Kamis, 14 Juli 2011

Sebelas Patriot

Rating:★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Andrea Hirata
Kata Vince Lombardi, football is like life - it requires perseverance, self-denial, hard work, sacrifice, dedication and respect for authority. Setidaknya Ikal mengamini apa kata-katanya dalam cerita Sebelas Patriot ini.

Saya percaya, Andrea Hirata adalah penulis yang sangat narsis!

Sejak Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, Maryamah Karpov, Padang Bulan, Cinta dalam Gelas, dan Sebelas Patriot (serta Ayah -yang akan terbit), semuanya (hampir) bercerita tentang dirinya. Adakah kawan-kawan yang tahu penulis yang lebih narsis dari dirinya?

Nada-nada bercerita ketujuh novelnya serupa: puitis, dirangkai dengan majas yang berirama, dan diksi yang seolah-olah bernapas dalam setiap untaian ceritanya.

Saya bukanlah pemuja dirinya, setidaknya saya menyukai tulisannya. Itu saja.

Diawali cerita tentang ayahnya yang seorang penambang timah yang jago bermain bola yang harus pupus karena tempurung lututnya hancur diremukkan oleh Belanda. Ikal percaya kalau lututnya tidak hancur, ayahnya itu sudah menjadi pemain bola yang handal. Pemain berseragam PSSI.

Ikal mewarisi bakat itu. Ia bermain bola dan berharap dapat menjadi pemain PSSI. Pupus sudah harapannya karena ia gagal dalam seleksi tingkat nasional. (Kok tak pernah ada ya cerita ini dalam tetralogi Laskar Pelangi atau setidaknya disindirlah sedikit).

Kurasa cerita ini ditulis oleh Andrea Hirata karena kemelut yang dialami oleh PSSI saat ini dan lewat novelnya, ia berusaha mengembalikan kepercayaan masyarakat kalau Indonesia bisa berjaya dalam sepakbola.

Tapi, perasaan saya berubah ketika Ikal lebih banyak bercerita tentang perjuangannya untuk mendapatkan kaos Real Madrid yang bertanda tangan Luis Figo yang didapatkannya dengan susah payah.

Nah, Ikal narsis kan?!

Lalu di mana hubungan antara 11 pemain bola yang patriot itu dengan kaos Luis Figo? Mungkin Ikal itu yang dimaksudnya patriot karena telah menyenangkan hati ayahnya yang di Belitong, yang pemuja Real Madrid dan Luis Figo? Saya pun tak tahu.

Untuk lagunya, saya pun ditumbuhi rasa kecewa. Ternyata lebih banyak pengulangan dan ritmenya pun hampir serupa. Hanya syair-syairnya saja yang diganti. Malah kesan saya terhadap Andrea Hirata yang malas menulis lagu muncul ketika lagu 'Sorak Indonesia' cuma berisi enam kata! Semprul!

Oh ya, katanya sebelas patriot, kok tangan di covernya hanya sembilan? Katanya sbeelas patriot, kok kepala pemainnya hanya enam? Tapi terserah sang penulislah.

Tabik!



Jakarta, 14 Juli 2011 | 18.51
A.A. - dalam sebuah inisial

21 komentar:

  1. segera di buru..... semoga tidak ada halamanyang hilang seperti pada Dwilogi padang bulan..
    Wah di cover 2 orang yang hilang, 1nya lagi motret yang satunya ngupas nanas dibawah gawang Sist....
    ....narsis pake sekali... tetapi diksi dan pola cerita yang menarik, sederhana dan mudah dicerna, walaua acapkali terlalu berat untuk di kunyah... itulah nilai plusnya

    BalasHapus
  2. Ah, dia terlalu narsis sebagai penulis! :-))

    BalasHapus
  3. kehilangan gairah baca buku Andrea Hirata lagi..

    BalasHapus
  4. Aku pun demikian, Mbak. Semoga bukan ini karya terakhirnya yang kubaca.

    BalasHapus
  5. Ehm.. Aku entar-entaran ajah ah baca nya..

    BalasHapus
  6. Tahun depan pun kurasa tak masalah. Toh, penerbitnya saja lebih berjuang untuk promosi Madre :-))

    BalasHapus
  7. Bwahahaha, Madre pun karya Dee yang aku baca setelah bertahun-tahun cuti.. Terpesona sama ksatria dan bintang jatuh, tapi eneg sm sequelnya.. Baru sekarang baca Dee lagi, dan aku suka..

    BalasHapus
  8. kadang kita memang perlu cuti yaaa..

    BalasHapus
  9. Madre pun tak bisa memuaskan aku. Aku cuma suka cerita Madre dan Rimba Amniotiknya saja.
    Tak ada yang cukup spesial dari Dee.. :(

    BalasHapus
  10. Ahahaha.. Memang tinggal gimana selera dan ekspektasi, ave..

    BalasHapus