Jumat, 03 April 2009

Di Atas Rel Mati

Di atas besi tua yang berkarat, yang diam pada jalan berkerikil. Hidup di tengah kesepian yang merajalela pada setiap ikatan sambung rel. Tak dapat berkutik ketika sepur melewati di atasnya. Hanya kepasrahan yang menggesek roda sepur dengan belahan besi tua yang menjadi jalan roda tersebut.

Dia adalah gabungan besi yang bernasib harus demikian adanya. Dia harus tergesek dengan kecepatan sepur. Dicongkel orang. Dijual atau diinjak oleh orang. Dia tak akan pernah menjadi tuan. Selamanya akan menjadi budak. Budak agar orang - orang yang berkejaran dengan waktu dapat dengan cepat menembus harinya.

Mungkin di atas rel itu kosong. Tak ada yang berbicara.

Sekalipun semut yang melintas di atasnya selain sepur.

Semua makhluk boleh melalu-lalang di atasnya. Tak ada yang berhak untuk membatasi keadaan sesungguhnya.

Tak ada yang mengawasi. Seorang tua yang tertatih - tatih berjalan di atasnya. Tanpa membawa apapun. Dia melewati setiap jalan di atas rel itu. Berjalan seperti orang yang hendak datang pada juragannya. Dia membungkukkan punggungnya.

Di ujung sana, sepur telah berjalan dengan cepatnya. Tak ada waktu untuk berhenti.

"Tereeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet......................."

Dia tak berjalan ke pinggir. Entahlah, dia memang ingin mati atau tak mendengar.

"Tereeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet......................"

Dia bahkan diam di tengah.

"Tereeeeeeeeeeeeeeeeeeeet........................"

Sapaan itu. Ah, bukan! Itu bukan sapaan!

Tubuh yang renta itu tak lagi berbentuk. Tak dapat lagi dibedakan mana kepala, badan, tangan, dan kakinya. Pakaiannya telah berlumur darah. Tak ada yang tahu bahwa tubuh renta itu telah dihajar oleh sepur. Tak ada yang tahu siapa dia. Tak ada yang menghampirinya, hanya sekedar mencari atau mengumpulkan bagian - bagian tubuhnya yang memang ingin mati di atas rel. Semutpun juga tidak. Dia hanya lewat dan melihat tubuh yang akan membangkai itu.

Sekalipun dia salah. Sekalipun dia benar. Atau hal apapun.


Tak ada orang yang berbondong - bondong melihat tubuh itu. Tak ada orang yang histeris. Tak ada orang yang mengumpulkan serpih - serpih tubuhnya. Semua diam. Tak ada orang di sekeliling rel itu. Sekedar untuk tahu bahwa ada yang mati. Semua tak tahu bahwa ada yang mati di atas rel.

Sepur itupun tak berhenti. Sekalipun dia telah membunuh seorang yang renta. Sekalipun dia telah salah atau benar. Penumpang yang menjerit histeris hanya menjadi abaian sejenak.

Dia telah mati dalam kesunyian. Pada sunyi yang paling sunyi.

Di atas rel yang juga mati.






Jakarta, setelah klakson sepur terdengar...
4 April 2009 | 10.20
A.A. - Dalam sebuah inisial


Foto: Rel kereta Bogor - Serpong, Banten

32 komentar:

  1. Hehehe... yang waktu itu gue share ke lo
    :-D

    BalasHapus
  2. ''Dia telah mati dalam kesunyian.
    Pada sunyi yang paling sunyi.''

    Hallah mbak, sedih dan dalam sekali.... : (

    BalasHapus
  3. Bunuh diri 'kali ya, gara-gara kagak kebagian BLT?
    Pantesan jumlah orang miskin di Indonesia berkurang!

    BalasHapus
  4. Makanya tanah di Jakarta habis untuk TPU saja :-))

    BalasHapus
  5. bikin orang mikir panjang nie.. artikelnya..

    BalasHapus
  6. kenapa lagi ya...

    *urat lagi error

    BalasHapus
  7. apa bener penumpang kereta bisa sadar kalau kereta yang ditumpanginya sedang menabrak seorang renta? kalau bis mungkin iya...tapi..yahh gak tahu juga ya, lantaran cuma naik seper beberapa kalai saja, itupun disibukan dengan carut marutnya dan bisingnya penumpang

    BalasHapus
  8. Hehehe... bukan artikel, Pak Sensei ;-D

    BalasHapus
  9. Biasanya sadar, Om Damuh... Kereta pasti akan menjadi pelan. Apalagi kalau kereta dalam kota, pasti sadar dan biasanya kereta akan menjadi bergerak lambat bahkan berhenti pada jarak yang jauh. Biasanya keretanya jadi agak labil dalam berjalan.

    Ke mana perginya menggunakan sepur, Om Damuh?

    BalasHapus
  10. Ini beneran terjadi? hiii, pas motret relnya apa nggak serem Ave? Tahu-tahu ada yang njawil dari belakang lho!

    BalasHapus
  11. Ahahahaha... sudah biasa main di rel sana. Jadi ga serem lagi. Paling kalau ada kereta lewat saja :-)

    BalasHapus
  12. Berarti satu-satunya saksi atas kematian "sang tua renta" adalah Nona AA. Siap-siap jadi saksi di Pengadilan Akhirat nanti he...he...
    Btw, cukup menggugah. TFS ya...

    BalasHapus
  13. waktu itu ke Jakarta-Jogja

    cuam beberapa kali saja, karena jarang juga ke Jakarta, dan tentunya jadi pilihan terakhir..hehehehe

    BalasHapus
  14. Rel mati dan penuh misteri
    Manembangkan elegi-elegi yang tak terucap
    Seperti layaknya manusia diantara Lidah Taring dan bibirnya :)

    Tulisannya seep dah ^_^

    BalasHapus
  15. Si AA tidak tahu apa-apa. Dia hanya sebagai imajinator saja...
    Hahaha... mencari-cari alasan agar tidak berurusan dengan pengadilan

    BalasHapus
  16. Jakarta - Jogja? Wah... pasti banyak foto perjalanan!!!
    Ditampilkan, Om Damuh!

    BalasHapus
  17. cukup bergidik membacanya...so far tulisanmu bertambah bagus Ve...keep writing my fren :)

    BalasHapus
  18. sebuah tragedi kemanusiaan yang dianggap biasa oleh banyak orang.
    kebiasaan2 inilah yg akhirnya pelahan mematikan nurani.
    Thx, Av...telah membuka cakrawala hati ini...

    BalasHapus
  19. Benar, Mas Suga. Kadang hal sepele dianggap biasa oleh pola pikir humaniora.
    Terima kasih juga telah singgah

    BalasHapus