Sabtu, 26 Juli 2008

Seribu Burung Kertas di Bawah Awan Hitam

Seribu Burung Kertas di Bawah Awan Hitam


Menurutku, orang yang paling istimewa dalam hidup adalah keluarga dan kekasih. Mereka yang menyatukan segala kebahagiaan dan kepedihan kita. Mereka yang menjadi tumpuan hidup kita di atas duka yang menyakitkan dan puncak hidup kita di atas tawa dan senyum kebahagiaan kepada dunia. Mereka yang setia, menemani badai kehidupan yang begitu ganasnya. Mereka yang menyinari kehidupan kita saat jiwa dan raga sedang meredup. Satu jalur nafas kita ada pada mereka. Dan merekalah yang akan selalu di sisi kita sampai kita menghentikan perputaran waktu kehidupan yang telah lalui.

 

Dan kini kita sedang berada di kedua orang yang spesial itu.

 

Menurut Kahlil Gibran, pahlawan cinta adalah yang selalu menemaninya sepanjang musim, bahkan harus mengorbankan kehidupannya sendiri. Hidup yang menggejolak sulit untuk dihentikan dan harus dihadapi. Dan Nidi telah menghadapinya. Dialah salah seorang pahlawan cinta.

 

Aku bukanlah tokoh utama dalam cerita ini. Dan aku bukanlah ujung pusat dari tokoh- tokoh yang kuceritakan. Aku adalah aku, angin yang berhembus dan berputar mengelilingi mereka. Aku adalah kehampaan yang terlupakan. Aku adalah jalan yang menemani mereka. Aku adalah kunci dari pertanyaan yang diajukan. Tapi aku adalah sosok yang terlupakan

 

***

Mentari pagi bersinar menandakan kehidupan hari ini harus dimulai. Tak ada pikiran untuk kembali ke masa – masa lalu ataupun memikirkan apa yang terjadi esok hari. Hari ini terlalu sibuk untuk diisi jadwal hari ini.

 

Jemari Nidi terus menekan tombol – tombol di atas meja itu sambil sesekali mengarahkan matanya ke telepon genggamnya. Entah apa yang sedang ditunggunya dari telepon itu. Pagi ini memang terlalu sibuk untuk berpikir hal – hal yang lain. Orang lainpun berjalan cepat atau menggoreskan penanya pada kertas – kertas.

 

Akhirnya telepon itu berbunyi…

 

Tak perlu ditebak lagi siapa yang menelponnya. Siapa lagi jika bukan Subagio yang selalu menyambutnya di pagi hari. Hanya dia, seseorang yang masih menyempatkan dirinya untuk menelpon sang kekasih di hari yang sangat menyita waktu ini.

 

“Naskah paling lambat jam empat sore ini!”

Suara itu selalu kudengar setiap harinya. Redaktur senior itu selalu mengumandangkan kalimat itu. Sudah kebiasaan sehari – hari di kantor untuk mengejar waktu yang semakin singkat. Nidipun meletakkan kembali teleponnya di mejanya. Jemarinya semakin cepat menekan tombol – tombol itu. Detik demi detik terus bergulir dan tak terasa tinggal beberapa menit lagi ia harus menyelesaikan tugasnya hari itu. Beban semakin terasa berat ketika tubuh meminta waktu untuk berhenti sejenak. Tapi tak ada waktu untuk permohonan yang satu ini.

 

Petangpun menjemput sudah. Tugas itu selesai sudah dikerjakannya. Tinggal serahkan saja pada si berdarah dingin itu, editor Majalah Biru. Pastilah Subagio telah menunggu di lobby kantor. Aku menemani Nidi turun ke lobby.

 

“Hai sayang, sudah selesai tugasnya?” tanya Subagio.

“Pasti dong!”

 

Tapi jangan sampai kita tertipu oleh penampilan dan cara bicara Subagio. Ini hanyalah permainan badut. Kita tak pernah tahu apakah wajah si badut benar – benar ceria seperti topengnya atau topengnya hanyalah penutup untuk perilakunya yang menggemaskan anak – anak kecil.

 

Sebenarnya Subagio adalah seorang pecandu.

 

Aku akan menceritakan karena hanya aku yang tahu segalanya tentang mereka. Subagio, lelaki yang pernah bekerja untuk Majalah Biru. Tempatnya di lantai tiga bagian personalia. Dengan berbekal seberkas lamaran, seorang gadis datang padanya. Hanya satu permintaannya, ada kursi untuknya di kantor redaksi itu. Dan benar saja, tersedia kursi khusus untuknya di lantai staff redaksi. Itu kisah pertemuan pertama mereka.

 

Pertemuan – pertemuan mereka terus berlanjut selepas pulang dari kantor yang ‘paling dingin’ itu. Tak salah jika advertensi itu bernama Biru karena pekerja – pekerjanya adalah orang – orang yang bertangan dingin. Sedingin birunya laut dengan ombaknya yang bergemuruh. Sedingin birunya udara dengan segala kehidupannya.

 

Biasanya mereka bertemu di tangga atau lobby kantor saat jam makan siang atau setelah mereka menyelesaikan tugas mereka hari itu. Dan Subagio yang selalu menjadi yang pertama membuka pembicaraan. Pembicaraan awal tak pernah jauh dari pekerjaan mereka hari itu. Tanpa mereka sadari, aku selalu mendengar pembicaraan mereka dan Subagio selalu mengantarkan aku dan Nidi pulang ke rumah tua bekas peninggalan almarhum bapaknya.

 

Kelamaan, mereka menjadi dekat dan sisanya seperti yang ada di benak anda. Subagio menjadi salah satu bagian dari hidup Nidi. Mereka selalu bersama. Seperti pasangan lain, awal perkenalan itu adalah awal yang istimewa sebelum melangkah ke perjalanan yang lebih jauh.

 

Kabar surampun menghajar mereka. Subagio menjadi salah satu dari seratus orang yang harus dirumahkan. Dan itu membuat Nidi sangat kehilangan. Ia tak bisa lagi terus bersama Subagio.

 

Ternyata air mata Nidi tak bisa terhenti sampai di sana. Cobaan lain telah siap membuat Nidi harus menguraikan air mata sedalam – dalamnya. Geram, tak lagi bisa dirasakan. Akupun mencoba menghiburnya tapi apa dayaku. Aku hanya bisa terdiam. Diam menyatu dalam butiran air mata itu. Subagio menjadi pengguna sesuatu yang haram tersebut.

 

Ada pikiran Nidi untuk memutuskan hubungannya dengan dia. Tapi perempuan selalu memainkan perasaan mereka yang sesungguhnya. Nidi membuang pikiran itu jauh – jauh. Dia masih menganggap Subagio adalah bagian dari belahan jiwanya, belahan jiwa yang masih hidup di hatinya.

 

Rencana keluarganya untuk memasukkan Subagio ke tempat rehabilitasi dapat terealisasi. Dia tak menolak dan kemauannya untuk sembuh itu semakin besar. Mungkin karena cinta yang memeluknya untuk keluar dari jeratan sang pembunuh itu.

 

Dengan dukungan yang kuat dari Nidi, akhirnya Subagio keluar dari ketergantungan itu. Hanya dua tahun, ia meninggalkan tempat yang seperti neraka dunia tersebut. Akupun dapat merasakan senyumnya yang hadir kembali bersama Nidi.

 

Mungkin hanya sebatas ini yang kuketahui mengenai hubungan mereka. Kupikir Nidi adalah wanita yang tangguh untuk mencintai lelaki dengan segala kelemahan yang dimiliki oleh pasangannya.

 

***

Ini adalah burung kertas yang keseratus di malam ini. Nidipun melanjutkan burung kertas yang keseratus satu. Kata orang, jika seseorang mampu membuat seribu burung kertas, maka semua keinginannya akan terkabul.

 

Dan harapan Nidi hanya satu, Subagio dapat keluar dari neraka dunia itu.

 

Ini bukan harapan yang pertama kali. Ini adalah yang kedua. Satu tahun sudah Subagio masuk pusat rehabilitasi setelah ketahuan memakai barang haram itu. Ia sudah melupakan janjinya pada Nidi. “Kalo aku pakai lagi, kamu boleh putusin hubungan kita!”

 

Dan sampai detik ini, Nidi belum melakukannya.

Pelajaran bermakna dari Nidi, ketabahan dan kesabaran.

 

Aku tak tahu sampai kapan Nidi sanggup menjalani ini semua. Di neraka dunia sana, ada Subagio yang sedang berteriak – teriak meronta – ronta sakit karena apa yang ia perbuat. Yang ia perbuat itu hanya membuat dirinya sendiri puas sesaat, sedangkan Nidi dan ayah – ibunya sedang was – was akan apa yang ia lakukan. Aku tahu ia depresi akan apa yang ia jalani, tapi aku pikir itu kanlah jalan yang terbaik yang dipilihnya.

 

Mataharipun jadi enggan menampakkan wajahnya di hadapan Subagio.

Langit menjadi gelap dan awanpun menghitam. Nidi telah menerbangkan burung – burung kertas itu dengan harapan yang besar agar itu terkabul. Rintik hujan turun membasahi tubuh burung – burung kertas itu. Dengan cepat burung kertas itu jatuh ke tanah.

 

Ada banyak jalan menuju ke Roma, begitu kata pepatah. Ya, masih ada jalan untuk menuju harapan yang lebih baik tanpa melakukan hal yang buruk. Ada banyak harapan yang jatuh bersama saat – saat waktu berlari tanpa mengenal lelah. Segalanya memang terlihat seperti mimpi. Walau ini adalah sebuah kenangan, itu tak dapat langsung terhapus hujan begitu saja.

 

Saat – saat terindah itu hanya menjadi cerita yang lewat begitu saja. Ada momen – momen akan satu harapan dan janji mereka di masa lalu yang belum terjawab. Air mata dan cinta yang tak mengenal lelah, itu yang diberikan oleh Nidi. Air mata yang membasuh hati Subagio untuk menjadi ‘dingin’. Cinta yang tak mengenal lelah untuk menyelimutinya di tengah jalan yang berbatu.

 

Lagu I’ll Make Love To You mengalun lembut menghantarkan cerita ini pada sosok Nidi yang masih beruntai dengan burung – burung kertasnya. Waktunya sebagai jurnalis hanya tersita untuk membuat burung – burung kertas itu. Menemani malam dingin tanpa suara.

 

Rasa haru datang menghantar Nidi yang melihat Subagio yang tergeletak tak berdaya. Hanya kulit membalut tulangnya. Aku memejamkan mataku, tak sanggup melihat keadaannya saat ini. Kugigit bibirku. Bajunya kumuh. Dan ia lebih terlihat seperti tengkorak.

 

“Aku tahu kamu datang untuk memutuskan hubungan kita, bukan begitu?” tanya Subagio ketus.

Nidi hanya menggeleng dan menarik nafas panjang untuk menjawab pertanyaan Subagio itu.

“Kamu tak usah bohong sama aku!” bentaknya menggetarkan sel itu.

 

Nidi menangis di hadapan lelaki yang baru saja membentaknya. “Aku datang untuk menjenguk kamu, itu saja. Kamu salah menduga. Aku tak akan memutuskan hubungan kita. Bahkan, aku mau kamu ada untukku selamanya!”

“PEMBOHONG!!! KAMU PEMBOHONG!!! Munafik kamu!” Ia membalikkan tubuhnya menghadap tembok. Isak tangis terdengar jelas dari Subagio.

“Aku tak bohong! Aku berkata apa adanya saja. Aku tidak akan memutuskan hubungan kita. Tidak akan pernah! Percayalah!”

 

Nafas Nidi terasa sesak. Air mata tak berhenti mengalir untuk membuat Subagio percaya. Sakit rasanya hati ini ketika ia mengatakan ‘pembohong’. Kekesalan itu hanya terbalas air mata yang deras mengalir dengan harapan agar bisa membasuh kedukaan itu. Walau ini tak mungkin dapat termaafkan, ada kesempatan yang tak akan terlewat untuk memaafkan kesalahan itu. Luka itu telah tergores besar di hati.

 

Semilir angin mengangkat jari untuk kembali mengejar deadline yang harus selesai sebelum pukul empat. Dan tugas itu telah tertata rapi di atas meja sang editor itu. Nidi turun ke lobby. Masih terbayang Subagio yang duduk di kursi menanti dirinya menyelesaikan tugas – tugasnya. Kini itu hanya tinggal kenangan yang tersisa di penghujung waktu hari itu.

 

Cerita ini terkesan di luar akal sehat. Tetapi aku hanya bercerita apa yang aku lihat dan apa yang aku dengar.

 

Malam itu seperti getir yang datang. Aku dan Nidi melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah itu. Terlihat ibu dan ayah Subagio menunggu kedatangan kami di ruang tamu itu. Kami duduk setelah dipersilahkan pria yang rambutnya semakin memutih.

 

“Sebelumnya bapak dan ibu mau mengucapkan terima kasih pada kamu. Kamu sudah banyak membantu penyembuhan Subagio. Kamu sudah berusaha penuh untuk anak kami. Dan kami tidak mau banyak berhutang budi kepada Nidi.”

 

“Ah bapak, jangan menganggap apa yang saya berikan itu adalah suatu budi yang perlu dibayar! Semua yang saya berikan kepada Subagio itu secara cuma – cuma. Bukan untuk membuat bapak, ibu, dan Subagio menjadi beban yang perlu dibayarkan.”

 

“Maka itu, kami tak bisa menganggap itu sebagai hal yang cuma – cuma. Kami ingin membayarnya, tapi tak tahu dengan cara apa. Manalagi Subagio semakin membuat Nidi menjadi kesal dan sedih. Subagio membuat Nidi semakin susah.”

 

‘Pak, seperti yang saya katakan tadi. Semua yang saya berikan kepada Subagio secara cuma – cuma. Jadi, bapak jangan menganggapnya menjadi beban untuk saya!”

 

“Mungkin ini agak menyakitkan buat kamu dan untuk Subagio, tetapi ini untuk kamu. Kamu masih punya masa depan yang cerah, kamu bisa membangun rumah tangga yang lebih baik. Dan harapan kami, kamu bisa berpisah dengan Subagio karena kami sadar Subagio sudah tak punya seperti apa yang kamu punya.”

 

Subagio, seandainya kamu mendengar hal ini, apa yang kamu perbuat? Siapakah yang harus disalahkan? Mungkinkah kamu menyalahkan orang tuamu? Atau kamu menyalahkan Nidi?

 

Tidak. Kamu tak bisa menyalahkan keduanya.

Itu adalah kesalahanmu sendiri, Subagio. Karena kesalahan itu, kamu harus siap jika Nidi memutuskan kamu.

 

Nidi tak berani mengiyakan apa yang diharapkan sepasang orang tua yang semakin memutih rambutnya. Apalagi jika ia mengingat – ingat janjinya kepada Subagio.

 

“Bapak harap kamu bisa mengerti. Tolong!”

Pria tua itu semakin besar berharap padanya. Nidi semakin tak berani mengiyakan. Air mata turun mengaliri suasana saat itu. Aku hanya bisa terdiam. Orang tua itu menunggu dengan penuh harapan agar Nidi mau.

 

“Bagaimana?”

Ini yang ketiga kalinya. Nidi mulai berkata,” Pak, Bu, pada saat pertama kali Subagio menjadi pengguna, saya sudah mau melepaskan dia. Tapi saya masih ada perasaan yang tak bisa hilang dan saya optimis jika dia masih ada harapan. Bapak benar, saya ada masa depan yang lebih baik darinya. Mungkin ini adalah suatu keputusan, keputusan yang terbaik yang saya ambil untuk hidup saya dan untuk bapak dan ibu juga. Mulai hari ini, antara saya dan Subagio hanya sebatas teman biasa.”

 

***

Hari ini Nidi kembali ke tempat Subagio dan hanya menjenguknya saja. Subagio belum tahu hal ini. Nidi dan orang tua Subagio berusaha menyembunyikannya. Walau ini adalah satu kejahatan, kali ini Nidi tak salah. Memang lebih baik ia menyimpan rahasia itu.

 

Hari ini, seolah – olah tak terjadi apa – apa. Ia berdiri di hadapan Subagio yang masih terbawa emosi. Subagio yang masih lusuh tergeletak di ranjang itu. Masih dengan tubuhnya yang seperti tengkorak.

 

Dan itu adalah lipatan yang ke seribu.

Dalam seribu burung kertas itu ada harapan untuk Subagio agar ia sembuh walau Nidi hanya sebuah catatan masa lalu. Hanya itu harapan yang terselip bersama seribu burung – burung kertas itu.

 

Aku percaya, suatu hari nanti Subagio dapat terbang layaknya burung – burung kertas itu. Ah, bukan burung – burung kertas! Burung – burung yang mengepakkan sayapnya di awan. Burung – burung kertas itu terbang di bawah awan hitam. Terselip harapan yang tersisa.

 

Seribu burung kertas itu melayang dan jatuh ke tanah. Ceritaku berakhir di sini.

 

23 November 2007


Aveline Agrippina Tando 

36 komentar:

  1. baca dulu nanti kembali... hehhee

    BalasHapus
  2. Silahkan... gimana yang enak aja...

    BalasHapus
  3. duh cuk, bagus alur ceritanya...
    Oh iya yang hobby bikin burung kertas itu si Budi, dia 2 tahun yang lalu ketagihan bikin origami burung untuk mengisi lelahnya menunggui mamanya pulang kerja.

    Sekarang dia tidak lagi bikin...karena aku sudah ada waktu buat dia...

    Nice story...

    BalasHapus
  4. Bagus Vlin...gw suka ungkapan ini.

    BalasHapus
  5. empat bintang, ave..

    btw, intinya melepas sahabat itu susah yah..

    :)

    BalasHapus
  6. Bud, kamu buat 1000, keinginan kamu terkabul...
    :-D

    Thanks nek...

    BalasHapus
  7. aku membaca, seluruh dari semua hanya ada satu kata, LUKA.
    tiap kalimatnya adalah duka, ( saya bangeds jadinya)
    :-)

    BalasHapus
  8. di ujung penantian, secercah sinar akan menuntun sang burung kembali ke sarangnya... sarang yang semestinya ia tinggal berselimut curahan hati sang kekasih...

    BalasHapus
  9. semuanya jago puisi...salut deh...
    bravo..

    BalasHapus
  10. Di balik luka dan duka itu ada suatu harapan, karena dalam pengharapan itu bisa membuat segalanya bertahan

    BalasHapus
  11. Tentang pengharapan... tetap bertahan akan keyakinan yang teguh...
    Terima kasih Om Unggul...

    BalasHapus
  12. nenek kan masih dalam taraf belajar menulis cuk...
    tapi nenek bangga dan kagum, biar kamu masih SMA tapi sudah hebat seperti penulis terkenal...

    BalasHapus
  13. dasar aahh.. sok gak ngerti...
    tak jewerr

    BalasHapus
  14. Ah, emang ga ngerti
    Check email!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

    BalasHapus
  15. melihat burung itu, megingatkan aku film berseri "fish of fury" dimana tokoh utamanya tak henti-hentinya melipat kertas untuk menciptakan burung-burung kertas.

    Kisah yang berakhir pada sebuah harapan, indah dik!

    BalasHapus
  16. Sebenernya cerita awalnya nggak ada burung kertas, tapi entah mengapa aku jadi berubah pikiran untuk menyisipkan unsur burung kertas sebagai lambang harapan si Nidi.

    Cerita lama sebenernya, baru kebongkar arsipnya kemaren... kakakakak...

    Harapan itu sebagai lambang kekuatan batin mereka berdua...

    Makasih Om Damuh...

    BalasHapus
  17. ya "harapan tak boleh mati" kata bang Iwan Fals

    BalasHapus
  18. Di mana ada Om Damuh, HARUS ada Om Iwan...
    kakakakak............

    BalasHapus
  19. hahahahha...dia senantiasa menyertakan bait kata yang indah untuk kehidupan dik

    BalasHapus
  20. Iya, kata -katanya membawa pesan damai

    BalasHapus
  21. Kayaknya bukan hanya Om Damuh yang mendambakannya..
    Tetapi semua orang

    BalasHapus
  22. ave... u're incredibly smart..
    this is the first conte i ever really read from your blog
    keep writing yaa... it's nice

    BalasHapus
  23. dah aku cek..
    makasih kiriman lagunya dan akan di pasang soon di MP..ok...

    BalasHapus
  24. Thanks a lot, Tante Cici...
    Enjoy it.. :-)

    BalasHapus
  25. wahai burung kertas
    indah nian kisahmu ini
    membuat ku terharu

    BalasHapus
  26. Terima kasih, Mas Pena Bambu...
    Semoga berkenan...

    BalasHapus