Selasa, 02 Agustus 2011

Presiden Prawiranegara

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Akmal Nasery Basral
Pahlawan yang Terhapus Namanya

Dalam sejarah Indonesia, ada dua orang pemimpin negara ini yang tidak tercatat sebagai presiden, yaitu Mr. Assaat dan Mr. Syafruddin Prawiranegara. Sementara itu, kita hanya mengenal Indonesia hanya memiliki enam presiden, yakni Sukarno, Suharto, B. J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Mr. Assaat merupakan Presiden Indonesia pada masa pemerintahan Republik Indonesia saat Indonesia masih berstatus Republik Indonesia Serikat. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang merupakan lembaga pembantu presiden.

Sementara, Mr. Syafruddin Prawiranegara merupakan Menteri Kemakmuran setelah Surachman Tjokrodisurjo di zaman Sukarno. Ketika terjadi Agresi Militer II, Sukarno dan Moh. Hatta memberikan kepercayaan kepada Syafruddin untuk membentuk sebuah pemerintahan darurat agar keberadaan Indonesia tetap diakui dunia dan tidak ditenggelamkan oleh bom-bom Belanda.

Lewat kacamata Kamil Koto, seorang pencopet yang terkenal di Pasar Pariaman yang menjadi pengikut Residen Rasyid setelah diselamatkan olehnya dalam sebuah peristiwa, Akmal Nasery Basral berkisah tentang perjuangan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang dipimpin oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara yang sering disebut Kuding di dalam novel ini.
Kedatangan Bung Hatta ke rumah Kuding di sore itu membuatnya harus meninggalkan rumah. Janji Bung Hatta kepada keluarganya hanyalah beberapa hari membawa Kuding keluar dan menuju Bukittinggi. Ternyata janji Bung Hatta tidak bisa ditepati karena bom sudah menghujani Yogyakarta di saat KTN yang juga diliput oleh wartawan internasional. Belanda semakin menjadi. Sukarno dan Hatta sudah memprediksi bahwa mereka akan terkena tahanan rumah, mereka lekas-lekas mengirimkan kabar kepada Syafruddin, Sudarsono, dan A. A. Maramis. Sudarsono adalah dubes RI untuk India dan A. A. Maramis adalah Menteri Keuangan yang sedang berada di New Delhi.

Benar saja, Sukarno dan Hatta beserta beberapa pejabat tinggi lainnya terkena status tahanan rumah dari Belanda. Jendral Sudirman melakukan pergerakan militer di Yogyakarta meski dalam kondisi ia bernapas dengan satu paru-paru. Kuding melakukan pergerakan sipil di Bukittinggi setelah mendapat kabar Sukarno dan Hatta sudah dipenjarakan oleh Belanda.

Rapat digelar oleh Teuku Hasan, Syafruddin, dan beberapa pejabat tinggi lainnya untuk menentukan sikap ke depannya yang akan dilakukan oleh pemerintah agar keberadaan Indonesia tidak semakin dirusak oleh Belanda. Akhirnya sebuah rapat berhasil menunjuk Syafruddin Prawiranegara sebagai Ketua PDRI dan Teuku Mohammad Hasan sebagai wakilnya.

Mungkin hal ini yang membuat Kuding tidak dianggap sebagai presiden: kerendah-hatiannya. Ketika orang-orang telah memanggil dirinya sebagai Presiden PDRI, dengan tegas ia menegur,”Saya Ketua PDRI, bukan Presiden.” Untuk itu, ia tidak dianggap sebagai presiden karena atas kehendaknya sendiri.

Kuding adalah menteri yang jujur, terbukti dengan ketidakmampuannya membeli gurita untuk anaknya, ia tidak menggunakan uang negara untuk itu. Kuding adalah pribadi yang bersahaja, terbukti dengan kata-katanya selalu terpikirkan dengan matang, bertindak dengan hati nurani, dan tidak sekadar asal-asalan. Kuding adalah pendengar yang bijaksana dan penasihat ulung, terbukti dengan ia mengajarkan Kamil untuk lebih menghargai ayahnya dengan baik meski rasa sakit hati tidak bisa tidak datang begitu saja.

“Ayahmu menteri keuangan, Icah,” Lily menyeka matanya yang basah. “Ayah mengurusi banyak sekali uang negara, tetapi dia tak punya uang untuk membeli kain gurita bagi anaknya, adikmu Khalid, yang baru lahir. Kalau Ibu tidak mengalaminya sendiri, Ibu sendiri pasti tidak percaya. Tapi itu nyata. Ayahmu sama sekali tidak tergoda memakai uang negara, meski hanya untuk membeli sepotong kain gurita.” - Presiden Prawiranegara, hlm. 25

Gaya penceritaan Akmal lewat Kamil Koto yang jatuh cinta kepada Zahara, perempuan yang berayahkan Ajo Sidi, orang yang hampir membunuh Kamil, membuat suasana cerita menjadi berwarna dan tidak membosankan. Kamil Koto, tokoh yang seolah-olah ada dan hidup, membuat novel ini menjadi kisah yang menarik dan sayang untuk dilewatkan. Penuturan lugu seorang Kamil bisa mengundang tawa sekaligus pilu. Kita juga diajak bersimpati dan ‘ikut berjuang’ dalam keluar-masuk belantara bersama Kuding untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia.

Pertengkaran mulut antara Sutan Syahrir dan Sukarno yang menganggap Sukarno adalah presiden tolol dan menghina martabat seorang petinggi negara karena mengemis juga memberi warna tersendiri yang menghibur pembaca. Saya pun tak memungkiri sejak kali pertama membaca bab novel ini, saya langsung berpikir Sukarno adalah presiden tolol dan pengecut.

Syafruddin pun memiliki catatan hitam dalam lembaran sejarah Indonesia. Ia dianggap membangkang dengan mendirikan PRRI dan melakukan pemberontakan karena kekecewaannya terhadap pimpinan Sukarno. Di masa tuanya, ia menjadi pendakwah dan berkotbah tentang politik. Isinya selalu membangkitkan emosional rakyat sehingga isi pidatonya harus diperiksa sebelum dikotbahkan. Posisinya pun pernah digantikan khatib lain karena ia menolak isi kotbahnya diganti.

Meski hanya 207 hari, Kuding sudah berjuang untuk Indonesia. Ia pernah ada sebagai pemimpin yang bijaksana untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia meski ia harus mengorbankan keluarganya dan dirinya sendiri. Syafruddin Prawiranegara, seorang presiden yang terhapus namanya.

Bandung, 2 Agustus 2011 | 21.02
A.A. – dalam sebuah inisial

4 komentar:

  1. Beliau dipilih karena keluguannya. Nggak mungkin seorang Soekarno yang nature-nya "narsis dan populis" mau menunjuk orang yang bisa mengkhianatinya. Lucu juga ya sejarah bangsa kita ini.

    BalasHapus
  2. Karena orang lebih memilih membuat sejarah daripada belajar dari sejarah, Mbak. :-)

    BalasHapus