Senin, 17 Oktober 2011

Bila Aku Dilarang Menulis

bila aku dilarang menulis, pun itu bukan masalah besar bagiku
aku akan menulis dengan tetes darah sebagai tinta*
dan tembok di muka rumahmu kujadikan kertas tak habis

bila aku dilarang menulis, aku tak akan pernah marah
akan kucabik setiap kata dan menempelkannya di pintumu
biar kau tahu kata-kata itu yang akan memenjarakanmu

bila aku dilarang menulis, aku memilih untuk diam
karena kau tidak akan pernah sadari dari diam itu
jantungmu telah berhenti karena jutaan aksara menyumbat detakmu




*) dari puisi Widji Thukul



Bandung, 18 Oktober 2011 | 01.46
A.A. - dalam sebuah inisial

20 komentar:

  1. Wah tulisanmu kejam hehehe


    SABUDI (sastra budaya indonesia)
    mari kita jaga bersama!

    BalasHapus
  2. Menulis adalah 'laku moral', kata Andreas Harsono.

    BalasHapus
  3. Siaap!

    Menulis dengan darah, menulis dengan rasa, menulis dengan segala cara. Pun ketika mulut-mulut terbungkam dipenjara kekuasaan.

    BalasHapus
  4. Menulis adalah hal 'baik', menulis apapun itu...
    :D

    BalasHapus
  5. Ave, selamat ya sayang, cerpenmu masuk di deretan favorit LMCR 2011 :)
    I know you can do it.
    And better than me.

    BalasHapus
  6. Selamaaaat Te Ave...ajarin Ririn buat cerpen dong...

    BalasHapus
  7. Sastra..
    Tinta..
    Darah..
    *matiin lampu*

    BalasHapus
  8. Bagi saya, menulis menjadi kebebasan. Tak perlu nekat :-)

    BalasHapus
  9. Hahaha... Thank you, Tante Ary.
    You are the best ever in my heart!

    BalasHapus
  10. Nuhun, Mbak. Mari belajar beriringan. :-)

    BalasHapus
  11. Sesungguhnya saya merasa miris untuk menjawab pertanyaan ini, Mbak.
    Silakan googling siapa Widji Thukul itu ya. Terima kasih.

    BalasHapus
  12. Hahaha... Masih terbayang dengan Satin Merah nih. :-))

    BalasHapus
  13. punya temen yang bikin aku ikutan suka puisi2nya blio... puisi2 perlawanan.. hehe

    BalasHapus
  14. Hahaha... Masuk ke era Chairil Anwar lagi, Mbak Fajar. :-)

    BalasHapus