Hari ini sebelas tahun lalu:
Sedang apa kau, sayang?
aku bermain senapan di depan DPR
aku bermain orasi di atas mimbar
aku bermain gas air mata di muka MPR
siapakah perduli?
aku yang akan dijerang peluru
aku yang akan berdarah jadikan mati
aku yang tergeletak di tengah Gatot Soebroto
selamatkah engkau?
dari huru hara itu
dari amukan itu
dari atas nama reformasi
engkaukah itu?
yang menjadi jenazah
yang masih berlarian
yang berdiri di mimbar
akankah kau kenang itu?
semua kematian yang jadinya kisah
semua perjuangan kita jadinya angan
semua tragedi hidup jadinya air mata
apa yang akan diwariskan pada mereka?
sebuah cita-cita atas reformasi
sebuah kemenangan untuk demokrasi
sebuah harapan yang jadikan mimpi adanya
Hari ini sebelas tahun lalu
akankah sejarah mencatatnya?
Jakarta, 13 Mei 1998 - 13 Mei 2009
wah, puisi yang bagus banget,
BalasHapuskarya siapa nih Av ?
Terima kasih Mas Utara...
BalasHapusYang menulisnya pun tak tahu siapa :-))
sejarah mencatat.. mereka yang membunuhi orang pada hari itu.. akan bersiap menuju kursi kuasa dinegeri ini, sementara ibu dan anak terpisah tak jelas kemana pergi dan mengapa mati... sementara ratusan orang menjadi gila dan kehilangan segalanya, tak pernah terungkap kebenaran siapa pelakunya dan mengapa mereka diserang?
BalasHapusAkulah yang akan mewarisi catatan sejarah itu kepada generasi-generasi berikutnya yang semakin lama akan semakin melupakan hal itu. Calon bapak mati diterjang peluru otoriter. Perempuan - perempuan terpaksa diperkosa demi nafsu pada waktu yang salah. Orasi demi kebaikan rupanya tak bisa diterima, mereka lebih memilih perang dengan senjata, dengan air mata.
BalasHapusaku sih biasa saja soal orang orang yang mati itu, karena kalau kagak ada yang mati dalam peristiwa itu, mungkin sekarang lebih banyak lagi yang mati kelaparan karena soeharto tetap berkuasa, bahkan kita ngomong pun tidak bisa seenak seperti sekarang..
BalasHapusperjuangan yang besar, selalu meminta korban yang besar juga
yang salah itu kita semua, hasil perjuangan besar itu, tidak membawa perubahan berarti, kita semua ini adalah manusia manusia tidak tahu diri
Mas Utara, sulit menyalahkan itu salah siapa. Mereka rakus harta, kita juga akan makan. Manusia itu akan selalu egois sepanjang hidupnya. Dia tak akan merasa cukup dan cukup dengan apa yang dia miliki saat ini. Mungkin mereka pikir rakyat adalah orang bodoh yang semudah itu untuk terus dikeruk demi pembangunan. Bapak pembangunan? Soeharto? Dia sutradara dan rakyat adalah pemainnya.
BalasHapusbagus tidak nya sebuah film sangat tergantung dari sutradaranya..
BalasHapuslihat aja mahatir muhammad ketika menjadi sutradara film malaysia selama 18 tahun, mampu membuat ribuan rakyat indonesia jadi babu, pelacur dan budak disana...
Indonesia masih terlalu muda untuk hal ini. Indonesia merdeka lebih dahulu tetapi tak dapat mengalahkan Malaysia. Indonesia itu tak ayalnya seorang yang akan mencari matahari ketika lampu tak ada. Dia baru kalang kabut ketika semua dirajam oleh bahaya, baru peka ketika matanya akan dicucukkan timah.
BalasHapusaarrrgghhh,...menoreh luka hati...
BalasHapuskisah tentang tirani...
semoga tidak terulang....:(
btw....tulisan kamu manteb....
BalasHapuskeep on going...
Mengerikan sekaligus memilukan jika mengingat lembaran hitam semacam itu.
BalasHapusSaat itu, Mbak Re di Jakartakah? Pasti tahu hal ini yang mengguncang.
Terima kasih Mbak Re...
BalasHapusTulisan ini masih sangat sederhana, tak seluruhnya sempurna
ha..ha..ha..
BalasHapuskamu baca buku sejarah lagi dah, 30 tahun lalu, malaysia mengemis ke indonesia minta di ajarin, bahkan sampai saat ini, malaysia masih banyak menggunakan orang indonesia yang pinter dan berkualitas untuk membangun negaranya..
kelebihan malaysia adalah, sang Sutradara sangat tahu menempatkan setiap aktor dengan bidangnya masing masing (baca : setiap permasalahan diberikan kepada yang ahlinya)
Kalau Mas Utara mau tahu, sejarah tak pernah mencatat hal semacam ini. Sebenarnya ini adalah sejarah kelam bangsa Indonesia. Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan dalam bukunya Jalan Pos, Jalan Daendles: "Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain."
BalasHapusSejak zaman Belanda, memang rakyat Indonesia sudah diperbudaki. Jadi, maukah kita diperbudaki juga?
pagi2 udah puisi
BalasHapuskatany mau dibuat cerpen?
waktu itu gw masih di pekanbaru, blm di jakarta
BalasHapustapi gw tau kejadian ini
Novelpun kalau diriku mampu akan kuhajar!!!
BalasHapusHahaha... siapkan saja waktunya.
Sejarah kelam bangsa ini, masihkah akan diingat?
BalasHapusmau uu loh
BalasHapusinget tuh
Sudah kusiapkan senjata untuk menempurnya :-))
BalasHapusbagus.. bagus..
BalasHapustinggal ngajarin gw
Beres!!!
BalasHapusSayang ya... cita2 reformasi itu jadi begini.
BalasHapusTetap tak mampu membongkar tirani.
ya aku di jkt....hmmm,secara ga terlibat langsung..
BalasHapustapi bisa merasakan perih hati mereka para ortu yang anak2 mereka jadi korban...
Reformasi yang dijuangkan sebatas kematian...
BalasHapusJadikannya sia-sia saja jika tak bisa dinikmati
Kalau pernah baca buku Kick Andy:Kumpulan Kisah Inspiratif (Gantyo Koespradono), itu ada serpihan cerita seorang ibu yang mencari anaknya yang terjebak di Yogya Mall. Anaknya meninggal terbakar ketika menolong orang lainnya yang sama-sama terjebak.
BalasHapusTragis!
iya aku pernah baca..sekilas...ga kuat bacanya...
BalasHapusastaga membayangkan perasaan mereka saat itu...sakiiiit banget yah....
*Mencari sapu tangan*
BalasHapusSEjarah mesti mencatatnya...
BalasHapustapi reformasi yg di kumandangkan tak akan menemukan makna..
Sampai kapanpun... Sulit untuk mencarinya
BalasHapussebenarnya bisa Av... dengan jalan revolusi..
BalasHapusReformasi memakan korban
BalasHapusRevolusi haruskah bagai Hitler?
tidak harus memakan korban bila seluruh komponen legowo
BalasHapusKapan Om Roeb menuju jajaran kepresidenan untuk memperbaiki? :-)
BalasHapusKita butuh sesuatu yang dapat mengubah Indonesia
sepertinya tinggal kenangan, gaungnya mulai melamah menuju kecarut-marutan
BalasHapusbanyak yang memetik buahnya, dari ladang yang mereka tanam
sementara mereka tetap menjadi pupuknya
celakanya,
yang membeli buahnyapun mengamininya
Ini sejarah! Ini sejarah! Sejarah yang tak pernah tercatat dalam buku sejarah...
BalasHapusCatatan hitam yang paling hitam dalam reformasi
11 Tahun berlalu.
BalasHapusYang jadi tumbal cuman pelaku kelas teri doang!
Kelas kakap butuh untuk digulai :-)
BalasHapuspenipuan bangsa pada generasi
BalasHapusmanipulasi basi
Maka itu... suatu tahun nanti, ini tinggal kenangan, bukan jadi sejarah!
BalasHapuslangsung dibomb hilang semua deeh tuh orang ..haha
BalasHapusBagus
BalasHapusKeren
Beken
Seep lah pokoknya :)
Ide yang (tidak) bagus, Mas Sinyo
BalasHapusTerima dan kasih Mbak Dewi...
BalasHapusSelamat sore...
jadi ingat jaman2 awal kuliah dulu...ketika musim huru hara....
BalasHapusMengerikan, menggetarkan, menakutkan.
BalasHapusIkut demo juga, Mbak Dessy?
disadari atau tidak, sekarang yang kita tuai adalah hasil dari perjuangan saat reformasi dulu
BalasHapusSekarang adalah serpihannya. Catat hal itu dalam sejarah, bukan diabaikan.
BalasHapussore juga Ave
BalasHapusJogja hujan ni :D
Jakarta mendung...
BalasHapus*) Jadi reportase cuaca :-))
hihihihi.....
BalasHapusHujan membawa kedamaian
Setelah seharian panas, walo hujan sekejab rasanya memberikan kesejukan kok ^_^
Itulah salah satu fungsi hujan yang tidak tercatat dalam pembelajaran IPA dan Geografi
BalasHapus*nyatet*
BalasHapusPrasastikan dalam sejarah...
BalasHapusterimakasih atas kunjungannya... :)
BalasHapusTerima kasih juga...
BalasHapusbuku sejarah dicatat oleh jemari yang berkepala
BalasHapusmuatan sejarah dipahami oleh kepala yang berotak
kebenaran sejarah diwadahi oleh manusia yang berhati
jiwa-jiwa semesta bertarung mengemukakan sejarah
dengan mengirim buku bersampul, berstempel dan penuh sumpah bebas kebohongan
tapi sejatinya sejarah adalah apa yang dilahirkan oleh bumi dan diasuh oleh langit dan...
dibesarkan di awang-awang.
di awang-awang...
mengawang
di awang-awang...
Terima kasih untuk jawabannya di FB
BalasHapusHahaha...