Sabtu, 02 Agustus 2008

KLISE MASA LALU (Bagian 1)

Aveline Agrippina Tando


Aku masih mencintamu
Mengagummu… tak ’
kan lelah hati merasa
Sesungguhnya aku kalah
Namun cintaku tak ‘
kan lemah

 

Keletihan menyergapku malam ini. Sebenarnya aku ingin terlelap dalam mimpi. Tapi aku belum bisa tidur. Pikiranku membawa pada masa lalu setelah Glenn Fredly bersenandung, menyanyikan “Kalah”. Entah mengapa kata – kata yang diucapkan Glenn mengingaktkan diriku pada seseorang yang lama kutinggal jauh dan nyaris kulupakan. Dan dia kembali membuatku menjadi pedih. Membawa kabar yang membuatku menyesal karena masa lalu. Dan sungguh, aku tak ingin kehilangan dia.

*** 

Sore itu, dua puluh tahun lalu.

“Laras… Laras…”
Aku mendengar suara itu dari lorong laboratorium kimia. Aku menoleh ke belakang. Bram berlari ke arahku. Kulihat dia menggenggam buku di tangan kanannya. Dia berhenti tepat di hadapanku. Menyodorkan buku itu.

“Laras, ini bukumu yang kupinjam kemarin. Terima kasih untuk pinjamannya.”
“Sama – sama, Bram.”

Kumasukkan buku itu ke dalam tas. Aku berbalik arah dan pergi meninggalkannya. 

“Laras, kamu mau pulang?”
Tak perlu lagi kutebak apa kata – kata berikutnya yang akan Bram ucapkan. Pasti ia akan mengajakku pulang dengan sepedanya yang baru dibeli dari uang yang ia kumpulkan sejak kelas tiga SMP – tujuh belas tahun silam-.

“Laras, aku sedang mengumpulkan uang. Kamu tahu untuk apa?”
Aku hanya menggeleng.

“Aku mau beli sepeda itu!” Ia menunjuk ke arah sepeda yang berwarna biru.
“Aku mau ajak kamu jalan – jalan naik sepeda itu, Lar,” lanjutnya.
“Kok kamu tidak minta sama bapakmu?”
“Aku mau kamu menikmati hasil usahaku.”
“Kenapa harus aku?”
“Karena aku… cinta kamu, Laras.” 

Pinjam catatan adalah hal biasa untuk Bram. Sejak SMP, dia memang suka meminjam catatan dibandingkan menulis catatan sendiri dari yang dijelaskan oleh guru. Anehnya, seseorang yang minta dipinjami olehnya hanya aku. Awalnya aku menanggapi biasa saja. Tetapi lama – lama jurus pinjam catatan itu menjadi cara tersendiri untuknya agar bisa mendekatiku. 

Cara pinjam catatan ini sudah sering dipraktekkan di semua kalangan siswa yang sedang berusaha mengejar cintanya, termasuk Bram.

Satu alasan yang membuatku tak bisa menolak untuk tidak meminjami catatan adalah kita ini bersaudara. 

Jika aku tak meminjaminya, maka ia akan mengatakan “begitu ya sama saudara?”

Sebenarnya kita bukan saudara kandung. Hanya karena ia sering berkunjung ke rumahku dan sering kali menemuiku tak ada di rumah, ia dianggap ibuku sebagai anak sendiri. Ia sering mengajak ibu dan adik – adikku ngobrol. Sebenarnya itu hanya triknya untuk mengatasi penat menungguku pulang. 

Sepeda itu terus ia kayuh, mengantarkanku ke rumah.

*** 

“Nanti sore, aku mau main ke rumahmu.”
Jika ia mengatakan itu, pikiranku beralih pada seseorang sahabatku, Rita. Dia yang menjadi tujuan pelarianku dari Bram ketika Bram mengatakan kalimat itu.

“Rit, nanti sore aku ke rumahmu.”
“Pasti Bram datang, iya kan? Kenapa harus menghindar?”
“Karena aku takut catatanku dipinjam lagi.” 

Sebuah alasan tak relevan untukku. Jawaban konyol selalu kulontarkan.

“Catatan dipinjam saja. Huh! Memang tak boleh?”
“Soalnya dia kembaliinnya lama banget.”

*** 

Selesai sudah masa SMA, masa terakhir taraf pendewasaan seorang insan. Ia akan mendaki puncak yang lebih tinggi lagi, berangkat ke bangku kuliah.

Kuhabiskan waktu di bangku SMA dalam suasana suka dan duka. Terlebih lagi aku bisa mendekati Bram adalah suatu kesempatan tak ternilai. Namun, kesempatan tak ternilai itu selalu kubuang dengan sia – sia, menyakitkan hatinya. Namun cintanya tetap tegak berdiri. Tak mengenal duka untuk terus mendekat pada hidupku. 

***

Sore itu, dua puluh tahun lalu. 

Aku membantu ibuku mengemas barang – barang. Bapak menyiapkan mobil. Adik – adikku mengangkat barang – barang yang sudah dimasukkan ke dalam dus. Hari itu hari terakhir kami menempati rumah itu. Rumah di sudut jalan. Rumah yang kutempati sejak aku lahir dan kini harus kutinggalkan karena bapak dipindahkan ke Semarang.

Bram datang bersama sepeda birunya. Kulihat dia dari jendela.

“Laras… Laras… ada Bram.” Ayah memanggilku. Ibu menyuruhku menemui Bram. Aku beranjang keluar dan menemuinya. Kami duduk di kursi bambu yang sebentar lagi akan diangkut ke atas truk. 

“Laras, besok kamu pindah ke Semarang, ya?”
”Iya.” Kujawab pelan.
“Mengapa kamu tidak memberitahuku?”
“Karena aku tak mau melihatmu sedih karena aku pergi.”
“Salah? Jika aku sedih karena kamu pergi, itu wajar. Tetapi jika kamu pergi tanpa memberitahuku akan menimbulkan sedih yang berbeda. Terasa aku tak ada lagi harapan untuk menemuimu.”
“Oh ya? Masak?” Aku mencoba memancing perasaannya.
“Iya, karena kamu bukan hanya saudaraku, tetapi juga orang yang aku kasihi.” 

Aku terdiam dengan jawabannya. Dia mulai menatapku tajam. Namun tetap ada senyum di bibirnya.

“Setidaknya kamu tahu bagaimana rasanya ditinggal oleh saudara. Mulai besok pagi, aku akan kehilangan penumpang sepedaku. Tak ada lagi yang akan meminjamkan catatan padaku. Dan aku, akan seperti lirik tanpa melodi.”

“Ah, Bram. Itu kan hanya basa – basimu saja.”

“Basa – basi, itu menurutmu! Menurutku, aku akan belajar seperti anak kecil lagi, belajar berdiri dan berjalan. Aku pasti akan jatuh karena kehilanganmu.”

“Aduh, kamu tuh berlebihan banget ya?”

“Berlebihan? Baiklah jika itu tanggapanmu. Tapi setidaknya sebelum kamu memisahkan diri dariku, kamu tahu bahwa aku amat menyayangimu. Aku amat mencintaimu, Laras.”

Aku terdiam dengan jawabannya. Ternyata isi hati kita sama. Aku juga mencintaimu, Bram. Tapi aku tak bisa mengungkapkan perasaanku ini padamu. Sulit sekali rasanya untuk menyatakan apa yang aku rasakan. Bram, dan sebelum batas kota memisahkan aku dan engkau, aku juga ingin engkau tahu, aku juga mencintaimu tapi cinta ini hanya sanggup kuungkap sampai batas hati. Tak bisa melewati pita suaraku. 

Bram pergi meninggalkanku. Kulihat ia mengayuh pedal sepedanya lalu menghilang dari halaman depan rumahku bersama sepeda birunya.

*** 

Sepeda biru, Bram, dan aku.

Foto terakhir aku dan Bram sebelum aku berangkat ke Semarang. Kumasukkan ke dalam buku catatan harianku, terselip di tengahnya. Buku berwarna biru – warna kesukaanku – meluncur ke dalam tas yang akan kubawa esok hari.

“Laras… Ada Rita di bawah!”
Aku langsung turun ke bawah. Rita telah menunggu di ruang tamu. Dia memegang kotak kecil yang telah dibungkus kertas kado dengan rapi. Ia menyerahkannya padaku.

“Rita…”
“Laras…”

Kami berpelukan dalam sedu sedan. Hari terakhir aku bisa memeluk Rita, sahabatku sejak kecil. Ia menyeka air mataku.

“Rit, tolong aku ya!”
“Apa, Laras?”
“Tolong jaga Bram, ya? Kalau ada sesuatu, tolong kabari aku!”

Rita diam. Menatapku dalam. 

“Rit…” Aku memanggilnya kembali.
“Kamu cinta sama Bram?” Otakku berputar mencari alasan agar ia tak tahu apa yang sebenarnya ada di hatiku.

“Kami sudah seperti saudara. Jadi wajar jika aku khawatir padanya bila Bram ada masalah kan?” 

Oh dusta. Aku telah mendustai Rita. Mendustai Bram. Mendustai perasaanku sendiri. Lagi dan lagi, aku tak berani mengakui jika aku amat menyayangi Bram, lebih dari sekedar teman dan saudara. Dia adalah anugerah terindah yang Tuhan berikan untukku.

Bram, Rita, maafkan kebohongan nurani itu! 

***

Sejak aku pindah ke Semarang, Rita sering mengirimkanku surat. Entah kabar teman – temanku atau kabar tentang dirinya. Yang paling kutunggu adalah kabar Bram. Biasanya dia menuliskannnya pada akhir surat.
 

            Bram dan Nia akan segera menikah.


Aku tertegun dengan kabar itu. Secepat itukah Bram berlari ke lain hati? Tak kusangka, baru enam bulan ia telah mencari yang lain, melupakanku. Padahal ia pernah berjanji padaku untuk satu hal ini. “Aku ingin menikahimu suatu hari nanti.” Ah tidak! 

***

Sejak membaca kabar itu, aku tak pernah lagi berniat untuk menghubungi Bram. Aku tak lagi menulis surat untuknya. Surat – suratnya yang rutin ia kirimkan dua minggu sekali tak pernah lagi kubalas. 

“Laras, aku datang ke sini untuk menikahimu!”
Aku yang terdiam melihatnya kaget mendengar apa yang ia katakan terhadapku.

“Oh ya? Lalu Nia, bagaimana?”
“Nia? Maksudmu?”
“Bukankah kamu ingin menikah dengannya?”
“Kami tidak pernah merencanakan pernikahan karena kami tidak saling mencintai.” 

Rita menipuku. Ternyata rita masih mencintai Bram. Sudah kuduga, tidak mungkin Bram mengingkari janjinya padaku. Aku amat mengenal siapa Bram. Ia bukanlah orang yang mudah pindah ke lain hati.

“Jadi, maukah engkau menikah denganku sesuai dengan janjiku yang dulu?”
“Tidak! Maksudku, kita tidak bisa menikah.”
“Mengapa?”
“Karena kita adalah saudara.”
“Tapi kita tidak seibu, bukan?”
“Ah, memang tidak seibu, tetapi kita tetaplah saudara.” 

Ah, tidak! Aku telah berbohong padanya lagi. Bukankah aku mencitaimu seperti kamu mencintaiku? Namun mengapa aku selalu tak bisa mengatakan apa yang seharusnya atau aku meragu karena kita yang terlalu muda untuk menyatakan suatu pernyataan sakral?

Mungkin memang itu harus menjadi pilihan terbaik untukku dan juga untukmu. Bukankah mencintai tak harus selalu memiliki raganya atau mencintai hanya lewat batas cerita? Haruskah mencintaimu lewat imajinasi mimpi yang bersatu bersama malam yang hampa kehilanganmu?

 

Jika jawabanku membuatmu jatuh, maafkan aku…

Jika cintamu tak bisa kuterima, maafkan aku…

Jika aku dan kamu bertemu lewat khayal, ajarkan aku untuk bermimpi…

 

Bram hanya tertunduk lesu dengan jawabanku. Kulihat dari bola matanya, ia ingin menjatuhkan bulir – bulir air mata. Sebegitu hebatkah perkataanku menjatuhkan hidupnya? 

“Jika itu yang engkau pilih, kuanggap benar. Karena pilihanmu akan membuatmu bahagia termasuk jika engkau dapat memiliki dan hidup bersama yang lain.”

“Artinya kamu bisa menerima jawabanku tadi?”

“Iya, walau akan menyakitkanku pada detik berikutnya. Namun aku selalu percaya, ketika engkau tersenyum dan tertawa, akan mengobati hatiku yang terluka.”
 

Bram, kumohon maafkan aku…
 

“Laras, izinkan aku untuk pertama dan terakhir kalinya! Aku ingin memelukmu, walau hanya sedetik.” 

***


Kalah - Glenn Fredly 

34 komentar:

  1. komentarnya nanti ya..? nenek masih mau opp

    BalasHapus
  2. cuk...nenek mampir sebentar, nenek dah baca berkali-kali...
    hari inipun sambil lembur nenek kalo denger ini lagu sungguh deh... terharu.
    Kalau kelak jadi penulis terkenal jangan lupa nenek ya..? dan juga kalo aku minta tanda tangan dan foto bareng ama penulis terkenal Aveline...jangan di suruh minggir ya..?

    Pokoknya aku mau selalu jadi orang pertama yang beli buku kamu kelak...

    Thanks ya cuk...

    mau nyilem lagi nih..lembuurrrr

    BalasHapus
  3. Nek... kayaknya nenek yang paling demen deh sama nih cerpen
    :P

    Iya kan?

    BalasHapus
  4. Poto? Mo minta poto aku? Sekarang juga bisa
    Hahahahahaha...

    BalasHapus
  5. Ga usah beli, langsung tak kasih GRATIS

    BalasHapus
  6. ihhh kamu...
    nenek suka dengan tulisanmu yang lain, itu burung kertas..

    BalasHapus
  7. gak mau ahh.. foto sekarang mah badung

    BalasHapus
  8. Aku ga badung kok...
    Cuman NAKAL
    hahahahahaha

    BalasHapus
  9. banyak lah cuk, seseuai waktu nenek, bacanya harus satu persatu....
    nanti di PM ya..? itu tuh yang kita bicarakan tadi pagi...
    aku opp dulu yahh...?

    love you...

    BalasHapus
  10. Ok kutunggu PMnya segera...
    :-D

    opp mulu neeeeeeeeeeeeeeh... kapan OLnya?
    ditungguin dari jam 7 pagi neh

    BalasHapus
  11. maklumlah..cari sesuap nasi cuk...
    byee...

    BalasHapus
  12. ada sapi di postingannya Noe, tuh harmoniku kali ini...

    BalasHapus
  13. PM dulu baru Opp...
    biar cepet jadi hihihihi

    BalasHapus
  14. Aku yang pertama comment, neeeeeeeeeeeeeek

    BalasHapus
  15. huh! rasa, tipu dan dusta....
    kenapa mesti ada dusta itu? apa yang ia cari?

    masih sederhana rupanya, tapi demikianlan cerpen.

    jangan hewntikan tarian jemarimu diatas tuts keyboard ya....

    BalasHapus
  16. Baiklah Om Damuh...
    Begitu juga dengan Om Damuh...
    Makasih Om...

    BalasHapus
  17. mmm,
    menanti esok datang, dengan wajah baru aveline :-)

    BalasHapus
  18. Emangnya diriku pakai topeng? Hahahaha...
    Comment serius!

    BalasHapus
  19. mampir lagi aahhh....tolong di sediain sampu tangan ....
    dah mau nangis lagi nih...

    BalasHapus
  20. Buseeeeeeeeeeeeeeet... nangis mulu
    kapan ketawanya?

    BalasHapus
  21. ha..ha..hah (lagu cinderela mode on..)
    hi..hi..hihhh...
    ini lah ketawaku..

    tapi juga tangisku..

    BalasHapus
  22. ngapain niih...
    aku belum mandi, sedang nemenin budi belajar

    BalasHapus
  23. lagi ngeblog...
    belum ada kerjaan... kemaren udah dilandasin semua abis

    BalasHapus
  24. aku bacanya dari bag 2 baru ke yang pertama, ih tetep bikin mak klenyerrr.... yang dicinta bakal menikah....

    BalasHapus
  25. Iya, memang itu bagian dari ceritanya
    :-))

    BalasHapus