Minggu, 18 Maret 2012

Eulogi


Saya rindu, Pak. Saya rindu dengan karisma seorang bapak yang bisa melindungi anaknya. Tapi saya tidak bisa meluapkan rindu itu, karena Bapak tidak bisa melindungi anaknya. Bapak lebih mirip perempuan yang sangat cengeng: curhat di sana-sini.

Saya rindu, Pak. Saya rindu dengan sosok orang tua yang bisa mendampingi anaknya dan tahu cara melengkapi kebutuhan anaknya dalam kesulitan apa pun. Tapi saya tidak bisa meluapkan rindu itu, karena Bapak tidak bisa mendampingi dan melengkapi kebutuhan anaknya. Bapak lebih mirip sapi: mengeluh selalu.

Saya rindu, Pak. Saya rindu dengan orang tua yang tahu caranya melindungi anaknya. Tapi saya tidak bisa meluapkan rindu itu, karena Bapak sudah mencari perlindungan dahulu untuk diri Bapak. Bapak lebih mirip tentara takut mati: kabur sebelum perang. (Eh, Bapak seorang militer 'kan?)

Saya rindu, Pak. Saya rindu dengan acara televisi yang menampilkan Bapak dengan wajah gagah dan tegas untuk berorasi, membakar semangat anak-anaknya. Tapi saya tidak bisa meluapkan rindu itu, karena Bapak sudah melampiaskan curahan hati Bapak dengan gaya feminin. Bapak mirip remaja galau: mengeluarkan sikap cengeng.

Pak, Bapak sudah memilih jalan untuk menjadi siapa. Anak-anakmu pula tahu apa yang harus dituntut dari bapaknya. Mereka tidak meminta rumah yang bermiliaran seperti kediaman Bapak. Cukup bagi mereka rumah yang bisa melindungi dari panas dan hujan. Mereka tidak meminta mobil yang berharga ratusan juta seperti kendaraan Bapak lengkap dengan sopir. Cukup bagi mereka angkot, bus kota, atau sekadar berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lainnya.

Bapak, Bapak membawa nama Bapak kami yang sebelumnya. Bapak Soekarno berat hati untuk menaikkan harga BBM. Bapak Soeharto gundah gulana untuk membebankan harga BBM kepada rakyat. Ya, saya tahu, Pak. Bapak pun berat hati. Tapi kedua bapak saya yang Bapak bawa-bawa namanya itu berani memberikan jaminan hidup yang lebih nyata.

Tiba-tiba saya ingin gerimis air mata. Bapak ternyata begitu lemah. Jaminan hidup untuk anak-anak di hari esok masih berupa tanda tanya. Entah, anak-anak Bapak akankah masih dapat makan esok, berangkat ke sekolah, atau masih bisa melanjutkan hari esok. Bukan rumah, bukan mobil, bukan harta kekayaan Bapak yang kami tuntut. Tapi gerak hati Bapak untuk tidak mengeluh kepada anak-anak Bapak.

Cukuplah anak-anak Bapak mengeluh kepada nasibnya sendiri, padahal Bapak bisa menolong mereka dari lidah Bapak yang sering berkata 'prihatin' itu.






Bandung, 19 Maret 2012 | 09.30
A.A. - dalam sebuah inisial

Tidak ada komentar:

Posting Komentar