Kamis, 26 Juli 2012

27 Juli, Enam Belas Tahun yang Lalu


 

Oleh: Aveline Agrippina


Seharusnya Jalan Diponegoro masih dalam keadaan tenang pagi itu. Sabtu, 27 Juli, enam belas tahun yang lalu menjadi bagian yang tidak boleh dilupakan di dalam catatan kelam Indonesia. Menteng mendadak berubah menjadi berdarah, Jakarta berubah menjadi beringas; ada tangis yang didengar, ada emosi untuk mempertahankan kekuasaan, ada yang harus mengorbankan apa pun, ada yang hanya bisa menerima kejadian ini semata.

Peristiwa ini menjadi noda hitam untuk pemerintahan Soeharto, pemerintahan Megawati, dan Indonesia. Ketika kekerasan menjadi jalan keluar untuk menembus zona politik dan mempertahankan kedudukan dengan keras kepala dan otoriter, di saat itu pula ada yang harus menerima kematian, ada yang dipenjarakan, ada yang diadili tanpa duduk perkara yang jelas. Ada yang mesti dikorbankan dari setiap peristiwa. Mengingat kembali Peristiwa Kudatuli adalah kembali mengorek luka yang belum sembuh di tubuh Indonesia. Ada yang harus diusut dari awal terjadinya, ada yang harus ditindaklanjuti dari segala duduk perkara, dan harus ada yang diadili apabila pemerintah masih teguh menomorsatukan hak asasi manusia di Indonesia.

Memang mengingat kembali Kudatuli bukan sekadar menuntut hak, tetapi kewajiban setiap warga negara untuk menagih kebenaran terhadap rekaman hitam Indonesia. Di dalamnya ada tugas yang harus diemban oleh pemerintah untuk menjawab sebenarnya apa yang terjadi, apa tujuan penyerangan tersebut, dan siapa aktor di baliknya. Di dalamnya ada tugas yang diwariskan kepada rakyat untuk selalu memperingatkan pemerintah bahwa Indonesia tidak bisa lupa untuk menuntaskan tragedi kemanusiaan itu. Memang harta yang sudah dimusnahkan dan nyawa yang sudah melayang tidak lagi dapat kembali, tetapi menyelesaikan perkara yang digantung selama enam belas tahun bisa mengeringkan sedikit luka yang ditanggung oleh mereka yang menjadi korban politik kekuasaan dan otoriter.

November 2012, kepada pers A. M. Fatwa mengatakan Kudatuli bisa saja diungkap, tetapi bukanlah sekarang. Alasan bukan sekarang tersebut didefinisikannya karena ada pelaku di balik penyerangan itu yang masih berkuasa. Terselip alasan politik dan kekuasaan yang diperhalus untuk memperlambat proses pengungkapan Kudatuli di saat yang terjadi sudah seharusnya terjawab. Membiarkan para aktor bermain secara bebas di lapangan pemerintahan adalah mempertahankan kejahatan. Membiarkan kejahatan berada adalah kekejian.

Pernyataan A. M. Fatwa boleh saja dibenarkan mengingat salah satu orang yang sering disebut-sebut berperan penting terhadap Kudatuli masih memegang jajaran tertinggi di dalam pemerintahan. Adalah penyelidikan yang tidak dapat menyeluruh jika proses peradilan terhadap tragedi ini bisa terjawab dan dituntaskan sampai ke akar. Tetapi kebenaran dan keadilan yang ditunggu oleh korban dan rakyat tidak bisa dilupakan begitu saja. Cinta dan kepentingan begitu nyata meski tipis di saat yang dibela dulu duduk di kursi pemerintahan sekarang tetapi tidak mampu berbuat apa-apa. Tidak mampu memberikan jawaban untuk menuntaskannya.

Adalah di saat Megawati duduk di kursi kepresidenan, banyak orang menaruh harap pengusutan terhadap kasus-kasus HAM, termasuk Peristiwa Kudatuli, dapat terselesaikan dan para pelaku sudah saatnya menerima konsekuensi. Peristiwa Kudatuli bukan bertujuan mendukung Megawati, melainkan kebuntuaan pemerintahan Orde Baru yang hanya berada di antara titik kepentingan dan kekuasaansaja. Mempertahankan gedung bernomor 58 itu berarti mempertahankan demokrasi, bukan mempertahankan kekuasaan. Yang harus diingat oleh para petinggi PDI Perjuangan adalah Kudatuli yang bisa membesarkan nama mereka dan mengantar para petinggi partai untuk berangkat ke tahta pemerintahan saat ini. PDI Perjuangan berutang budi kepada Partai Rakyat Demokratik di mana Budiman Sutjamiko –sang ketua– dipenjarakan 13 tahun setelah diberikan peran fiktif sebagai aktor utama yang mendalangi kerusuhan tersebut. Melupakan Kudatuli menjadi puncak kedurhakaan PDI Perjuangan di mana ada pihak yang harus bertanggung jawab menanggung beban psikologis rakyat yang menjadi korban kekerasan politik. Namun saat ini, keadaan negara hari ini dianggap lebih penting dan berdamai dengan para konseptor merupakan jalan keluar untuk menempatkan pelanggaran HAM ini sebagai bagian dari kesalahan masa lalu. Membiarkannya rakyat yang lebih dominan menjadi korban harus menunggu berlarut-larut, tanpa tahu kapan keadilan dapat memberikan kebenaran sebagai jawaban.

Hari ini, dengan tetap mengingatkan peristiwa yang belum tuntas, kita telah melawan lupa terhadap sejarah, setidaknya terhadap ketidakadilan yang merajalela. Meski mengingat Peristiwa Kudatuli tidak berbeda dengan melahirkan rasa sakit, setidaknya perjuangan melawan lupa terhadap sejarah harus bisa dilakukan sampai pengusutan terhadap kejadian ini tertuntaskan. Milan Kundera mengingatkan perjuangan melawan lupa sama sulitnya dengan menumbangkan kekuasaan. Dengan menjaga sejarah dan mengingatnya sebagai bagian dari identitas diri bangsa, kita telah menjaga kebenaran dan keadilan dari sikap manipulatif untuk kepentingan yang konservatif serta menjauhkan altar pemerintahan dari kekuasaan subjektif.

13 komentar:

  1. Yang nyerang sampe sekarang tetep berjaya.
    Yang anak buahnya diserang sami mawon.
    Yang penting kekuasaan!

    BalasHapus
  2. sabtu kelabu,
    pas baru bangun tidur liat hp, 27 juli.
    ingatnya ya peristiwa itu -.-

    BalasHapus
  3. Bahkan yang menyerang adalah yang memimpin saat ini. Mantan gubernur itu berkata di dalam suatu wawancara: biarlah saya yang menanggungnya.

    BalasHapus
  4. hari ini juga ada keramaian yah ave, tol jatibening ditutup massa beegghhh indonesia sekarang kok gini yah

    BalasHapus
  5. Beda kasus, beda cerita, beda sejrah.

    BalasHapus
  6. semalam ada budiman di radio show bahas ini

    BalasHapus
  7. aih kemarin sore juga diingetin lagi tentang peristiwa berdarah 96-97 santri2 meninggal tanpa diketahui sebabnya..

    tiap hari ada..

    BalasHapus
  8. ditambah yang kena peluru tajam..

    BalasHapus
  9. Iya, tapi saya sudah jenuh menontonnya. :-)

    BalasHapus