Minggu, 19 April 2009

30 April untuk Pramoedya Ananta Toer

30 April untuk Pramoedya Ananta Toer
-Serpihan dari catatan untuk Pramoedya Ananta Toer-


Prolog

Kalau saja lelaki tua yang tak pernah menganggap dirinya adalah tua itu masih hidup, mungkin dia sedang menyulutkan rokok pada mulutnya. Atau jika dia tidak memilih mengakhiri hidupnya pada 3 tahun yang lalu, saat ini dia masih akan membakar sampah di depan rumah yang berdiri enam lantai tersebut.

Ya, dialah lelaki yang tak pernah ingin disebut tua walau waktu telah menganyam sisa hidupnya, Pramoedya Ananta Toer.


Sastra Indonesia dan Pram

Mungkin semua pecinta sasta Indonesia sangatlah mengenal Pram, jadi tak perlu lagi ada penjelasan siapa Pram dan seperti apakah Pram itu. Bahkan ada yang mengenal sosok Pram baik dari luar maupun dari dalam.

Pram tak akan pernah lepas dari sastra Indonesia. Mungkin dia jugalah yang menjadi juru kunci dengan sastra sejarah Indonesia. Bagaimana dia bisa menikahi antara sastra dan sejarah yang biasanya identik dengan kata "menjemukan". Sudah sastra, sejarah pula. Dialah yang berhasil meramukan sastra dan sejarah tanpa menaburkan bumbu kejemuan tersebut.

Yang mengherankan adalah bagaimana bisa dia mengaduk sastra dan sejarah tanpa menaburkan bumbu jemu.

Rasanya, dia patut berterima kasih pada zaman komunisme Indonesia karena tanpa hal itu, mungkinkah lahir buku-buku Pram yang berbau dengan sejarah dan masa-masa yang mempenatkan di Buru. Ataukah mungkin dia bisa menciptakan seorang perempuan feminisme, Minke yang berani memberontak? Saya pikir tidak pernah. Andai saja Pulau Buru tak pernah dia kediamkan, bisakah Bumi Manusia lahir?

Sayangnya, tulisannya tak pernah berhasil dibaca oleh Indonesia pada zamannya. Jilid-jilid bukunya hanya menjadi abu. Malah, tulisannya berhasil keluar dari Indonesia dan diterbitkan dalam berbagai bahasa.

Bumi Manusia dan Tetralogi Buru

33 bahasa. Ya, 33 bahasa yang berhasil menerjemahkan Bumi Manusia. Siapakah yang dapat menyaingi Bumi Manusia yang benar-benar menceritakan sendiri apa yang tak terlintas oleh sejarah Indonesia? Rasanya tak akan ada. Seperti kata Pram sendiri,"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." Ya, lahirnya Bumi Manusia jugalah yang membuat Pram tak pernah terbelah oleh waktu. Pram tak akan pernah hilang dalam sejarah karena dia sendirilah yang mengatakan dan menuliskan bahwa menulis adalah pekerjaan untuk keabadian dirinya.

Bumi Manusia pernah dicanangkan akan dibuat menjadi film, namun sampai sekarang tetaplah dia akan dikenang sebagai novel. Rencana itu mungkin masih akan lama. Tetapi pementasan Nyai Ontosoroh sudah dilakukan di dua belas kota di Indonesia. Ini menjadi bukti besar bahwa Bumi Manusia tetaplah lahir sebagaimana mestinya.

Kegilaan seorang Pramoedya Ananta Toer menulis adalah pembuktian bahwa dia memang tak ingin hilang oleh peradaban masyarakat. Saking menjadikan menulis adalah bagian hidupnya, dia berhasil menceritakan Minke sampai empat babak sekaligus. Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca menjadi bukti autentik atas Pram yang pernah berdiam di Buru dan memfilmkannya dalam kata-kata.

Cinta Pram dan Minke

Kata yang paling mengena dalam Bumi Manusia adalah ketika Jean Marais mengatakan kepada Minke bahwa "Cinta itu indah, Minke, terlalu indah, yang bisa didapatkan dalam hidup manusia yang pendek ini."

Dia menulis dengan cinta, dan karena cinta itulah Minke lahir. Cinta yang menghadirkan Pram menjadi seorang yang tegar untuk ditahan dan dicap sebagai seorang PKI. Bahkan di tengah kepenatannya di Buru, dia dipaksa menulis kepada sang ditkakor dengan kata-kata manis. Dia menangis ketika menuliskan surat balasan untuk sang diktator.

Cinta kepada wanitapun dibuktikan dengan kata-kata pada Jejak Langkah yang diucapkan oleh Minke,"Tanpa wanita takkan ada bangsa manusia. Tanpa bangsa manusia takkan ada yang memuji kebesaranMu. Semua puji-pujian untukMu dimungkinkan hanya oleh titik darah, keringat dan erang kesakitan wanita yang sobek bagian badannya karena melahirkan kehidupan."

Karet Bivak, Pada Akhirnya

Entah dari berapa banyak pemakaman yang ada di muka bumi ini, dia memilih Karet Bivak. Karet Bivak menjadi keabadiannya. Dan dia berangkat ke Karet Bivak dalam sunyinya sendiri, persis seperti apa yang diceritakan dalam Bukan Pasarmalam. "Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang seperti dunia dalam pasarmalam."

Setelah kabar kematian sang Bumi Manusia beredar luas, makamnya seperti tempat pariwisata sendiri. Banyak sekali yang berduyun-duyun datang ke sana, sekedar untuk melihat nisan Pram. Dan di sanalah pasarmalam (Pram menuliskan "pasarmalam" bukan "pasar malam") dibentuk secara tidak sengaja oleh Pram.

Pram untuk Saya

Saya terbelenggu dalam romantika sastra Pram setelah saya yang menjadi seorang petualang di toko buku tanpa sengaja menemukan "Bukan Pasarmalam". Terlintas di pikiran saya ketika membaca tulisan di belakang buku tersebut adalah hubungan seorang ayah dan anak. Lalu apa hubungannya dengan pasarmalam?

Ketika usai membaca Bukan Pasarmalam dalam waktu satu jam, saya langsung berujar, "orang seperti apakah Pram itu?" Gila. Satu jam yang amat menggilakan untuk saya pada saat itu. (Andaikan waktu dapat mendur sehari saja, akan saya catat kapan saya menghabiskan waktu satu jam dengan Bukan Pasarmalam.)

Sejak itulah, saya mengejar dan terus mengejar Pram dalam kata-katanya. Saya menjadi pemburu buku-buku Pram. Dia masuk begitu saja ke dalam hidup baca saya tanpa permisi dan membuatnya jatuh cinta pada setiap kata-katanya.

Untuk saya, Pram adalah guru secara tidak langsung. Dia kaya akan bahasa dan cara menerjemahkan isi pikirannya dengan sejuta estetika. Dia mengajari saya membentuk pola kata di tengah kesulitan dan keterbatasan. Adalah kehadiran Pram di dalam koleksi buku saya menjadi sebuah penghargaan besar untuk saya.

Jutaan terima kasih tetaplah tidak pernah cukup atas ilmu yang disetrumkan kepada saya melalui kata-kata Pram. Mungkin pembaca Pram juga akan mengatakan demikian. Dia bagai setan yang merasuki saya agar tetap membacanya dan terus membacanya. Dia mendongengi tanpa membuat orang tidur, malah membuat orang mati penasaran dengan ceritanya.

Epilog

Mengapa hari ini ada tulisan ini? Ya, genap sudah tiga tahun Pram berpulang. Dan tulisan ini hadir agar mengingatkan saya bahwa saya pernah belajar untuk mencintai sastra Indonesia dan Pram telah berhasil menghiptonis saya dengan kata-kata yang dia rajutkan pada cara yang tak pernah saya ketahui.

Tulisan sederhana ini juga saya persembahkan secara khusus untuk Pram dan untuk siapa saja yang sungguh terjebak dalam keindahan di tengah kesederhanaan kata-kata Pram dan menjadi bukti bahwa masih ada anak muda yang mencintai kata-kata Pram.


A. A. - dalam sebuah inisial
Korban Hipnotis Pram

2 komentar: