Jumat, 09 Desember 2011

Di Masa yang Pernah Ada





:G



Kembali kepada masa lalu adalah sebuah kebahagiaan bagi mereka yang tidak pernah mendambakan dewasa, itu kataku. Dan bagiku bercerita tentang masa lalu selalu membutuhkan keberanian yang tidaklah sedikit, apalagi mengenai masa-masa yang kelam dan tak lagi ingin kau mengenangnya. Setidaknya ia telah mengajarkan kepada kita bagaimana cara mensyukuri kebahagiaan yang sifatnya hanyalah fana, sebagaimana juga ketidakbahagiaan itu.

Kerap aku tertawa ketika mengenang kembali masa-masa bahagia. Dan kerap aku merasa pilu ketika harus mengenang kembali masa-masa ketiadaan. Merapal dengan harfiah, aku kembali menuliskan tentang kamu. Ternyata tidak pernah ada kata habis untuk mengingat selalu mereka yang pernah kita kasihi. Tak perlu pula memandang bagaimana kita bertemu pula berpisah. Selalu ada jalan dan cara untuk hal tersebut.

Kemudian, berjibakulah aku dibuat oleh kenangan yang sudah-sudah. Tentang pertemuan pertama, bagaimana caramu yang menyapaku. Kita berkelibat dalam diskusi yang tidak mengenal ujung. Ada kopi, setumpuk buku, dan secengkram topik pembicaraan. Waktu kita biarkan saja bebas memilih: berlari atau berjalan. Toh, semua akan sama saja, pikirku kala itu. Biarkan saja kita dihempaskan oleh waktu sebagaimana ombak menghempas karang di lautan dan matahari menghempas bumi di langit. Tak pernah ada perih di sana.

Sangatlah tak etis bila kita hanya mau mengenang bahagia tanpa mengingat perih. Harusnya bagaimanalah kita berterima kasih kepada perih yang mengingatkan kita bahwa bahagia pun serupa dengan angin yang bisa saja berlalu demikian. Tetapi orang cenderung mengumpat perih sebagai jodoh yang tak diundang. Orang membenci kedatangannya dan mencoba meninggalkannya. Ada yang sanggup, ada pula yang tidak.

Sampailah kita pada sebuah tujuan: stasiun untuk berhenti. Punggung yang saling bertatap dan wajah yang saling berbalik. Di sudut mata, ada air yang dihapuskan oleh hujan. Awalnya kita seiringan, dan di persimpangan kita telah memutuskan untuk menjadi sendiri-sendiri. Keputusan yang tidaklah menyenangkan, tetapi harus ditelan sebagai keberadaan.

Kelak, sesampaiku di stasiun itu lagi, pasti masih ada sisa senja yang mendokumentasikan setiap bagian perpisahan itu. Sekarang terlihatlah lebih manis, dan pilihan untuk berpisah tidaklah selamanya salah. Karena dengan cara tersebut, selalu ada kehidupan yang lain setelah kehidupan hari ini.

G, aku akan pulang. Meski bukan tepat di hadapanmu, setidaknya kekayaan kata-kata sudah cukup mewakili untuk masuk kepada partikel-partikel yang hidup untuk bersenyawa di kemudian hari.





Bandung, 10 Desember 2011 | 05.02
A.A. - dalam sebuah inisial

10 komentar:

  1. Pagi yang cerah membaca catatan ini, Ave :)
    Serasa mendapat sokongan oksigen yang menyekap paru-paru dalam kelegaan :)

    BalasHapus
  2. Kemanapun angin berhembus
    aku akan kembali pulang..

    BalasHapus
  3. G tunggu Ave pulang ya!
    hahahaha
    Ve gw pengen bs nulis sebagus tlsmu tp kok g bs2 ta mesti berakhir dg oot tlsn gw @@

    BalasHapus
  4. masa lalu adalah kepingan yang membentuk masa depan

    saya jadi teringat, dalam satu pelatihan, kami diminta 'kembali ke masa lalu'. Dari kepingan masa itu, kami masing2 diminta bertanya (pada diri sendiri), momen apa yang paling disesali...dan seandainya bisa, apakah kami mau mengubah momen tersebut, menjadi momen yang lebih berarti?!
    ...

    BalasHapus
  5. Selamat pagi, Mas. Terima kasih sudah menyambang di sini. :-)

    BalasHapus
  6. Tulisan saya biasa saja, Mbak. Nothing to special. :-)

    BalasHapus