Selasa, 21 Juni 2011

Aku Pulang

Janjinya sebelum berangkat adalah ia akan pulang. Sebenarnya aku tidak menghendakinya untuk pergi. Tapi aku tak pernah memiliki kuasa untuk melarangnya meski aku ibunya. Begitu pula dengan suami dan anak-anaknya yang memang harus melepas kepergian ibunya.

"Aku akan rajin berkirim surat, Bu. Semua akan baik-baik saja."

Baiklah, aku percaya semua akan baik-baik saja. Tapi hati ibu mana yang tidak akan pilu bila harus berpisah dengan anaknya sangat jauh? Akupun demikian sebagai ibu. Ada banyak untaian doa yang kukirimkan kepada Tuhan sebagaimana seharusnya orang percaya kekuatan doa adalah kekuatan yang dahsyat. Biar kekuatan itu melindungi anakku sampai ke negeri yang akan dia tuju kelak.

"Aku akan pulang, Bu. Biar kita bisa merenovasi atap rumah kita, Bu."

Lagi-lagi aku percaya kepada janjinya kalau ia akan pulang. Hari sudah beranjak menjadi sore, akupun berdoa kepada sang pencipta agar hari esok jangan lekas datang. Aku masih menginginkannya untuk berada di sini. Biar aku puas memeluk anakku yang tega meninggalkan aku, suami, dan anak-anaknya. Tapi, aku tak kuasa untuk menahannya.

Pagi pun tiba, tas pun telah dikemasnya sedari malam kemarin. Waktunya ia untuk berangkat. Aku memeluknya dengan air mata, dengan doa, dan dengan harapan agar ia lekaslah kembali.

"Berkirimlah surat biar aku tetap tahu kabarmu meski jauh di sana."

Punggungnya tak lagi terlihat. Ia sudah pergi. Diantar oleh suami dan anak-anaknya. Mataku tak lagi sanggup membendung air mata yang seketika hancur saat ia pergi. Ya, ia sudah pergi dan yang bisa kutunggu kini hanyalah surat yang berisi kabar-kabar darinya.

Tak pernah ada telepon. Tapi surat pertama telah datang. Ia hanya mengabari kalau ia sudah tiba di negeri yang ia nantikan. Ia akan memulai bekerja dengan keluarga yang baik. Hatiku lega luar biasa atas berita itu. Berita yang sangat baik.

Di bulan kedua, bulan ketiga, bahkan sampai bulan keenam, rutin surat datang ke rumah. Setelah itu tak ada kabar. Isi suratnya tetaplah sama: aku baik-baik saja dan akan lekas pulang.

Tak ada kabar lagi yang menyatakan ia baik-baik saja. Akupun khawatir terjadi apa-apa dengannya. Nurani ibuku berbicara. Televisi terus memancarkan siaran, tapi bukan kabar anakku. Ingin aku pergi ke sana, mengetahui keberadaannya. Tapi bagaimana caranya?

Gerimis air mata. Aku terbangun dari mimpi yang sangatlah buruk. Anak itu tidak sebahagia yang ditulis dalam suratnya. Ia menyembunyikan segala deritanya. Ia berdusta kepada kami. Mimpi sudah mengabarkan apa yang terjadi kepadanya. Segala pekik jeritnya terdengar olehku. Segala perih luka kurasakan. Segala sakit pilu membuatku berurai air mata. Begitu sesak.

Tapi, sekali lagi, kepada siapa aku harus mengaduh? Kepada siapa aku harus mengeluh?

Cuma doa yang bisa kukirimkan kepadanya. Surat-surat kupeluk yang selalu kuletakkan di samping fotonya. Selalu terdengar suaranya yang akan pulang. Benar-benar aku rindu. Ini rindu ibu kepada anaknya yang menderita. Kenapa pula ia tak jujur kepadaku sebagai ibunya?

Lagi-lagi aku bermimpi. Ia datang, bukan pulang ke rumah. Ia datang di sebuah ruang yang gelap. Setelah itu, aku mendekapnya. Ia telah tak bernyawa. Aku menjerit sejadi-jadinya. Membangunkan seisi rumah. Aku menangis karenanya.

Pagi itu, benar saja, kabar disampaikan kepadaku. Anakku telah tak bernyawa di negeri orang. Ia sudah membunuh orang dan balasannya adalah membunuh anakku. Anakku pembunuh. Dendamnya yang membatu dibalaskan dengan pisau yang menancap di tubuh orang lain. Siksaan yang diterimanya dianggap pantas terbayar bila nyawa orang itu melayang.

Sekarang aku tak bisa lagi menangis. Aku hanya bisa bertanya di mana aku harus mengaduh?

Kudengar suaranya yang memanggilku. Ia pulang hari ini. Ia pulang tanpa raga dan jiwa. Kudengar suaranya memanggilku. Akupun merasa sesak. Sesak sejadi-jadinya.

"Inikah yang dimaksudnya 'pulang'?" tanyaku kepada matahari.



Jakarta, 21 Juni 2011 | 18.14
A.A. - dalam sebuah inisial

21 komentar:

  1. ya aku akan pulang nanti jam 24.00 nanti

    BalasHapus
  2. aaaakuuuuu puuuuulaaaaaaang
    tanpaaaaa dendaaaaammmm

    BalasHapus
  3. *ikut bertanya juga...
    kalau sudah nemu jawabannya, kasih bocorannya yah, Av
    :)

    BalasHapus
  4. Meski seperti fakta, ini tetaplah fiksi, Mbak.
    Nuhun :-)

    BalasHapus
  5. Saya cari di kamus dulu, Mas. :-))

    BalasHapus
  6. membaca realita melalui fiksi. halah!

    *ngeyel ;d

    baguus. :)

    BalasHapus
  7. Jadi inget jurnal "anak perempuanku belum pulang" ku. ;d

    BalasHapus
  8. Maukah Mas Topan memberikan link-nya? Biar kubaca. :-)

    BalasHapus
  9. kemanakah aku akan pulang? ku belum punya rumah, ah seandainya bisa pulang

    BalasHapus
  10. pulang kembali kpd Yang penciptakannya

    BalasHapus
  11. aku kerja dulu sekarang... pulangnya ya kalau udah selesai kerjaan, pooon... :-)

    BalasHapus
  12. pulangggggggggggggggggggggggggggggggg kangen Ave

    BalasHapus