Sabtu, 24 Maret 2012

Maserasi Cakrawala

suatu ketika, seperti apa yang diduga
ibarat cengkiak yang tahu akan gula
semua yang tersembunyi tidaklah lagi rahasia
ia akan dibuka dengan caranya yang nyata
pada rahasianya sendiri, pada waktunya

kepercayaan adalah modular yang baik
seperti sampaian yang harus dijunjung
meski mencaduk semua keniscayaan
dan niskala!
hilang dari pemberontakan yang dipercaya akan maukuf
menyegel segala kepatrian iman yang hakiki

tuhan pun tahu apa insan yang inginkan
tak perlu mereka bertindak ala seorang yang merapu
pula mesti berukup untuk sesuatu yang ia tahu
biar ciptaannya tak perlu pondik
bertingkar di zona yang nyaman saja

dan biar cakrawala bermaserasi
guna waktu akan kepercayaan dan rahasia
mereka saling bergandeng




Bandung, 25 Maret 2012 | 07.15
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 18 Maret 2012

Eulogi


Saya rindu, Pak. Saya rindu dengan karisma seorang bapak yang bisa melindungi anaknya. Tapi saya tidak bisa meluapkan rindu itu, karena Bapak tidak bisa melindungi anaknya. Bapak lebih mirip perempuan yang sangat cengeng: curhat di sana-sini.

Saya rindu, Pak. Saya rindu dengan sosok orang tua yang bisa mendampingi anaknya dan tahu cara melengkapi kebutuhan anaknya dalam kesulitan apa pun. Tapi saya tidak bisa meluapkan rindu itu, karena Bapak tidak bisa mendampingi dan melengkapi kebutuhan anaknya. Bapak lebih mirip sapi: mengeluh selalu.

Saya rindu, Pak. Saya rindu dengan orang tua yang tahu caranya melindungi anaknya. Tapi saya tidak bisa meluapkan rindu itu, karena Bapak sudah mencari perlindungan dahulu untuk diri Bapak. Bapak lebih mirip tentara takut mati: kabur sebelum perang. (Eh, Bapak seorang militer 'kan?)

Saya rindu, Pak. Saya rindu dengan acara televisi yang menampilkan Bapak dengan wajah gagah dan tegas untuk berorasi, membakar semangat anak-anaknya. Tapi saya tidak bisa meluapkan rindu itu, karena Bapak sudah melampiaskan curahan hati Bapak dengan gaya feminin. Bapak mirip remaja galau: mengeluarkan sikap cengeng.

Pak, Bapak sudah memilih jalan untuk menjadi siapa. Anak-anakmu pula tahu apa yang harus dituntut dari bapaknya. Mereka tidak meminta rumah yang bermiliaran seperti kediaman Bapak. Cukup bagi mereka rumah yang bisa melindungi dari panas dan hujan. Mereka tidak meminta mobil yang berharga ratusan juta seperti kendaraan Bapak lengkap dengan sopir. Cukup bagi mereka angkot, bus kota, atau sekadar berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lainnya.

Bapak, Bapak membawa nama Bapak kami yang sebelumnya. Bapak Soekarno berat hati untuk menaikkan harga BBM. Bapak Soeharto gundah gulana untuk membebankan harga BBM kepada rakyat. Ya, saya tahu, Pak. Bapak pun berat hati. Tapi kedua bapak saya yang Bapak bawa-bawa namanya itu berani memberikan jaminan hidup yang lebih nyata.

Tiba-tiba saya ingin gerimis air mata. Bapak ternyata begitu lemah. Jaminan hidup untuk anak-anak di hari esok masih berupa tanda tanya. Entah, anak-anak Bapak akankah masih dapat makan esok, berangkat ke sekolah, atau masih bisa melanjutkan hari esok. Bukan rumah, bukan mobil, bukan harta kekayaan Bapak yang kami tuntut. Tapi gerak hati Bapak untuk tidak mengeluh kepada anak-anak Bapak.

Cukuplah anak-anak Bapak mengeluh kepada nasibnya sendiri, padahal Bapak bisa menolong mereka dari lidah Bapak yang sering berkata 'prihatin' itu.






Bandung, 19 Maret 2012 | 09.30
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 14 Maret 2012

Perihal: Waktu

G,

musim kemarau akan segera tiba
hari pun berganti terasa begitu cepat
tetapi biarlah, biar waktu berlari
dan bebaskanlah ia
bila ingin merenggutmu

karena ada kebahagiaan lain menunggu
di tepi waktu yang lain, G
percaya saja untuk hal itu

dan percaya, membuat kita berani menghadapi esok
termasuk kehilangan



Bandung, 15 Maret 2012 | 06.14
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 13 Maret 2012

Gairah kerja adalah pertanda daya hidup. Selama orang masih suka bekerja, dia masih suka hidup; dan selama orang tidak suka bekerja sebenarnya ia sedang berjabatan dengan maut. - Pramoedya Ananta Toer: Rumah Kaca

Perihal: Dua Pertemuan, Tiga Tatap

G yang baik,

Bukankah kita tidak pernah berpikir atau merancang atau mengagendakan suatu pertemuan di awal tahun ini? Sebuah pertemuan telah membuatku berani menentukan pilihan yang seharusnya kuambil. Pada mulanya, kita tidaklah saling mengenal. Pada mulanya, kita bukanlah siapa yang mengerti tentang apa-apa. Tetapi pada akhirnya, kita tidak bisa menyangkal bahwa kita pernah saling kenal, bertemu, sapa, berbagi senyum, dan bertukar tawa.

Pertemuan seringkali dalam wujud yang tidak terduga, tidak bisa menduga-duga seperti kita menerka kapan matahari akan datang. Aku percaya, setelah dua pertemuan yang tersisa sejak hari ini, kita masih akan bertemu lagi entah di mana dan kapan. Kepercayaan yang telah membuatku berani, kepercayaan pula yang telah membentukku untuk siap dan sigap menantang kehilangan. Menantang perpisahan. Menantang epilog yang memang harus terjadi sebagai penutup sebuah perjalanan.

Lalu, ada janji yang pernah kusimpan diam-diam di lubuk hati ketika aku tahu terlalu banyak tentang kamu. Percayalah, aku tetap setia untuk menyimpannya di dalam wujud rahasia. Meskipun prinsipku tetap sama: aku lebih bahagia untuk tidak mengetahui apa yang seharusnya tidak kuketahui. Sikap itu kurasakan berubah, tapi aku tidak dapat memungkirinya. Membiarkannya tetap menjadi sebuah rahasia. Selalu kucoba untuk bersikap biasa saja, apa adanya. Aku coba untuk mengabaikan rahasia yang terbongkar itu, yang membuatku menganga sendiri. Tak percaya dengan apa yang telah terjadi.

G yang baik,

Setiap orang memiliki rahasianya sendiri. Seperti langit yang diam-diam memiliki misteri yang tidak bisa diungkap begitu saja. Semakin bertumbuh besar, seseorang akan memiliki tabir rahasia yang berlimpah. Biar saja berbagai tabir itu tersimpan rapi sebagai rahasia yang harus kamu jaga sampai kelak menutup mata. Bila rahasia itu terbongkar, mungkin memang saatnya ia tidak lagi terjaga sebagai sebuah rahasia.

Dan tetaplah percaya kepadaku, rahasiamu tetap kupegang erat sebagai rahasia.

G yang baik,

Pada akhirnya, kita harus siap dengan bentuk perpisahan bagaimanapun bentuknya. Hari ini merupakan salah satu pertemuan yang kunantikan dan akan kurindukan kelak. Tersisa satu pertemuan lagi yang kurasa bisa saja tidak bisa terwujud karena suatu hal yang tak terprediksi. G, aku akan selalu pulang ketika aku memang butuh pulang. Tapi bukan di hatimu aku akan berlabuh untuk pulang. Ia hanyalah dermaga sesaat. Dermaga yang ingin melepaskanku dari penat sesaat. Pulang yang sesungguhnya adalah ke hati yang kumiliki sendiri. Pulang yang sesungguhnya adalah ketika hati memang selalu merasakan hal yang paling nyaman.

Terima kasih untuk berbagi cerita. Terima kasih untuk berbagi cerita, canda, tawa, dan ilmu yang bisa saja terlupa dari bangku sekolah. Terima kasih telah mengisi hari-hariku setidaknya sepekan kita pernah berpapas wajah sekadar untuk bertukar senyum.

Dan itu, akan kurindukan kelak.





Bandung, 14 Maret 2012 | 06.38
A.A. - dalam sebuah inisial

Senin, 12 Maret 2012

Perihal: Cinta

Manusia butuh rasa cinta untuk menetralisir segala beban kebencian yang dipikulnya, yang mendera dirinya, mencabik-cabik hatinya, dan bisa membuatnya bernanah karena waktu tidak bisa mengobatinya dengan bijaksana.


Sabtu, 10 Maret 2012

Filosofi Kopi

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Dewi Lestari
Kali pertama saya membaca Filosofi Kopi ketika tahun 2007. Setahun setelah buku ini dianugerahkan sebagai Karya Sastra Terbaik 2006 oleh Majalah Tempo. Setahun setelah buku ini terbit dan dicetak ulang berkali-kali. Dan beberapa menit sebelum teman saya yang akan berangkat untuk berpisah datang menjumpai saya untuk berdiskusi kecil.

Kali kedua saya membaca Filosofi Kopi ketika lima tahun yang lalu kali pertama saya membacanya. Enam tahun buku itu dianugerahkan sebagai Karya Sastra Terbaik 2006 oleh Majalah Tempo. Enam tahun setelah buku ini terbit dan dicetak ulang berkali-kali dan akhirnya berganti penerbit. Dan enam tahun sebelum teman saya yang akan berangkat untuk berpisah datang menjumpai saya untuk berdiskusi kecil.

Dan ini adalah kali kedua saya harus meresensi buku ini. Ada kewajiban yang tersisa setiap kali mengakhirinya. Ada tugas yang sesungguhnya ditinggalkan pada lembaran terakhir dari buku ini: menuliskan kisahnya lagi. Tentu saja, akan ada sesuatu yang bisa saya bagikan dari hasil saya membaca buku ini untuk kali kedua.

Nyatanya, rasa tidak pernah bisa berbohong. Itu frase yang digunakan oleh salah satu iklan kecap di televisi. Dan saya tidak bisa membohongi diri saya sendiri bahwa saya telah jatuh hati kepada buku ini. Sejak 2007, sejak 2012.

Membaca cerpen Dee adalah membaca dongeng. Itu yang selalu saya rasakan. Seakan-akan yang ia ceritakan adalah hal yang sepele, tetapi dengan duga-duga yang bisa saja mengejutkan pada akhirnya. Ada pula prosa-prosanya yang terasa dekat dan lekat di dalam pembendaharaan katanya yang cukup dahsyat.

Saya tidak berubah dengan pikiran saya. Membaca buku ini terasa deja vu. Sangat! Tersibak kembali soal menunggu dan menghabiskan buku ini, terasa sekali kedekatan saya dan sahabat yang ditunggu itu di dalam zona jarak. Sahabat saya itu pun berangkat dengan bekal buku ini di perjalanannya. Buku yang saya beli bersamaan dengan buku yang saya berikan kepada sahabat saya itu telah berpindah tangan kepada yang lain. Maka, buku penggantinya pun sudah ada meski dengan sampul yang berbeda dan nyatanya kemasan tetap sama yang semakin membuat saya pernah berada di suatu masa.

Bagi saya, Filosofi Kopi memberikan kesan yang baik untuk pembacanya bahwa di dunia ini hanyalah mencari dan menemukan, mencipta dan mempertahankan. Semanis apa pun kopi, ia akan selalu meninggalkan sisi pahit. Seperti itulah manusia yang sebenarnya. Segembira apa pun seseorang, ia akan mengecap kenestapaan.

Seindah apa pun huruf terukir, dapatkan ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?

Membaca Dee untuk saya tidak perlu berpikir dua-tiga kali untuk memahami inti kalimatnya. Meskipun bersajak-bermajas, saya bisa menikmatinya dengan cara saya sendiri. Baik dengan sudut pandang manusia sampai sudut pandang seekor kecoak. Membacanya selalu membuat saya tersenyum atau bersimpati dengan tokoh-tokohnya.

Adalah hal yang menyenangkan bila Dee menerbitkan salah satu karya agungnya ini. Dan terima kasih untuk membuat saya kembali teringat kepada sahabat saya itu.



Jakarta, 10 Maret 2012 | 21.28
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 06 Maret 2012

Segenggam Mimpi

cuma soal keberanian untuk mewujudkannya
ditambah pula dengan perjuangan untuk mengejawantahkannya
itu, sangat cukup

Senin, 05 Maret 2012

[Resensi] 'Menuju Timur' dari Rike Jokanan


http://rikejokanan.multiply.com/reviews/item/13/MENUJU_TIMUR_Aveline_Agrippina_Tando
Oleh: Rike Jokanan

MENUJU TIMUR


Buku ini sudah saya tunggu terbitnya sejak lama. Bahkan saya bisa dibilang berjasa karena saya tidak bosan-bosan ngoprak-oprak (mengingatkan dengan semangat, Bahasa Jawa) si penulis untuk sesegera mungkin menelorkan karyanya. Ada saja alasannya: yang naskahnya kebakar bareng hard disk lah, yang sibuk lah, yang ini lah, yang itu lah…

Ok, buku ini jelas diluar dugaan saya. Saya berpikir akan menemukan cerita panjang berbentuk prosa. Ternyata buku ini berisi puisi-puisi dan nukilan-nukilan kata yang saya yakin pasti diharapkan penulisnya menjadikannya abadi.

Saya penyuka puisi walau tak pernah merasa akurat mengupas puisi. Puisi Aveline kadang bisa saya pahami kadang tidak. walau begitu puisi yang menurut saya dapat dipahami dengan mudah bukan jaminan kupahami secara tepat.

Dari sekian banyak ada satu yang sangat berkesan di hati yaitu sebuah kata bijak Aveline di halaman 45 yang bunyinya sebagai berikut:

Membaca adalah anugrah yang biasa.
Memahami bacaan adalah anugrah yang luar biasa.

Saya suka membaca tapi mungkin kemampuan saya hanya membaca dalam artian merangkai huruf menjadi kata, kata menjadi kalimat yang bermakna, namun makna yang saya tangkap hanya sekedar permukaan luar saja. Anggapan saya jika membaca tak mendapatkan makna yang lebih dalam maka itu belum membaca dan itulah yang membuat saya MALAS menulis review buku. Keinginan saya tentunya bisa memahami bacaan dan dua larik kalimat tentang membaca di buku Ave sangat menohok batin saya.

Satu lagi yang menjadi perhatian saya adalah puisi berjulul Boarding. Saya ingat benar ini adalah judul novel Ave yang naskahnya terbakar di hard disk komputer dia dan batal terbit hingga sekarang.

Ada satu lagi puisi yang berjudul Pagi di Ciumbuleuit. Isinya membuatku bersemangat menjalani hari karena isinya menceritakan seseorang (saya rasa ini Ave karena dia mondok di daerah Ciumbuleuit) yang kesepian di pagi hari lalu menemukan makna hidup di siang dan sore hari karena memang hidup ini tak bisa berhenti baik sendiri maupun ramai-ramai. Tapi ada satu kalimat yang menurut saya agak aneh: keringat siap berpeluh. Apa maksudnya ini? Masa kan keringat berpeluh? Bukankah keringat adalah peluh itu sendiri?

Yah begitu saja review saya. Sederhana sesuai dengan pemahaman saya terhadap tulisan Ave yang dalam tapi tak menjemukan. Semoga bermanfaat sebagai semacam bocoran tentang buku ini.

seperti janjiku,
aku akan tetap belajar

Terima kasih Ave, telah mengingatkanku untuk tetap membaca, belajar dan bersemangat dalam hidup seberat apapun beban itu kurasa…

Tangerang – 5 Maret 2012 – 9:09 malam

Kamis, 01 Maret 2012

If I Could Be Where You Are

Where are you this moment
Only in my dreams
You're missing, but you're always
a heartbeat from me.

I'm lost now without you.
I don't know where you are.
I keep watching,
I keep hoping,
but time keeps us apart.

[chorus]
Is there a way I can find you?
Is there a sign I should know?
Is there a road I could follow,
to bring you back home?

Winter lies before me,
Now you're so far away
In the darkness of my dreaming
The light of you will stay

If I could be close beside you,
If I could be where you are,
If I could reach out and touch you,
And bring you back home.

[chorus]
Is there a way I can find you?
Is there a sign I should know?
Is there a road I could follow,
to bring you back home?

To me...



- Enya