Kamis, 28 April 2011

Dan, Pada Akhirnya [2]

Hidup itu soal keberuntungan semata, kata bapak suatu ketika.


Baiklah, mungkin ini juga aku menjemput kakak yang terakhir. Maka, dengan sukacita dan dukacita yang begitu memburu, saling kejar-mengejar untuk mengisi ruang hati yang sedang dirundung begitu banyak permasalahan dalam hidup. Sukacita karena aku tak perlu repot-repot lagi ditelpon dan bergegas ke bandara. Dukacita, karena aku akan merindukan semua ini. Kakak... aku berkata lirih di dalam pesawat ini tanpa sengaja. Mataku masih menatap ke arah jendela.


Sepuluh hari lalu, kakak berangkat ke Solo. Katanya, di dekat sana, ada sebuah gunung yang bisa dia daki. Sekaligus untuk mengambil foto dan memberikan data rinci kepada redaksi. Dengan bangganya, pagi itu, dia mengangkat tas ranselnya dan mengalungkan kameranya. Mencobanya, menjepret diriku yang sedang mengenakan jaket.


"Lihat!!! Lihat ini!!!" katanya sambil menunjukkan LCD kameranya kepadaku.


Aku menatapnya. Senyumku memekar dari bibir. Namun, jiwaku begitu getir menatap foto itu. Aku merasa akan ada sesuatu yang bakal hilang dari diriku dalam waktu yang tak lama lagi.


"Hei, ayo berangkat!!! Pesawatku 'kan jam sembilan!"


Sorenya dia menelpon kami bahwa dia sudah sampai Solo sambil disertai ucapan maaf kalau baru memberikan kabar karena harus ke kantor redaksi di Solo dahulu untuk memberikan kabar kepada Jakarta. Setelah urusan selesai, dia akan menginap dulu semalam di Solo. Menikmati makanan khasnya sambil berkeliling di kota itu.


"Dik, aku suka sekali dengan kota ini!!! Nanti liburan, kalau kamu ambil cuti di kantormu, akan kuajak kamu ke sini."

"Memangnya apa istimewanya, Kak?" tanyaku menggebu-gebu di telepon genggam.

"Pokoknya beda banget, aku suka suasana macam ini. Aku betah sekali! Hahaha..."


Aku tahu, paginya dia akan berangkat bersama tiga orang kawannya di Solo untuk menuju pendakian. Dia berjanji bahwa akan menghubungiku kalau sudah sampai di puncak gunung. Sinyal jaringan diusahakan ada olehnya. Jangan heran, dia pasti menghubungiku! Dia tak pernah bermasalah dengan jaringan telekomunikasi karena dia memiliki banyak telepon genggam.


Namun, sudah empat hari belum ada kabar darinya. Kupikir dia sedang mendaki gunung yang jauh sekali sampai-sampai harus membuat perkemahan dahulu. Ada baiknya aku bersabar. Atau mungkin dia sedang kerepotan menjepret setiap sisi gunung tersebut.


Di hari kelima, telepon pagi. Jam enam.


"Halo!" Aku yang mengangkat telepon itu. Kupikir dari kakak.

"Halo! Selamat pagi! Benar ini kediaman Rahdi Harjaya?"

"Benar, Pak. Maaf, saya bicara dengan siapa?"

"Saya Anggoro, Pak. Dari kantor redaksi Mas Rahdi di Solo, ada kabar dari Mas Rahdi."

"Mas Rahdi sudah sampai ya, Mas?!" Hatiku mulai senang mendengarnya.

"Bukan Mas, Mas Rahdi dan tiga orang teman kami hilang. Kami kehilangan kontak dengan mereka."


Tanganku bergetar hebat. Air mata tak lagi dapat kubendung. Semua pecah seketika. Aku menjerit histeris, membangunkan bapak dan ibu. Telepon yang masih tersambung kulepaskan begitu saja. Bapak dan ibu keluar dari kamarnya dan menanyakan kepadaku apa yang terjadi, mengapa harus berteriak-teriak sambil menangis.


"Kakak hilang, Pak!!!"


Pesawat akan segera mendarat. Kamu harus kembali lagi mengenakan sabuk pengaman agar tak terpental, begitu katanya. Aku percaya saja. Aku akan menemui kakakku. Semuanya akan segera berakhir 'kan, kak? Kamu dapat pulang juga akhirnya. Ibu, bapak, dan aku sangat khawatir sekali dengan keadaanmu.


Kabar terakhir dari Mas Anggoro bahwa Tim SAR dan dibantu warga sekitar sedang menelusuri daerah sekitar gunung yang kakak dan ketiga kawannya daki. Semua informasi mereka upayakan baik dari Solo maupun dari Jakarta. Harian ibukota sudah mengeluarkan berita kehilangan ini dan pagi juga aku sudah menyaksikan berita hilangnya kakak. Aku tak bisa bicara apapun.


"Tolong dibantu dengan doa..."  pesan dari Mas Anggoro disertai janjinya akan terus memberikan laporan kepada kami. Tolonglah, semoga dia baik-baik saja. Bukankah kamu masih ada janji denganku, Kak? Kita akan ke Solo. Liburan nanti akan kugunakan waktuku untuk menikmati Solo seperti yang kau deskripsikan kepadaku. Jadi, kembalilah! Pulanglah!


"Mas Rahdi dan ketiga temannya sudah ditemukan oleh Tim SAR. Mas bisa ke Solo, nanti tiket pesawat dan akomodasi lainnya akan diurus oleh kami."


Kakak ditemukan juga. Kabar terakhir dari Mas Anggoro. Aku dapat menjemputnya. Pikiranku diisi semua kata-kata terakhirnya sebelum berangkat. Aku mengingat masa-masa kebersamaan kita, bagaimana cara dia bercerita tentang pengalamannya naik-turun gunung. Berkelana ke kota-kota lainnya. Mengajariku bagaimana menggunakan kamera dengan baik, mencari obyek foto yang menarik. Aku mengingat dia memberikanku sepatu gunung persis seperti miliknya. Mengingat canda, tawa, bagaimana mendeskripsikan perasaan, mencurahkan semuanya kepadaku. Benar-benar, aku menangis setelah kabar itu datang kepadaku.


Hari ini, sore ini juga, aku akan pulang bersamanya. Hanya saja, kita berbeda ruang. Dia akan ada di bagasi pesawat, terbujur kaku dalam peti. Sedangkan aku, aku akan berada di kursi penumpang. Sesama yang hidup. Dia telah meraih cita-citanya, apa yang dikatakannya benar, dia betah di gunung sana sampai lenyap. Dia telah melepaskan jiwanya sendiri di gunung, seperti apa yang dikatakannya. Mungkin dia akan dikremasikan dan biarkan abunya diletakkan di puncak gunung seperti pesannya. Dan... pada akhirnya, engkau pulang.



Jakarta, 22 Agustus 2009 | 9.59

14 komentar:

  1. gw bacanya smp merinding yg nulis malah ngakak :(

    BalasHapus
  2. Kenapa harus merinding, Mbak? Ini fiktif :-)

    BalasHapus
  3. Juragan Nanas....mantab jaya......

    BalasHapus
  4. Sekadar posting lama, untuk arsip. Nuhun, Kang! #eh

    BalasHapus
  5. Hahahahah masih saja juragan nanas manggilnya

    BalasHapus
  6. lanjut cerita yang lain, Ave!
    *ketagihan*

    BalasHapus
  7. Candunya ditunda dulu, Mbak. Hadeeeew!

    BalasHapus