Betapa malunya aku ketika pada akhirnya Bapak menerima pekerjaan sebagai seorang badut. Aku sudah membayangkan apa yang akan terjadi kelak. Aku sudah mencoba melarang Bapak agar jangan menerima pekerjaan itu dan cobalah hendaknya mencari pekerjaan lain yang tidak memalukan semacam demikian.
"Besok Bapak jadi badut."
Ketika Bapak mengatakan hal itu, terbesit di benakku bahwa aku akan dipermalukan di depan orang banyak. Apakah yang dapat dibanggakan dari pekerjaan seorang badut? Dia hanya sebagai mainan anak-anak saja dan menghibur orang. Dipukuli dan harus berpeluh keringat di dalam topengnya itu.
"Bapak tak ada pekerjaan lain selain menjadi badut?"
"Ini hanya sementara saja."
"Walau sementara, menjadi badut itu memalukan, Pak!"
"Bapak tahu hal itu. Pekerjaan ini sampai Bapak mendapatkan pekerjaan yang lebih baik."
Kata-kata penghiburan demikian tak cukup memuaskan hatiku. Walau berkali-kali Bapak menekankan bahwa ini hanya sementara saja, aku merasa menjadi badut tetaplah memalukan. Dia harus berada di balik topeng dan mencoba melucu. Kalau tak lucu, dia harus menerima celaan dari anak-anak dan orang yang kecewa. Dengan hidung merah dan rambut yang bukan hitam, dia berjalan ke sana kemari dengan kostumnya.
"Pak... carilah kerja yang lain."
Sewaktu pelajaran mengarang, guruku memaksa kami semua agar menceritakan pekerjaan ayah kami masing - masing. Jantungku berdegup. Pikiranku hanya ada "Bapakku badut". Aku akan menembokki mukaku dengan beton yang benar-benar dapat menahan malu dalam hal apapun.
Sialnya, pagi hari itu, akulah yang pertama dipilih untuk menceritakan pekerjaan Bapak. Sudah kutemboki muka ini dengan tembok yang berlapis tanpa perlu dilihat orang banyak.
Tetapi... rasa malu tetap saja ada.
"Bapak... ehm... ehm..."
"Bapakku... ehm... ehm..."
"Kenapa gagap begitu, Ndi?" tanya guruku. Dia tak melihat bahwa kakiku sedang bergetar hebat.
"Bapakku... ehm... ehm... se... se... seorang... seorang badut."
Gagap gempita kelas menggelegar dari berbagai sudut. Mereka tertawa sampai perut mereka sakit setelah mengetahui bahwa Bapakku seorang badut. Tembok yang kubuat di mukaku rasanya kurang tebal. Tetap saja aku menitihkan air mataku di depan mereka yang tak hentinya tertawa. Aku menunduk bagai orang yang mengheningkan cipta.
"Kamu kok menangis?"
***
Akhirnya setelah setahun Bapak menjadi badut, dia memperoleh pekerjaan baru. Kini dia tak lagi berlapis topeng, melainkan berlapis seragam bersih. Gagah ketika dia memakainya. Akupun sangat bangga bukan kepalang melihat Bapakku seperti itu sekarang.
Aku tak tahu apa pekerjaan Bapak sekarang.
Kurasa Bapak menjadi seorang karyawan di perusahaan besar. Duduk di kursi dan memegang pen di tangan kanannya. Dia akan memiliki gaji yang sangat besar. Aku bisa meminta apapun dari Bapak.
Ketika aku liburan sekolah, aku bermain di depan rumah. Mobil putih bertuliskan "Ambulance" berhenti tepat di depan rumahku. Seorang lelaki turun dari mobil itu dan menemui ibu. Entah mereka membicarakan apa dan tak berapa lama ibu menjerit histeris. Seketika itu pula aku berlari kepada ibu. Tetangga mulai berkerumun di depan rumahku.
Sesosok orang terbungkus kain kafan dimasukkan ke dalam rumah.
Kudengar seseorang mengucapkan di telingaku,"Bapakmu meninggal setelah mengelap kaca dan terpeleset dari lantai tujuh."
Tubuhku mendadak dingin dan air mata meledak seperti aku menceritakan Bapak seorang badut.
Jakarta, 18 Mei 2009 | 19.31
A.A. dalam sebuah inisial
Ingat bapak.. ingat dosa yang telah terbuat
BalasHapusingat sebuah cerita tentang bapak yang tukang batu? sederhana... menyentuh..(yang ini belum)
BalasHapuskeep on writing.. ave, makin asyik kok..
Bukan bermaksud untuk membuka kisah lama, Bang Eko :-)
BalasHapusSeorang tukang batu? Yes... I remember.
BalasHapusIni hanya cerita sekilas saja kok hehehe...
Terima kasih Tante Cici
andai ada tombol Like, tentu akan aku klik untuk cerita ini..
BalasHapuscerita yang mengharukan
BalasHapusseorang bapak yang bertanggung jawab kepada keluarga,
ga perduli apa kerjaannya yang penting halal..
sebagai seorang anak klu ada rasa malu itupun hal yang wajar ,
musibah akhirnya yang mendewasakan sang anak...
nice posted Av....two thumbs up...!
Sayangnya ini bukan Facebook, ini Multiply.
BalasHapusTerima kasih Kang Jenk (kok namanya masih "Jenk"?)
Terima kasih banyak... terima kasih, Mbak Re...
BalasHapusHaduh... lupa kasih suguhan jadinya...
wah, keren dik, gak kebayang kahirnya seperti itu, salut
BalasHapusmaka, jadikan berarti yang ada sekarang, apapun
Terima kasih, Om Damuh...
BalasHapusBegitulah semua ketika padi sudah menjadi nasi
kalau padi dah jadi nasi cukup bermanfaat dik
BalasHapushehehee
Seyogyanya kita harus bangga dengan pekerjaan bapak kita, sepanjang beliau bekerja pada jalan yang benar.
BalasHapusHuuuu kangen bapakkuu... T_T
BalasHapusCerita ini menyentuh Ave :)
BalasHapusSayangnya aku dah kehilangan babeku sejak kelas 3 SD he he he....
Berbahagialah yang masih ber ayah hingga sekarang ^^
Makasih ceritanya Ave
Kenapa musti malu sih?
BalasHapusSekarang malahan banyak pejabat yang tingkah lakunya kayak badut.
He he he!
bagus sekali ceritanya,berharap bukan kenyataan
BalasHapusTapi ga bisa balik jadi padi lagi
BalasHapusHehehe...
Sebelum semua terlambat, sesungguhnya...
BalasHapusPasti terlalu lama ga pulang
BalasHapusHehehe...
Terima kasih Mbak Dewi telah lagi dan lagi masuk ke sini dan tersesat di sini :-)
BalasHapusBaduta tanpa topeng. Susah!
BalasHapusIni sekedar imajinasi, Mbak...
BalasHapussebuah imajinasi yang sangat sempurna,
BalasHapusair mata tertuang kembali, setelah yang pertama kali ditertawakan teman2nya, kini mesti berurai air mata kembali setelah melihat kematian ayahandanya
:)
ceritanya bagus (sorry saya ga bisa ngerangkai kata2, jadi komennya cuma segitu)
BalasHapusmerinding bacanya....nice story.
BalasHapussebuah pekerjaan yang halal apalagi mampu membuat orang senang sedangkan dalam hati si badut belum tentu dia senang tapi harus berpura-pura dibalik topengnya yang selalu ceria. andaikan kita tahu wajah seperti apa dibalik topeng yang ceria itu, pasti kita akan bersyukur.
lebih baik menjadi badut daripada sama sekali tak bekerja.
Hmmm.... tulisan yg bagus.
BalasHapusFull moral story
Sepatutnya ada yang dapat diambil dalam kesederhanaan ini, Mas Suga
BalasHapusTerima kasih...
Terima kasih... Terima kasih...
BalasHapusKita tak pernah tahu seberapa ceriakah badut itu di balik paras wajah lucunya itu...
BalasHapusTerima kasih Mas Anto.
BalasHapuskutuk aja anaknya jadi kodok
BalasHapuskenapa itukan pekerjaan yg halal
BalasHapusdan mendapatkan pahalalagikarena membahagiakan seseorang
nice posting :D
BalasHapus