Selasa, 10 Mei 2011

Tuesday with Morrie

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Nonfiction
Author:Mitch Albom
Perihal: Memento Mori

Seorang kerabat pernah menyuruh saya membuka telapak tangan kiri dan kanan. Kemudian katanya,"lihat garis tangan kiri dan kananmu, keduanya melambangkan huruf M. Tahu artinya?" Saya menggeleng. "Memento mori. Ingatlah kau akan kematian," jawabnya.

Demikianlah yang diajarkan oleh Prof. Morrie Schwartz dalam 14 minggu kepada seorang mahasiswanya, Mitch Albom. Di dalam kuliah 14 minggu, tanpa buku, dengan ujian setiap Selasa, dan tak perlu mempelajari apa pun untuk menyelesaikan mata kuliah ini. Kata Mitch, ini adalah mata kuliah yang paling praktis sekaligus paling sulit. Materinya adalah tentang kehidupan sehari-hari. Selama empat-belas minggu, bersama Morrie, Mitch merawi skripsinya. Skripsi yang tak akan mengenal ujung.

Berawal dari seorang Morrie yang adalah mantan dosen Mitch yang menderita ALS. Penyakit saraf yang perlahan membuat penderitanya kehilangan kemampuan untuk melakukan sesuatu karena melemahnya sel-sel motorik. Morrie yang semakin terpuruk hari demi hari semakin menyadari kalau kematian akan mengancam hidupnya kapan pun. Ketika bangun kembali, itu seperti bonus hidup dari Tuhan. Di saat itu, Morrie mengenal hidupnya. Menghargai lebih di ujung hidupnya.

Dalam kuliahnya di setiap hari Selasa bersama Mitch, Morrie selalu mengajarkan banyak makna tentang hidup, cinta, keluarga, budaya, dan kematian.

Saya mencatat beberapa kata dari Morrie yang benar-benar bisa menginspirasi kehidupan:

1. "Yang paling penting dalam hidup adalah belajar cara memberikan cinta kita, dan membiarkan cinta itu datang." - hlm. 55
2. "Begitu kita ingin tahu bagaimana kita akan mati, berarti kita belajar tentang bagaimana kita harus hidup." - hlm. 87
3. "Kita semua mempunyai awal yang sama-kelahiran- dan kita semua mempunyai akhir yang sama-kematian. Jadi, apanya yang berbeda?" - hlm. 166

Dalam skripsi ini, Mitch mencatat banyak hal yang akan membuat kita bukan bersimpati-empati kepada Morrie, tetapi sebaliknya, Morrie mengajarkan kepada kita bagaimana menikmati hidup dengan berbagai persoalannya. Ini bukan menjadi hal yang sulit sebenarnya bila kita mau dan menyadarinya. Demikianlah Morrie memberikan kuliahnya selama empat-belas minggu bersama Mitch. Meski menangis, Morrie tidak butuh belas kasihan. Itu yang selalu ia tanamkan.

Morrie yang sudah berduka sejak kecil karena ditinggal mati oleh ibunya, kemudian mengalami hal yang menyedihkan bersama ayahnya. Morrie kecil menceritakan kepada Mitch tentang hal tersebut sebagai sebuah pelajaran bila ia sudah siap menghadapi kematian apa pun bentuknya. Ia tak lagi bisa berdansa, mengajar, bahkan kemampuannya untuk cebok setelah buang air pun sudah tidak ada. Ia kembali seperti anak kecil yang butuh bantuan. Penderitaannya amatlah menyakitkan. Dari sana, Mitch yang setiap Selasa datang ke rumah Morrie untuk mendapatkan kuliah sosiolosi yang bermakna. Yang tidak pernah Morrie ajarkan di dalam kelas selama di universitas.

Saya mengaminkan bahwa ini bukanlah skripsi yang membosankan untuk dibaca. Saya menyukainya dan lebih dari itu, skripsi ini adalah skripsi yang memacu emosional, haru, dan sebagai alarm bagi kita kalau hidup bisa saja berhenti kapan pun. Kematian bisa datang, tapi tidak bisa ditolak. Sebagai manusia, kita pun bagian dari alam yang tidak dapat melawan kematian meski kita merasa diri kita lebih dahsyat dari alam.

Dan percayalah, meski tak ditulis secara puitis dan menggunakan majas yang beraneka ragam itu, Mitch sudah mendapatkan summa cum laude dari sang profesor. Andai kalau Morrie masih hidup. Namun, kalau Morrie tidak di ujung kematiannya, apakah akan ada skripsi ini?

Malam ini, mendadak saya terngiang dua kata: memento mori.




Jakarta, 10 Mei 2011 | 23.21
A.A. - dalam sebuah inisial

8 komentar: