Rabu, 07 September 2011

Ketika Sastra Itu Lenyap

Dimuat di dalam buku Semua Bergerak untuk Sastra Indonesia




Tak akan pernah terbayang bila suatu ketika kita tidak bisa membaca buku lagi. Ketika sastra tidak lagi dapat menerobos kejujuran yang ada. Hari ini, sejak ratusan hari lalu, bahkan ribuan, sastra bukan lagi sarana hiburan semata. Sastra merupakan sarana untuk membangkitkan semangat kemerdekaan, sarana untuk mengutarakan pikiran, bahkan sastra sanggup untuk mengubah pola pikir banyak orang.


Ketika kejujuran hari ini diungkapkan lewat puisi dan cerpen yang menjadi sarana bebas pemikiran, sastra sudah diberikan tempat untuk kehidupan. Ia sudah bernapas di dalam kehidupan manusia yang begitu keras dan dominan akan egois. Pemikiran lewat sastra bukan lagi cerita lama. Seorang Chairil Anwar membangkitkan semangat juang di tahun 1945 lewat puisi-puisinya yang sampai hari ini tetap dikenang oleh banyak orang. Seorang Pramoedya Ananta Toer sanggup berbicara dari balik pengasingan di Pulau Buru karena buku-buku yang ia tulis.

Sastra adalah kehidupan di sekitar kita. Ia sudah bernapas sangat lama dan tumbuh sebagai heroik bagi mereka yang ingin memberikan pendapat lewat tulisan dan pola pikir.

Namun, siapa yang pernah terbayang bila suatu hari nanti sastra tidak lagi dapat bicara? Ia tidak lagi dapat lahir di koran-koran, ia tak lagi dicetak sebagai buku, ia hanya mengendap di pikiran-pikiran orang, ia hanya sebagai parasit di dalam imajinasi orang. Saat itu, sastra tidak lagi sanggup memberikan pemikiran yang begitu jernih di tengah kehidupan yang butuh untuk kejujuran, butuh fakta yang diungkap dengan cara yang lebih spesifik dan lurus hati bagi penulisnya sehingga pembaca boleh bebas dalam memerdekakan kejujuran yang lebih bermakna.

Seperti halnya seorang Widji Thukul yang berpuisi di tahun 1998, di tengah kemelut sastra yang tidak lagi secara bebas, ia harus dihilangkan oleh penguasa. Sampai hari ini, ia hilang. Tapi tulisan-tulisannya tetap dikenang orang banyak sebagai tulisan yang pernah membangkitkan semangat kemerdekaan pikiran. Sastra sanggup memberikan kebutuhan bagi mereka yang menginginkan dobrakan yang seolah-olah diam tetapi bersuara dengan halus dan menancap.

Itulah sastra. Kehidupannya bukan sekadar imajinasi. Tetapi sudah menjadi realitas dan berkembang di dalam kehidupan bermasyarakat tanpa kita sadari. Sastra mengubah kehidupan banyak orang, tidak peduli tua dan muda, kaya dan miskin, perempuan dan laki-laki. Ia hidup meski sang pemikir sudah tak tahu di mana keberadaannya.

Sastra menjadi saluran untuk berbicara, memerdekakan ide pikiran yang ada, melepaskan gagasan secara langsung dengan aksara. Ketika sastra dibungkam, akan ke mana kita menyalurkan pikiran-pikiran kita?

Mari berandai-andai! Ketika tahun 1948, Chairil Anwar hanya menulis puisi di dalam otaknya, akankah ada kata-kata “Ayo! Bung Karno kasih tangan mari kita bikin janji  / Aku sudah cukup lama dengar bicaramu,  / dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu” 1 dan akan pernah lahir kemerdekaan?

Mari pula berandai-andai kalau hari ini kita tak mengenal sastra. Tentu pula terlihat betapa bodohnya kita sebagai manusia yang tak pernah melek akan bacaan berkualitas dan menciptakan perubahan yang sangatlah besar. Sastra bukan lagi soal penciptaan tetapi juga menjadi bagian dari sejarah. Demikian pula dengan sejarah, ia tak pernah lupa mencatat sastra yang selalu menceritakan tentang dirinya.

Masyarakat primitif di Benua Afrika saja mengenal sastra. Bahkan mereka mencintai sastra meski hanya sastra lisan. Mereka tak pernah mengenal baca-tulis dan duduk di bangku sekolah. Tetapi dengan mereka mencintai sastra, mereka sudah mengubah kehidupan mereka.

Tak akan bisa dibayangkan ketika kita tak lagi mengenal sastra. Sastra seperti sudah dikubur dalam-dalam, dihilangkan, dimusnahkan keberadaannya seperti kematian penjahat yang paling berpengaruh di dunia.

Kemerdekaan berpikir tentu akan semakin berkurang. Aspirasi kita hanya bisa sampai tingkat mulut ke mulut. Belum pula ditambah bumbu-bumbu dalam prosesnya. Namun dengan sastra, ia diungkap dengan luas dan lugas. Ia selalu mengungkapkan kejujuran yang ada, yang sebenarnya harus diceritakan tanpa harus dibelokkan.

Kebenaran di dalam sastra dapat dibuktikan selama ia mengatakan hal yang sebenarnya. Sastra dapat dipertanggungjawabkan secara jelas. Maka, ketika sastra tak lagi bernapas, kejujuran pun akan ikut mati. Tentu pula, kita tak punya arah tujuan hendak melangkah ke mana kelak. Walau pun buku-buku dibakar, pelarangan yang ada masih berkeliling, selama sastra sudah lahir dalam berbagai bentuknya, ia tetap hadir. Selama ia tak dibungkam, ia masih dapat bersuara, di saat itu kemerdekaan berpikir dan kemerdekaan akan segalanya tetap diperjuangkan.





1.  Persetujuan dengan Bung Karno - Aku Ini Binatang Jalang

17 komentar:

  1. Benar? Selurus apa kebenaran itu? Kebenaran bagiku semacam pensil yang kau masukkan ke dalam gelas bening berisi 3/4 air dan 1/4 udara lalu kau katakan oh pensilnya bengkok...it's in our sight...

    BalasHapus
  2. Kalo digantikan sama Sastro gimana Av?

    BalasHapus
  3. hhmm...sastra itu ternyata menarik yaah :)

    BalasHapus
  4. Sorry, it's not in oursight. But, it's just in your sight.

    BalasHapus
  5. Ah, saya lebih suka Subagio Sastrowardoyo daripada hanya Sastro. :-))

    BalasHapus
  6. Bila kita mau menyimak dengan baik dan menyikapi dengan bijak.

    BalasHapus
  7. Kok mesti yah gak keliatan isi jurnalnya...*sewot*

    BalasHapus
  8. Kalo Sastronya diawali dengan Dian, pasti kagak suka ya?

    BalasHapus
  9. Saya tes lewat ponsel tak ada masalah, Mbak.

    BalasHapus