Jumat, 30 Juli 2010

Pada

Pada suatu ketika
di aksara ini tak ada lagi engkau
tak kudengar lagi bisingmu
biar aku memeluk semua puisi
sampai getar waktu hari
dan musim yang tak berganti

Pada suatu ketika
di tempat ini yang mempertemukan sunyi
aku tidak lagi mempercayai sesuatu
kalau sesampai hari tak memberi salam
tidak menyajikan kenikmatan hari
dan suatu cinta yang mengasah percaya
aku akan beranjak pergi
berlari kepada angin
biar aku terbang dibawanya
dan menuju bumi lain




Jakarta, 31 Juli 2010 | 8.05
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 25 Juli 2010

Jazz


Kalau kau pernah dengar aku
kau pasti tahu apa itu jazz
bagaimana kau merasakan nuansanya
bagaimana ia mencipta seni dari nada
seperti apa kita bergetar dibuatnya

Dia mengimprovisasi nada dan aksara
walau kau tuli sekali pun
jazz tetap dapat kau rasakan
dia akan tetap hidup di hati
walau kelak aku dan kau sudah mati


Jakarta, 25 Juli 2010 | 18.00
A.A. - dalam intonasi nada

Jumat, 23 Juli 2010

Oeroeg

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Hella S. Haase
Oeroeg adalah karya sastra yang menceritakan tentang Indonesia, tetapi diasingkan sendiri di mana seharusnya dia lebih berjaya. Penulisnya sendiri pun bukanlah orang Indonesia tetapi lahir di Indonesia. Hella S. Haasse membangun karakter Oeroeg sebagai jiwa yang kuat atas rasa cinta tanah air.

60 tahun setelah buku ini terbit di Belanda -asal Hella S. Haasse- barulah buku ini berhasil keluar di Indonesia. Sambutannya tidaklah meriah. Mungkin orang Indonesia masa kini sudah malas membaca sejarah semacam ini. Padahal tanpa sejarah, orang pasti akan jatuh pada lubang yang sama berkali-kali. Maka sejak zaman dahulu, sudah ditekankan kepada kita "belajarlah dari sejarah."

Tokoh "aku" adalah seorang anak administrateur Belanda yang sering bermain-main dengan Oeroeg yang adalah anak pegawai kepercayaan ayahnya. Oeroeg berkesempatan mengecap bangku sekolah sampai MULO sebagai balas jasa atas kematian ayahnya yang menyelamatkan si "aku" yang tenggelam ketika di danau.

"Aku" dan Oeroeg berjalan bersama sejak masa kanak-kanak sampai menjadi dewasa. Padahal status sosial di antara keduanya tidaklah sama. "Aku" sering dimarahi oleh ayahnya dan mengatakan bahwa sebaiknya dia tidaklah di Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, penolakan semakin besar dan hal itu menyadarkan Oeroeg jika Indonesia seharusnya melakukan suatu pergerakan anti Belanda. Ia membuktikannya sendiri dengan menolak kerja sama dengan Belanda dalam hal apapun.


Cerita ini sendiri kental akan arus kasta yang begitu terbentang lebar antara Oeroeg dan "aku" dalam menjalankan persahabatan mereka. Sesampai mencari jati diri bahwa Oeroeg bukanlah seorang yang harus menjadi Belanda, dia harus menjadi dirinya sendiri, menjadi Indonesiais.

Dengan setting Sukabumi, Hella menceritakan suatu cerita yang begitu bermakna kepada kita semua. Bagaimana kita pun bisa mewujudkan cinta akan tanah air kita, bahkan seorang yang Belanda pun bisa akan hal itu. Sayang, kalau pada akhirnya buku ini yang sudah terbit malah kembali lagi untuk dilupakan dan terkubur dalam-dalam.

Mendua

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Indah Hanaco
Seandainya kita tahu bahwa orang yang kita kasihi adalah bukan orang yang setia, mereka memiliki orang lain selain daripada kita. Mereka mencintai yang lain selain kita. Apa kita harus berdiam diri? Mengutuki diri?

Apa Nina harus mengutuki diri ketika mengetahui seseorang yang mencintainya bukanlah tipe lelaki yang setia? Nina yang bekerja sebagai costumer service di sebuah bank di Medan bergelut pada cinta pandangan pertama dengan bossnya, Matthew.

Semua berjalan seperti biasa, biasa bagaimana orang merasakan jatuh cinta dan merasa saling memiliki satu dengan yang lain sampai pada pertemuan antara Matt, Nina, dan Janet yang membuat Matt menyembunyikan sebuah rahasia yang ada di antara mereka. Nina semamin gencar ingin tahu ada apa di antara mereka berdua.

Kedatangan Tristan semakin mengaminkan keberadaan Janet dan Matt ada sesuatu yang tidak dapat dibenarkan. Apalagi pengakuan Janet yang begitu mengejutkan Nina.

Ini merupakan karya perdana dari Indah Hanaco. Satu cerita yang sebenarnya sederhana, sebagaimana judulnya. Kita tahu apa arti mendua, dan bagaimana kita harus melepaskan atau mempertahankan sesuatu yang apakah pada akhirnya akan membahagiakan atau menyedihkan kita.

Indah Hanaco mengajak kita menelusuri bagaimana rasa sakit ketika kita diduakan dan bagaimana memperoleh kebahagiaan di balik itu semua. Kemudian?

Mampukah kau setiap kepadaku?

Itu menjadi pertanyaan berikutnya.

Merobek Jejak


Di persimpangan jalan
kita bertemu
hanya untuk mengucapkan: selamat tinggal

Kemudian,
kita merobek jejak kita
dan kita saling berbalik punggung
menyombongkan diri



Jakarta, 23 Juli 2010 | 20.10
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 15 Juli 2010

Epitaph

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Romance
Author:Daniel Mahendra
Pernah merasakan kehilangan? Saya pernah. Kehilangan bukanlah hal yang mudah ditaklukkan apalagi dengan kedatangannya yang begitu mendadak.

Telepon pagi itu benar-benar mengejutkan saya. Tak ada firasat apa pun yang dapat meyakinkan bahwa memang benar beliau sudah tiada. Empat tahun saya menjadi anak angkatnya secara tidak langsung. Saya dan beliau mengasihinya sebagai anak dan ayah. Walaupun beliau bukanlah ayah biologis saya, saya merasakan cintanya sebagai anaknya sendiri.

Pagi itu, saya hendak berangkat ke sekolah. Saya baru saja bangun dari tempat tidur dan bergegas mandi. Namun telepon genggam saya tiba-tiba bunyi. Saya angkat dan benar-benar tersontak kaget. Lelaki yang setiap pagi mengantarkan dan menjemput saya ke sekolah telah tiada. Ya, beliau pergi. Padahal saya yang sering tertawa dan berbincang dengannya sepanjang perjalanan melihatnya kemarin dalam keadaan sehat walafiat. Kemarin itu pula beliau yang mengantarkan saya menuju sekolah.

Hari itu juga, saya benar-benar merasakan kehilangan yang teramat sangat. Saya kehilangan seorang panutan dan sosok seorang ayah yang lain. Beliau mengajarkan saya banyak hal terutama dalam hidup.

"Hidup itu singkat seperti lilin, meleleh dan mati akhirnya."

Saya masih ingat kata-katanya beberapa bulan sebelum kepergiannya. Saya belum percaya beliau sudah tiada begitu saja. Saya tidak percaya beliau memiliki penyakit jantung. Beliau tidak pernah bercerita apa pun kepada saya. Setiap kali saya hendak bercerita tentangnya, saya merasa begitu sesak.

Mungkin begitu juga dengan apa yang dialami oleh Daniel Mahendra (DM). Kehilangan seorang kakak secara mendadak dan parahnya helikopter yang kakaknya dan kru film tumpangi hilang dan tidak diketemukan. Sampai suatu ketika, helikopter tesebut diketemukan dan prosedur pengambilan jenazah yang begitu menyakitkan pihak keluarga.

Mengambil sudut pandang Laras, DM bercerita mengenai peristiwa demi peristiwa. Dibalut dengan cerita romantis antara Haikal dan Laras yang saling mencintai, Laras yang harus pergi ke Medan untuk pengambilan gambar film dokumenter, dan cerita masa lalu Haikal dan Laras.

Cerita dibuka dengan pertemuan Haikal dan Langi, sahabat Haikal yang adalah seorang penulis. Haikal memberikan setumpuk catatan yang harus dibaca oleh Langi untuk menuliskan novel pesanan Haikal. Awalnya Langi menolak, tetapi gencaran dari Haikal membuat Langi pada akhirnya memutuskan untuk membacanya.

Cerita berlanjut kepada jatuhnya pesawat Laras di Gunung Sibayak. Dua kru dan dua orang pilot TNI AD tewas begitu saja. Laras yang setengah mati mulai menceritakan keadaan yang sesungguhnya terjadi atas mereka. Pendeskripsian dari DM yang begitu kuat membuat cerita ini semakin bernyawa dan menggebu-gebu dalam memainkan emosi pembaca.

Sayangnya, ini semua tidaklah berlangsung lama. Flash back cerita ini membuat goyang jalan cerita yang ada. Cerita mendayu-dayu dan bertempo lambat. Menjadi memaksa pembaca untuk didongengkan sejarah perfilman yang sebenarnya mayoritas orang Indonesia sudah tahu. Ditambah pula dengan catatan kaki yang sebenarnya adalah kosakata umum membuat cerita menjadi malas.

Sebenarnya kalau dilihat lebih jeli, dua cerpen yang disisipkan DM dalam cerita seperti pemaksaan agar novel terlihat lebih tebal. Juga dengan sejarah perfilman yang panjangnya tidak diperlukan sampai sebanyak itu. Rasanya, membacanya melewati beberapa halaman bahkan dua sampai tiga bab kita tetap bisa mengikuti alur ceritanya.

Sesungguhnya cerita dua insan muda yang jatuh cinta ini nikmat untuk diikuti jika beberapa bagian cerita yang dipaksa harus ada di dalam novel ini terhapuskan. DM sudah bercerita seperti apa yang harus dilakukan. Tidak perlu ditambahkan cerita-cerita apa lagi yang semakin menyimpangkan jalan cerita.

DM yang kita ketahui sebagai seorang Pramuis (sebutan saya untuk mereka yang mencintai Pramoedya), memiliki gaya menulis yang nyaris menyamai Pramoedya.

Tetapi DM tetaplah DM, tak dapat disamakan dengan Pramoedya. Dia akan memiliki ciri khasnya sendiri dalam menulis. Seperti banyaknya kalimat yang berbau filosofis seperti "Kau boleh saya merasa kesepian, namun setelah kau ungkapkan kesepian itu, itu bukan lagi kesepian namanya. Seperti halnya rahasia, jika ia telah lagi diceritakan, ia tak lagi pantas disebut rahasia." (hal. 291 - Sibayak).

Esensi-esensi yang ada cukup memuaskan dahaga pembaca akan rasa penasaran hendak menjadi apa riwayat Laras pasca heikopter itu ditemukan, apa yang terjadi dengan Haikal setelah mengetahui bahwa Laras harus diperlakukan seperti itu untuk mengembalikannya kepada pihak keluarga dan sayangnya cerita yang harusnya menguras air mata menjadi datar. Sangat datar.

Dan Hari-hari Tidaklah Lagi Sama



Dan mereka pergi begitu saja, tanpa kita ketahui
walau telah kita sadari tak akan ada yang abadi
termasuk ketidakabadian itu sendiri, perubahan dan kepastian
mereka akan terus berkembang dan berubah
bagaimana juga waktu menjalari suatu ziarah yang panjang
meskipun kita berusaha sejauh apa yang kita bisa
tak mungkin juga kita daki gunung tertinggi
dengan langkah yang terseok-seok
aku tidak butuh teman untuk tertawa
aku hanya butuh mereka sebagai tempatku bercerita
sebagai wadahku untuk menempati wahana kesepian
di mana bianglala berputar seorang diri
dan kuda-kuda mainan hanya peduli dengan kekosongan
mungkin aku sedang berada di sana
tanpa kusadari sepanjang waktu ini
kita tidak lagi bersama
kita terpisah oleh bentangan jarak yang mematri pada egois
kita menghancurkan jembatan antara kita
dan waktu tidaklah lagi sama seperti dahulu
warna-warna lampu kota tidak semeriah dahulu
mereka meredup, hendak mati sendiri
tetapi matahari menangis
dan bintang tersedu-sedu kala malam

Kini hari-hariku tidaklah lagi sama
tidak seperti kemarin
tidak seperti bulan lalu
tidak pula seperti tahun lalu
musim lalu
atau sebelum terbetuknya dunia
hari-hari ini berbeda
tapi apa yang berbeda?


Jakarta, 15 Juli 2010 | 17.23
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 10 Juli 2010

Bukan Sekadar Puji, Bukan Sekadar Cerca

"Siapapun yang melempar wacana ke masyarakat mesti bersedia menanggung risiko atas segala tanggapan, dipuja maupun dihujat - dan itulah ukuran kedewasaannya." - Seno Gumira Ajidarma



Suatu karya pasti pernah mengalami bagaimana manisnya dipuji, tetapi juga pernah merasakan bagaimana pahitnya dicerca. Dalam kondisi apa pun, adalah hal yang lumrah bagi kita untuk merasakan keduanya. Bukankah hidup manusia memang sudah dipasang-pasangkan dan memang harus berdampingan? Maka, di mana ada pujian yang membuat kita melayang,pasti akan ada cerca yang akan membuat kita jatuh.

Saya pernah juga mendapatkan cercaan dari teman-teman baik saya ketika awal pertama menuliskan satu cerpen. Seperti tanpa dosa mereka mengatakan di depan saya, "Aveline, goblok! Cerita apaan ini?" Saya yang mendengarnya hanya menghela nafas panjang. Saya tidak mungkin melawan apa yang dikatakannya itu. Toh saya memang seharusnya sadar diri bahwa memang saya bukan seorang penulis hebat, bukan seorang penulis yang produktif yang karyanya sudah diterjemahkan ke dalam berbagai macam bahasa, bukan juga seorang yang bukunya sudah dicetak ulang berkali-kali.

Saya tidak pernah merasakan bahagianya melihat nama saya dan cerpen, puisi, esai, prosa, atau apapun tercantum di dalam media massa. Saya tidak pernah merasakan bahagianya menjadi seseorang yang melihat bukunya sendiri berdiri manis di toko buku. Saya belum pernah menulis apapun yang bisa dikonsumsi khalayak banyak selain di blog ini.

Bukan karena saya hanya menulis di blog, saya tidak pernah mendapatkan puji dan cerca. Saya pernah mengalaminya.

Tahun 2005, dua tahun setelah saya mencoba keberuntungan sebagai seorang cerpenis di suatu media massa dan lebih beruntungnya lagi ditolak sana-sini, saya mencoba menulis di blog. Awal-awal postingan masih menyenangkan. Saya mendapatkan banyak pujian tanpa kritikan satu pun. Saya masih tekun menulis saat itu karena waktu saya belum tersita banyak untuk berorganisasi.

Tiba-tiba, ada satu komentar yang tidak enak datang. "Tulisan apaan nih? Gue gak ngerti. Sok bagus, heran gue sama yang komentar jangan-jangan dia sendiri yang komentar." Saya gagap menghadapi komentar semacam itu. Diam sejenak saya di depan komputer, entah bagaimana saya harus menjawab komentar semacam itu. Saya bukan orang yang pandai dalam menjawab cercaan seperti itu.

"Terima kasih untuk komentarnya, saya akan belajar lebih baik lagi."

Seiring waktu saya belajar, bagaimana mengelola tulisan saya. Saya terus menulis dan menghiraukan semua pujian dan cercaan. Saya fokuskan diri saya dalam menulis kemudian saya kembalikan lagi kepada pembaca pada saat tulisan saya dibuka untuk umum. Saya membuka hati untuk mempersiapkan ketika saya harus dipuji agar saya tidak melayang dan saya harus dicerca agar saya tidak terperosok terlalu dalam.

Seorang kawan saya, Yulius Denny, dengan setianya menuliskan komentar yang "kurang ajar" menurutnya. Saya selalu meminta pendapatnya. "Tolong ditulis dengan kurang ajar yang paling kurang ajar." Dan benar saja, dia menuliskannya dengan cara yang paling kurang ajar versinya. Hasilnya? Salah satu cerpen saya berhasil menembus cerpen terfavorit setelah sekian lama nyangkut di tempat sampah redaksi.

Saya belajar bahwa bukan hanya sekadar dipuji ketika kita mendapatkan pujian. Pujian adalah motivasi di mata saya agar saya tetap bisa berkarya. Lain lagi dengan cercaan. Dari cercaan yang bertubi-tubi, yang banyak, yang semakin membangun, saya bisa menghasilkan kualitas yang semakin baik dan baik.

Kadang kita butuh pujian, juga butuh cercaan. Dan mereka memang sudah terpasang, bukan begitu?





Jakarta, 11 Juli 2010 | 12.17
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 02 Juli 2010

Boarding



Suatu keberangkatan yang meninggalkan kisah
Tentang perpisahan di mana tidak ada lagi saling tatap wajah
Mereka berbalik arah, menyombongkan punggung
Dan mereka pergi melepaskan sayapnya masing-masing

Boarding, I called it.
When we can't see again
Just say goodbye, never too be sad, but I can't

Kadang tak selamanya perjalanan selalu indah
Petualang tak akan puas jika perjalanan hanya menceritakan keindahan saja
Sesekali harus didongengi jerit perih yang ditaburkan bunga
Itulah rasanya ketika kita pergi, dan tidak lagi kembali

Boarding, I called it.
When today is the last meeting of us
Sorry, thank you, and goodbye.


Jakarta, July 2nd 2010 | 22.42
A.A. - In an initial