Kamis, 04 Agustus 2011

Kereta Tidur

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Avianti Armand
Avianti Armand,

Ini kali pertama aku membaca tulisanmu. Aku tak pernah tahu seperti apa isi dari lembaran-lembaran yang teranyam di Negeri Para Peri,jua aku tak tahu apa yang kautulis di setiap halaman yang ada dalam Perempuan yang Dihapus Namanya, dan aku tak pernah menyentuh buku Dari Datuk ke Sakura Emas, apalagi cerpenmu.

Aku hanya tahu Perempuan Pertama memang bergelut dengan dosa karena ular, karena rayuan budak setan yang mengajak laki-laki untuk lekas meninggalkan Taman Eden dan harus mengenal apa yang disebut dengan rasa malu. Tapi, aku tidak tahu ketika itu juga, setan sedang mengenalkan mereka kepada kematian dan di baris ketujuh sebelah kiti, empat kursi dari ujung, Tuhan sedang duduk sambil menangis. Aku tidak tahu. Kejadian tidak menuliskannya. Ia hanya menulis Tuhan mengusir mereka dari Taman Eden. Itu saja.

Mungkin peta di tubuh setiap orang yang bercinta selalu ada, seperti Matahari yang sedang berselonjor di tubuh langit. Aku pun mengerti mengapa bahasa mereka yang terlanjur jatuh cinta begitu puitis atau mereka yang sangat mesra dalam kata-kata. Aih! Dicumbulah aku dalam tulisanmu yang ini. Seperti aku dibacakan cerita menjelang tidur oleh Ibunda dan ia berbagi pengalaman soal cinta, pelajaran yang harus dirasakan sendiri.

Aku bermain di taman dekat Gibraltar. Bermainlah aku oleh Dongeng dari Gibraltar yang begitu membuatku merasa kembali menjadi kanak-kanak. Semakin aku membalik halaman, ini bukan lagi soal cinta semata. Bukankah penantian akan menemukan ujung dan untuk mendapatkan sesuatu kita harus berkorban lebih? Aku merasa tidak adil dalam dongengmu ini, Avianti. Harusnya dongeng itu berakhir dengan bahagia, tetapi ini sungguh menjadi sesuatu yang begitu pilu.

Atau pula ini kelanjutan dari Hawa yang diusir dan tahu perihal kematian. Mungkin pula di dunia anak-cucunya sudah mengenal bagaimana cara merokok. Apa merek rokok dengan rasa yang paling nikmat dan bagaimana mulutnya bisa bersanding dengan asap kereta? Ah, tubuh adalah Bait Allah. Tapi kaurusak tubuh si dia dan harus bermain dengan lagu Requiem. Kejinya kau. Tapi kauhapus dosanya dengan pisau yang disayat perempuan bergaun putih itu? Andai semudah itu Tuhan menghapus dosa dan semua umat tahu, di tubuh ini tentu sudah ada salib yang berdarah.

Aku tahu betapa menyebalkannya bila disanding-sandingkan dengan mereka yang pandai. Aku juga ingin mem-PHK ibuku, tapi ia yang wajib memberikanku pesangon. Ia tak mau ku-PHK, tetapi tetap saja ibuku sering melakukan hal yang serupa dengan menyandingkan aku seperti orang-orang yang bernasib naas dengan Lara. Ih, betapa laranya hidupku bila harus berlara hati seperti Lara. Biar aku lebih mengaminkan saja bahwa kehidupan ini memang tidak akan bisa Sempurna meski kita bisa menjadi lebih baik dari orang lain. Terlalu ambisius!

Pula berapa banyak Kupu-kupu di negeri ini? Bukankah itu pertanyaanmu di halaman 69? Bukankah proses metamorfosis begitu melelahkan kupu-kupu sampai pada akhirnya ia akan menjadi indah? Bahwa kehidupan akan begitu indah ketika berada di ujung penantian. Hanya aku bertanya-tanya: mengapa harus Tudung Merah? Ke mana si Kerudung Merah? Mungkin Kerudung Merah hanya perempuan yang baik-baik. Kupikir itu.

Andai saja ada Perempuan Tua dalam Kepala yang sedang hinggap dalam kepalaku, aku akan menjerit sejadi-jadinya. Tapi cinta seperti itu membuatku hanya ingin membunuh diriku. Kau tahu apa aku tahu soal cinta seperti itu? Orang-orang mengatakan itu sangat menjijikkan bahkan najis. Buatku biasa saja, bila soal cinta. Toh, kau tak pernah menuntut untuk menjadi perempuan atau laki-laki ketika lahir, begitu pula aku. Tapi kalau dicumbu dengan begitu arogan, aku lebih memilih mencekik leherku sendiri.

Tentang Tak Ada. Ya, tak ada yang harus kukatakan selain klise!

Bahwa ketika hendak berangkat, aku dan kau pun butuh dengan yang dinamakan tiket. Tapi ke mana Tiket ke Tangier itu akan membawaku? Di mana Tangier? Aku tak pernah mendengar tempat itu, tak pernah membaca tempat itu di peta. Kalaupun memang di Maroko, di mana letaknya dan seperti apa isi perut kotanya itu? Apa benar ada cinta di sana? Tapi aku bisa saja telah memiliki tiket itu, dan aku memang tak pernah memakainya. Tapi, benarkah di sana selalu ada cinta? semoga lampu kota tak lekas mati karena aku belajar untuk jatuh cinta.

Di tanganku, pasir tak menetes sebutir pun, meski kamu selalu kembali untuk menemuiku. Tahun demi tahun. Tiket itu tak pernah terpakai. tapi aku selalu datang ke Tangier untuk menemuimu.- hlm. 115

Demikianlah dengan aku yang menziarahi lorong Kereta Tidur-mu. Di balik semua kehidupan, tentu ada kematian. Bahwa kita hanya memilih apa kita harus kembali menjadi abu di dalam tanah atau menjadi abu di dalam kereta tidur dan dilarungkan di laut lepas. Dan betapa fananya hidup ini, kuinsafi.

Avianti Armand,

Begitulah kisahku menyetubuhi Kereta Tidur-mu. Meski di dalam lirih aku hendak menjadi siapa dan mengapa aku memilih itu, kau sudah memiliki kisahmu sendiri. Dalam perjalanan, kutelusuri setiap spasi dalam tubuh bukumu. Kau adalah Tuhan yang baik, membunuh setiap umatmu dengan caramu sendiri. Aku hanyalah pengawas pintu surga yang mengabsen siapa yang harus masuk ke dalam otakku.

Kuharap kau tak lupa untuk tak lupa cara menulis dan tetap menulis.



Jabat erat selalu,


Jakarta, 4 Agustus 2011 | 21.57
A.A. - dalam sebuah inisial

14 komentar: