-baik. Kupikir itu.

Andai saja ada Perempuan Tua dalam Kepala yang sedang hinggap dalam kepalaku, aku akan menjerit sejadi-jadinya. Tapi cinta seperti itu membuatku hanya ingin membunuh diriku. Kau tahu apa aku tahu soal cinta seperti itu? Orang-orang mengatakan itu sangat menjijikkan bahkan najis. Buatku biasa saja, bila soal cinta. Toh, kau tak pernah menuntut untuk menjadi perempuan atau laki-laki ketika lahir, begitu pula aku. Tapi kalau dicumbu dengan begitu arogan, aku lebih memilih mencekik leherku sendiri.

Tentang Tak Ada. Ya, tak ada yang harus kukatakan selain klise!

Bahwa ketika hendak berangkat, aku dan kau pun butuh dengan yang dinamakan tiket. Tapi ke mana Tiket ke Tangier itu akan membawaku? Di mana Tangier? Aku tak pernah mendengar tempat itu, tak pernah membaca tempat itu di peta. Kalaupun memang di Maroko, di mana letaknya dan seperti apa isi perut kotanya itu? Apa benar ada cinta di sana? Tapi aku bisa saja telah memiliki tiket itu, dan aku memang tak pernah memakainya. Tapi, benarkah di sana selalu ada cinta? semoga lampu kota tak lekas mati karena aku belajar untuk jatuh cinta.

Di tanganku, pasir tak menetes sebutir pun, meski kamu selalu kembali untuk menemuiku. Tahun demi tahun. Tiket itu tak pernah terpakai. tapi aku selalu datang ke Tangier untuk menemuimu.- hlm. 115

Demikianlah dengan aku yang menziarahi lorong Kereta Tidur-mu. Di balik semua kehidupan, tentu ada kematian. Bahwa kita hanya memilih apa kita harus kembali menjadi abu di dalam tanah atau menjadi abu di dalam kereta tidur dan dilarungkan di laut lepas. Dan betapa fananya hidup ini, kuinsafi.

Avianti Armand,

Begitulah kisahku menyetubuhi Kereta Tidur-mu. Meski di dalam lirih aku hendak menjadi siapa dan mengapa aku memilih itu, kau sudah memiliki kisahmu sendiri. Dalam perjalanan, kutelusuri setiap spasi dalam tubuh bukumu. Kau adalah Tuhan yang baik, membunuh setiap umatmu dengan caramu sendiri. Aku hanyalah pengawas pintu surga yang mengabsen siapa yang harus masuk ke dalam otakku.

Kuharap kau tak lupa untuk tak lupa cara menulis dan tetap menulis.



Jabat erat selalu,


Jakarta, 4 Agustus 2011 | 21.57
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 03 Agustus 2011

Menghitung Matahari

ada berapa matahari malam ini
katanya matahari hanya tertutup punggung bumi
ia tetap ada, tapi tak seorang tahu berapa banyak
coba rasakan dari panasnya
bukankah semuanya bisa dihitung dari hal tersebut

ada berapa matahari malam ini
selama kau merasa gerah dan mengipas perut dengan baju
itu yang dinyatakan dengan banyaknya matahari
tapi, pernah kauhitung berapa banyaknya
apakah lebih banyak dari bintang

ada berapa matahari malam ini
aku tidak lagi memikirkannya, tapi
matahari masih ada untuk pagi ini kan?



Jakarta, 5 Agustus 2011 | 00.27
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 02 Agustus 2011

Menunggu Matahari Terbit di Ubun-ubun

aku hanya menunggu matahari
di sebuah persimpangan yang beku
membuat kaki benar-benar kaku
sampai terbitlah di luas langit
dan aku tahu:
matahari mencintai hari dengan matahati




Bandung, 3 Agustus 2011 | 05.41
A.A. - dalam sebuah inisial

Presiden Prawiranegara

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Akmal Nasery Basral
Pahlawan yang Terhapus Namanya

Dalam sejarah Indonesia, ada dua orang pemimpin negara ini yang tidak tercatat sebagai presiden, yaitu Mr. Assaat dan Mr. Syafruddin Prawiranegara. Sementara itu, kita hanya mengenal Indonesia hanya memiliki enam presiden, yakni Sukarno, Suharto, B. J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Mr. Assaat merupakan Presiden Indonesia pada masa pemerintahan Republik Indonesia saat Indonesia masih berstatus Republik Indonesia Serikat. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang merupakan lembaga pembantu presiden.

Sementara, Mr. Syafruddin Prawiranegara merupakan Menteri Kemakmuran setelah Surachman Tjokrodisurjo di zaman Sukarno. Ketika terjadi Agresi Militer II, Sukarno dan Moh. Hatta memberikan kepercayaan kepada Syafruddin untuk membentuk sebuah pemerintahan darurat agar keberadaan Indonesia tetap diakui dunia dan tidak ditenggelamkan oleh bom-bom Belanda.

Lewat kacamata Kamil Koto, seorang pencopet yang terkenal di Pasar Pariaman yang menjadi pengikut Residen Rasyid setelah diselamatkan olehnya dalam sebuah peristiwa, Akmal Nasery Basral berkisah tentang perjuangan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang dipimpin oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara yang sering disebut Kuding di dalam novel ini.
Kedatangan Bung Hatta ke rumah Kuding di sore itu membuatnya harus meninggalkan rumah. Janji Bung Hatta kepada keluarganya hanyalah beberapa hari membawa Kuding keluar dan menuju Bukittinggi. Ternyata janji Bung Hatta tidak bisa ditepati karena bom sudah menghujani Yogyakarta di saat KTN yang juga diliput oleh wartawan internasional. Belanda semakin menjadi. Sukarno dan Hatta sudah memprediksi bahwa mereka akan terkena tahanan rumah, mereka lekas-lekas mengirimkan kabar kepada Syafruddin, Sudarsono, dan A. A. Maramis. Sudarsono adalah dubes RI untuk India dan A. A. Maramis adalah Menteri Keuangan yang sedang berada di New Delhi.

Benar saja, Sukarno dan Hatta beserta beberapa pejabat tinggi lainnya terkena status tahanan rumah dari Belanda. Jendral Sudirman melakukan pergerakan militer di Yogyakarta meski dalam kondisi ia bernapas dengan satu paru-paru. Kuding melakukan pergerakan sipil di Bukittinggi setelah mendapat kabar Sukarno dan Hatta sudah dipenjarakan oleh Belanda.

Rapat digelar oleh Teuku Hasan, Syafruddin, dan beberapa pejabat tinggi lainnya untuk menentukan sikap ke depannya yang akan dilakukan oleh pemerintah agar keberadaan Indonesia tidak semakin dirusak oleh Belanda. Akhirnya sebuah rapat berhasil menunjuk Syafruddin Prawiranegara sebagai Ketua PDRI dan Teuku Mohammad Hasan sebagai wakilnya.

Mungkin hal ini yang membuat Kuding tidak dianggap sebagai presiden: kerendah-hatiannya. Ketika orang-orang telah memanggil dirinya sebagai Presiden PDRI, dengan tegas ia menegur,”Saya Ketua PDRI, bukan Presiden.” Untuk itu, ia tidak dianggap sebagai presiden karena atas kehendaknya sendiri.

Kuding adalah menteri yang jujur, terbukti dengan ketidakmampuannya membeli gurita untuk anaknya, ia tidak menggunakan uang negara untuk itu. Kuding adalah pribadi yang bersahaja, terbukti dengan kata-katanya selalu terpikirkan dengan matang, bertindak dengan hati nurani, dan tidak sekadar asal-asalan. Kuding adalah pendengar yang bijaksana dan penasihat ulung, terbukti dengan ia mengajarkan Kamil untuk lebih menghargai ayahnya dengan baik meski rasa sakit hati tidak bisa tidak datang begitu saja.

“Ayahmu menteri keuangan, Icah,” Lily menyeka matanya yang basah. “Ayah mengurusi banyak sekali uang negara, tetapi dia tak punya uang untuk membeli kain gurita bagi anaknya, adikmu Khalid, yang baru lahir. Kalau Ibu tidak mengalaminya sendiri, Ibu sendiri pasti tidak percaya. Tapi itu nyata. Ayahmu sama sekali tidak tergoda memakai uang negara, meski hanya untuk membeli sepotong kain gurita.” - Presiden Prawiranegara, hlm. 25

Gaya penceritaan Akmal lewat Kamil Koto yang jatuh cinta kepada Zahara, perempuan yang berayahkan Ajo Sidi, orang yang hampir membunuh Kamil, membuat suasana cerita menjadi berwarna dan tidak membosankan. Kamil Koto, tokoh yang seolah-olah ada dan hidup, membuat novel ini menjadi kisah yang menarik dan sayang untuk dilewatkan. Penuturan lugu seorang Kamil bisa mengundang tawa sekaligus pilu. Kita juga diajak bersimpati dan ‘ikut berjuang’ dalam keluar-masuk belantara bersama Kuding untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia.

Pertengkaran mulut antara Sutan Syahrir dan Sukarno yang menganggap Sukarno adalah presiden tolol dan menghina martabat seorang petinggi negara karena mengemis juga memberi warna tersendiri yang menghibur pembaca. Saya pun tak memungkiri sejak kali pertama membaca bab novel ini, saya langsung berpikir Sukarno adalah presiden tolol dan pengecut.

Syafruddin pun memiliki catatan hitam dalam lembaran sejarah Indonesia. Ia dianggap membangkang dengan mendirikan PRRI dan melakukan pemberontakan karena kekecewaannya terhadap pimpinan Sukarno. Di masa tuanya, ia menjadi pendakwah dan berkotbah tentang politik. Isinya selalu membangkitkan emosional rakyat sehingga isi pidatonya harus diperiksa sebelum dikotbahkan. Posisinya pun pernah digantikan khatib lain karena ia menolak isi kotbahnya diganti.

Meski hanya 207 hari, Kuding sudah berjuang untuk Indonesia. Ia pernah ada sebagai pemimpin yang bijaksana untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia meski ia harus mengorbankan keluarganya dan dirinya sendiri. Syafruddin Prawiranegara, seorang presiden yang terhapus namanya.

Bandung, 2 Agustus 2011 | 21.02
A.A. – dalam sebuah inisial