Kamis, 19 Mei 2011

Larasati

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Pramoedya Ananta Toer
Revolusioner Larasati

Pramoedya. Tentulah hampir semua orang tahu siapa dia. Namanya menjulang di dalam dunia sastra Indonesia setelah Tetralogi Buru lahir dan namanya sempat terdaftar sebagai calon penerima Nobel Sastra. Satu-satunya orang Indonesia yang pernah dinominasikan di dalam penerima Nobel Sastra. Tetralogi Buru sendiri sudah diterjemahkan ke dalam berbagai macam bahasa.

Kali ini Pram bercerita tentang kehidupan Larasati. Larasati adalah seorang aktris yang hidup di Yogyakarta yang kemudian di dalam perjalanannya menuju Jakarta untuk kembali bermain film dan menemui ibunya yang ditinggalkannya setahun. Profesi Ara bukan hanya sebagai aktris, tetapi juga sebagai pelacur. Namun demikian, Ara bukanlah perempuan yang tidak peduli lagi dengan keberadaan negerinya. Kedatangannya di Jakarta pun disambut sebagai seorang NICA. Ori (Oeang Republik Indonesia) yang menyelamatkan dirinya dari tongkat kakek yang akan melayang kepadanya. Ara adalah seorang perempuan yang ingin berjuang untuk bangsanya meski ia bukan perempuan yang bersih. Itu dikatakannya sendiri:

"Bagaimana pun juga kotornya namaku aku akan tetap dapat berguna. Kotor?"

"Biar aku kotor, perjuangan tidak aku kotori. Revolusi pun tidak! Negara pun tidak! Rakyat apa lagi! Yang aku kotori hanya diriku sendiri. Bukan orang lain."

Bahkan lewat Ara, Pram mengkritik golongan tua yang begitu hina, korupsi, dan mementingkan diri sendiri.

"Hanya angkatan tua yang mengajak korup, angkatan muda membuat revolusi."

Lewat Ara pula, Pram menyatakan bahwa golongan muda adalah golongan yang seharusnya membuat pergerakan baru. Yang akan membentuk diri bangsa dengan lebih baik untuk masa depan. Pram ingin melihat Revolusi terjadi. Lewat Ara, Pram mengajarkan kita menjadi pejuang yang berani. Berani kalah ketika menang dan berani berbesar hati ketika sudah merasakan pahitnya kekalahan.

"Kalau kau menang, bersiaplah untuk kalah, terima kekalahan itu dengan hati besar, dan rebutlah kemenangan."

Dan menurut Pram, "Revolusi-dia adalah guru. Dia adalah penderitaan. Tetapi dia pun harapan."

Ciri khas Pram yang tak akan lepas adalah ceritanya selalu berputar soal perjuangan. Semangat nasionalisme yang selalu dikumandangkan lewat romannya membuat orang menjadi tergugah. Cinta akan tanah air tanpa harus menjadi seorang Belanda yang ia lapiskan dalam tokoh yang bernama Larasati, seorang pelacur, aktris, bahkan seorang istri yang membangkang kepada sang suami yang menjadi seorang idealis dan berusaha lahir sebagai seorang revolusioner.

Membaca Larasati hampir tak beda dengan membaca roman yang berasal dari Melayu Klasik. Meski dikemas dengan bahasa yang lebih sederhana, itu tidak bisa menghindari harus membaca berulang kali untuk dapat memahami kalimatnya. Untuk yang baru kali pertama membaca Pram atau lebih menyukai roman dengan kalimat yang lebih mudah dimengerti, mungkin akan terhenyak dengan kalimat yang berputar-putar dan mengerutkan dahi.

Poin yang saya anggap kurang adalah di dalam cerita Larasati ini, Pram hampir tidak pernah 'mementaskan' sang Ara sebagai seorang aktris. Malah lebih cenderung sebagai seorang pejuang wanita. Kurang tampak di dalam penokohan Ara sebagai aktris dan pelacur. Lebih banyak kata-kata yang menjelaskan kalau Ara adalah seorang aktris, bukan mendeskripsikan atau menggambarkan bagaimana lakon Ara.

Tapi Ara yang keras kepala dan berjiwa pemberontak yang membuat cerita ini menjadi menarik. Ara yang rela untuk tidak bermain di dalam pementasan Belanda membuat keputusan yang berani. Namun, di dalam beberapa bagian, Ara seperti kehilangan jati dirinya. Ia menjadi perempuan yang lemah, yang putus asa dan rela membiarkan Revolusi perlahan lenyap. Sepertinya Pram memang tak menginginkan Ara sebagai perempuan yang benar-benar utuh menjadi pejuang seperti Cut Nyak Dhien yang sampai mati untuk mendapatkan kemerdekaan. Ia lebih menginginkan Ara menjadi perempuan yang kembali seharusnya menjadi perempuan. Bahkan sempat terpikir olehku kalau Ara hanya besar mulut saja, tapi tidak untuk berjuang.

Di bagian tengah cerita, sepertinya Pram memaksa cerita agar tetap mengalir. Dan itu terlihat dengan beberapa adegan yang lebih terkesan memaksa untuk masuk dibandingkan pada bagian awal yang benar-benar menggigit. Saya yang sebagai pembaca sempat merasa penat dengan beberapa bagian yang seperti itu. Kemudian pada epilognya juga masih terasa 'gantung'. Entah apa maksud Pram membuat ceritanya seperti itu.

Jalan pikiran Pram yang sulit diprediksi bermain di dalamnya. Roman ini sudah berkisah enam puluh tahun yang lalu, tetapi masih tak jauh dari keberadaan bangsa ini. Cerita yang hampir serupa dengan keadaan yang ada saat ini. Cerita yang sederhana ini mengalir di antara cita-cita dan asa yang ingin menjulang tinggi. Mungkin kita memang selalu butuh Ara yang memang menginginkan kehidupan merdeka dengan caranya sendiri.

Sampul buku untuk edisi terbitan "Lentera Dipantara" kurasa tidak sesuai dengan Larasati yang adalah seorang Yogyakarta. Bukan karena terlalu cantik, tetapi raut wajah Jawa tidak tampak pada gadis tersebut.

Jakarta, 19 Mei 2011 | 18.38
A.A. - dalam sebuah inisial

Tidak ada komentar:

Posting Komentar