Senin, 18 Mei 2009

Bapak

Betapa malunya aku ketika pada akhirnya Bapak menerima pekerjaan sebagai seorang badut. Aku sudah membayangkan apa yang akan terjadi kelak. Aku sudah mencoba melarang Bapak agar jangan menerima pekerjaan itu dan cobalah hendaknya mencari pekerjaan lain yang tidak memalukan semacam demikian.

"Besok Bapak jadi badut."

Ketika Bapak mengatakan hal itu, terbesit di benakku bahwa aku akan dipermalukan di depan orang banyak. Apakah yang dapat dibanggakan dari pekerjaan seorang badut? Dia hanya sebagai mainan anak-anak saja dan menghibur orang. Dipukuli dan harus berpeluh keringat di dalam topengnya itu.

"Bapak tak ada pekerjaan lain selain menjadi badut?"

"Ini hanya sementara saja."

"Walau sementara, menjadi badut itu memalukan, Pak!"

"Bapak tahu hal itu. Pekerjaan ini sampai Bapak mendapatkan pekerjaan yang lebih baik."

Kata-kata penghiburan demikian tak cukup memuaskan hatiku. Walau berkali-kali Bapak menekankan bahwa ini hanya sementara saja, aku merasa menjadi badut tetaplah memalukan. Dia harus berada di balik topeng dan mencoba melucu. Kalau tak lucu, dia harus menerima celaan dari anak-anak dan orang yang kecewa. Dengan hidung merah dan rambut yang bukan hitam, dia berjalan ke sana kemari dengan kostumnya.

"Pak... carilah kerja yang lain."

Sewaktu pelajaran mengarang, guruku memaksa kami semua agar menceritakan pekerjaan ayah kami masing - masing. Jantungku berdegup. Pikiranku hanya ada "Bapakku badut". Aku akan menembokki mukaku dengan beton yang benar-benar dapat menahan malu dalam hal apapun.

Sialnya, pagi hari itu, akulah yang pertama dipilih untuk menceritakan pekerjaan Bapak. Sudah kutemboki muka ini dengan tembok yang berlapis tanpa perlu dilihat orang banyak.

Tetapi... rasa malu tetap saja ada.

"Bapak... ehm... ehm..."

"Bapakku... ehm... ehm..."

"Kenapa gagap begitu, Ndi?" tanya guruku. Dia tak melihat bahwa kakiku sedang bergetar hebat.

"Bapakku... ehm... ehm... se... se... seorang... seorang badut."

Gagap gempita kelas menggelegar dari berbagai sudut. Mereka tertawa sampai perut mereka sakit setelah mengetahui bahwa Bapakku seorang badut. Tembok yang kubuat di mukaku rasanya kurang tebal. Tetap saja aku menitihkan air mataku di depan mereka yang tak hentinya tertawa. Aku menunduk bagai orang yang mengheningkan cipta.

"Kamu kok menangis?"

***

Akhirnya setelah setahun Bapak menjadi badut, dia memperoleh pekerjaan baru. Kini dia tak lagi berlapis topeng, melainkan berlapis seragam bersih. Gagah ketika dia memakainya. Akupun sangat bangga bukan kepalang melihat Bapakku seperti itu sekarang.

Aku tak tahu apa pekerjaan Bapak sekarang.

Kurasa Bapak menjadi seorang karyawan di perusahaan besar. Duduk di kursi dan memegang pen di tangan kanannya. Dia akan memiliki gaji yang sangat besar. Aku bisa meminta apapun dari Bapak.

Ketika aku liburan sekolah, aku bermain di depan rumah. Mobil putih bertuliskan "Ambulance" berhenti tepat di depan rumahku. Seorang lelaki turun dari mobil itu dan menemui ibu. Entah mereka membicarakan apa dan tak berapa lama ibu menjerit histeris. Seketika itu pula aku berlari kepada ibu. Tetangga mulai berkerumun di depan rumahku.

Sesosok orang terbungkus kain kafan dimasukkan ke dalam rumah.

Kudengar seseorang mengucapkan di telingaku,"Bapakmu meninggal setelah mengelap kaca dan terpeleset dari lantai tujuh."

Tubuhku mendadak dingin dan air mata meledak seperti aku menceritakan Bapak seorang badut.




Jakarta, 18 Mei 2009 | 19.31
A.A. dalam sebuah inisial

33 komentar:

  1. Ingat bapak.. ingat dosa yang telah terbuat

    BalasHapus
  2. ingat sebuah cerita tentang bapak yang tukang batu? sederhana... menyentuh..(yang ini belum)
    keep on writing.. ave, makin asyik kok..

    BalasHapus
  3. Bukan bermaksud untuk membuka kisah lama, Bang Eko :-)

    BalasHapus
  4. Seorang tukang batu? Yes... I remember.
    Ini hanya cerita sekilas saja kok hehehe...
    Terima kasih Tante Cici

    BalasHapus
  5. andai ada tombol Like, tentu akan aku klik untuk cerita ini..

    BalasHapus
  6. cerita yang mengharukan
    seorang bapak yang bertanggung jawab kepada keluarga,
    ga perduli apa kerjaannya yang penting halal..
    sebagai seorang anak klu ada rasa malu itupun hal yang wajar ,
    musibah akhirnya yang mendewasakan sang anak...

    nice posted Av....two thumbs up...!

    BalasHapus
  7. Sayangnya ini bukan Facebook, ini Multiply.
    Terima kasih Kang Jenk (kok namanya masih "Jenk"?)

    BalasHapus
  8. Terima kasih banyak... terima kasih, Mbak Re...
    Haduh... lupa kasih suguhan jadinya...

    BalasHapus
  9. wah, keren dik, gak kebayang kahirnya seperti itu, salut

    maka, jadikan berarti yang ada sekarang, apapun

    BalasHapus
  10. Terima kasih, Om Damuh...
    Begitulah semua ketika padi sudah menjadi nasi

    BalasHapus
  11. kalau padi dah jadi nasi cukup bermanfaat dik
    hehehee

    BalasHapus
  12. Seyogyanya kita harus bangga dengan pekerjaan bapak kita, sepanjang beliau bekerja pada jalan yang benar.

    BalasHapus
  13. Cerita ini menyentuh Ave :)
    Sayangnya aku dah kehilangan babeku sejak kelas 3 SD he he he....
    Berbahagialah yang masih ber ayah hingga sekarang ^^
    Makasih ceritanya Ave

    BalasHapus
  14. Kenapa musti malu sih?
    Sekarang malahan banyak pejabat yang tingkah lakunya kayak badut.
    He he he!

    BalasHapus
  15. bagus sekali ceritanya,berharap bukan kenyataan

    BalasHapus
  16. Tapi ga bisa balik jadi padi lagi
    Hehehe...

    BalasHapus
  17. Sebelum semua terlambat, sesungguhnya...

    BalasHapus
  18. Pasti terlalu lama ga pulang
    Hehehe...

    BalasHapus
  19. Terima kasih Mbak Dewi telah lagi dan lagi masuk ke sini dan tersesat di sini :-)

    BalasHapus
  20. sebuah imajinasi yang sangat sempurna,
    air mata tertuang kembali, setelah yang pertama kali ditertawakan teman2nya, kini mesti berurai air mata kembali setelah melihat kematian ayahandanya
    :)

    BalasHapus
  21. ceritanya bagus (sorry saya ga bisa ngerangkai kata2, jadi komennya cuma segitu)

    BalasHapus
  22. merinding bacanya....nice story.

    sebuah pekerjaan yang halal apalagi mampu membuat orang senang sedangkan dalam hati si badut belum tentu dia senang tapi harus berpura-pura dibalik topengnya yang selalu ceria. andaikan kita tahu wajah seperti apa dibalik topeng yang ceria itu, pasti kita akan bersyukur.

    lebih baik menjadi badut daripada sama sekali tak bekerja.

    BalasHapus
  23. Hmmm.... tulisan yg bagus.
    Full moral story

    BalasHapus
  24. Sepatutnya ada yang dapat diambil dalam kesederhanaan ini, Mas Suga
    Terima kasih...

    BalasHapus
  25. Kita tak pernah tahu seberapa ceriakah badut itu di balik paras wajah lucunya itu...

    BalasHapus
  26. kenapa itukan pekerjaan yg halal

    dan mendapatkan pahalalagikarena membahagiakan seseorang

    BalasHapus