Sabtu, 07 Maret 2009

Sahabat Kehidupan

Hari ini tepat aku merayakan panggilanku sebagai seorang pelayan kekasihku yang ke dua puluh lima. Hari ini juga yang memperingatiku atas kejadian sepuluh tahun  silam, tepatnya 30 November 1995.

Ceriteranya seperti ini, aku adalah seorang anak dari ayah yang pekerjaannya seorang karyawan perusahaan swasta dan ibu seorang dosen di sebuah universitas di Jakarta. Aku mabuk – mabukkan sejak aku ditinggalkan oleh seseorang kekasih yang amat mencintaiku dan begitu juga sebaliknya. Ia bukan menolak cintaku, bukan juga karena usianya yang terlalu muda. Ia meninggal. Tragis. Ia dibunuh oleh seorang sahabat yang amat setia padanya. Bahkan sahabat itu sangat akrab dengan kita.

 Ia mengaku bahwa ia sangat mencintaiku. Dengan sangat terpaksa ia membunuh seseorang kawan yang menurut pengakuannya ia sangat cemburu dengan kekasihku. Setelah aku tahu motif pembunuhan terhadap kekasihku, aku menjadi depresi. Saat pemakaman Eliza, kekasihkupun aku tidak hadir. Selama sebulan di dalam memoriku hanya teringat dia.

Akhirnya, aku menjadi seorang preman jalanan. Aku kebut – kebutan bersama temanku. Aku ngetrek di jalanan Jakarta yang begitu menyesakkan dada akibat polusi udara. Lalu, aku mabuk – mabukan dan menikmati narkotika.

Tiga bulan berlalu, aku memakai barang haram tersebut, lalu aku sangat ketagihan. Sampai saat itu, orang tuaku tidak tahu aku ini seorang pemakai barang haram itu.

Setengah tahun sudah aku memakai barang haram itu, lalu aku mulai merasakan efek sampingnya. Badanku panas dingin. Over dosis akibat barang itu. Saking paniknya, orang tuaku melarikanku ke rumah sakit.

Orang tuaku tahu aku menjadi seorang pecandu narkoba. Hampir tiga bulan aku tidak sadarkan diri. Orang tuaku cemas. Tepat tanggal 6 Oktober 1983, aku kembali bisa melihat dunia. Lalu aku menjalani rehabilitasi narkoba.

Saat aku menjalani rehabilitasi narkoba, aku bertemu dengan sesama pecandu narkoba. Ia telah menjalani rehabilitasi selama tiga bulan. Saat menjalani rehabilitasi, ia bisa melihat seorang sahabat yang sangat menyayanginya. “Aku sudah di sini tiga bulan. Entah berapa juta uang yang telah dikeluarkan orang tuaku. Selama di sini aku sudah membaik,” jawabnya. “Lalu apa saja perubahan yang telah kamu rasakan?” tanyaku. “Aku bisa merasakan Ia ada di sisiku. Di malam hari Ia berkata tobatlah… tobatlah… tobat… Waktumu masih panjang, jangan kau sia – siakan hidupmu,” ,jawabnya. “Siapakah Dia?” tanyaku. “Ialah yang memberikan semangat hidup padaku dan nantinya juga padamu. Kaupun akan tahu siapa Dia nantinya!” jawabnya dengan nada agak meninggi.

Tiga bulan berlalu, sahabatku meninggalkanku setelah ia menjalani rehabilitasi narkoba selama enam bulan. Lambaian tangannya yang mengartikan sampai jumpa bergoyang. Akupun ingin seperti dia, kembali bernafas bebas.

Sebulan setelah sahabatku itu meninggalkanku, aku sudah mulai bisa siapa yang dimaksud dengan Dia yang mengatakan Tobatlah…. Aku tahu Dia adalah Yesus, Kekasihku yang baru, yang menemaniku selama rehabilitasi narkoba ini.

Dua bulan kemudian, aku telah mulai bisa bersahabat dengan Kekasihku yang baru ini sambil menjalani rehabilitasi narkoba yang menyesakkan dada, melelahkan tubuh yang kurus ini, dan yang membosankan selama enam bulan. Tepat tanggal 8 Februari 1984, aku bisa bertemu bersama sahabatku yang mengenalkan aku seorang Kekasih untukku, Yesus.

Aku mencari dia, Hendrawan, yang telah memperkenalkan aku dengan Kekasih yang baru selama di rehabilitasi narkoba. Dua bulan kemudian aku bertemu dia di sebuah rumah makan bersama seorang perempuan.

“Hen, aku sudah tahu siapa yang kau maksud Dia! Aku tahu Hen, aku tahu!” teriakku. “Siapa dia?” tanya wanita yang ada di sebelahnya. “Oh… ini Leo, temanku di tempat rehabilitasi.” balasnya.

Sejak pertemuan itu aku sering menelpon Hendra. Suatu hari dalam sebuah percakapan di telepon, “Hen, aku mau mengikuti jejak Dia”. “Kamu tidak salah? Aku menyetujuinya, ini sebagai denda dosa yang kau perbuat sampai saat itu.”

Hendrapun menyetujuinya. Tetapi, orang tuaku tidak menyetujuinya. Dengan bujukan Hendra dan seorang teman yang pernah hidup di pusat rehabilitasi narkotika, orang tuaku akhirnya mengizinkan dengan sangat terpaksa. Kemudian aku masuk ke Sarikat Jesus. Selama di seminari, aku ditemani Kekasihku, Yesus itu.  Lima tahun kemudian aku menjadi pastor dari Sarikat Jesus.

Tiga tahun kemudian, aku pindah tugas di sebuah kota yang amat terpencil dari kejauhan kota yang bising, Merauke. Pada awalnya aku kesulitan beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Karena keakraban dan keramahan penduduk Merauke, akupun bisa beradaptasi.

Karena di sebuah Gereja di Jakarta kekurangan seorang Imam, akupun dipanggil kembali ke Jakarta. Karena sudah lima tahun tidak bertemu dengan Hendra, akupun menjadi kangen dengannya.

Aku selalu berusaha menghubungi telepon genggamnya, tetapi tidak bisa. Aku menghubungi rumahnya, dan katanya ia sudah pindah.

Di suatu waktu, Kekasihku kembali mempertemukanku dengan Hendra. Tempatnya kini benar – benar sangat indah, di rumah Kekasihku sendiri. Pada waktu itu aku sedang memimpin misa.

Setelah selesai misa, aku bergegas mengejar Hendra. Aku minta nomor telpon dan tempat tinggalnya yang baru. “Hendra, Hendra, apa kabar?” tanyaku. “Baik, kamu ke mana saja? Sudah lama kita tidak bertemu.” “Boleh aku minta nomor telpon dan alamat barumu?”

Ia menyerahkan sebuah kartu nama. Sejak saat itu, hubungan kita yang terputus kembali tersambung. Kita sering telpon, aku pergi ke rumahnya, begitu juga dengan dia, Ia sering sekali main ke pastoran.

Sudah tiga bulan kita tidak lagi berhubungan. Kita terputus dengan kepentingan kita masing – masing.

Suatu malam, berdering telepon untukku. “Selamat malam, apakah saya bisa bicara dengan Romo Leo Wiranata, SJ?” Jawabku, “Ya, saya sendiri. Dari siapa ya?” “Saya istri Hendrawan Gunarto, romo. Saat ini suami saya sedang gawat. Bisakah romo datang sekarang?” Hendrawan Gunarto, seorang yang ku kenal sehat, kini sedang memperjuangkan hidup di ruang ICU. Tanpa pikir panjang ku menjawab,” Saya akan segera ke sana!”

Malam yang diliputi rasa takut, cemas, was – was aku pergi dengan Frater Ricardo dengan diantar oleh Pak Mul, supir gereja menuju ke rumah sakit. Aku langsung menuju ke ruang ICU, terlihat di sana selang – selang tersambung ke tubuh Hendrawan untuk memaksakan agar ia tetap bernafas.

Akupun mendoakan dan memberikan sakramen perminyakan agar Kekasihku masih mau memberinya hidup lagi. Ku berikan sepotong daging dari tubuh Kekasihku. Ku masukkan ke dalam mulutnya.

Dengan nafas yang tersengal – sengal, ia berkata, “ Selamat ulang tahun! Tapi, hidupku cukup sampai di sini. Aku sudah tidak kuat lagi. Teman kita akan menjemputku. Biarkanlah aku pergi bersama Teman kita. Selama kau masih diberikan nafas hidup, manfaatkanlah! Manusia dihidupkan pasti akan mati. Sampai jumpa Leo Wiranata!”

Ia menutupkan matanya selama – lamanya. Nafasnya telah habis. Degup jantungnya berhenti. Semuanya berakhir. Berakhir sudah!

Ku bisikkan di telinganya yang kecil itu, “Aku merelakanmu pergi! Pergilah dalam damai bersama Kekasihku! Selamat jalan Hendrawan! Terima kasih atas pesan – pesan berhargamu itu! Selamat jalan kawan!” Sambil menahan rasa pedih di hati yang mendalam, air mataku jatuh menetes ke pipiku yang merah padam, dadaku yang sesak, ku pegang tangannya yang telah mendingin. Ku relakan ia pergi, seorang sahabat yang mengajariku betapa indah hidup ini. Seorang sahabat kehidupan telah pergi dijemput seorang Kekasihku, Yesus pada hari ulang tahun Imamatku sepuluh tahun lalu.

 

©Aveline Agrippina Tando

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar