Sabtu, 04 Juni 2011

Soal Perih



Buat kamu,


Ternyata saya tahu bagaimana rasanya berbagi sakit. Tapi saya lebih tahu untuk mempersiapkan kehilangan yang teramat sangat. Sesungguhnya, saya sangatlah tidak siap untuk menghadapinya. Ini benar-benar godam yang harus saya pikul dengan sangat berat. Saya siap akan pertemuan tetapi saya tidak sanggup menghadapi apa yang dinamakan dengan kehilangan. Saya memang manusia biasa, seperti insan pada umumnya yang tak sanggup menghadapi kehilangan.

Saya pikir saya seorang yang kuat, siap menghadapi semua ini. Saya pikir ini adalah hal yang biasa, ternyata lebih dari itu. Saya pikir saya bisa berjalan seperti biasa dalam kondisi seperti ini. Saya pikir saya akan tenang-tenang saja untuk meninggalkan kamu dalam kondisi seperti ini.

Ternyata keterikatan batin kita terlalu kuat. Sangat kuat.

Arwah kita satu, darah kita satu. Yang terluka padamu, berdarah padaku. - Sutardji Calzoum Bachri

Saya menuliskan untuk kamu dengan terpaksa, dengan mata yang sembab menahan bendungan air mata. Semua kata mengalir begitu saja. Tak ada lagi yang bisa saya pendam. Saya benar-benar dalam ketakutan saat ini. Saya bukan takut akan kematian yang akan menghadang di depan, tetapi terlebih dari itu, saya takut dengan kehilangan yang menyakitkan.

Saya benci air mata. Saya benci menangis. Saya hanya suka dengan kebersamaan. Ya, terserah dengan kata orang-orang bila saya orang yang egois karena mereka belum tentu mengerti seberapa dekat antara kita. Mereka mengatakan perpisahan adalah hal yang lumrah karena mereka belum pernah menghadapinya. Bila mereka mengerti, mereka akan tahu ini pedih yang begitu perih.

Seberapa jauh surga dari kita? Itu yang selalu ingin kutanyakan. Biar aku bisa menghentikan waktu. Aku tahu Tuhan tidak bisa menghentikan kehilangan, menghentikan perpisahan. Aku juga tak ingin menyalahkan Tuhan. Ia tak bersalah atas apa pun. Aku hanya ingin menghentikan waktu. Biar ia menunda kehilangan yang akan kita hadapi sampai aku puas. Puas untuk mencumbumu dengan bahagia sehingga bila saatnya telah tiba, aku tak perlu mengantar perpisahan dengan air mata. Biar kamu tak perlu merasa perihnya air yang menetes di antara luka.

Saya banyak belajar setelah berita yang (sebenarnya tidak terlalu) menyentak saya ketika mendengarnya. Saya tahu kita akan pergi ke mana orang-orang akan pergi. Tapi lagi-lagi saya tidak bisa menghadapi apa yang dinamakan kehilangan.

Bila memang harusnya pergi, tolong katakan dahulu agar saya punya waktu untuk mengucapkan sampai jumpa. Saya masih mematri apa yang dinamakan selamat tinggal dan sampai jumpa itu sangatlah berbeda. Saya membenci ucapan 'selamat tinggal' karena saya percaya orang-orang masih memiliki kesempatan untuk bertemu lagi, entah di mana, entah di dimensi mana, dan entah di gurun yang mana. Tapi, apa kau tahu bagaimana caraku menyayangimu dengan diam-diam seperti ini?

Mungkin kurasa, kehilangan yang akan memberikan makna seberapa besar arti seseorang ketika ia tiada, bukan ia ada.


Jangan lekas pergi, tapi lekaslah sembuh! Masih banyak cerita yang belum kita rawikan di halaman rumah sebelum rumah ini kita tinggalkan.




Lebih dari sekadar benang merahmu,




Jakarta, 4 Juni 2011 | 20.38
A.A. - dalam sebuah inisial

9 komentar:

  1. hiksss...bikin sedih ve
    gw plg takut kehilangan org2 yg gw cintai

    BalasHapus
  2. Biar saya dan Tuhan yang tahu. ;-)

    BalasHapus
  3. Tapi itu pasti dan tak dapat dipungkiri, Mbak. Mau tak mau harus berhadapan dengan itu.

    BalasHapus
  4. Lho aku udah komen kok gak muncul? Klepoooon!!!

    BalasHapus
  5. Aku kena Vercod melulu, poooon... Masak sehari bisa 2 kali. Kenapa yak? Aku kan gak melakukan vandalisme disini hu hu

    BalasHapus
  6. Hahaha... perbanyaklah amal ibadah Anda!

    BalasHapus
  7. kehilangan....lebih terasa maknanya bila dia tiada daripada ada?tampaknya aku harus belajar lagi tentang rasa ini karena kehilangan sama beratnya.....semakin tahu bahwa dia memang penting untukkita (saat dia ada maupun tiada)^_^

    BalasHapus