Senin, 27 Juni 2011

The Naked Traveler 3

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Travel
Author:Trinity
A wise traveler never despises his own country. - Carlo Goldini



Menurut saya, Trinity seperti itulah. (Mungkin) ia memang seorang pelancong yang bijaksana, yang tak pernah memandang rendah negaranya sendiri. Seperti kata Carlo Goldini, Trinity selalu mengatakan dengan mengitari negara-negara, ia semakin cinta dengan Indonesia dengan segala keruwetannya.



Saya kecewa dengan buku ini. Terus terang, saya dilanda rasa kecewa karena saya gagal mendapatkan edisi nonrevisi yang sebenarnya dipublikasikan juga di blog The Naked. Tapi, setelah saya bandingkan yang saya punya dengan edisi nonrevisi, malah semakin vulgar kalimat yang dituju dan dianggap terlalu ‘menantang’ adrenalin. (Silakan baca keterangan soal revisi ini di blog The Naked – http://naked-traveler.com)



Dibandingkan dengan buku keduanya, buku ini saya rasa jauh lebih sempurna. Puas membacanya, puas ngakaknya, dan puas jalan-jalannya. Meski lebih tebal The Naked Traveler (TNT) 2, tetap saja saya lebih menjagokan TNT3 untuk kali ini. Trinity lebih liar dalam menulis di dalam buku terbarunya. Kita diajak untuk mengangkat ransel, bertualang ke mana saja, dan kembali dengan cerita.



Trinity bukanlah penulis yang canggung dan malu dengan dirinya sendiri. Ia jujur dalam bercerita dan jelas-jelas menulis kalau dirinya tidaklah memiliki postur tubuh yang lebih layak dibilang backpacker. Malah, dengan cara inilah, Trinity mengundang kita bahwa faktor U, postur tubuh, dan segala kekurangan bukanlah hambatan untuk berjalan-jalan.




72 cerita dibagikan oleh Trinity dalam buku ini. Dari 72 cerita

tersebut, saya memilih empat cerita yang terbaik versi saya.



Onsen,Mandi Rame-Rame

Wah, rasanya saya tak perlu bercerita banyak soal bagian ini. Membacanya benar-benar menanatang adrenalin kaum adam. Trinity bercerita blak-blakkan soal Onsen, permandian air panas di Jepang, yang tidak boleh dilewatkan. Anda mesti membacanya sendiri.



Joroknya China

Benar-benar ngakak, membuat mual, dan tiba-tiba ingin membuktikannya sendiri. Itu yang saya rasakan ketika membaca bagian ini. Dari judulnya saja kita sudah dapat menebak isinya sebagai apa. Tapi membacanya benar-benar membuat keringat dingin.



Under The Stars

Romantis benar sang supir. Bisa-bisanya menemukan tempat untuk melampiaskan HIV (hasrat ingin vivis) di tempat yang super romantis: di bawah bintang-bintang. Trinity tidak cablak dalam cerita ini, malah santai dan jujur sekali. Itu tidak mengurangi kelucuan ceritanya.




RW & B1

Speechless. Speechless. Speechless. Yeah, I’m speechless. Silakan Anda menganggap saya berlebihan. Tapi sudah dua orang yang saya sodorkan cerita ini, mereka tak beda dengan saya, berhenti di salah satu segmen yang paling tragis yang tidak berkeprianjingan. Meski saya sudah sering mendengar cerita seperti ini, bahkan saya pernah ditawarkan menikmati sang B1 oleh guru agama saya sendiri, tetap saja membacanya membuat saya diam dan terbayang-bayang hal yang tak bisa dibayangkan.



Yang masih saya anggap sebagai kekurangan dalam buku ini adalah kertasnya yang tidak berwarna untuk foto. Dengan harga buku seperti itu, tentu tidaklah setara dengan tampilan yang harusnya ada. Buku perjalanan harusnya berwarna, setidaknya hanya untuk di bagian yang terdapat foto. Ini malah sudah menjadi penyakit B First yang banyak menerbitkan buku traveling tetapi kertas tak berwarna.



Karena yang saya dapat adalah edisi revisi, saya malah menganggap kalimat yang (katanya) direvisi itu semakin vulgar. Nah lho, apanya yang direvisi?



Di antara segala kelebihan dan kekurangan, toh, tujuan Trinity adalah mengajak kita untuk mencintai negeri sendiri setelah merasakan ‘derita’ di negeri orang dan jangan pernah kapok dengan nikmatnya traveling.





Jakarta, 27 Juni 2011 | 23.59


A.A. – dalam sebuah inisial


3 komentar: