Minggu, 26 September 2010

Pramoedya dan Saya

Mungkin sudah lama juga saya tidak berbicara tentang Pramoedya di blog ini. Bisa jadi ini pengaruh dari diri saya yang mulai kekurangan waktu untuk membaca karya Pram yang sebenarnya hanya kurang dari 200 halaman dan lebih mengutamakan membaca buku yang tebalnya 300-500 halaman. Sementara saya berpikir masih ada banyak waktu untuk membaca karya Pram.

Pengaruh Pram kepada kepenulisan saya juga terjadi. Buktinya, saya menjadi kurang dalam menulis. Kadang membuka Wordpad dan untuk mengejar tugas yang jadwalnya sudah di depan mata saja harus membuat saya terdiam sejenak. Bingung apa yang harus saya tulis. Apalagi dengan blog?

Sebenarnya banyak yang bisa saya bagikan dalam tulisan. Toh, banyak orang yang dekat dengan saya tahu bahwa saya tidak bisa melampiaskan suatu cerita dengan bertutur, melainkan dengan menulis. Semakin tidak jelas tulisan saya, pertanda semakin tidak jelas isi hati saya. Semakin tidak jelas juga apa yang sedang saya pikirkan.

Sontak saya merasa nyaman dengan kondisi seperti ini? Tidak. Malah sebaliknya, semakin sulit menulis, saya semakin gelisah. Saya semakin ingin menulis, maka apapun hasilnya adalah yang kedua. Yang pasti saya hendak ingin menulis. Kadang saya memang merasa ini bukan lagi seperti tulisan saya, tetapi di otak saya, setelah menumpahkan seluruh isi kepala, saya sudah merasa cukup.

Kemarin malam, sebelum saya berangkat ke Bandung, saya sempat menggeledah rak buku saya untuk mencari buku bacaan apa yang bisa saya bawa. Tangan saya melewati tumpukan buku-buku Pram. Langsung saja saya ambil salah satu. Dari sana saya sadar, saya mulai jarang menulis. Saya tidak produktif.

Pram lewat tulisannya mengajarkan saya banyak hal. Walaupun sampai akhir hayatnya, saya tak pernah tahu bagaimana sosok lelaki yang dibenci oleh Soeharto dan antek-anteknya itu. Lelaki yang masih meminta rokok saat nafasnya hampir habis. Pram bukan hanya bercerita, tetapi lebih menyentuh pembacanya lewat kata-kata agar si pembaca pun paham begitulah kehidupan yang penat ini memang harus dijalani.

Terlalu lama jeda ini jika saya tidak menulis. Nyaris empat bulan saya hanya mengupdate blog ala kadarnya, menulis di komputer secara sederhana, bahkan tak tahu apa yang harus ditulis dengan memori terbatas di otak ini. Ketika saya sudah menumpahkannya dalam tulisan, bukan alang kepalang rianya hati ini.

Kalau saya harus berterima kasih, kepada Pram-lah saya harus mengatakannya. Pram yang membawa saya selalu untuk tetap menulis, tetap membaca, tetap mencintai sastra apa adanya. Pram yang selalu menambah kosa kata dan gaya bahasa saya. Pram yang memberikan pelajaran bahwa keberanianlah sumber dari segala kehidupan. Jika kita tidak berani, maka jangan pernah untuk hidup. Termasuk juga berani untuk kembali dan tetap menulis.

Saya jatuh cinta kepada Pram, kepada kata-katanya. Dari sana saya selalu belajar memaknai hidup agar lebih berarti, meskipun kecil.

 

Bandung, 9 September 2010 | 1.06
A.A. – dalam sebuah inisial

21 komentar:

  1. baru baca yang panggil aku kartini saja. :D

    BalasHapus
  2. Saya rekomendasikan Bukan Pasar Malam dan Tetralogi Buru-nya, Mas :-)

    BalasHapus
  3. jamaknya demikian, ananda... :-)
    saya menyukai kutipan itu

    BalasHapus
  4. kamu tau gak Av ...
    aq itu suka Pram tp gk pernah beli bukunya... hiks
    aq suka dgn ketegasannya dlm menulis...
    syg anaknya lbh suka musik..tdk spt bpknya...

    BalasHapus
  5. dan petikan tambahannya lagi; berani kembali dan tetap menulis.

    -tetap semangat!!-

    BalasHapus
  6. Ayo menulis Ve
    kamu menyemangati temanmu sekarang gantian seorang teman menyemangati Aveline

    BalasHapus
  7. Sudah banyak perpustakaan yang menyediakannya, Mas...
    Bahkan PN menyediakannya untuk umum

    BalasHapus
  8. Malah adiknya yang menjadi gemar menulis, tapi di sanalah seni kehidupan yang berwarna-warni. Tak semua orang harus sepaham, bukan? :-)

    BalasHapus
  9. Masih akan menelusiri jalur tengah, Mbak :-)

    BalasHapus
  10. Pram selalu memberikan semangat dalam setiap karyanya,lebih lagi juga dalam kehidupan nyata beliau, membuat kita selalu ingin berjuang sampai mati atas apa yang dinamakan kebebasan dan kemerdekaan yang hakiki

    BalasHapus
  11. Aku sepakat, Pak Made. Pram adalah inspirator kata-kata!

    BalasHapus
  12. eh , AV aq mo nyapa si Made ...
    koq gak pernah mampir ....ya ?

    BalasHapus
  13. Silakan disapa, ditoel, dicubit, atau apapun itu :D

    BalasHapus
  14. Wahhhhh bakal kena marah nih kayaknya....maap Ɣªª mbak rien ;)

    BalasHapus
  15. wkwkwkkkk ... gak tega marah sm Made...

    BalasHapus
  16. Bukunya bagus dan pernah sekilas membaca, masih kalah ama primbon-primbon kuliah yang harus dihajar siang malam.

    BalasHapus