Rabu, 06 Agustus 2008

KLISE MASA LALU (Bagian 2)

Aveline Agrippina Tando


“Lar, perkenalkan calon istriku, Lisa.”

Seorang perempuan yang duduk di sebelahnya menyodorkan tangannya. Aku menyambutnya.

“Lisa.”
“Laras.”

“Lis, Laras ini temanku pas SMP. Dulu kita sering naik sepeda warna biru yang ada di rumahku itu kalau ke sekolah atau ke mana – mana.”
“Iya, Lis. Bram ini sering main ke rumahku dan dekat dengan saudara – sauradaku. Jadi kita sudah seperti saudara.”
“Lar, bulan depan kami akan menikah. Aku mau kamu datang.”

Sebuah udangan terbungkus plasti dengan rapi terletak di atas meja. Di sampul depan ada foto Bram dan Lisa dalam kebahagiaan yang teramat sangat. Namun aku merasa senyum Bram agak dipaksakan, beda dengan foto bersamaku di atas sepeda biru itu. 

Percakapan siang tadi masih saja membekas di pikiranku. Adalah yang menjadi pikiranku ketika Bram masih lancing menanyakan hal yang tak lagi seharusnya ia tanyakan. Ketika Lisa pergi ke toilet, tak kusangka Bram akan menanyakan ini.
“Lar, kamu masih mencintaiku?”


Aku tak datang pada hari pernihakan mereka. Aku cemburu karena perbuatan yang kulakukan sendiri. Padahal malam sebelumnya, aku telah berjanji padanya ketika ia menelponku. Aku pasti datang dalam hari bahagia Bram. Namun realitanya, aku tak ambil bagian dari kebahagiaan mereka. 

Gaun yang akan kukenakan pada acara resepsi mereka kukembalikan ke dalam almari. Diam. Undangan pernikahan yang seharusnya kuhadiri masih tergeletak di atas meja.

Sedih.
Iri.
Kesal. 

Tiga keadaan yang kuputuskan sendiri. Penyesalan bukan menjadi saat yang amat tepat. Dan setidaknya aku harus melupakannya. Segera. Itu yang kubutuhkan saat ini.

*** 

Laras… ketika kamu memutuskan tidak ingin menikah denganku, itu adalah sebuah jawaban yang amat menyakitkan. Namun kini aku memetik buah kebahagiaan dari jawabanmu itu. Ada yang mengisi tempatmu di hatiku, Lisa dan Bram kecilku.

Ketika kamu tak ada dalam acara itu, aku tahu kamu tak sanggup melihatku dengan Lisa. Karena kamu masih mencintaiku. Maka kuharap, ada orang yang akan menempatkan dirimu lebih tinggi daripada aku menempatkanmu. Aku percaya… 

Bram, Lisa, dan Bram kecilnya terlihat bahagia. Aku hanya bisa tersenyum. Senyum pedih. Senyum kehilangan. Senyum tangisan. Gambar itu seolah – olah hidup dan menyisipkan pedih untukku. Aku tahu apa yang membuat foto itu menjadi amat pedih.

*** 

Melupakan Bram adalah fenomena hidup yang amat berat. Karena waktu terus berputar untuk membantuku melupakan Bram, aku mulai tak mengharapkan cinta itu lagi datang kembali untukku.

Bertemu Rudi. Suatu kesempatan emas. Keping hidup.

Rudi memposisikan dirinya sebagai lelaki yang amat pas untukku. Setia dan perhatian. Sama seperti Bram. Selalu menjagaku seperti rajawali yang terus menjaga anaknya. 

Aku mulai merasa dia adalah orang yang tepat untuk hidupku.

*** 

Malam itu, ketika Rudi dan Andri – buah hati semata wayangku dan Rudi -  telah terlelap. Aku masih sibuk dengan tugas kantor yang kubawa pulang.

Telpon berdering.

Kuangkat. Suara laki – laki. 

“Laras.”
Suara itu tak berubah. Serak basah namun terdengar mesra di telingaku. 

“Selamat malam, Laras. Kuharap kabarmu seindah wajahmu.”

“Bram..”

“Laras, aku mau ketika Tuhan memanggilku, aku mau menemuimu di surga.”

“Bram, maksudmu?”

“Ketika aku mati esok hari atau satu jam lagi, aku ingin kamu adalah yang pertama kali kutemui di surga.” 


Air mataku meleleh di pipi. Bram masih terus berkata – kata. Mengapa Bram masuk kembali dalam duniaku? Dan apa maksud dari kata – katanya? 


“Ketika tubuhku telah hancur tergerogoti penyakit ini, lalu aku tanpa sengaja memisahkan jiwaku dari ragaku, aku ingin Tuhan tetap menjaga orang – orang yang kukasihi tetap dijagaNya. Dan Laras juga termasuk dalam bagian itu.”

“Bram, maksudmu? Aku tak mengerti.”

“Sebentar lagi, Lar… Sebentar lagi… Penyakit ini akan membunuhku.”

“Bram… kamu sakit apa?”

“Aku hanya ingin mengatakan maaf dan mengucapkan terima kasih atas warna hidupmu yang membuat hidupku tak hanya hitam atau putih saja.” 

Telepon itu terputus. 

Bram sakit. Bram, mengapa engkau mengatakan itu? Mengapa kau harus mengatakan hal kematian? Bram…

Aku tertegun. Aku membisu. Air mata terus meleleh. Atas ke bawah. Membuat garis kepedihan. Nafasku sesak. Isak tangisku terdengar perlahan. 

Saat ini aku hanya berharap Bram tetap bertahan dan tegar.
 

Bram, jiwa hidup yang akan mati.
Bram, cinta hidup yang akan mati.
Bram, utuh lalu akan menghilang

***

Mengapa Bram begitu setia padaku?
Karena Tuhan memang telah mengskenariokan itu semua.
 

Mengapa aku harus mengenal Bram?
Mengapa Bram harus mencintaiku sampai tak terhingga?

Itulah misteri kehidupan antara aku dan Bram.

*** 

Aku harus sadar, Bram hanya saudara. Aku dan dia telah memiliki suatu garis pemisah. Bram, Lisa, dan Bram kecilnya. Aku, Rudi, dan Andri. Kita harus tahu perbatasan ini. Kita tak boleh saling mencintai lagi.

Aku akan selalu berharap dan terus berharap, Bram akan memilih jalan hidupnya sendiri. Walau akhirnya aku tahu dia akan kalah karena “pembunuh” di tubuhnya. Setidaknya ada senyum yang tersisipi di balik jerit sakitnya. 

Bram dan aku, hanya saudara. Dan itu semua hanya klise masa lalu.


Namun cintaku tak ‘kan lemah…

 

24 Juni 2008
Aveline Agrippina Tando


Special Thanks to Madam Henny Poerwanti


Kalah - Glenn Fredly


Bagian PERTAMA

22 komentar:

  1. Huhahahahhaha... Neneeeeeeeeeeeeeeeeeeeeek!!!!!!!!!!!!!!!!!

    BalasHapus
  2. Duh, ga tau ah...
    Ga ikutan... tanya nenek aja ya, Om

    BalasHapus
  3. hemm... antara aku, kau dan bekas pacarmu... segitiga sll rumit....

    keren, ave....

    BalasHapus
  4. udah berakhir???

    keputusan yang sia-siakah?

    ketika masih ada sisa cinta yang terkembang, adakah kesetiaan lain tetap terjaga???

    BalasHapus
  5. mengalah untuk menang..

    nice write.

    BalasHapus
  6. cucuuukkkk.... betapa aku tidak pernah bosan membaca kisah ini....

    BalasHapus
  7. salaahhhh...
    he.he..he.. hanya aku yang tahu...

    BalasHapus
  8. iya sedi...
    pinter banget ya cucuku menulis ceritanya...

    BalasHapus
  9. Iya, ada cinta segitiga terlarang, Om Unggul...
    Thanks Om Unggul
    :-))

    BalasHapus
  10. Iya, Om Damuh. Semua berakhir demikian.

    Tak ada usaha yang sia - sia

    Semoga itu selalu ada, Om Damuh...

    Terima kasih Om Damuh...

    BalasHapus
  11. Mengalah bukan berarti kalah kan?

    Thanks... :-))

    BalasHapus
  12. Ya iyalaaaaaaaaaaaaaaaah... kan nenek yang beride... hihihi...
    :-))

    BalasHapus
  13. unik caramu bercerita.. tapi aku bilang sih klise
    kyanya aku pernah baca yang hampir-hampir mirip begini ceritanya... tapi beda cara penyampaian dan rangkaiannya...

    nulis terus nona... pasti kubaca

    BalasHapus
  14. Ide cerita ini sebenarnya bukan ideku, aku hanya mencoba menjadi orang lain dengan berbagai keterbatasan. Katanya, ini kisah nyatanya dia. (Kok jadi kayak reality show ya... hehehehe)


    Makasih Tante Cici, Keep writing too...

    BalasHapus
  15. Tuhan memberi pengulangan cerita pada hidup seseorang dan orang lain. So yang berbeda adalh bagaimana umatnya menerima cerita itu atau jalan hidup itu. Adalah seribu bahkan lebih pilihan untuk merubah cerita itu menjadi bagian yan tak mungkin di lupakan...

    BalasHapus
  16. Bagian yang tak terlupakan adalah kenangan yang tersurat dan tersirat. Sampaikan makna mendalam, itu kuncinya...

    BalasHapus