Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa—suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. – Seno Gumira Ajidarma
Dalam sebuah diskusi, seorang teman mengajukan pertanyaan kepada saya, “mengapa menulis?” Saya pikir ini adalah sebuah pertanyaan yang sangatlah absurd, yang di mana saya sendiri tidak bisa menemukan kepastian untuk jawabannya. Memang, saya menulis di mana saja. Di dunia maya maupun di dunia nyata. Arsip saya tersedia di mana-mana dan selalu saya simpan dengan rapi agar ketika saya membutuhkannya, saya tinggal membukanya dan menggunakannya setiap saat.
Tak jarang juga teman-teman saya yang meminta saya untuk menuliskan sesuatu untuk mereka hanya saya kirimkan tautan blog saya. Biar mereka mencari sendiri apa yang mereka butuhkan. Ketika mereka mengatakan tak menemukan apa yang mereka butuhkan, barulah saya kembali menuliskan untuk mereka.
Saya insafi beberapa minggu ke belakang ini, saya sudah jarang menulis. Kalau pun menulis, hanya ada tulisan yang sekadar selesai saja. Tetapi intinya, saya masih menulis. Entah itu di blog ini, di kertas, lewat microblogging seperti Twitter dan Plurk, atau merawi proyek pribadi saya. Keseharian saya dihabiskan dengan membaca, menulis, dan meneliti. Saya selalu bahagia dengan waktu yang dapat dilewati dengan cara tersebut.
Kembali ke pertanyaan teman saya tersebut. “Mengapa menulis?” Pertanyaan ini membuat saya mengerutkan dahi dan sesungguhnya saya tak tahu apa alasan saya menulis. Bagi saya, menulis bukan lagi sebuah hobi, tetapi menjadi seperti makanan pokok. Mungkin pula menulis seperti bernapas yang harus dilakukan setiap saat.
Acap kali, kalau saya tak ada wadah untuk menulis, saya merasa gelisah. Entah apa yang saya gelisahkan selalu tak menunjukkan arah yang jelas berlabuh ke mana. Mungkin memang saya menulis karena saya gelisah. Apa yang saya gelisahkan, mungkin karena saya tidak menulis pada saat itu.
Saya mengamini kata-kata Seno Gumira Ajidarma tersebut. Saya bukanlah orang yang suka banyak bicara kecuali memang saya merasa saya perlu untuk bicara. Orang-orang lebih memandang saya berkepala dingin dan sejenisnya. Saya bukanlah orang yang pandai berbasa-basi, mengangkat suatu topik pembicaraan yang bisa menghabiskan waktu berjam-jam dan berhari-hari. Saya hanya bisa bicara langsung pada inti persoalan yang ada.
Faktor ini juga yang menurut saya, saya selalu dianggap dingin oleh orang sekitar saya.
Saya lebih suka mencurahkan semuanya dengan menulis. Duduk diam, dengan kertas dan pena atau laptop. Kemudian jemari-jemari saya biarkan saja bergerak dengan sendirinya. Biar ia menyusun aksara yang ada. Dengan cara itu, saya sudah bicara. Mungkin pula dengan bercerita seperti yang sedang Anda baca ini.
Dengan menulis pun, saya bisa saling bersapa, ngobrol, bahkan menjalin persahabatan. Sila percaya atau tidak, keajaiban menulis begitu nyata bagi saya. Dengan menulis, saya bisa mendapatkan penghasilan tambahan. Dengan menulis, saya menyalurkan kegelisahan saya. Dengan menulis, saya bisa menjadi abadi. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, “menulis adalah bekerja menuju keabadian.”
Betapa besar keajaiban menulis bagi saya. Ah, bisa jadi, ini menjadi jawaban mengapa saya menulis dan tetap menulis sampai saat ini meski dalam kondisi yang sulit dan kosong.
Nah, bagaimana dengan Anda?
Jakarta, 15 April 2011 | 1.09
A.A. – dalam sebuah inisial
menulis ituuu...
BalasHapusmembuatq mengasah hati.. hihi
Ah, aku pun setuju, Mbak!
BalasHapusnana plg males menulis. Demen ngocehhhhh banget Ve
BalasHapuscara lain dari berbicara: beda orang beda cara: jadi jalani saja dengan riang :)
BalasHapusteruslah menulis
Semua orang ada pada pilihannya masing-masing, Mbak. :-)
BalasHapusAh, aku kenal Om Damuh juga karena menulis 'kan? ;-)
BalasHapusya, tapi tidak setangguh dirimu, Dik
BalasHapusbeda dengan Om, yang menulis alakadarnya saja...tanpa makna
nah dik Av, jauh lebih dalam dan punya target, keren...
Walah! Aku malah banyak belajar dari Om Damuh. Sederhana namun mengesankan, meninggalkan jejak setelah habis membacanya.
BalasHapusjiah, mulai nyanjung dah, selalu begitu, makasi buat sanjungannya selalu
BalasHapusdan yakinlah bahwa tulisanmu penuh makna dan berbobot, layak bisa mendapat hasil dari sana...jangan berhenti ya, Om selalu nunggu tulisanmu
Menulis adalah tambahan sembako setelah beras...
BalasHapusmelalui tulisan juga, saya mengenali saudara
BalasHapusmenulis itu melatih kehalusan budi.
BalasHapusmenulis bagi mus
BalasHapusmenjelmakan nuansa yang terlihat walau sekejap
Haduh, itu faktanya, Om Damuh. Bukan menyanjung. :-)
BalasHapusTerima kasih telah setia menunggu selalu, Om Damuh.
Bagimu itu, Mas? Ah, indahnya! :-)
BalasHapusDan begitu juga dengan saya, Mbak. :-)
BalasHapusWah, jelas sekali kalau setiap saat Mas Mus selalu menulis :-)
BalasHapusMenulis juga melatih ketekunan dan kesabaran.
BalasHapusmenulis itu terapi...
BalasHapusMenulis, berkarib dengan abjad membuat dunia yang tak terjangkau menjadi dekat :-)
BalasHapusHai Ave ^_^
Obat patah hati ya, Mbak Dhee? ;-))
BalasHapusSama seperti kita ya, Mbak? :-)
BalasHapusHai Mbak!
penyembuh patah hati, peredam luapan amarah, pengalih prasangka, penyimpanan letupan cinta..
BalasHapus#halah
idem...
BalasHapusHahaha... Bagiku menulis adalah bernapas.
BalasHapusAh, aku sedang membaca kegelisahanmu, Mbak.
BalasHapusYups tepat Ave :)
BalasHapusJauhmu didekatku ^^