Sabtu, 19 Februari 2011

Totalitas Memberi, Totalitas Menerima


Satu-satunya yang membuat saya bahagia adalah kini saya bisa fokus kepada satu hal: belajar untuk lulus. Ada target di sana, ada cita-cita yang saya tanamkan di dalamnya. Tapi semua itu juga tak seirama bila saya tak luput oleh kesedihan bahwa saya pernah bekerja dengan cinta untuknya. Saya melepaskannya kini.

Ya, waktu yang dapat saya gunakan tinggal sejengkal lagi. Menghitung dua ratus jam lagi. Tak banyak lagi. Saya pernah belajar untuk jatuh cinta berproses di dalamnya. Saya tumbuh besar bersamanya dan saya belajar banyak darinya. Saya mengenal dan dikenal oleh banyak kalangan. Saya dituntut untuk tetap fokus dan bisa mengatur waktu meski lebih banyak melanggarnya daripada fokusnya.

Saya bekerja di belakang layar. Di belakang layar salah satu penerbitan. Tak banyak yang tahu kalau orang di belakang layar itu adalah saya. Ratusan macam pertanyaan hadir siapa sebenarnya orang yang berada di belakang layar itu. Saya cuma bisa tertawa ketika salah seorang pengikut berkomentar, “sesekali admin-nya (administrator) nongol dong.” Banyak pertanyaan dan pernyataan serupa yang keluar selama saya menangani.

Tapi dari sana, saya menemukan esensi. Saya mengakrabi diri dengan satu dan lainnya tanpa harus mereka ketahui siapa saya dan saya tak perlu cemas siapa mereka. Toh, akrab tak perlu tahu siapa seseorang itu bukan?! Selama kita merasa kita bisa dekat dan merasa nyaman, kita tak peduli siapa dia.

Rasa bahagia, sedih, jengkel, kesal, dan lucu selalu mewarnai hari-hari saya selama bekerja di dalamnya. Bahagia bila saya mengadakan suatu “acara” online diwarnai keberhasilan. Bahagia bila apa yang saya lakukan demi satu buku menuai keberhasilan: cetak ulang (meski saya insafi kebahagiaan saya tak sebesar kebahagiaan penulis yang mendapat kabar cetak ulang itu, haks!) Bahagia bila saya bisa dekat, hadir, dan masuk ke dunia “teman-teman” maya yang tak mereka kenali. Itu adalah kebahagiaan tersendiri untuk saya.

Sedih apabila mendapat kabar buku yang pernah saya perjuangkan tak berdaya di pasaran meski saya sudah berupaya semampu saya untuk menggempurkannya. Sedih apabila mendapat teguran karena saya salah, saya lengah, dan saya salah mendapat informasi. Sedih apabila saya merasa hilang dan waktu saya tersita untuk hal yang lain. Itu adalah kesedihan sendiri untuk saya.

Jengkel bila e-mail yang saya tunggu-tunggu tak masuk pula. Jengkel bila saya sudah memberikan deadline kepada penulis, mereka seakan-akan mengabaikannya (dan pikir saya, mentang-mentang buku sampeyan sudah terbit, deadline bocah ini dilupakan). Jengkel bila di saat saya yang harus turun tangan, terpaksa orang lain yang turun. Itu adalah kejengkelan sendiri untuk diri saya.

Kesal jika media online tidak bekerja secara optimal untuk saya. Kesal jika tulisan yang harusnya saya publikasikan malah lenyap sendiri karena lupa disimpan. Kesal jika internet dalam kondisi naik-turun, sementara interaksi harus dikejar. Itu adalah kekesalan sendiri untuk saya.

Lucu karena komentar-komentar yang masuk di antara berharap dan bercerita. Lucu karena saya membaca balasan-balasan e-mail dari penulis yang dingin ternyata memiliki selera humor. Lucu karena saya pun bisa bercanda di dalamnya sambil bekerja. Ini adalah kelucuan sendiri untuk diri saya.

Ya, kebahagiaan, kesedihan, kejengkelan, kekesalan, dan kelucuan tersebut akan menguap tak lama lagi. Lagi-lagi saya akan kehilangan mozaik-mozaik yang pernah bersatu bersama saya. Betapa bernilainya sesuatu bukan kala ia ada, tetapi kala ia tiada dan mau tak mau kita harus melepasnya. Kini saya tahu betapa bernilainya semua itu, semua yang pernah saya lakukan, semua yang pernah saya terima.

Saya memberi sesuatu, saya mendapatkan sesuatu. Ada cermin kebahagiaan yang terpantul di dalamnya. Saya pernah menjadi bagian darinya. Saya pernah ada untuknya, untuk satu totalitas: totalitas bekerja. Saya bekerja dalam kondisi apa pun. Di kala bahagia dan tidak. Di kala sedih dan tidak. Di kala marah dan tidak. Semua itu mempengaruhi meski tak begitu tampak. Di antara keterbatasan waktu, saya bisa menyempatkan diri untuk bercanda di dalam dunia maya. Di antara sela-sela deadline, saya bisa mendapatkan bahagia. Saya terhibur di dalamnya walaupun sesungguhnya saya sedang bekerja.

Saya menikmati pekerjaan ini. Di belakang layar, tak banyak orang yang tahu, saya dikenal seperti apa diri saya. Dengan banyaknya sebutan untuk diri saya dari mereka. Membalas pesan dan komentar mereka satu per satu. Mewujudkan harapan mereka satu per satu. Dan antara saya dan mereka, kami dapatkan bahagia tanpa sengaja.

Di sini juga saya mengenal banyak orang dari berbagai macam karakter dan kepentingan. Mulai dari redaksi yang berdiri di belakang saya, menuntun saya, mendidik saya harus seperti apa, dan memberikan totalitas dengan berbagai kemudahan kepada saya. Sudi saya telepon meski sudah bukan lagi jam kantor. Sudi membalas pesan saya meski bukan di hari kerja. Sudi mengirimkan e-mail yang saya minta di tengah malam. (Ah, ya, begitulah saya. Aktifnya baru tengah malam, haks!)

Juga kepada penulis yang sudah menopang saya, membantu saya, dan (tak langsung) men-support saya. Rela menunggu jawaban dari saya untuk jadwal yang telah saya tetapkan. Rela menjawab pertanyaan saya meski saya beri waktu begitu minim. Rela saya ‘kejar-kejar’ agar simbiosis mutualisme di antara saya, penulis, dan redaksi bekerja dengan baik.

Sampai kepada pembaca. Tak ada nilainya harga sebuah buku bila tak ada pembacanya. Saya menjaga hubungan mereka dengan saya dengan berbagai macam cara. Seperti menanam bibit, mereka akan tumbuh subur, berbunga, dan berbuah bila kita merawat dengan baik. Saya merawat mereka dengan berbagai macam ide yang tumpah di kepala saya dengan satu tujuan: memetik buah setelah itu. Tanpa mereka, saya, redaksi, dan penulis pun tak akan bernilai apa-apa.

Dengan kepenuhan hati saya memberikan sesuatu, totalitas bekerja. Dan dengan kepenuhan hati saya menerima sesuatu, totalitas hasil. Selalu ada hal yang bertautan meski tak tampak jelas. Selalu ada hal yang bisa dibagikan meski dalam waktu yang minim.

Saya bahagia karena saya pernah menjadi bagian di dalam kebahagiaan mereka. Menjadi kebahagiaan di antara penulis, redaksi, dan pembaca. Saya pernah merasakan menjadi ketiganya. Saya pernah menjadi penulis, pernah menjadi redaksi, dan pernah menjadi pembaca. Saya tahu merasakan ketiganya dan tahu apa yang dialami oleh ketiganya. Dan setelah saya pernah memberi, saya pernah menerima, kini saya harus merelakannya. Itu menjadi kesedihan hari ini bagi saya.

Saya akan merindukan hal itu, pasti. Ah, mungkin sesekali saya akan mampir dengan status yang berbeda. Tapi nuansanya tentu akan berbeda. Ada kalanya memberi, ada kalanya menerima. Ada kalanya mendapatkan, ada kalanya merelakan. Bukankah hidup memang sudah dijodohkan untuk saling berpasangan demikian?

Ini adalah persembahan saya kepada mereka yang pernah berada di dalam lingkup kehidupan belakang layar ini. Tangkup sembah untuk kalian semua. Saya tak tahu harus dengan cara apa saya berterima kasih kepada kalian selain melalui ini. Terima kasih untuk totalitas memberi dan totalitas menerima dari kalian. Itu semua tak pernah bisa kubalaskan.

Dan saya tahu, esok tak akan lagi sama. Saya akan merasa kehilangan. Dan biarkan saya berada dalam lingkup kerinduan yang sangat mendalam.

Tabik!

 

Jakarta, 16 Februari 2011| 2.00
A.A. -  dalam sebuah inisial

 

Pro GM, sekali lagi, terima kasih untuk tawa, canda, dan kebahagiaan yang pernah kita beri dan terima.

Jumat, 18 Februari 2011

Belajar




di sebuah liku,
tanpa perlu terburu
aku pun mengucap rindu
tak ada sendu

aku pernah belajar
untuk jatuh cinta kepadamu
biar hati tak lagi menjadi semu
dan tak ragu untuk mengejar

untuk bekal di perjalanan
katamu, sebelum aku berangkat
kau bekali aku buku tentang cinta
biar aku tahu bagaimana menikmatinya

ah, aku juga tak tahu
sudah berapa jauh aku memahami
itu juga kurasa

tapi aku masih belajar
belajar untuk belajar tentang cinta

seperti janjiku,
aku akan tetap belajar







Jakarta, 19 Februari 2011 | 15.44
A.A.- dalam sebuah inisial

Selasa, 15 Februari 2011

Waktu Sempit Itu


Rasanya sudah cukup lama saya tidak menulis. Menulis yang dimaksud adalah menulis untuk personal. Sudah beberapa lama tak ada tulisan di blog ini yang saya posting. Folder yang ada di dalam arsip pribadi pun kosong. Tak ada stok tulisan yang dapat dimasukkan ke dalam blog ini lagi.

Dan akhirnya hari ini saya kembali menulis. Menulis secara personal, tentunya.

Setelah sekian lama, saya dilanda deadline yang seakan mengejar saya setiap hari, saya diminta untuk tetap sigap. Siap menulis dan tetap kreatif dalam bentuk apa pun. Tulisan saya ditunggu oleh mereka. Saya harus menulis. Saya membaca, saya menulis. Begitu seterusnya sehingga hidup seolah-olah monoton. Saya berada pada poros yang sama. Pagi, saya bangun untuk menyiapkan aktivitas saya. Siang, saya belajar. Sore, saya menyelesaikan dosa saya yakni agenda yang terjadwal. Malam, saya membaca dan menulis (serta belajar lagi untuk mengejar target lulus tahun ini).

Maka, bila ada kesempatan untuk menulis secara personal pun tentunya ada. Tapi tak sebanyak dahulu. Kegiatan saya benar-benar menguras energi. Maka, menulis di mini blog seperti Twitter menjadi solusi bagi saya yang ingin tetap menulis. Bagi saya, menulis harus menjadi kewajiban. Menulis adalah bernapas. Tak menulis di hari itu, pertanda saya tak bernapas.

Mungkin saya menjadi salah satu orang yang merasakan betapa 24 jam adalah waktu yang sangat kurang setiap harinya. Bayangkan bila seseorang menghabiskan sepertiga waktunya hanya untuk tidur, bagaimana ia bisa bekerja? Memotong jatah jam tidur menjadi solusi yang baik untuk saya untuk tetap menulis di blog ini. Seperti terbitnya tulisan ini di tengah malam, ketika semua orang tertidur, saya malah menulis.

Eh, atau saya yang memang salah dimensi waktu?

Ya, bisa jadi begitu.

Namun, di waktu yang sempit, di antara deadline yang seolah berada di dalam lintasan balap, di saat saya dituntut untuk tetap kreatif dan imajinatif, saya suka dengan cara saya menghargai waktu yang sempit. Di sini, saya tahu betapa berharganya waktu yang pernah saya buang dan kini ingin saya kumpulkan dan menyatukannya ketika saya membutuhkannya.

Sayangnya, waktu bukanlah uang yang bisa dikumpulkan dan digunakan dalam kuota yang banyak. Waktu memiliki caranya sendiri agar ia merasa dihargai. Dengan cara ini, saya menghargai waktu. Memotong jam tidur, konsentrasi kepada pekerjaan, fokus kepada semua hal yang membutuhkan diri saya.

Di waktu yang sempit itu, saya menggunakannya dengan penuh. Seperti saya yang menjadi ayah dan waktu yang menjadi anak, saya berkomitmen untuk menghidupinya dengan baik. Dan saya telah memilih untuk berlomba dengan waktu. Ketika waktu berjalan, maka saya akan berlari. Ketika waktu berlari, saya akan terbang. Dengan demikian, target saya akan terpenuhi meski waktu begitu minim. Waktu begitu jahat bila kita tak memanfaatkannya.

Nah, begitulah cerita saya tentang waktu. Bagaimana dengan Anda?




Jakarta, 16 Februari 2011 | 0.57
A.A. - dalam sebuah inisial

Senin, 14 Februari 2011

Ketika Kamu Jatuh Cinta

Ketika kamu jatuh cinta, dia akan meletupkan kamu bagai kobaran didih air
Dia akan membawamu menguap dan kembali menjadi tetes air yang melegakan dahaga

Ketika kamu jatuh cinta, dia akan memekarkan kamu bagai seantero angkasa
Dia bisa menjadikanmu pagi, siang, sore, malam, bahkan menjadi bintang paling indah sejagat raya

Ketika kamu jatuh cinta, dia akan mengajarkan kamu bagai seorang guru
Dia membawamu mengerti arti berbagi, merelakan, memberi, bahkan mengerti arti cinta itu sendiri

Ketika kamu jatuh cinta, ada hal yang tak pernah kamu ketahui sesungguhnya
Pada hakekatnya kamu terperosok pada lubang yang indah, dan juga jurang yang mematikan
Dan cinta tidak pernah memberikan pengertian tentang ini semua




Jakarta, 21 Mei 2010 | 21.10
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 13 Februari 2011

Anyone Lived In A Pretty How Town

anyone lived in a pretty how town
(with up so floating many bells down)
spring summer autumn winter
he sang his didn't he danced his did

Women and men(both little and small)
cared for anyone not at all
they sowed their isn't they reaped their same
sun moon stars rain

children guessed(but only a few
and down they forgot as up they grew
autumn winter spring summer)
that noone loved him more by more

when by now and tree by leaf
she laughed his joy she cried his grief
bird by snow and stir by still
anyone's any was all to her

someones married their everyones
laughed their cryings and did their dance
(sleep wake hope and then)they
said their nevers they slept their dream

stars rain sun moon
(and only the snow can begin to explain
how children are apt to forget to remember
with up so floating many bells down)

one day anyone died i guess
(and noone stooped to kiss his face)
busy folk buried them side by side
little by little and was by was

all by all and deep by deep
and more by more they dream their sleep
noone and anyone earth by april
wish by spirit and if by yes.

Women and men (both dong and ding)
summer autumn winter spring
reaped their sowing and went their came
sun moon stars rain


E.E. Cummings

Minggu, 06 Februari 2011

Senja yang Tak Ditunggu



saya tahu...
kamu hari ini lagi-lagi merasakan gagal
saya mengerti bagaimana merasakannya
kita pernah berbagi rasa itu, bukan?
meski raga kita bukan satu
dan jalan kita tak selalu seirama

saya tahu...
kamu sedang patah hati kepada dirimu
tak ada orang yang menyakitimu
hati itu sudah membuatmu terkoyak
dengan lancangnya, ia meluluhkanmu
dengan puasnya, ia melupakanmu
dan kamu masih berharap akan semua

saya tahu..
keberuntunganmu bukan di sana
kamu memang tak bisa ada di sana
usahamu sudah lebih, peluhmu sudah cukup
tak perlu air mata, tak dibutuhkan untuknya
tak ada yang harus ditangisi
kamu sudah melakukannya
kamu sudah menyelesaikannya
Tuhan sudah pula berencana atasmu
tapi manusia lain yang berkehendak

saya tahu...
tak perlu hatimu koyak
sembuhkan, pulihkan
dan mari melangkah bersama
masih ada ribuan mil di depan mata
mari mulai lagi langkah baru



Jakarta, 6 Februari 2011 | 18.06
A.A. -dalam sebuah inisial

Sabtu, 05 Februari 2011

Untitled

You can shed tears that she is gone,

or you can smile because she has lived.Y

ou can close your eyes and pray that she'll come back,

or you can open your eyes and see all she's left.

Your heart can be empty because you can't see her,

or you can be full of the love you shared.

You can turn your back on tomorrow and live yesterday,

or you can be happy for tomorrow because of yesterday.

You can remember her only that she is gone,

or you can cherish her memory and let it live on.

You can cry and close your mind,

be empty and turn your back

.Or you can do what she'd want:

smile,open your eyes, love and go on.

 

 

David Harkins (British Poet and Painter)

Jumat, 04 Februari 2011

Kredo Bambu



yang bisa bernyanyi hanya aku
bambu bersabda kepada ilalang
ah, angkuhnya ia!
belum tahu saja bagaimana esok tertebaslah tubuhnya
kredo yang begitu dibenci ilalang
meski ia bisa menemukan oase yang manis
meminang pohon-pohon lain
memberontak kepada angin
dan apa pula semua itu
kalau disikapi dengan kesombongan
sebagai hadiah syukurnya kepada ilalang
sementara manusia bisa berkehendak atasnya


Jakarta, 4 Februari 2011 | 20.26
A.A. - dalam sebuah inisial