Aku benci dengan cinta.
Entah mengapa sejak peristiwa menyakitkan itu, aku tidak lagi dapat menerima cinta sebagai bagian dari hidup. Aku benci dilahirkan sebagai seorang wanita. Menjadi seorang wanita adalah kesalahan terbesar. Ini bisa saja membuatku menjadi gila tiada tara.
Aku benci dengan darah. Aku benci jika jemariku harus terluka ketika sampai kini aku belum bisa memotong bawang dan darah meneteskan perih yang teramat sangat. Darah dan merah mengingatkanku pada sesuatu. Membuatku menjadi benci kepada cinta.
Walaupun pada hakikinya, cinta memang tercipta untuk manusia dapat hidup secara damai, cinta bisa saja menjadi begitu naif dan munafik. Menjadi sosok yang dapat mengkhianati hati insani lainnya. Ketika itu, barulah kita tersadar. Memang cinta menjadi sangat menyakitkan untuk dikecap.
Aku benci dengan tablet. Menurutku, dia bukanlah menyembuhkan melainkan membuatku menjadi nyaris mati. Ya, baru nyaris. Belum mati, bukan?! Ketika dia masuk ke dalam tubuhku, dia menghancurkan sel-sel tubuh yang berfungsi dan tidak. Akh, itu belumlah seberapa. Aku pernah nyaris mati untuk peristiwa yang paling menyakitkan itu.
"Dua juta."
"Semahal itu?"
"Lha, kalian sudah terlambat. Sudah terlalu besar."
"Satu juta, bagaimana?"
"Resikonya terlalu besar. Tambah lima ratus lagi."
Satu juta rupiah. Kami sudah mendapatkanya. Hasil dari penjualanan seluler kami dan penghematan ongkos kami. Sisanya, dia mengatakan dia akan meminjam dari sana sini. Aku cukuplah menjalankannya saja.
Beberapa tablet harus kuteguk dengan air. Andai, andai, andai sperma itu tidaklah keluar dari tubuh lelaki itu dan masuk ke dalam jendela vaginaku. Andai saja sperma itu tidak membuahi sel telur yang ada di dalam rahimku, aku tidak perlu berhadapan dengan seorang yang asing bagiku. Sangat asing.
"Santai saja, jangan tegang. Semua akan baik-baik saja."
Baik-baik saja? Semudah itukah? Tak pernah terpikirkan bagaimana rasanya lima bulan aku menutup mulutku. Menyembunyikan rahasia di antara kita sampai kita cukup memiliki uang untuk menamatkan ceritera janin di dalam rahimku ini. Untukmu, semua itu mudah. Coba sedari dulu kalau kau tahu semua akan seperti ini, akankah kita perbuat semua itu?
Persetan kalau kau meminta maafku saat iitu. Toh, semua sudah terjadi. Spermamu telah membuahkan zigot di dalam rahimku dan akan lahir. Entah apapun wujudnya, dia tetap anakmu. Anakku. Anak yang kita tak pernah rencanakan.
Aku menurut saja sesuai dengan apa yang diperintahkan bidan yang dicari olehnya untuk membereskan semua perkara di antara kita. Selama ada uang, semua bisa terlaksana dengan baik, katanya. Aku benci dengan perkataannya itu. Iblis, geramku dalam hati. Aku mengumpat dalam hati di depannya. Ingin kuludahi saja air wajahnya yang tak menampakkan wajah bersalah dan menurutnya semua hal bisa dinilai dengan uang.
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Sang bidan memasukkan sesuatu alat ke dalam untuk menyentuh janin itu. Sambil menekan perutku, dia menyibukkan diri dengan alat-alat yang ada di tangannya. Air mata meleleh dari mataku. Antara rasa sakit, dendam, kesal, benci, dan dosa melebur dan menguap dalam air mata itu.
"Tunggu kontraksi."
"Berapa lama?"
"Satu atau dua jam lagi."
Gila, kami sudah gila. Membentuk satu sosok manusia dan membunuhnya sebelum dia menjadi utuh. Ini bukanlah persalinan membahagiakan, melainkan sebuah dosa yang -mungkin- Tuhan tak akan mengampuninya.
Satu setengah jam sudah, aku mulai merasakan sesuatu. Rasa sakit semakin bergemuruh di dalam perutku. Bidan semakin kencang menekan perutku. Ya, perlahan dari rahimku keluarlah kepala dan tubuh dari hasil hubungan itu.
Rasanya? Aku tak tahu lagi bagaimana menceritakannya.
Sisa pembayaran sudah dilunasi dan semua perkara dianggap beres. Aku, dia, dan sang bidan tak lagi ada hubungan apapun. Tak perlu ada kontak lagi. Aku dan dia? Kami memutuskan semua diakhiri sampai di sini.
Namun, malam harinya aku merasakan sakit teramat sangat. Nyeri tak lagi tertahankan oleh tubuhku ini. Perlahan aku mulai merasakan sesuatu keluar, membasahi kakiku. Mengalir perlahan. Basah.
Merah. Baunya khas. Darah.
Di atas ranjang, darah itu bermuara semakin besar. Membuat lingkaran merah besar di atas seprai. Aku terperanggah menatapi semua itu. Ah, bukan mimpi. Rasa sakit dan darah yang semakin deras mengalir serempak membuatku tak berdaya lagi.
"Ibuuuu..."
Adik perempuanku berteriak. Entah, di mana lagi saat itu aku berada. Yang jelas, ketika aku terbangun, tangan kiriku sudah tertancap jarum infus dan tak lagi ada lingkaran merah di atas ranjang.
"Apa yang kau perbuat, nak? Kenapa tak jujur kepada orang tuamu?"
Tak ada sambutan hangat ketika aku terbangun. Puluhan pertanyaan yang menyerangku hanya sanggup kujawab dengan isak tangis. Tak ada lelaki itu, lelaki yang memaksaku untuk mengakhiri peristiwa itu dengan demikian. Ya, semua akan baik-baik saja. Baik-baik saja untukmu dan tidak untukku.
Aku benci kepada cinta.
Karena cintalah yang membuat keadaan menjadi tidak lagi indah. Seperti cerita kebanyakan orang, cinta adalah sesuatu yang indah untuk dirasakan dan dinikmati. Aku tidaklah lagi merasakan itu. Menurutku cinta adalah pembunuh waktuku dan menjadi nestapa sepanjang masa. Karena cinta, aku telah menjadi seorang pembunuh. Karena cinta, aku melihatnya semua dari sisi yang gelap.
Aku benci kepada cinta.
Karena dia yang membuatku benci melihat darah dan merah. Benci terhadap diriku sendiri.
Dan cinta itu tidaklah senikmat apa yang terungkap di lidah.
Jakarta, 21 Maret 2010 | 22.17
AA - dalam sebuah fiksi berinisial
Entah mengapa sejak peristiwa menyakitkan itu, aku tidak lagi dapat menerima cinta sebagai bagian dari hidup. Aku benci dilahirkan sebagai seorang wanita. Menjadi seorang wanita adalah kesalahan terbesar. Ini bisa saja membuatku menjadi gila tiada tara.
Aku benci dengan darah. Aku benci jika jemariku harus terluka ketika sampai kini aku belum bisa memotong bawang dan darah meneteskan perih yang teramat sangat. Darah dan merah mengingatkanku pada sesuatu. Membuatku menjadi benci kepada cinta.
Walaupun pada hakikinya, cinta memang tercipta untuk manusia dapat hidup secara damai, cinta bisa saja menjadi begitu naif dan munafik. Menjadi sosok yang dapat mengkhianati hati insani lainnya. Ketika itu, barulah kita tersadar. Memang cinta menjadi sangat menyakitkan untuk dikecap.
Aku benci dengan tablet. Menurutku, dia bukanlah menyembuhkan melainkan membuatku menjadi nyaris mati. Ya, baru nyaris. Belum mati, bukan?! Ketika dia masuk ke dalam tubuhku, dia menghancurkan sel-sel tubuh yang berfungsi dan tidak. Akh, itu belumlah seberapa. Aku pernah nyaris mati untuk peristiwa yang paling menyakitkan itu.
"Dua juta."
"Semahal itu?"
"Lha, kalian sudah terlambat. Sudah terlalu besar."
"Satu juta, bagaimana?"
"Resikonya terlalu besar. Tambah lima ratus lagi."
Satu juta rupiah. Kami sudah mendapatkanya. Hasil dari penjualanan seluler kami dan penghematan ongkos kami. Sisanya, dia mengatakan dia akan meminjam dari sana sini. Aku cukuplah menjalankannya saja.
Beberapa tablet harus kuteguk dengan air. Andai, andai, andai sperma itu tidaklah keluar dari tubuh lelaki itu dan masuk ke dalam jendela vaginaku. Andai saja sperma itu tidak membuahi sel telur yang ada di dalam rahimku, aku tidak perlu berhadapan dengan seorang yang asing bagiku. Sangat asing.
"Santai saja, jangan tegang. Semua akan baik-baik saja."
Baik-baik saja? Semudah itukah? Tak pernah terpikirkan bagaimana rasanya lima bulan aku menutup mulutku. Menyembunyikan rahasia di antara kita sampai kita cukup memiliki uang untuk menamatkan ceritera janin di dalam rahimku ini. Untukmu, semua itu mudah. Coba sedari dulu kalau kau tahu semua akan seperti ini, akankah kita perbuat semua itu?
Persetan kalau kau meminta maafku saat iitu. Toh, semua sudah terjadi. Spermamu telah membuahkan zigot di dalam rahimku dan akan lahir. Entah apapun wujudnya, dia tetap anakmu. Anakku. Anak yang kita tak pernah rencanakan.
Aku menurut saja sesuai dengan apa yang diperintahkan bidan yang dicari olehnya untuk membereskan semua perkara di antara kita. Selama ada uang, semua bisa terlaksana dengan baik, katanya. Aku benci dengan perkataannya itu. Iblis, geramku dalam hati. Aku mengumpat dalam hati di depannya. Ingin kuludahi saja air wajahnya yang tak menampakkan wajah bersalah dan menurutnya semua hal bisa dinilai dengan uang.
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Sang bidan memasukkan sesuatu alat ke dalam untuk menyentuh janin itu. Sambil menekan perutku, dia menyibukkan diri dengan alat-alat yang ada di tangannya. Air mata meleleh dari mataku. Antara rasa sakit, dendam, kesal, benci, dan dosa melebur dan menguap dalam air mata itu.
"Tunggu kontraksi."
"Berapa lama?"
"Satu atau dua jam lagi."
Gila, kami sudah gila. Membentuk satu sosok manusia dan membunuhnya sebelum dia menjadi utuh. Ini bukanlah persalinan membahagiakan, melainkan sebuah dosa yang -mungkin- Tuhan tak akan mengampuninya.
Satu setengah jam sudah, aku mulai merasakan sesuatu. Rasa sakit semakin bergemuruh di dalam perutku. Bidan semakin kencang menekan perutku. Ya, perlahan dari rahimku keluarlah kepala dan tubuh dari hasil hubungan itu.
Rasanya? Aku tak tahu lagi bagaimana menceritakannya.
Sisa pembayaran sudah dilunasi dan semua perkara dianggap beres. Aku, dia, dan sang bidan tak lagi ada hubungan apapun. Tak perlu ada kontak lagi. Aku dan dia? Kami memutuskan semua diakhiri sampai di sini.
Namun, malam harinya aku merasakan sakit teramat sangat. Nyeri tak lagi tertahankan oleh tubuhku ini. Perlahan aku mulai merasakan sesuatu keluar, membasahi kakiku. Mengalir perlahan. Basah.
Merah. Baunya khas. Darah.
Di atas ranjang, darah itu bermuara semakin besar. Membuat lingkaran merah besar di atas seprai. Aku terperanggah menatapi semua itu. Ah, bukan mimpi. Rasa sakit dan darah yang semakin deras mengalir serempak membuatku tak berdaya lagi.
"Ibuuuu..."
Adik perempuanku berteriak. Entah, di mana lagi saat itu aku berada. Yang jelas, ketika aku terbangun, tangan kiriku sudah tertancap jarum infus dan tak lagi ada lingkaran merah di atas ranjang.
"Apa yang kau perbuat, nak? Kenapa tak jujur kepada orang tuamu?"
Tak ada sambutan hangat ketika aku terbangun. Puluhan pertanyaan yang menyerangku hanya sanggup kujawab dengan isak tangis. Tak ada lelaki itu, lelaki yang memaksaku untuk mengakhiri peristiwa itu dengan demikian. Ya, semua akan baik-baik saja. Baik-baik saja untukmu dan tidak untukku.
Aku benci kepada cinta.
Karena cintalah yang membuat keadaan menjadi tidak lagi indah. Seperti cerita kebanyakan orang, cinta adalah sesuatu yang indah untuk dirasakan dan dinikmati. Aku tidaklah lagi merasakan itu. Menurutku cinta adalah pembunuh waktuku dan menjadi nestapa sepanjang masa. Karena cinta, aku telah menjadi seorang pembunuh. Karena cinta, aku melihatnya semua dari sisi yang gelap.
Aku benci kepada cinta.
Karena dia yang membuatku benci melihat darah dan merah. Benci terhadap diriku sendiri.
Dan cinta itu tidaklah senikmat apa yang terungkap di lidah.
Jakarta, 21 Maret 2010 | 22.17
AA - dalam sebuah fiksi berinisial
Rada Miris bacanya
BalasHapusaku suka cerita ini!
BalasHapusdan pengolahan katanya,luar biasa!! seperti biasa, you always did well :)
BalasHapuskurang "greget" deh mbak.
BalasHapusKisah tentang illegal abortion?
BalasHapuswoow sisi gelap 'cinta' atau Love...
BalasHapusthe other side of love, like it!
BalasHapusTanpa sengaja kalau sampai mengiris :-))
BalasHapusTerima kasih Mbak Marie
BalasHapus*Tersipu malu*
BalasHapusKalau terlalu greget, nanti jadi gregetan :-))
BalasHapusTerima kasih Mbak Arie
Bisa dikatakan demikian, Om Amir
BalasHapusLove or money? Hahaha... :-))
BalasHapusThank you Mbak Derai
BalasHapustak perlu benci enjadi wanita!
BalasHapusbila cinta tak bermakna nafsu!
SABUDI (sastra udaya indonesia)
mari kita jaga bersama!
Hakekat tertinggi seorang wanita tak dapat dipermainkan begitu saja :-)
BalasHapusemang apa haknya?
BalasHapusSABUDI (sastra udaya indonesia)
mari kita jaga bersama!
Hakekat dan hak definisinya berbeda, Mas...
BalasHapusmang apa hakekat tertingginya wanita?
BalasHapusSABUDI (sastra udaya indonesia)
mari kita jaga bersama!
Ketika dia menjadi seorang wanita.
BalasHapuslha iya hakekatnya apa? *kok jd kayak ngotot ya*
BalasHapusSABUDI (sastra udaya indonesia)
mari kita jaga bersama!
Ketika wanita memiliki apa yang tidak bisa dimiliki pria atau yang dapat dilakukan pria tetapi tidak dengan sebaliknya. Seperti melahirkan, rasa sayang yang berlimpah, bekerja sambil mengurus rumah tangga, bahkan berperang.
BalasHapussegala yg berbau darah...apalagi kl lihat bayi lahir....hiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
BalasHapusemm itu ya.. nah bersyukurlah kl bgitu..
BalasHapusSABUDI (sastra udaya indonesia)
mari kita jaga bersama!
Trauma atau phobia, Mas? Hahaha... :-))
BalasHapusNanti di cerpen berikutnya kubuat dia bersyukur hahaha... :-))
BalasHapusdasar!
BalasHapusSABUDI (sastra udaya indonesia)
mari kita jaga bersama!
Ampun, Mas Mus...
BalasHapus*lariiii...*
sulit membedakan keduanya...
BalasHapussudah teraduk dalam bawah sadar
:)
Hehehe... padahal keduanya tidaklah sama.
BalasHapusbeda-beda tipis.... namun nyata dan bisa dirasakan....
BalasHapusTermasuk Agrippina yang merupakan juragan nanas hahaha... :-))
BalasHapushahahaaha........
BalasHapusjadi gak enak.....
Aku yang punya nama saja tak pernah terlintas sampai ke sana.
BalasHapusAsli, kreatif habis! :-))
Cinta yang jahad ato manusia yang jahad kepada cinta ya ?
BalasHapusTergnatung situasi
BalasHapussebagian orang menganggap cinta itu tidak indah karena pernah mengalami sakit dan pedihnya akibat cinta.
BalasHapussebagian orang telah berhasil membuat cinta itu indah karena mereka hidup bahagia ^_^
*baca ini perut aku jadi mules :))
Nah, cinta itu tak beda sebagai dua sisi mata uang yang saling bertolak belakang.
BalasHapushmmmm..............
BalasHapuspada dasarnya cinta adalah kamuflase, cinta merupakan relasi kuasa dimana hubungan2 yang dijalin dlm mekanisme cinta adalah mekanisme untuk saling menguasai antara satu pihak kepada pihak lain yang didasari motif2 kepentingan dibaliknya. Motif yang paling sederhana adalah karena menginginkan harta dan kenikmatan seksual. Motif-motif inilah yang sesungguhnya eksis.
BalasHapusContoh lain bahwa di balik “panggung depan” cinta ada sebuah backstage yang dipenuhi motif-motif kepentingan adalah evolusi dari cinta itu sendiri, yang mana pada titik tertentu mengalami perubahan (bagi beberapa orang perubahan ini dikatakan sebagai peningkatan, bagi yang lain adalah degradasi), yaitu evolusi cinta menjadi tugas, tugas untuk memenuhi hak dan menjalankan kewajiban, dan perubahan ini bukan hanya pada “kostum”-nya saja tapi juga diiringi dinamika perubahan pada pola kepentingan-kepentingan menuju lebih kompleks; seperti nafkah dan perlindungan.
Tapi kenapa salah satu bentuk relasi kuasa yang dinamakan cinta ini tidak pernah berhenti digemari? karena kuasa cinta telah menguasai dan mendisiplinkan jiwa dan raga seorang pencinta, sehingga mereka terjangkit dan sakit namun tak ingin diobati dan disembuhkan.