Senin, 19 September 2011

Mendengar Cita-cita

Sebuah malam Juli di Senayan, Jakarta, saya mencegat taksi untuk menumpang setelah hampir seharian berkelana di kota ini. Tepatnya bukan berkelana, tetapi menyerahkan hasil kerja dan hendak pulang. Jakarta sudah memperlihatkan langitnya yang pekat dalam gelap dan saya sudah enggan untuk berdesak-desak di dalam busway yang semakin hari semakin tidak bisa membuat puas para penumpangnya karena armada bus yang tak pernah sesuai dengan jumlah penumpang.

Masuklah saya ke dalam sebuah taksi. Seorang bapak, sebutlah namanya Pak Amir. Tak ada ucapan selamat malam, tak ada sapa hendak ke mana arah kita. Tiba-tiba ia langsung bercerita sendiri. Tapi saya membiarkannya saja apa yang hendak dikatakannya sembari mengatakan ke mana saya akan beranjak.

Langit Jakarta sudah terisi oleh kerlap-kerlip dari lampu-lampu. Jalanan ibukota tetap padat, apalagi saya pulang di jam orang-orang pulang ke rumah. Klakson, umpat, dan suara knalpot menjadi hal yang tak asing lagi ketika hidup di Jakarta. Rasanya hampir tak ada orang yang hidup di jalanan Jakarta yang tidak ingin mengumpat dengan sikap dan perilaku sesama pengguna jalan. Bahkan sampai pengemis dan pengamen pun bisa menjadi sasaran ketika seorang pengguna jalan sudah naik darah di jalanan ini.

Saya tahu, malam-malam itu adalah malam-malam terakhir saya menikmati kemacetan Jakarta secara utuh. Setelahnya, mungkin saya hanya menikmati udara dingin dan angkot-angkot yang tahu sopan santun dalam mencari penumpang. Jakarta keras, dan itu benar-benar keras. Dari jalanan saja kita bisa melihatnya.

Pembicaraan saya dan sopir taksi tadi belum usai. Tiba-tiba ia bertanya tentang hal yang tak biasa saya bicarakan dengan supir taksi lainnya.

"Dik, kerja di mana?"
"Kerja sambil kuliah, Pak. Kerja serabutan. Hahaha..."
"Kuliahnya di mana?"
"Bandung."
"Lho? Kok?"
"Kuliah belum mulai, saya di sini bekerja iseng-iseng saja. Isi waktu liburan."
"Kuliahnya apa, Dik?"
"Ilmu Politik, Pak. Kenapa?"
"Tahu dong kasusnya Nazaruddin?"
"Tahu, Pak."
"Menurut Adik, Nazar salah atau tidak?"
"Salah dong, Pak. Tapi masih ada kepalanya lagi yang lebih salah."
"Pernah bercita-cita dengan Indonesia yang bebas dari korupsi, Dik?"

Glek! Seorang sopir taksi menanyakan hal seperti ini kepada saya. Cukup mengejutkan sekaligus membuat sebuah hal yang tak pernah saya duga-duga sebelumnya. Selama ini, saya tahu kasus Nazaruddin seperti apa dan saya mengikutinya. Tetapi saya tidak pernah bertanya kepada diri saya apakah saya pernah berpikir dan bercita-cita memiliki negara yang bebas dari korupsi.

"Mungkin, Pak. Kalau Bapak sendiri?"
"Selalu. Saya sering sedih, tapi saya kan cuma sopir taksi."
"Lalu, mengapa dengan sopir taksi, Pak? Apa saya yang mahasiswa dan Bapak yang seorang sopir taksi tidak boleh bercita-cita?"
"Ya, boleh. Tapi cita-cita cuma cita-cita saja."
"Cita-cita bisa terwujud kalau mimpi kita tidak ketinggian dan kita mampu menggapainya, Pak. Kalau negara tanpa korupsi itu pasti tidak pernah ada di dunia ini."

Malam itu pula, telinga saya seperti mendengar lagu dari John Lennon, Imagine. "
You may say that I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will live as on"

"Saya dulunya kerja di Telkom, Dik. 15 tahun di sana. Semua tunjangan kesehatan dan sekolah anak ditanggung."
"Kok berhenti?"
"Gaji tak naik. Meski tunjangan ada, sering tidak cukup karena mereka tidak pernah menaikkan tunjangan sampai penuh. Tapi, sampai sekarang saya tetap ditanggung karena saya mengundurkan diri."

Di kursi belakang saya mengangguk. Kemudian mendengarkan lagi Bapak itu bercerita.

"Anak saya sudah selesai SMK. Syukur, saya bisa menyekolahkannya dari taksi. Kadang juga saya sedih, anak saya sebenarnya ingin kuliah. Tapi saya belum mampu. Untung dia mau masuk SMK. Sekarang dia bisa bantu bapaknya. Desain gelas, spanduk, dan baju."

Saya selalu percaya, semua orang memiliki cita-cita. Semua orang pasti akan bercita-cita. Seorang sopir taksi atau seorang mahasiswa yang duduk bersama di dalam satu mobil, melintasi jalan yang sama pun pasti memiliki cita-cita. Bukankah kita sedari kecil memang sudah ditanamkan cita-cita? Cita-cita membuat kita supaya bertahan hidup untuk memperjuangkannya dengan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada, membuat seseorang untuk menilai dirinya lebih berarti di dalam setiap kesempatan yang ada.

"Cita-cita itu ada batasnya, Pak. Kalau ketinggian, kita tak bisa menggapainya. Kalau kerendahan, mudah menggapainya, tetapi mudah juga untuk dilupakan oleh kita sendiri."
"Iya, Dik. Tapi orang miskin dilarang bercita-cita juga?"
"Cita-cita itu gratis, Pak. Semua orang bebas bercita-cita. Setinggi apa pun, serendah apa pun. Tapi kita harus sadar akan keterbatasan kita, Pak. Manusia pun ada batas dalam bermimpi. Bisa saja kita tidak sanggup menggapai cita-cita karena ketinggian."
"Jadi Adik tidak setuju dengan Sukarno?"
"Ya, tentu tidak. Memang bisa kita ke langit untuk menggapai cita-cita? Naik pesawat saja belum sampai ke langit paling atas. Hahaha..."

Perjalanan hampir usai. Saya hampir tiba sampai tujuan. Ada kesimpulan dalam hati bahwa Bapak Amir ini memang sudah bercita-cita. Orang kaya dan orang miskin boleh bercita-cita, perempuan dan laki-laki bebas bercita-cita. Cita-cita hanya berbeda dalam tinggi-rendah, besar-kecil, diperjuangkan-tidak, dan berhasil-belum berhasil. Tak ada cita-cita yang gagal.

Ada benarnya pula kata Andrea Hirata, berhenti bercita-cita adalah tragedi kehidupan manusia. Pak Amir bukannya ia tak mau memperjuangkannya, mungkin saja baginya dua cita-cita yang terdengar sederhana itu terlalu tinggi untuk digapainya seorang diri. Setidaknya, Beliau tidak berhenti untuk tetap bercita-cita.

Langit Jakarta hanya berhias lampu. Tibalah saya di destinasi berikutnya di mana teman saya sudah menunggu untuk obrolan malam sebelum saya pindah ke luar kota. Saya mengakhiri obrolan yang menarik dengan seorang sopir taksi yang memiliki cita-cita. Saya turun setelah membayar lebih sedikit sebagai bonus untuk mengisi kekosongan perjalanan saya yang terlalu membosankan hanya dengan diam.

Taksi itu melaju. Mungkin hanya saya dan Tuhan yang tahu, seorang sopir taksi pun memiliki cita-cita yang selalu ingin digapainya.




Bandung, 20 September 2011 | 07.19
A.A. - dalam sebuah inisial

6 komentar:

  1. cita-cita......
    ini cita-citaku
    apa cita-citamu?

    *renungan malaria^_^

    BalasHapus
  2. Ada benarnya pula kata Andrea Hirata, berhenti bercita-cita adalah tragedi kehidupan manusia
    menarik sekali perbincangannya.. namun sekarang benar-benar menjadi tragedi disaat negara bebas korupsi hanyalah sebatas cita-cita....

    BalasHapus
  3. catatan diantara perjalanan yang menarik ave :)

    BalasHapus
  4. keren sopir taksinya

    di bdg tah, skrg? ;D

    BalasHapus