Rabu, 11 Mei 2011

The Journeys

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Travel
Author:Adhitya Mulya, dll
A good traveler has no fixed plans and is not intent on arriving. - Lao Zi

"Petualang, apa yang kamu cari?" tanya seorang teman saya ketika mengetahui saya sedang berada di Yogyakarta. Itu seminggu setelah ia tahu kalau saya sedang berada di Bandung dan tiga hari sesudah berada di Semarang. Saya sendiri tak tahu sebenarnya apa yang saya cari. Saya pun tak tahu apa sebenarnya yang saya temukan di dalam perjalanan saya. Kalau bertemu dengan teman baru, itu sudah biasa. Saya sering mendapat teman baru kalau pulang dengan TransJakarta. Kalau pengalaman, itu lebih biasa lagi.

Bukankah setiap hari adalah pengalaman? Menemukan bahagia? Bahagia diciptakan, bukan dicari. Menemukan cerita? Bukankah setiap hari adalah cerita? Bahkan gugur daun musim semi bisa menjadi cerita asal kita mau menceritakannya?

Demikianlah alasan saya mengapa saya kurang setuju dengan kata pembuka yang ditulis oleh Windy Ariestanty: "Hal paling menarik dari melakukan perjalanan adalah menemukan."

Menurut saya, perjalanan adalah sebuah proses menghargai di antara kesulitan, keterbatasan, dan kebahagiaan. Sila percaya atau tidak, tapi setiap kali saya melakukan perjalanan, saya selalu mensyukuri hidup. Perjalanan mengajarkan kepada saya kalau masih banyak orang yang kurang dan lebih dari pada kita yang tak pernah kita temukan di dalam kehidupan kita. Untuk itulah, perjalanan adalah sebuah proses yang sakral. Proses yang sulit digantikan untuk belajar banyak hal tentang hidup.

Perjalanan bermula dari petualangan Gama Harjono dari Roma menuju Andalusia. Perjalanan yang terbatas karena uang tersebut tetap bisa membuat Gama melakukan perjalanan dari Italia menuju ke Spanyol untuk bertemu dengan Alberto, seorang karib lamanya. Saya suka cara penceritaan Gama yang berbeda dari dua bukunya yang sudah terbit dahulu, Ciao, Italia dan Lupakan Palermo. Gama terlihat lebih santai dan bebas bercerita tentang keindahan kota Andalusia, keunikan aksen masyarakat, santapan pagi, kunjungan ke Benteng Alhambra, sampai ke Mezguita di mana Gama merasa dirinya adalah orang yang beruntung karena pernah melihat orang-orang membuka pintu Katedral. Gama menceritakannya secara detail dan pas.

Perjalanan dilanjutkan oleh Winna Effendi yang berkirim e-mail kepada 'you'. Cara bercerita Winna yang beda sendiri dari yang lain. Shuili menjadi tempat Winna bertualang dan memulai ceritanya. Awalnya Winna membawa pembaca dengan renyah dalam bercerita tentang kedatangannya ke Taiwan, menuju ke Shuili, dan saat menuju ke Sitou. Tapi semakin membalik halaman demi halaman dari Winna, saya semakin bosan. Winna seperti hanya bercerita pada dirinya sendiri. Tulisan yang awalnya renyah menjadi tak lagi menarik. Winna hanya terkesan seperti reporter yang memberikan laporan keadaan yang di mana pembaca pun bisa mencarinya lewat Google. Sebenarnya banyak harapan yang saya dambakan dari tulisan Winna karena ia pun bercerita dari sebuah desa yang jarang didengar yang mungkin bisa menjadi tujuan yang menarik untuk dikunjungi.

Windy Ariestanty yang sedang sibuk mencari WiFi di kedai kopi dekat hotel di Lucerne malah mendapatkan morning kiss bye dari seseorang yang puas berdugem di pagi itu. Dari sanalah, cerita petualangan Windy di Lucerne dimulai. Dari ceita-cerita Windy, kita dapat mengenal lebih jauh kota kecil yang berada di Swiss. Windy bercerita tentang kehidupan Lucerne yang begitu sederhana, disiplin, dan benar-benar tertata rapi. Ya, Windy bercerita, bukan memberikan laporan perjalanan. Dia membuka cerita dengan manis. Dan dia pun menutup cerita dengan manis. Ciri khas tulisan seorang Windy Ariestanty: tepat sasaran.

Ini dia, Farida Susanty. Dia bercerita sisi lain dari Singapura. Singapura memang tidak jauh dari Indonesia, bila dilihat di peta. Namun, setelah membaca cerita Farida, kita benar-benar merasakan kalau Singapura dan Indonesia seperti langit dan bumi. Tugas Farida di Singapura adalah berkunjung ke rumah sakit jiwa. Pikir saya, ini akan menjadi cerita horor di dalam The Journeys. Nyatanya tidak. Malah Farida bercerita rumah sakit jiwa di Singapura bukanlah rumah sakit yang menyeramkan seperti di Indonesia yang pasiennya dipasung dan kadang dibiarkan bebas. Di Singapura, berdasarkan cerita Farida yang saya tangkap, rumah sakit jiwa adalah rumah sakit yang terbuka, yang benar-benar bisa memperbaiki mental seseorang yang terganggu. Tak ada salahnya kalau bertandang ke Singapura, kunjungilah rumah sakit jiwa, jangan hanya Orchard Road.

Setelah dari Asia Tenggara, penerbangan dilanjutkan ke Timut Tengah. Tepatnya Saudi Arabia. Ciri khas seorang Valiant adalah pandai bermajas. Sejak awal pun, ia sudah menarik saya untuk membacanya. Meski cerita yang ditulisnya sudah tidak begitu asing, tetapi membacanya bukanlah sebuah kesalahan. Valiant memang mengajak pembacanya untuk ikut 'menderita' di Saudi Arabia yang harus diam-diam untuk mengambil foto gedung, ditawari parfum yang digunakan oleh Tom Cruise, sampai dengan pertemuannya dengan Bapak Berjenggot Lebat. Valiant mengajak kita tertawa sekaligus berbagi 'derita' pelarangan di Saudi Arabia.

Kembali lagi ke Asia Tenggara. Di Timor Timur sudah menunggu Okke 'sepatumerah' yang akan memulai perjalanannya. Seperti biasa, Okke memang asyik dalam bercerita tentang keberadaannya di Timor Timur. Kenikmatan di Pantai Kolbano menjadi nilai tersendiri meski harus dag-dig-dug setelah mitos yang sering terjadi. Tulisannya yang 'cablak' dan masih terkesan 'judes' membuat sebuah perjalanan yang berbeda dari yang lain.

Setelah itu, kembalilah ke Indonesia. Di Karimun Jawa, sudah ada Alexander Thian, seorang penulis skenario yang suntuk dikejar deadline yang akhirnya bisa berjalan-jalan. Sebenarnya, Alex lebih ingin bercerita tentang Jepara atau Karimun Jawa? Itu pertanyaan saya setelah ia bercerita cukup panjang tentang Jepara di pagi-pagi buta. Terlepas dari semua itu, setidaknya Alex memberikan gambaran yang pas tentang Karimun Jawa seperti yang sering saya dengar dari teman-teman yang pernah hinggap ke sana. Alex membuat kita berujar, "kalau lo gak mampu keluar negeri seperti 11 penulis lain, Karimun Jawa bisa dong jadi cerita?!"

Lepas dari kampung halaman, mari berangkat ke Amerika untuk menemui seorang dokter mata yang bersama sang mertua sedang bersiap menghadiri konferensi dokter mata sedunia di Boston. Bersama Ferdiriva Hamzah, kita diajak tertawa dan menikmati perjalanan yang 'tidak menyenangkan' bersama sang mertua. Setelah konferensi di Boston selesai, mereka menuju New York untuk menunaikan cerita ini. Menonton The Lion King yang membuat sang mertua tertidur sampai dengan mengusir perampok dengan hentakan yang membuat Riva tidak enak hati dengan sang mertua. Riva mengajarkan satu hal: 'travelling yang asyik itu bukan masalah siapa teman seperjalanan kita, tapi bagaimana cara kita memandang travelling itu sendiri.' (hlm. 157)

Dan perjalanan dihentikan oleh Trinity. Ia ta bercerita tentang kota apa pun dari mana pun. Bukan berarti ia hanya menyajikan halaman kosong di dalam The Journeys. Tetap ada cerita yang ia sajikan. Kali ini tentang profesinya yang seorang tukang jalan-jalan sembari menulis. Saya menjadi paham dengan 'penderitaan' travel writer yang dialami oleh Trinity. Seperti yang ia kisahkan di dalam buku pertamanya, perjalanan tak harus selamanya menyenangkan.

Ve Handojo yang lebih dikenal sebagai penulis skenario akhirnya bisa ke Israel setelah dibiayai oleh 'kuntilanak'. Bukan soal ziarah yang ia inginkan selama di Israel, tetapi bebas berjalan-jalan di Tel Aviv. Lucunya, banyak ciri yang asing ia dapatkan selama di Israel seperti soal ketepatan waktu untuk tiba di suatu lokasi. Tulisannya bebas, membiarkan kita berkelana sendiri dengan keberadaannya di Tel Aviv.

Berkelanalah kita ke tempat Adhitya Mulya: Afrika. Di sini, seperti biasa, liarnya tulisan Adhit dalam menceritakan sesuatu seperti juga di dalam novel-novelnya masih tersisip dan menjadi karakter yang tak dapat lepas. Nilai plus yang diberikan untuk Adhit adalah dia menyisipkan lampiran tips perjalanan bila ke Afrika dan negara-negara yang bisa dikunjungi atau tidak. Tapi, mengapa peta Afrika diletakkan di belakang setelah tips?

Dan, kita pun diakhiri ke bangsa penjajah Indonesia bersama Raditya Dika. Di Belanda, Radith yang berkesempatan mendapat beasiswa untuk belajar selama dua minggu. Mamanya yang sering bersikap berlebihan membuatnya merasa tidak berada pada zona nyaman. Tapi di dalam perjalanannya tersebutlah, ia paham arti keberadaan seseorang meski dalam taraf penilaiannya selalu bersikap berlebihan. Ya, tulisan Radith memang sudah berubah banyak sejak Marmut Merah Jambu terbit. Taste-nya dalam bercerita juga lebih tepat sasaran di awal dan di akhir. Perubahan tulisan Radith memang menjadi warna tersendiri meski leluconnya masih bernilai sarkas.

Ya, seperti itulah petualangan bersama The Journeys. Mungkin Windy boleh berkata, "perjalanan mempertemukan dua belas orang penulis yang berasal dari latar belakang yang berbeda dan pada akhirnya menemukan sesuatu yang baru: sebuah cerita." Kita boleh memiliki persepsi sendiri tentang sebuah perjalanan; tetapi perjalanan adalah perjalanan, tempat di mana kita akan menghargai hidup agar lebih bermakna di setiap langkahnya.



Jakarta, 12 Mei 2011 | 6.15
A.A. - dalam sebuah inisial

12 komentar:

  1. Aditya Mulya yg bikin "JOMBLO" yah...
    sepertinya perlu dibaca nih :D

    BalasHapus
  2. Makasih ya, reviewnya. Jujur aja, gue sampai membuka kembali tulisan Karimunjawa gue. Dari total 10 halaman Word, bagian Jepara ternyata cuma.... 1 halaman. Hehe.

    PS:

    Cerita Mbak Okke Sepatumerah bukan di Timor Timur, tapi di Nusa Tenggara Timur.

    Jadi, ada dua cerita dari Indonesia.

    ;)

    BalasHapus
  3. Dan saya membuka The Journeys lagi, di sana empat halaman lho. Ini cuma selera saya saja yang beda dari Mas Alex.

    BalasHapus
  4. Ave.... review kau sungguh keluar dari hati...
    eh, eh... review kan suka-suka kita kan yak?

    *timbang-timbang mau beli buku ini dan membacanya atau tidak*

    BalasHapus
  5. Review suka-suka? Hahaha... mana ada review suka-suka. Ini kan pendapat pribadi. Seperti kata Seno Gumira Ajidarma,"Siapa pun yang melempar wacana ke masyarakat mesti bersedia menanggung risiko atas segala tanggapan, dipuja maupun dihujat- itulah ukuran kedewasaannya."

    Jadi orang realistis aja ah! :p

    Isinya saya suka, Bu. Lagi, ini soal selera, makanya nilainya suka dan tidak, bukan bagus dan tidak.

    BalasHapus
  6. 4 halaman dari total 22 halaman. Betul. Perbandingannya tetap terlalu jauh untuk dikatakan saya 'bingung' mau menceritakan Jepara atau Karimunjawa.

    BalasHapus
  7. Baklah. Kalau begitu menurut Mas Alex. Lagi pula saya membaca dari halaman depan, bukan dari belakang. Jadi dari versi saya merasa wajar kalau saya gak sabar untuk menunggu Karimunjawa. Tak ada maksud membandingkan dengan penulis lain. Menurut saya, semua penulis punya ciri khas tersendiri. Dan tentu juga Mas Alex kalau bercerita. Setidaknya ceritamu sudah memberikan gambaran jelas dan lebih seperti apa Karimunjawa untuk melengkapi cerita teman yang pernah ke sana.

    BalasHapus