Rabu, 01 Juni 2011

Perih


Di depan pintu rumahmu, aku hanya mampu terdiam. Di depan itu pula, kau menatapku lirih seolah kau mengerti alasan yang tak sempat aku ucapkan untuk pergi di tempat yang kusendiri tak mengerti mengapa harus ke sana. Kita berbicara lewat tatap mata.

'Untuk apa di sini?'

Kau turun mendatangiku. Aku tahu ini akan terjadi. Kau tak akan pernah rela meninggalkan aku sendiri, mendiamiku dalam waktu yang cukup lama.

'Hanya untuk mencari jalan pulang.'

'Jalan pulang?'

'Jalan pulang ke hatimu.'

Sembab matamu. Aku menunduk di hadapan wajahmu. Ternyata semudah itu membuatmu menangis. Tapi kehadiranku bukanlah untuk membuatmu menangis. Ada yang ingin kukatakan sebelum pergi:

'Perih ini hendak kubagi denganmu, maukah kau menerimanya?'






Jakarta, 1 Juni 2011 | 21.24
A.A. - dalam sebuah inisial

19 komentar:

  1. Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang.

    BalasHapus
  2. tertawalah sebelum gak bisa tertawa :D

    BalasHapus
  3. dengan senang hati merpati putih.....

    BalasHapus
  4. Hmmm kalau perih jangan tambah dikucek nanti jadinya merah.

    BalasHapus
  5. Aku ingin pulang, dia ingin pulang. Kalau rumahnya gak sama, gimana dong pooooon???

    BalasHapus
  6. pernah ngalami gitu.. Bertanya lewat tatap, memeluk dalam sembab.. :)
    Perih banget waktu jawabannya hanya gelengan kepala, masih tanpa kata.

    BalasHapus
  7. Semestinya dikasih plester ya? :-))

    BalasHapus
  8. Wakakakaaaak... Itulah yang akhirnya juga kusimpulkan. Tidak jodoh memang perih...

    BalasHapus
  9. Seperti menyiram luka dengan cuka. :-))

    BalasHapus
  10. "Cari jodoh lagi...." Gampang kan...

    BalasHapus