Selasa, 07 Desember 2010

Here, After

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Mahir Pradana
“Saya bukan orang yang pandai mencerca.”



Itu yang saya katakan ketika seorang Mahir Pradana hendak mengirimkan sebuah file yang diharapkannya agar saya membaca dan memberikan kesan apa yang tertinggal setelah saya membacanya. Belum naik cetak dan belum melewati proses proofreading. Saya tahu reaksinya setelah saya menuliskan kalimat itu di dalam gadget saya.



Setelah e-mail darinya saya terima, saya hanya mengunduhnya. Mendiamkannya dalam memori komputer dua hari. Setumpuk pekerjaan sudah menanti saya dan saya pikir tak ada salahnya menomorduakan D.I.A.N.A. itu. Ah, apa pula Diana itu? Manalagi sebagai tagline-nya adalah “Depressing Infatuation about a Never-ending Agony”. Maaf, tak ada waktu untuk menikmati bacaan yang membuat orang menjadi berhalusinasi luas.



Rasa berdosa lahir ketika saya teringat bahwa saya masih berhutang. Saya berjanji kepada Mahir bahwa saya akan mengatakan apa kesan saya setelah membacanya. Saya baru membaca dua halaman saya, kemudian berpindah lagi pada file lainnya. Ketika usai saya menyelesaikannya, tak ada salahnya saya membacanya.



Menginjak bab pertama dari novel ini, saya tertawa saja. Adi. Oh, ini dia rupanya Adi yang menjadi tokoh utama. Dan pikiran saya kembali menari bahwa Adi dan Diana pasti akan menjadi tokoh utamanya. Klise! Begitu juga ketika masuk ke bab kedua. Untuk apa Mahir yang sedang menjadi dewa di novel ini seenaknya saja menulis Adi dan Diana sepanjang itu?



“Gila!”



Tanpa sadar saya mengucapkan kata itu ketika saya berada di bab keempat dalam novel ini. Ketika Putra telah usai bercerita. Saya sedang membaca apa saat ini?



Pantas saja, di senja ketiga di bulan April 2010, tim dewasa berusaha untuk menetaskan naskah yang saya pegang ini sebagai sebuah buku. Saya tahu jawabannya. Tahu mengapa tim firstreader memperjuangkan naskah ini. (Bukan karena sang penulisnya ada dalam rapat besar tersebut)



Hendak apa si Mahir ini? Saya bertanya-tanya sendiri. Siapa tokoh utamanya? Saya benar-benar jengkel sekali dengan novel ini. Mana klimaks dan antiklimaksnya? Eh, apakah ini soal cinta? Saya terdiam dengan pertanyaan terakhir. Di tengah rasa jengkel saya yang semakin membuncah setelah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pikiran saya menari-nari, saya insafi satu hal: dia bermain dengan cinta.



Matilah saya malam itu. Saya semakin gencar menghabiskan bab demi bab novel tersebut. Persetan dengan tengah malam di mana esok hari saya masih ditunggu oleh tugas yang membumbung tinggi. Semakin malam, saya semakin dilarutkan oleh D.I.A.N.A. Egh! Novel macam apa ini? Lancangnya ia menarik saya masuk ke dalam dimensi lain dan mengajak saya bermain-main dengan dongengnya di tengah malam.



“Aku adalah karakter jahat dalam cerita ini dan aku memang pantas untuk dibenci.” – hal. 90



Mana ada penulis yang mengadakan pengakuan dosa kepada pembacanya dengan menulis seperti ini? Benar-benar gila penulis yang satu ini. Mengajak pembacanya untuk lekaslah membenci karakter yang ia ciptakan sendiri. Saya terus menjelajahi setiap karakter, setiap tokoh, dan setiap penceritaan yang lahir. Mahir mampu melarutkan saya dalam ceritera rekaannya sendiri.



Rasa bergidik ngeri, takut, bahagia, marah, dan apapun itu beraduk satu. Seorang Mahir menyeret saya untuk menghabiskan D.I.A.N.A. lebih utuh tengah malam. Seolah-olah semua karakter tersebut menjebak saya dalam dimensi yang berbeda-beda. Saya berada pada karakter demi karakter yang berbeda dan saya sadar: novel ini akan membuat suatu lingkaran terhadap seluruh tokoh yang ada.



Seperti halnya menggambar lingkaran, kita tak boleh berhenti. Jika berhenti, kita belum tentu berada pada titik yang sama. Itulah Here, After. Itulah D.I.A.N.A. Saya tidak diperkenankannya berhenti membaca sebelum menuntaskannya.



Cinta yang klise? Saya tarik lagi ucapan saya sebelumnya. Sampai bab ketujuh pun saya tak tahu misteri apa yang disimpan oleh Mahir bersama dengan kesepuluh tokoh rekaannya itu. Semakin menelusuri, misteri semakin runyam, semakin mengajak saya berpikir dan tak lagi memandang waktu yang sudah menginjak jam dua pagi.



Entahlah, ini sebuah novel atau kumpulan cerpen yang saling bertautan, atau juga seperti Dan Brown yang mengajak saya terus berpikir apa yang dewa-dewa kehendaki dalam karyanya ini. Seorang Mahir di dalam 197 halaman mampu mencampurkan semua rasa: pahit, ngeri, takut, marah, sedih, pilu, dan bahagia.



Menginjak bab kesepuluh, saya tahu apa yang hendak Mahir ceritakan. Tapi, bagaimana dengan pertanyaan-pertanyaan saya tadi? Mana jawabannya?



“Bagaimana dengan ‘cinta’?

Aah, itu bisa menyusul!”




Kekuatan-kekuatan yang lahir sendiri dari novel ini memberikan satu pelajaran bagaimana kita menikmati hidup dan cinta. Here, After bukan hanya mengajak berpikir bagaimana berfilosifi mengenai hidup tetapi juga caranya untuk bercinta dan terjebak di antara segmentasi cerita. Bagaimana merasakan perjumpaan dan kehilangan dalam waktu yang bersamaan. Bagaimana untuk berusaha memberikan rasa sayang dalam konflik-konflik benci yang timbul dari antara keduanya. Ini menjadi satu prestise untuk proses bercerita yang memberikan misteri dan menjebak.



Nah, Bung Mahir, benar bukan apa kata saya? Saya bukanlah orang yang pandai dalam meresensi, tak pandai dalam mencerca. Rasakan sendiri bukan kalau saya malah menulis cerpen di sini?! Jadi, jangan salahkan saya bila saya memang bukan menulis resensi. Dan syukurlah kalau memang ini masih bisa dianggap sebagai resensi.



Oh ya, satu lagi, ini yang ingin saya katakan pada saat saya membaca Here, After. Novel ini memberikan .... *Ah, sial! Tulisannya terputus!*









Jakarta, 7 Desember 2010 | 14.35
A.A. – dalam sebuah inisial




13 komentar:

  1. Waduh, ini apa dik, apakah sedang membuat resensi apa gimana? Hehehe sepertinya novel tersebut cukup dibungkus rapi dan gak usah dibaca? Begitukah maksudmu?

    Jadi teringat dengan novel "berdialog dengan kematian"

    BalasHapus
  2. Wah, salah persepsi sekali, Om Damuh. Sebaliknya, bacalah novel ini. Cara penceritaannya yang tak biasa :-)

    BalasHapus
  3. Aha, akhirnya berhasil kukorek pendapatmu yang paling penting dan dibutuhkan....

    Hem, bukan masalah salah persepsi, itu hanya satu cara om menggali kalimat singkatmu mewakili cerpenmu ini...

    Yes! Berhasil

    BalasHapus
  4. Hahaha... Prolog-ku memang selalu begitu. Eh?!

    BalasHapus
  5. Apa kagak pening baca novel kayak gitu?

    BalasHapus
  6. ehm... itu sebabnya, kupilih buku yang tak menggiringku untuk mencerca hahaha
    tossssss ah

    BalasHapus
  7. jadi peresensi gagas nampaknya sekarang. bravo!

    BalasHapus
  8. cara ngereviewnya unik, katanya bnovel ini cara berceritanya mirip film Crash ya mb? penasaran pengen baca dari dulu

    BalasHapus