Seperti itulah memang seharusnya, kamu sepatutnya bahagia. Walau pada akhirnya kita memang tidak dapat dipersatukan. Sedikit banyak kita akan menerima rasa kehilangan sekaligus belajar melepas seseorang untuk memahami bagaimana sakitnya ketika kita dijauhi ataupun menjauhi orang tersebut.
Aku tak bisa egois terhadap diriku. Karena bagaimanapun juga, manusia sudah tercipta atas dasar jalannya sendiri-sendiri dan akan menembus ziarah kehidupannya juga. Terkadang kita tidak pernah berdiskusi dengan malam yang begitu panjang padahal rembulan memiliki jawaban yang sedikit lebih pasti daripada isi hati kita.
"Aku lebih memilih tidak bahagia daripada berpisah..."
Masih juga kita melirihkan lagu bersimfoni menyayat diri. Padahal kita tak perlu melakukan semua itu kalau kita siap menghadapi kehilangan. Inilah yang membuatku membenci pertemuan karena aku tahu bahwa kita akan berpisah suatu hari nanti. Aku selalu berusaha menjauhi untuk bertemu, berpapasan, apalagi berjabat tangan. Bukannya aku anti akan etika kesopanan, tetapi semata-mata aku harus menjauhi pertemuan itu.
Namun aku tidak pernah bisa menjauhinya. Dia semakin mendekat dan mendekat. Semakin aku menjauhinya, aku semakin banyak bertemu dengan orang yang tak pernah kuharapkan. Semakin banyak pula aku bertemu di dalam kesempatan tanpa sengaja. Termasuk dirimu.
"Kita tidak lagi dapat dipersatukan."
"Bukannya sejak dahulu kita memang tidak pernah bisa dipersatukan?"
Aku menganggukan kepala. Sepakat dengan kata-katanya itu. Kita akan membuat kebahagiaan itu sendiri-sendiri. Cepat atau lambat hubungan ini juga akan terbongkar, sadarkah kita? Setelah kita mencobai diri kita untuk menyimpan semua ini, masih layakkah kita?
"Kamu masih punya mimpi keluarga bahagia bukan? Itu bukan ada pada diriku."
Semestinya kau bahagia, tapi bukan denganku. Bukan kita berdua yang meluruskan semua mimpi-mimpimu. Kau terlalu layak untuk bahagia sedangkan tidak denganku. Untuk ribuan kenangan yang sudah pernah kita jalani, baiknya kau catatkan di dalam buku tua dan kubur buku itu di dalam tanah. Agar jangan lagi kau mengingat semua yang pernah kita lakukan. Semata-mata ini demi dirimu seorang.
"Jangan pernah pedulikan aku!"
"Kita harus berpisah?"
"Ya..."
Aku tahu bagaimana ke depannya kita akan terkoyak bersama. Berusaha menghapus kenangan yang begitu kelam dalam hidup sedangkan di sisi lain kita harus menempuh kehidupan lagi. Hidup kita terlalu penuh dengan kepura-puraan yang nikmatnya hanyalah sesaat. Harusnya kusadari itu. Kau terlalu layak untuk bahagia, tetapi bukan bersamaku.
"Kalau memang ini jalan yang paling benar, baiklah kita berpisah."
"Karena hidupmu terlalu indah, terlalu sayang untuk disia-siakan begitu saja."
"Dan engkau juga. Peluk aku! Untuk terakhir kali saja..."
Aku memelukmu. Dalam peluk ini, semua rasa kita tertumpah sudah. Antara haru, kesal, benci, suka, duka, amarah, dan banyak lainnya. Semua kenangan melebur begitu saja di dalam pelukan ini. Pantaskah aku mencumbui cintamu sementara kau tidak pernah mendapatkan apa yang engkau harapkan dari aku? Di sisi lain aku terus menggeruk semua isi hatimu.
"Semestinya kau bahagia..."
"Semestinya. Tapi aku tidak tahu aku akan bahagia atau tidak."
"Semestinya. Kau. Bahagia."
Terlalu sayang hidupmu yang indah itu berlalu begitu saja bersamaku yang hanya mampu menghembuskan nyawa beraroma mati jiwa untuk mendapatkanmu sesaat demi kerakusanku. Kalanya aku harus melepaskanmu dan kau melepaskanku. Kita saling melepaskan untuk mendapatkan kebahagiaanmu saja.
Jakarta, 13 April 2010 | 16.07
AA. - dalam sebuah inisial
Aku tak bisa egois terhadap diriku. Karena bagaimanapun juga, manusia sudah tercipta atas dasar jalannya sendiri-sendiri dan akan menembus ziarah kehidupannya juga. Terkadang kita tidak pernah berdiskusi dengan malam yang begitu panjang padahal rembulan memiliki jawaban yang sedikit lebih pasti daripada isi hati kita.
"Aku lebih memilih tidak bahagia daripada berpisah..."
Masih juga kita melirihkan lagu bersimfoni menyayat diri. Padahal kita tak perlu melakukan semua itu kalau kita siap menghadapi kehilangan. Inilah yang membuatku membenci pertemuan karena aku tahu bahwa kita akan berpisah suatu hari nanti. Aku selalu berusaha menjauhi untuk bertemu, berpapasan, apalagi berjabat tangan. Bukannya aku anti akan etika kesopanan, tetapi semata-mata aku harus menjauhi pertemuan itu.
Namun aku tidak pernah bisa menjauhinya. Dia semakin mendekat dan mendekat. Semakin aku menjauhinya, aku semakin banyak bertemu dengan orang yang tak pernah kuharapkan. Semakin banyak pula aku bertemu di dalam kesempatan tanpa sengaja. Termasuk dirimu.
"Kita tidak lagi dapat dipersatukan."
"Bukannya sejak dahulu kita memang tidak pernah bisa dipersatukan?"
Aku menganggukan kepala. Sepakat dengan kata-katanya itu. Kita akan membuat kebahagiaan itu sendiri-sendiri. Cepat atau lambat hubungan ini juga akan terbongkar, sadarkah kita? Setelah kita mencobai diri kita untuk menyimpan semua ini, masih layakkah kita?
"Kamu masih punya mimpi keluarga bahagia bukan? Itu bukan ada pada diriku."
Semestinya kau bahagia, tapi bukan denganku. Bukan kita berdua yang meluruskan semua mimpi-mimpimu. Kau terlalu layak untuk bahagia sedangkan tidak denganku. Untuk ribuan kenangan yang sudah pernah kita jalani, baiknya kau catatkan di dalam buku tua dan kubur buku itu di dalam tanah. Agar jangan lagi kau mengingat semua yang pernah kita lakukan. Semata-mata ini demi dirimu seorang.
"Jangan pernah pedulikan aku!"
"Kita harus berpisah?"
"Ya..."
Aku tahu bagaimana ke depannya kita akan terkoyak bersama. Berusaha menghapus kenangan yang begitu kelam dalam hidup sedangkan di sisi lain kita harus menempuh kehidupan lagi. Hidup kita terlalu penuh dengan kepura-puraan yang nikmatnya hanyalah sesaat. Harusnya kusadari itu. Kau terlalu layak untuk bahagia, tetapi bukan bersamaku.
"Kalau memang ini jalan yang paling benar, baiklah kita berpisah."
"Karena hidupmu terlalu indah, terlalu sayang untuk disia-siakan begitu saja."
"Dan engkau juga. Peluk aku! Untuk terakhir kali saja..."
Aku memelukmu. Dalam peluk ini, semua rasa kita tertumpah sudah. Antara haru, kesal, benci, suka, duka, amarah, dan banyak lainnya. Semua kenangan melebur begitu saja di dalam pelukan ini. Pantaskah aku mencumbui cintamu sementara kau tidak pernah mendapatkan apa yang engkau harapkan dari aku? Di sisi lain aku terus menggeruk semua isi hatimu.
"Semestinya kau bahagia..."
"Semestinya. Tapi aku tidak tahu aku akan bahagia atau tidak."
"Semestinya. Kau. Bahagia."
Terlalu sayang hidupmu yang indah itu berlalu begitu saja bersamaku yang hanya mampu menghembuskan nyawa beraroma mati jiwa untuk mendapatkanmu sesaat demi kerakusanku. Kalanya aku harus melepaskanmu dan kau melepaskanku. Kita saling melepaskan untuk mendapatkan kebahagiaanmu saja.
Jakarta, 13 April 2010 | 16.07
AA. - dalam sebuah inisial
Bahagia,
BalasHapusmudah dikatakan tapi tak mudah dirasakan...
jika smua org bersikap spt ini, tentu tak akan ada hati yg tersia...:)
BalasHapusMudah dirasakan namun sulit untuk dimiliki...
BalasHapusLalu tak akan ada yang namanya jenjang pernikahan karena pada saling merelakan :-))
BalasHapusduh repot juga yah mbk...^^
BalasHapusHahaha... Begitulah tipikal orang Indonesia. Yang praktis dibuat ruwet.
BalasHapusyg ruwet jadi gantung diri....ya mbk...^^
BalasHapusHahaha... Di luar zona saya :-))
BalasHapusJadi sayonara kah?
BalasHapuswooow,...takjub klu ada yang bisa berkorban begini...:)
BalasHapusbahasa tulisan kamu makin ok aja av,....:)
BalasHapusKita tunggu episode berikutnya :-))
BalasHapusApakah Mbak Re mencarinya? :-))
BalasHapusTerima kasih Mbak Re...
BalasHapusApa kabar?
kabar baik av,...
BalasHapusMenggembirakan, Mbak Re...
BalasHapusSetelah sekian lama tak bersua
weh knp nie?
BalasHapusada apa knp nie?
SABUDI (sastra budaya indonesia)
mari kita jaga bersama!
Ndak tahu nih, Mas...
BalasHapusNdak ngerti juga :-))
semestinya semuanya dipikirkan dan harus ada satu yg mengalah..
BalasHapusSABUDI (sastra budaya indonesia)
mari kita jaga bersama!
Pada pasalnya memang harus demikian, namun melakukannya begitu sulit.
BalasHapusmelepaskan itu sulit..ihiks..
BalasHapustidak sulit hanya butuh kesadaran. untuk bisa bersama
BalasHapusSABUDI (sastra budaya indonesia)
mari kita jaga bersama!
Sangat sulit, Mbak Dedew...
BalasHapusKesadaran akan egois semata itu yang membuatnya menjadi sulit.
BalasHapusya diamlah beberapa hari dan muntahkan semua amarah lalu bersamalah..
BalasHapusSABUDI (sastra budaya indonesia)
mari kita jaga bersama!
Sayangnya ini bukan kebersamaan melainkan perelaan lebih mendominasi.
BalasHapusemm yasudahlah..
BalasHapusto angin tak hanya membawa plastik hehehe
SABUDI (sastra budaya indonesia)
mari kita jaga bersama!
Hahaha... Metaforanya, Mas...
BalasHapusKadang untuk merasa bahagia kita memang harus melepas satu buah kebahagian...
BalasHapushikz.. sedih ave ceritanya. Apakah berpisah itu membuat bahagia? Merelakan orang yang disayangi untuk bahagia dengan orang lain, itu hal yang sulit. Tapi mau bagaimana lagi kehidupan yang berjalan akan menjawab arti bahagia itu :)
BalasHapusKebahagiaan akan datang ketika kebahagiaan lain kita relakan pergi
BalasHapusUntuk itulah, aku selalu membenci pertemuan karena aku tahu pada akhirnya adalah perpisahan. Aku selalu berusaha menghindari pertemuan, namun rasanya pertemuan sudah menjadi bagian dari hidup.
BalasHapusaq gk mau berpisah... mau sama2 aja .... hiks
BalasHapusKembar siam saja kalau gitu :-))
BalasHapusAku akan membawa hidupku bahagia Ave :-)
BalasHapusuntuk kebahagiaan
BalasHapusSelamanya 'kan?
BalasHapusYap. Hanya itu.
BalasHapushihihi aku tau kamu ga suka pertemuan :D
BalasHapusJika tak ada pertemuan tidak ada interaksi sebagai mahluk sosial, tidak mengenal sifat/karakter seseorang :)
Aku lebih menyukai kesendirian, karena perpisahan terlalu menyakitkan
BalasHapusSemoga begitu :-)
BalasHapusTapi...hidup ini kan tidak ada yang abadi
Susah senang silih berganti :-D
Maka itulah, hidup ada.
BalasHapusaku masih ingin kembali....
BalasHapus