Rabu, 28 September 2011

Life Traveler

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Travel
Author:Windy Ariestanty
Perihal: Surat untuk Seorang Penulis


Kak Windy,


Tentu kau tahu saya bukanlah seorang pembaca yang baik dan bukanlah seorang penulis resensi yang arif. Saya hanya menulis tentang apa yang ingin saya tulis, saya tidak pernah peduli dengan pembaca yang akan menilai apa dan apakah tulisan saya kelak dipuji atau dicerca. Dengan menyandangi apa yang dikatakan oleh Seno Gumira Ajidarma, setidaknya tulisan yang sudah dilemparkan ke tengah masyarakat, ia sudah menjadi milik publik dan penulis tidak berhak menghujat sang pembaca.

Demikian pula tentang surat yang saya tulis dan saya publikasikan ini. Tentu orang akan menilainya dengan cara mereka sendiri. Mungkin ada yang tersenyum, mengerutkan dahinya, atau pula langsung menutup laman ini tanpa acuh. Saya pun juga tidak harus memaksa orang lain membacanya. Termasuk seorang Windy Ariestanty.

Ini hanyalah sebuah surat dari seorang pembaca kepada seorang penulis yang jatuh cinta kepada aksara yang ditulisnya. Ya, seorang pembaca yang tanpa rasa malu menuliskan suratnya kepada sang penulis tanpa ia tahu harus dituju ke mana surat itu, atau haruskah dengan cara diam-diam mengirimkannya lewat email sang penulis? Ah, saya bukan tipikal orang yang sanggup mengirim pesan untuk menyatakan langsung dan terang-terangan. Biarkan saja, dengan cara ini, ketika kau tanpa sengaja melintas di dunia maya dan membaca apa yang kutulis ini. Tapi posisikanlah kau sebagai penulis sedangkan saya sebagai pembaca. Itu sangatlah cukup.

Kali pertama saya membaca tulisanmu ketika ada di dalam buku Kepada Cinta. Kali itu juga, saya memberikan penilaian secara pribadi bahwa memang seorang Windy Ariestanty ini bukanlah penulis yang tidak bisa tidak meninggalkan kesan ketika saya mengakhiri apa yang ditulisnya. Sederhana, itu yang saya kecap saat mata melintasi baris-baris aksara yang dirawinya.

Dan saya sebut Life Traveler ini tak lain dan tak bukan adalah catatan perjalanan dari seorang pelancong yang bekerja dan berjalan-jalan, Windy Ariestanty.

Adapun kisah Life Traveler sendiri adalah kisah menatap orang, bertemu dan berpisah, berbicara dan berinteraksi dari kota ke kota, negara ke negara, dan benua ke benua. Tugasmu hanya menceritakannya kembali apa yang kau rasa ketika melintas dan bertemu dengan orang-orang yang tak pernah kau temu sebelumnya. Mungkin dengan cara inilah, Life Traveler lahir dengan proses yang berbeda daripada anak-anak pada umumnya. Karena itu pula, Life Traveler dinanti-nantikan banyak orang sejak di dalam rahim.

Awalnya, biasa saja menurutku di bab-bab awal, seperti cerita-cerita yang kau celotehkan di Twitter, seperti ketika kau beranjak dari kota ke kota dan mengunduh foto di Twitter dan bercerita sedikit banyak mengenai perjalananmu. Sampai pada akhirnya, aku terantuk di dalam surat teruntuk Pak Mula yang ternyata telah memimpikanmu untuk pergi ke Eropa, menghadiri Frankfurt Book Fair. Sayang seribu sayang, Pak Mula sudah mendahuluimu untuk berangkat ke Eropa yang sangat abadi, entah di mana. Yang tersisa adalah Eropa di dalam kefanaan yang sungguh dapat kau tapaiki jejakmu dan surat yang tak akan pernah sampai itu setidaknya dibaca Pak Mula. Itu yang kuaminkan.

Lagi, yang berkesan bagiku adalah sosok Marjolein yang mencintai Indonesia meski ia taklah berdarah bumi ini dan untuk pandai berbahasa Indonesia pun ia harus jauh-jauh belajar. Kadang, untuk menjadi seorang yang nasionalis, kita harus diperingatkan dahulu oleh orang yang berada jauh jaraknya dari tanah Indonesia. Itulah Marjolein yang kurasa sesungguhnya ia adalah orang yang rindu pulang. Tak akan ada petualang yang tak rindu pulang seperti halnya tak ada merpati yang lupa akan kediamannya. Setidaknya bagi Marjolein, Indonesia adalah 'rumah' baginya untuk melepas rindu.

Beberapa bulan yang lalu, di dalam sebuah perjalanan pulang, saya menemukan ke mana memang seharusnya kita berada. A home is a house, but a house is not always a home. Itu yang saya katakan kepada teman saya. Ia hanya mengerutkan dahinya sembari berujar dan berpikir bagaimana menerjemahkan arti 'rumah' sesungguhnya. Dan memanglah esensi pulang adalah esensi yang menakjubkan. Jarak yang membuat perpisahan begitu nyata dan menjadikan perjalanan lebih menemukan eksistensinya. Makna di dalam perjalanan pun tak akan hilang begitu saja.

Kerap kali, saya menemukan hati saya bukanlah berada di rumah, tetapi di dalam perjalanan. Entah sedang di pelosok desa, di puncak gunung, di tepi danau, atau di tengah jalan. Juga kebahagiaan yang ditemukan tak melulu ada di rumah. Saya sering menemukan apa yang dinamakan dengan cinta di tempat yang begitu jauh dari rumah. Saya pun bersepakat dengan apa yang dikatakan oleh perempuan itu,"Home is a place where you can find your love."



Kak Windy,

Mungkin perjalanan sederhana bisa menciptakan pelajaran yang tidaklah sederhana untuk kita cerna. Tetapi perjalanan sendiri membuat kita lebih banyak belajar tentang apa yang tak pernah diajarkan oleh bangku sekolah, mungkin guru-guru pun tak tahu ketika mereka harus mendefinisikan hidup seperti apa. Di dalam perjalanan, dunia lebih mendidik kita untuk lebih berani menantang kehidupan itu sendiri.

Di dalam kata-katamu, selalu ada kekuatan yang meninggalkan jejak yang membekas ketika saya mengakhiri dari keping-keping ceritamu. Inilah dari kepiawaianmu merawi dan berangkat dari sesuatu yang terlihat sepele dan bernilai nihil dijadikan olehmu lebih berisi dan tak lagi bernilai kosong begitu saja. Adalah perjalanan yang menjadikan itu semua menjadi ada. Tentang hidup yang tak akan pernah habis untuk dieksplorasikan dan catatan perjalanan ini yang merupakan dokumentasi dari langkah demi langkah sudah memuatnya dari ribuan bahkan jutaan cerita yang ada di dunia ini setiap harinya.

Kurasa perjalanan yang kulintasi bersama anak rohanimu sudah lebih dari cukup.

Terima kasih untuk sebuah sajian di mana kau ternyata masih bersedia untuk selalu berbagi tentang pengalaman di dalam perjalanan, di mana tak semua orang pernah seberuntung engkau yang menikmati perjalanan dan berinteraksi dengan masyarakat. Doaku, jangan pernah lelah untuk tetap berbagi dan tetap menulis.

Tabik!



Bandung, 28 September 2011 |
A.A. - dalam sebuah inisial


Tidak ada komentar:

Posting Komentar