Minggu, 19 Juni 2011

Tentang Ayah yang Mengagumkan



Siapa orang yang paling mengaggumkan dalam hidupmu?

Ayah.

Empat tahun menulis di blog ini, tentu sudah banyak ceritera yang saya bagikan lewat tulisan, foto, musik, video, atau sekadar komentar di blog kawan-kawan. Bagi yang sudah lama mengikuti blog saya, mungkin ceritera tentang ayah saya bukan lagi sesuatu yang baru. Tentang ayah saya sering kali saya bagikan lewat blog ini.

Saya selalu percaya sosok ayah adalah sosok yang istimewa di dalam setiap hidup orang. Seorang Abraham Lincoln saja menganggumi sosok ayahnya yang menjadi motivator dalam hidupnya. Pendukung masa depannya yang paling setia dan yang paling tahu apa yang ia butuhkan. Meskipun Abraham Lincoln dididik untuk bekerja, bukan mencintai.

Saya memang harus mensyukuri atas kelahiran saya yang begitu istimewa. Saya hidup di tengah keluarga yang tentunya istimewa. Di tengah maraknya berita tentang ayah yang menyiksa anaknya, ayah saya bukan termasuk orang yang melakukan hal serupa. Ayah saya jauh dari kekerasan terhadap anak-anaknya. Saya dididik secara bebas dan merdeka, tidak dipaksakan dan terbuka.

Masih saya ingat betul ketika dengan gembiranya saya datang kepadanya membawa kabar bila saya diterima di salah satu jurusan yang saya kehendaki. Saya berlari dan berteriak di hadapannya. Euforia di hadapannya benar-benar.

"Itu sudah pilihanmu. Sekarang tinggal waktunya berjuang dan itu menjadi keputusanmu untuk berjuang dan bertahan atau mundur dari sana."

Saya tahu itu bukanlah jurusan yang dikehendakinya. Beliau lebih memilih saya untuk mengambil jurusan ilmu hukum. Sebelumnya juga beliau sempat mengeluh kepada saya.

"Untuk apa susah-susah kamu masuk IPA, tapi malah kuliah di IPS?"
"Iseng. Hahaha..."
"Di mana-mana orang pengin masuk IPA supaya bisa jadi dokter. Kamu bisa masuk IPA malah ambil IPS!"

Tak jarang saya harus beradu argumen dengannya. Kami tetap pada keputusan kami masing-masing. Tidak lagi peduli dengan kata egois yang distempelkan orang-orang kepada kami. Saya adalah anak yang mewarisi gen keras kepalanya. Saya dan beliau selalu ngotot dengan pendapat kamilah yang paling benar.

Ketika saya harus meninggalkan rumah, bertarung kembali dengan alam, katanya hanyalah sederhana. "Jangan lupa makan vitamin! Sudah papa masukkan ke dalam tasmu!" Aku hanya tertawa dan sekembalinya ke rumah, vitamin itu masih utuh. Tak disentuh, tak dibuka, dan tidak sekali pun diteguk! Sontak saya menyimpannya di dalam laci meja dan ketika beliau bertanya,"mana vitaminnya? Habis tidak?" Saya hanya manggut-manggut berbohong.

Saya bukanlah anak yang patuh. Saya kerap membangkang. Saya selalu merasa lebih mengerti apa yang saya butuhkan. Ketika saya gagal, beliau selalu siap menjadi pendengar keluh kesah saya. Beliau siap untuk menjadi teman perjalanan yang baik dan menyenangkan. Di saat itu, keras kepala kami melebur menjadi satu. Kami punya prinsip yang sama.

Betapa hebatnya semesta menciptakan orang-orang yang seperti saya dan ayah saya yang bisa menjadi satu meski memiliki kepala yang benar-benar melebihi batu. Memang ayah saya adalah ayah yang istimewa. Orang yang paling istimewa dalam hidup saya.

Ayah saya adalah guru yang terbaik, sahabat yang paling setia, dan ayah yang paling luar biasa yang pernah saya kenal. Saya bangga memiliki ayah sepertinya. Saya bangga dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Saya mencintainya dengan sepenuh hati.

Dan saya meyakini ayah saya menyayangi saya meskipun saya bukanlah anak yang selalu bisa dibanggakan olehnya.

Terbentang ribuan jarak yang membuat kisah kita begitu banyak untuk dibagi, Pa. Ada ribuan kenangan. Ada jutaan bahagia. Ada milyaran berbagi. Semua itu selalu kita gunakan untuk menjalin persahabatan yang lebih dari ayah dan anak. Aku adalah anak yang mewarisi gen keras kepalamu tetapi selalu luluh ketika aku harus bercerita tentang dirimu yang selalu dapat aku banggakan. Seutuhnya, aku benar-benar bahagia memiliki ayah sepertimu.

Teman-temanku tentunya iri hati kepadaku bila papa masih sempat untuk datang untuk menemaniku mengambil ijazah. Sempat-sempatnya di antara kesibukanmu, kau menemaniku untuk pergi ke suatu tempat di mana masa depanku akan ada di sana. Bahkan kau siap untuk melepasku pergi lagi dengan leluasa.

Terima kasih untuk segala totalitasmu, Pa. Terima kasih untuk amarahmu yang membuatku untuk kembali pulang kepada jalur di mana aku harus berada, terima kasih untuk selalu menjadi alarm yang mengingatkanku bahwa aku tidak pernah bisa berjalan sendiri, terima kasih untuk menjadi teman perjalanan yang menyenangkan yang bisa diajak berbagi, terima kasih untuk menjadi pendengar setia dan menjadi penasihat agung ketika aku butuh, terima kasih untuk menjadi guru yang bisa kuteladani, dna terima kasih telah membuatku bebas melebihi burung yang merdeka untuk terbang.

Maaf, kalau aku bukanlah anak yang bisa engkau banggakan.

Selamat Hari Ayah, Pa!



Jakarta, 19 Juni 2011 | 19.53
A.A. - dalam sebuah inisial

26 komentar:

  1. :'( *inget ayah yg sedang terbaring

    BalasHapus
  2. Ungapkan rasa sayangmu kepadanya, Mbak.
    Semoga lekas sembuh untuk ayahnya Mbak.

    BalasHapus
  3. aveeeeeeee..........suka dehh... tumben ga puisi... hihihihi

    BalasHapus
  4. Lha? Saya tidak pandai menulis puisi, Mbak. Makanya saya menulis cerita saja :-))

    BalasHapus
  5. Lama tak membaca mp mu ave,apakabar? Sudah kuliah dimana skrg?

    Ah, saya jadi rindu ayah dirumah :)

    BalasHapus
  6. Kabar baik sekali, Mbak. Kuliah? Hahaha... Nanti saja ya pertanyaan ini kujawab.

    Lekas pulang, Mbak! Ayah menanti di rumah.

    BalasHapus
  7. pantesan kalau macet betah banget yah...:)

    BalasHapus
  8. Kalau ibu adalah madrasah yang pertama, maka ayah adalah kepala sekolahnya. ;d

    BalasHapus
  9. Ah, benar! Seperti ada pepatah ayah adalah sebuah stasiun dan anaknya adalah masinisnya di masa depan.

    BalasHapus
  10. kangen sama ayah..
    *ambil tisu

    ayahku, ayah nomor 1 di dunia!!
    *ikal mode on

    BalasHapus
  11. Gitu ya?
    Pantes Mira, anak saya, ngirim pesan ini di Twitter: "Happy Fathers's Day, Pap :) Every daughter tends to say her father's tops"

    BalasHapus
  12. sangat inspiratif...
    makasih Sist....

    BalasHapus
  13. Kamu ini nakal kok ternyata masih ada baiknya juuga..! Tooop anak papa yang ini... :-)

    Bersenang-senanglah dengan ayahmu selagi beliau ada. Hiks jadi sedih inget almarhum bapak...

    BalasHapus
  14. Ada yang harus kusyukuri dari papa :-)

    BalasHapus
  15. Terima kasih.
    Kalo hari kakek ada enggak ya?

    BalasHapus
  16. Coba diselenggarakan versi Om Amir :-))

    BalasHapus
  17. angkat empat jempol buat ponakan....

    BalasHapus
  18. kurasa ceritamu pernah aku alami kawan
    hahahahaha :)

    BalasHapus