Selasa, 31 Januari 2012

Hujan Bulan Februari

di bawah rintik, ada yang mengiba
untuk mengalami dan menjalani
sebuah tautan perjalanan yang tak biasa
untuk merintis tujuan pasti

di bawah rintik, ada yang mengiba
biar setiap keping kehidupan
memiliki arti yang semestinya
agar kepastian pun mutlak adanya

di bawah rintik, ada yang mengiba
rindu, rindu, rindu, rindu, dan rindu
ia mencumbu pada keping kehidupan
pula mengadu pada tautan perjalanan

di bawah rintik, ada yang mengiba
sebuah pertemuan, sebuah perpisahan
jarak membentang untuk bersua lagi
diam-diam memendam keberadaan

di bawah rintik, ada yang mengiba
kemudian tak ada yang tahu jawaban
dan memang tidak perlu kata-kata untuknya
ia akan menemukan jalannya sendiri

di bawah rintik, ada yang mengiba
kamu tersenyum, menyisipkan harap
yang berjalan bagai bayang-bayang
bagai semu di musim semi


Bandung, 1 Februari 2012 | 07.20
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 20 Januari 2012

Gracias

Dear W,

I wanna say thank you for your kindness, for the experiences, and your trusts.
I wanna say thank you for the nice lessons, for the spirit, and anything.
Finally, I decided to resign from my position.
I'm sorry if I cannot do the best and I can't make you proud of it.

Cause I thought the happiness doesn't come from money and many treasure.
But happiness comes from what we do with love and we enjoy to do that.

Mari Menyeleksi Kritik

Satu hal yang tidak dapat dipungkiri dari seluruh karya yang dihasilkan dan dipublikasikan secara umum di dunia ini adalah kritik. Kritik menjadi sebuah senjata bagi pembaca, penonton, atau pula pendengar untuk melampiaskan kekecewaan mereka terhadap apa yang mereka baca, mereka tonoton, atau pula mereka dengar. Kritik adalah tanggapan yang paling nyata terhadap karya yang dipublikasikan dan menjadikan sebuah pertimbangan atas baik-buruknya sebuah karya.

Tapi tidak semua orang bisa menyampaikan kritik dengan baik dan bijaksana. Ditambah lagi bila yang lahir adalah kritik yang keras, kritik yang lebih bernada emosional, atau kritik yang benar-benar mencela terhadap karya dan proses kreatif kita. Sayangnya, semua kritik yang ada harus diterima dengan berbagai cara yang mampu kita sikapi.

Yang menjadi pertanyaannya kini: apakah semua kritik tersebut harus dikelola?

Bila pertanyaan tersebut datang kepada saya, maka saya akan menjawab tidak.

Bagi saya, kritik tidaklah harus seluruhnya dikelola untuk karya yang akan datang meskipun wajib diterima bagi seluruh karya. Anggap saja itu sebagai masukan yang baik walau dengan cara yang tidak selamanya baik. Untuk menyikapi kritik tersebut, maka saya selalu memberikan alternatif bagi diri saya sebagai cara efisiensi terhadap karya mendatang: menyeleksi kritik.

Ada lima poin yang saya tawarkan untuk diri saya sendiri ketika sebuah kritik sudah masuk dan harus saya terima. Menerima kritik dengan lapang dada memang sebuah cara yang benar, tetapi menyeleksi kritik -bagi saya- adalah cara yang benar untuk menebus perbaikan terhadap karya saya. Lima poin tersebut adalah isi dari kritik, sasaran kritik, cara mengkritik, selera sang kritikus, dan saran yang diberikan.

Isi dari kritik selalu saya cantumkan sebagai nomor wahid untuk menelusuri di mana letak kesalahan atau kelemahan karya saya. Bila lahir dua-tiga kritik dengan isi yang serupa, tentulah itu bukan soal selera lagi yang bicara, melainkan objektivitas yang sudah menilai. Apalagi yang disampaikannya adalah pada titik kelemahan yang sama. Seringkali saya menuntut tiga sampai lima teman saya yang saya anggap baik untuk memberikan kritik terhadap apa yang saya tuliskan. Dengan syarat yang saya tanamkan bagi diri saya sendiri yaitu isi kritik yang sudah bernada sama pada titik kesalahan yang sama, di sanalah kritik memang harus dikelola.

Sasaran kritik menjadi poin berikutnya yang bagi saya cukup penting. Mengapa? Untuk saya, ada dua sasaran terhadap suatu kritik itu sendiri: yang pertama adalah untuk perbaikan karya dengan iktikad yang baik, kedua adalah untuk menjatuhkan karya serta orang yang membuat karya tersebut dengan iktikad yang belum tentulah baik. Maka, alternatif berikutnya bagi diri saya adalah saya melihat sasaran kritik tersebut ke arah mana.

Dari mana saya mengetahui sasaran kritik tersebut mengarah untuk ke arah yang lebih baik atau hanya sekadar keinginan untuk menjatuhkan? Dari cara menyampaikannya dan isi dari kritik tersebut. Bila isi dari kritik hanya membandingkan seluruh sisi negatif saja dan dengan kata-kata yang ketus, tentu menjadi tanda yang harus dipikirkan kembali apakah kritik tersebut untuk kebaikan atau sebaliknya.

Cara mengkritik bagi setiap orang tentulah berbeda-beda. Bila Anda menerima kritik dengan kata-kata hujatan yang membanjir, terima saja dan silakan memilih jalan mana yang akan Anda tempuh: abaikan atau sikapi dengan cara yang sopan. Maka dengan cara yang sopan akan membuat sang kritikus pun bisa mati daya dengan cara kritiknya yang tidaklah baik tersebut. Kritik dengan banjir akan hujatan tidaklah selalu bernada positif, malah bisa sebaliknya. Boleh saja pembaca kecewa dengan apa yang dibacanya, boleh pula dilampiaskan di dalam kritik, tetapi tak perlu ada kata umpatan di dalamnya. Karena umpatan bukanlah menghasilkan perbaikan, tidak menunjukkan kesalahan, dan apakah benar bisa memberikan saran yang sesungguhnya.

Yang menjadi bagian yang penting bagi saya adalah selera sang kritikus. Mari berandai-andai saja untuk hal ini. Anggaplah Kritikus A merupakan seorang yang suka membaca novel teenlit. Ketika saya menyodorkan naskah novel yang bergenre perang dan sejarah, bisa saja kritik yang diberikan bukanlah kritik yang sesungguhnya. Maka, ketepatan terhadap seseorang yang mampu untuk memberikan kritik adalah nilai yang tepat. Jangan sampai kritik yang diberikan malah menjatuhkan karya Anda karena faktor selera yang berbeda. Nilailah karya tersebut kepada orang yang tepat.

Di bagian yang saya anggap perlu adalah saran. Kritik yang baik tentunya akan disertakan saran. Gunanya untuk apa? Sangatlah besar kegunaannya. Lihat saja berapa banyak karya besar yang lahir karena kritik dan saran. Sungguh tepatlah jika saran dapat dicantumkan.

Berdasarkan poin-poin tersebut saya menyeleksi kritik yang akan saya terima. Cukuplah berterima kasih kepada kritikus dengan niat apa pun ia sudah memberikan apresiasi terhadap karya kita. Tetapi untuk mengelolanya, seleksilah kritik mana yang tepat untuk karya Anda, karena karya Anda (yang saya selalu percaya) tidak melulu membutuhkan kritik atas dasar selera. Seleksilah kritik mana yang layak dan tidak, itu cukup.

Nah, terimalah kritik yang ada dengan santun meski melukai Anda dan karya Anda, tetapi seleksilah kritik tersebut apakah Anda aminkan atau tidak. Dengan demikian, kritik pun tepat pada sasaran guna perbaikan untuk karya berikutnya.

Selamat berkarya.



Salam dari tukang kritik yang pasif,


Bandung, 20 Januari 2012 | 17.39
A.A. - dalam sebuah inisial

Senin, 16 Januari 2012

Kamu. Cinta. Lalu Apa?

Kamu menyebutnya cinta, aku menyebutnya sayang. Keduanya terlihat berbeda, tetapi jalan menujunya selalu sama.

Biar jarak menjadi pemisah; biar aku tak letih-letihnya mencari jalan untuk menujumu selalu.

Sesungguhnya tidaklah sulit untuk menemukan bahagia, sesungguhnya bahagia itu tentang kamu. Kamu yang selalu hadir.

Mengeja namamu dalam bisu, terlalu manis ketika kita hanya bisa bicara tetapi tak memahami dan tak menikmati setiap lekuk aksaranya.

Selamat malam bagimu, selamat pagi bagiku. Berbeda dimensi waktu tidak mewajibkan kita berbeda saling mempercayai hati.

Biar cinta yang memenjarakan hidupmu agar kau merasa terlindungi dari marabahaya. Biar kasih yang menerangi gelapmu agar kau merasa damai.

Doamu di setiap rasa rindu adalah bahagiaku yang memiliki tempat tersendiri. Ia adalah hadiah yang paling manis yang ada di dunia ini.

Mungkin tuan akan bertanya kepada saya: untuk apa kamu jatuh cinta? Jawab saya sederhana: memaknai hidup yang manis.



Kamu


Kamu adalah titik-titik rindu yang menyatu, membuat garis yang penuh dengan bayang-bayang entah kapan kita bertemu.

Kamu adalah kata-kata yang tak pernah hilang.

Kamu adalah setapak jalan yang akan selalu kutelusuri dan tak letih-letih kupatrikan jejak.

Kamu adalah sebuah bintang di langit yang akan selalu berpendar untuk menjadi penunjuk langkahku.

Kamu adalah sebuah buku yang tak akan habis-habisnya kubaca, kutelusuri aksara dalam tubuhmu tiada henti.

Kamu adalah sepotong mozaik yang hilang dan ditemukan dengan cara yang baik dan bijaksana, tidak secara kebetulan semata.

Kamu adalah baris-baris hujan yang turun, mengirimkan seribu kenangan lewat kunang-kunang, dan meninggalkan pesan tanpa riskan.

Kamu adalah kata-kata yang tak lepas, merekat dalam kalbu yang paling dalam.




Cinta


Cinta seringkali membuat orang lebih naif, atau bisa lebih malu-malu. Cinta pula bisa menghidupkan kembali, tetapi juga membunuh.

Cinta pula yang membuat orang merasakan ramai, tetapi bisa merasakan sepi. Orang bisa menentukan atau bingung tentang hidupnya karena cinta.

Seberapa benci kita menguraikan kalimat tanya, sementara harus diinsafi bahwa cinta adalah tanda tanya yang paling besar di dunia ini.




Lalu apa?





Medio Januari 2012
A.A. - dalam sebuah inisial

Tentang Kamu




Tentang kamu,
yang sesungguhnya tak pernah lari
dan selalu ada





Bandung, 16 Januari 2012 | 17.55
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 10 Januari 2012

A Path

dari banyak keputusan,
saya telah memilih

dari banyak kesempatan,
saya telah menggunakan

dari banyak cerita,
saya telah menikmati

dari banyak taburan,
saya telah menuai

dari banyak rahmat
saya telah mensyukurinya

dari banyak segala
saya telah mengecapnya

dan ini menjadi sebuah langkah


that's it a path
i start, i fight, and i win



Jakarta, 11 Januari 2011 | 11.17
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 08 Januari 2012

Penyangkalan

adalah ketidaksanggupan atau ketidakbisaan
menerima segala sesuatu yang membuat
seseorang terpaksa menyangkal
menolak keberadaan yang lain atau dirinya sendiri
dan tentunya akan membentuk bilur-bilur luka baru
sementara luka lain belumlah usai
belum kering

setidaknya menerima dan merelakan dengan hati yang paling iba
adalah kunci dari pintu dendam yang tertutup terlalu erat.




Jakarta, 8 Januari 2012 | 21.04
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 05 Januari 2012

Surat Tentang Suratan

Pro I,
seorang sahabat, teman perjalanan, kisah di dalam sebuah kisah.


It is good to have an end to journey toward; but it is the journey that matters, in the end. - Ernest Hemingway



Apa kabarmu? Aku tidak menemukan kata-kata yang lebih layak daripada bertanya tentang kabarmu. Lama kita tak bersua, duduk di kedai kopi dari siang sampai tengah malam. Cangkir berganti cangkir, gelas berganti gelas, pembicaraan berganti pembicaraan. Sesekali kita mendiskusikan tentang manuskrip yang tak pernah selesai itu diselingi gelak tawa yang mengundang perhatian pengunjung lainnya. Tapi aku suka. Aku suka bila mereka tahu kita pun dapat bahagia dengan duduk memegang cangkir atau gelas, menyeruput kopi, dan tawa yang nyaris tiada henti.

Telah lama aku hendak menuliskan surat kepadamu. Ada sedikit dari ribuan kisah yang hendak kubagikan kepadamu tentang kunjunganku ke berbagai tempat, berinteraksi dengan banyak orang, dan menemukan esensi yang menarik yang sepatutnya kau ketahui sebagaimana kerap kau bagikan kepadaku. Dapatlah kau katakan ini adalah catatan perjalanan yang kurangkum dengan caranya tersendiri.

Telah tiga pekan aku berada di kota ini. Tentunya interaksi yang kulakukan kepada sekelilingku juga semakin banyak. Aku mendiskusikan tentang buku, musik, film, penerbitan, plagiarisme, konsep perjalanan, sampai kepada soal yang paling bodoh: cinta. Aku tidak tahu mengapa sampai sekarang aku menyebut pembicaraan soal cinta adalah pembicaraan yang bodoh. Tapi aku suka. Aku suka membicarakannya tiada henti.

Baiklah, aku mengawalinya dari sini saja.

Akhirnya aku bertemu dengannya. Awalnya aku membuat perjanjian dengannya di kedai kopi. Tetapi ada satu dan lain hal, akhirnya kusambangi ia untuk bertemu di depan perpustakaan desa yang telah ditutup karena hari menjelang sore. Bagiku, bertemu di mana saja bukanlah sebuah masalah. Yang penting: bertemu. Sesederhana itu saja.

Aku pernah bertemu dengan kawanku di tengah jalan. Membuat janji dengannya di tengah jalan pada pukul sepuluh malam. Aku nangkring begitu saja di atas motor dan menunggu mobilnya berhenti di depanku. Dan benar saja kalau kau menduga bahwa aku dan dia berdiskusi di pinggir jalan. Sewaktu itu, di Bandung, jalan sedikit lebih ramai dari biasanya. Kurasa ini karena efek dari akhir pekan. Dingin masih bisa menembus ke pori-pori kulit meski aku telah mengenakan jaket yang cukup tebal yang biasanya kukenakan saat aku mendaki gunung.

Tapi pembicaraan tidaklah sebeku yang kau kira, tidak sedingin angin Bandung. Seperti biasa saja, seperti kawan lama yang hendak bertemu dan peluk sapa. Kami bermain di dalam kata-kata.

Begitu pula dengan pertemuan bersama kawanku yang satu itu. Hujan baru saja usai turun dan kita bersua tepat di depan perpustakaan. Berbicara banyak hal tentang buku, puisi, cerpen, sampai pada penerbitan. Aku tak tahu mengapa tiap kali bertemu dengan kawan yang satu ini pasti topiknya selalu sama dan aku tidak pernah bosan bercerita tentang hal yang itu-itu saja. Mungkin karena lama tidak bersua dan setumpuk percakapan pun tetap saja menarik.

"Semakin gemuk saja setelah jalan-jalan keluar negeri."

Balasnya adalah gelak tawa. Aku tersenyum saja. Cukup. Diskusi kami cukup panjang dengan durasi nyaris 75 menit. Aku yang harus pergi karena sudah ada janji lain untuk pertemuan online dengan karib yang lain. Sedikit gila aku di hari itu dengan nekatnya membuat perjanjian pada jadwal yang begitu cepat dan mepet.

Ada bingkisan yang diberikannya kepadaku. Pembatas buku dan gantungan kunci. Sebenarnya aku mengharapkannya memberikanku hanya pembatas buku saja. Tapi tak apalah, sudah diberi pun adalah hal yang baik. Terima kasih kepadamu, kawan, kalau tanpa sengaja kau mampir ke lamanku untuk kawanku yang kusebut di atas itu.

Kemudian, aku bermain di sebuah kantor penerbitan. Cukup lama. Padahal kawan-kawanku sudah menunggu di tempat lain. Kuundur saja janji dengan kawanku itu sampai pukul sembilan malam barulah kami bertemu. Sudah cukup lama aku tidak bermain di sana sampai larut malam.

Aku tiba sekitar pukul sebelas siang. Kabarnya, akan ada penulis yang menandatangani bukunya bertepatan dengan kedatanganku. Setibanya, aku lebih cenderung bermain-main dengan buku-buku, bacaan-bacaan yang tergeletak begitu saja. Aku tak tahu bagaimana menyebut 'kerja' dengan sesuatu yang kusukai. Bagiku, bekerja dengan apa yang kusenangi bukan lagi sebuah beban, tetapi sebagai wahana bermain.

"Kapan novel lo?"

Pertanyaan itu lahir dari seorang editor di balik bertumpuk-tumpuk buku bersampul hitam. Glek! Pertanyaan itu pernah lahir di awal Januari tahun lalu. Terasa deja vu. Benar saja, aku belum pernah menuliskan novel. Hanya cerpen, sajak, atau sekadar esai yang dipesan.

"Gue yakin lo ada interest ke sana."

Ya, aku mengangguk sembari tersenyum. Aku tidak dapat memungkirinya. Dengan sebuah pertanyaan,"dari mana aku memulai?" dan jawabannya adalah "lo tulis aja yang sesuai dengan lo sebagai permulaan."

Ah, baiklah! Sebuah pelajaran, menarik!

"Deadline-nya dong, Kak."

"Karena pertama kali, tiga bulan!"

Kusambut lagi kata-katanya dengan tawa. Tiga bulan! Glek! Tapi tak ada salahnya mencoba kalau benar-benar sebuah manuskrip pertama ditulis dalam tiga bulan. Mencari ide, merawinya, mengejawantahkannya, kemudian mengirimkannya sebagai pelunasan utang. Manis!

Ya, sedikit aku ingin bercerita. Sesungguhnya aku pernah mencoba menulis novel, tetapi karena satu dan lain hal, novel itu kandas di tengah jalan. Ya, lenyap begitu saja.

Masih asri dan hijau, begitu ketika aku menengokkan kepalaku ke halaman belakang kantor redaksi ini. Terngiang pertama kali saat aku mendapat panggilan dari kantor ini. Satu-satunya yang paling muda! Matilah aku saat itu setelah aku tahu satu-satunya manusia yang menyandang gelar SMA. Aku duduk di tengah. Kiriku saat itu adalah laki-laki yang berjaket BEM UI. Seingatku ia adalah seorang mahasiswa Sastra Korea. Digenggamannya ada buku Negeri 5 Menara dari A. Fuadi sebagai caranya menghabiskan waktu untuk menunggu waktu wawancara. Di sebelah kanan, seorang lelaki pula. Kurasa ia adalah mahasiswa juga. Dihabiskannya waktu menunggu dengan mendengarkan musik sembari tidur.

Awalnya aku hanya iseng. Iseng mengirimkan lamaran sebagai pengulas pertama naskah mana yang siap naik. Kupikir merekalah yang sudah menyandang gelar mahasiswa yang bakal diterima. Sedangkan aku? Mari tertawa! Dan di sore menjelang akhir pekan, aku menerima telepon dari editor yang kuceritakan di atas itu dua tahun yang lalu. Saat itu, baru saja aku di atas kendaraan, hendak pulang ke rumah setelah menyelesaikan rutinitas.

"Masih kosong di hari Sabtu?"

Kuiyakan saja. Memang waktu itu aku sedang kosong di akhir pekan. Tidak sesibuk sekarang dengan berbagai rutinitas yang ada. Dan esoknya adalah kali kedua aku datang ke kantor itu. Bertemu dengan editor-editor lain. Kelak kuceritakan lebih banyak lagi tentang pertemuan-pertemuan yang sudah-sudah.

Aku memilih untuk menyelesaikan apa yang harusnya kukerjakan di hari itu di balik kubikel setelah membantu seorang penulis menandatangani bukunya tersebut. Kemudian bercakap-cakap banyak hal sampai pukul tujuh malam. Kemudian aku pun pamit.

I yang baik,

Masih ingat bukan ketika aku menceritakan bahwa aku hendak menghabiskan musim penghujan di Yogyakarta? Tetiba kuurungkan karena sebuah telepon datang dan menawarkan sebuah pertemuan. Kutunda lagi dan lagi perjalanan menuju ke sana. Kupilih menghabiskan liburanku di ibukota saja. Bertemu dengan kawan-kawan lama. Yang penting aku berjalan-jalan, entah dengan siapa saja dan ke mana saja.

Mungkin perjalananku adalah perjalanan sederhana di mana setiap orang bisa saja menikmatinya, menjalaninya. Tapi itulah aku. Lebih memilih untuk bercerita seperti ini. Berbagi kepadamu apa yang hendak kubagikan. Cukup lama bukan kamu menunggu cerita tentang kunjunganku semacam ini? Dan inilah yang dapat kubagikan kepadamu.

Kupikir perjalanan bukanlah ke mana kita harus pergi, berlomba siapa yang sampai dahulu di tempat yang paling jauh, berapa banyak jejak langkah yang kita tinggalkan. Bagiku perjalanan adalah memaknai setiap segmen rutinitas dengan sederhana.

Itu dulu ceritaku. Kalau cukup banyak waktu, aku akan bercerita lebih banyak lagi. Tentunya di sisa liburanku, aku masih memiliki kesempatan untuk berkunjung ke mana pun. Kuceritakan kelak. Ingatkan aku biar aku tak letih-letihnya berbagi setiap langkah yang kupatrikan di mana saja kepadamu.

Semoga hari-harimu manis dan kau tak mengenal lelah untuk tetap tersenyum.

Tabik!



Peluk dari sahabatmu selalu,


Jakarta, 6 Januari 2011 | 11.02
A.A. - dalam sebuah inisial




I adalah tokoh fiktif yang diceritakan oleh A.A. Kamu, yang sebagai pembaca, bebas menerjemahkan sosok I seperti kehendakmu. Semoga pertanyaan siapa I terjawab dan tak perlu kamu menduga-duga ia laki-laki mana lagi atau perempuan yang macam apa. Kamu bebas menjelmakan I sebagai apa saja. ~ Tukang Tulis.

Minggu, 01 Januari 2012

[Arisan Kata 16] Sebuah Manuskrip

: catatan seorang kawan


sila katakan
memang tak dapat kutampik, dan kunafikan
manuskrip itu belumlah usai
harusnya bergegas, lekas
dengan rangkaian peristiwa yang bisa tak terduga
dan bisa sebaliknya

segmen pertama
masih ingat dengan peristiwa apa?
dengan berbuai kepada angin
kepada kelewung
dan kepada alam, semesta, dan galaksi
kau mengajarkan kepada dunia
hal yang didaktis tak selamanya didapat dari bangku sekolah

segmen kedua
ah, kau lupa kamu menuliskan apa?
perlu pula kita mongkok kepada diri sendiri
prestasi dan prestise didapat dengan harga diri
mahal
mahal, sangat mahal
campin pun belumlah cukup
dan tak perlu didapat dengan mengelon
bukankah dunia sudah tua, dewasalah

segmen ketiga
di arena olahjiwa dan olahraga
di dunia, di kefanaan ini
cencawan bisa terasa perih
luka menganga bisa sangat lebar
kaldron sudah membarakan api
api apa yang dapat kau padamkan
dengan jiwa membara, dan tak butuh kamuflase
karena hidup bukanlah fatamorgana, bukan kepura-puraan
bukan khayal, bukan bayangan, apalagi visiun

pada akhirnya
manuskrip hanyalah bersifat dramatis
dan ini sebagai cerminan hidup
bahwa setiap segmen, setiap babak
adalah bagian dari perjalanan yang terpecah
untuk disatukan, dijadikan benang merah
dan ada arti
sebagaimana kau tidak menggurui, tetapi mendidik




Jakarta, 1 Januari 2012 | 20.42
A.A. - dalam sebuah inisial