Selasa, 01 Juli 2008

AIR MATA DI SURGA

Aku merasa ada yang menghilang dari hatiku. Sejak dia pergi, rasa bersalah terus menghantuiku. Tak bisa aku melupakannya. Kucoba dengan membaca novel, kucoba dengan mendengar musik, kucoba menonton TV. Tak bisa! Dia tak bisa pergi dari pikiranku. Kurebahkan tubuhku di ranjang. Ku tatap langit – langit kamarku. Tak terasa butiran air mata membasahi pipiku.

Rasa ini terus melekat. Bukan hanya di otak bahkan sudah menjalar ke seluruh organ tubuhku bak kanker yang menyerang. Risau. Mungkin inilah kata orang, jika ia berada kamu hiraukan, saat ia tiada kamu rindukan. Sesal, hanya bisa tertumpah oleh air mata. Kapan air mata ini harus berhenti untuk menangisimu?

Mengapa saat kau ada ku caci maki dirimu? Mengapa kau tak memberontak? Apa kau takut? Apa kau tahu fotomu yang terpajang di meja tulisku semakin menderaskan air mata saat ku melihatnya walau aku telah membuatmu terluka?

Aku, manusia yang telah kehilangan rasa kemanusiaan. Kau, manusia yang memiliki jiwa yang begitu tulus dan berperasaan. Selama kau ada, tak pernah kuanggap kau layaknya seorang saudara. Yang ada di otakku hanya ada kau adalah manusia bodoh. Kau bukanlah saudaraku. Kau hanya seorang yang bodoh yang sia – sia untuk dilahirkan.

Selama sepuluh tahun kau bersamaku, pernahkah aku memberikan sedikit senyumku untukmu? Jangan berkata ya! Tak pernah aku sudi memberikan senyumku untukmu. Hanya keangkuhan dan kebiadapanku yang terpampang di matamu. Caci maki yang selalu keluar dari lidahku tiap hari mengisi suara untuk telingamu. Lenganmu memerah karena kuku yang kucapitkan. Terkadang itu sampai merobekkan kulitmu dan mengeluarkan darah. Apa kau menyadarinya?

Tapi keajaiban apa yang membuatku ingin bertemu denganmu? Mungkin cintaku yang hadir kembali setelah kau berhasil menghapuskan kekhilafanku. Aku ingin melihat senyum yang selalu kau tampilkan setelah kau puas membalas ketidaksenanganku padamu dengan tetes air mata yang mengalir begitu derasnya. Kau, manusia yang paling sial dan paling beruntung di dunia. Sial karena kau dilahirkan menjadi seorang yang grahita. Sial karena kau tak pernah bisa melihat bapak sejak kau lahir. Sial karena kau selalu terselubung caci makiku. Beruntung karena kau dilindungi ibu. Beruntung karena kau masih disayangi ibu. Beruntung karena kau selalu kami rindukan saat kau tak ada.

Aku iri padamu. Aku tak bisa merasakan dipeluk oleh ibu. Ibu selalu membelamu dalam segala hal. Kau dapat merasakan tangan hangat ibu yang memelukmu. Kau dapat mengusap air matamu pada pelukan ibu. Aku? Aku hanya dapat memeluk guling tanpa daya. Aku hanya dapat mengusap air mataku pada dasar kasur. Iri! Ya, aku iri!

Andaikata aku juga seorang keterbelakangan mental, tentunya aku akan mendapatkan hak yang sama denganmu. Kita bisa berbagi air mata dan senyum. Tapi realitanya lain, aku tak sama denganmu. Dunia kita berbeda. Kita tidak akan pernah bisa berbagi air mata dan senyum. Aku tak bisa mengerti apa yang ada dalam benakmu. Apa kau menyesal dilahirkan dalam keadaanmu seperti ini?

Adik? Kau bukan adikku. Kau hanya manusia bernyawa tanpa daya. Kau terpaksa mendengar celoteh kasarku. Telah lebih dari seribu kali kau menerima caci makiku. Aku tak bisa lagi menghitungnya. Kau hanya membalasnya dengan curahan air mata yang kau uraikan. Mungkin tak ada lagi balasan yang menyadarkan kebiadapanku selain itu. Tentu bagaimana aku dapat sadar akan perbuatan yang kulakukan padamu? Mengapa kau tak penjarakan saja jiwaku yang telah berdosa kepadamu?

Apa yang membuatku mencaci maki dirimu? Apa aku iri pada dirimu yang selalu dapat pelukan ibu? Atau aku malu karena ibu menghadirkan kau di tengah – tengah kami? Aku tak mengerti mengapa aku harus berbuat demikian. Apa karena aku melihat kau yang lemah maka aku bisa sewenang – wenangnya memperlakukan apa saja terhadapmu?

Saat temanku ingin datang ke rumah kita (Sesungguhnya selama ini aku merasa bukan saudaramu dan ku anggap kau hanya seorang yang beruntung yang masih boleh satu atap dengan kami. Pertama kalinya aku mengganggap kau menjadi saudaraku.), aku selalu berupaya agar mereka tak datang. Aku malu pada keadaan dirimu. Apalagi jika mereka tahu bahwa kau seorang anak yang dilahirkan dengan keadaan yang tidak normal. Segala usahaku gagal, mereka datang ke rumah kita. Aku terpaksa tidak mengenalkan kau pada mereka. Aku mengurungmu di kamarku. Tapi kau dapat keluar dari saksi bisu kekejamanku itu dan mereka bertanya – tanya tentang dirimu. Apa jawabku? Kau adalah anak tetangga yang dititipkan di sini. Aku tak mau mengakui bila kau saudaraku karena aku tak pernah sudi mengakui dirimu sebagai saudaraku.

Aku menarikmu untuk masuk ke kamar. Pipimu memerah setelah tanganku mendarat dengan kencang di wajahmu. Ku marahi kau. Air mata, itu selalu menjadi balasan dari segala yang telah kuperbuat. Betapa brengseknya diriku. Aku, kakak paling brengsek di dunia. Aku khilaf akan apa yang aku perbuat terhadapmu. Aku tak sepenuhnya sadar akan perbuatanku.

Air mata itu selalu menetes setelah aku merasa bersalah. Penyesalan itu selalu datang setelah aku merasa sendiri. Kepedihan itu selalu hadir setelah aku merasa begitu beartinya kau dalam diriku.

Apa air mata yang kuuraikan dapat menjadi kado penebusan atas semua kesalahanku dan semua sikapku padamu? Mengapa engkau ada, aku hanya menjadikan kau korban kepuasan diriku? Mengapa kau tak ada, aku merindukan dirimu? Bahkan ingin aku dekap dirimu. Apa kau hanya bisa terdiam menangis mengalirkan air matamu melawan kebiadapanku? Adakah jalan lain untuk membalasnya?

Saat jarak kita menjadi sangat jauh, justru aku merindukan kau apa adanya. Mengapa penyesalan selalu datang terlambat dan kesalahan harus terjadi dahulu sebelum penyesalan? Hal ini selalu menyumbat pikiran dan hatiku.

Aku, manusia paling angkuh. Angkuh akan kebodohan. Angkuh akan kebiadapan. Angkuh akan penyesalan. Angkuh akan kesalahan. Dan aku angkuh akan kesombonganku sendiri. Kau, manusia paling sabar. Sabar untuk kudekap. Sabar untuk aku menyayangimu. Sabar untuk aku berhenti memarahimu. Sabar untuk memahamiku. Aku tak pernah menyadari ada luka yang begitu lebarnya merobek hatimu. Tapi kau tak pernah mendendam tentang sikapku yang angkuh padamu. Tapi itu semua hanya suatu kemustahilan jika apa yang kau inginkan itu tercapai. Hanya keajaiban yang dapat mengubahnya. Karena semut tidak akan pernah bisa menjadi gajah. Mustahil! Mungkinkah kau menyadarinya?

Air matamu telah habis untuk membasuh segala keangkuhanku. Keangkuhanku tak layak untuk kau tangisi. Keangkuhanku semakin angkuh jika kau tumpahi dengan ribuan tetes air mata, lambang tak keberdayaanmu. Kau masih ingat apa saja yang kulakukan pada dirimu? Tak mungkin! Terlalu banyak kesalahan yang kulakukan pada dirimu.

Keterbelakanganmu telah menghancurkan dirimu, masa depanmu, cita – citamu, dan harapanmu. Segalanya musnah. Apa kau yang ditunjukNya menjadi pengganti bapak? Aku belum siap untuk menerimamu sebagai pengganti bapak dan adik yang selalu kuminta kepada ibu untuk menjadi temanku.

Aku sadar jika aku melakukanmu demikian di hadapan bapak, pasti aku akan lebih tersiksa darimu. Bapak akan memukuli punggung dan kakiku dengan rotan yang selalu digenggamnya setelah bertugas berhari – hari di laut lepas sampai diapun harus pergi selamanya meninggalkan keluarganya karena perkerjaannya itu.

Maafkan aku! Aku tak pernah mengakuimu menjadi adik dan pengganti bapak. Kala Mas Joko mampir ke rumah, kau selalu saja mengganggu kami. Entah kau menangis atau teriak – teriak sendiri saat ibu tak ada atau kau memukuli Mas Joko. Itu sebagai balas dendammu atau sekedar kau mencari perhatian kepada Mas Joko. Aku begitu geram padamu.

Dan yang harus kau tahu, Mas Joko hanya mengetahui kau adalah anak saudara ibu yang diadopsi oleh ibu karena aku merindukan sesosok adik. Selama lima bulan kami mengikat cinta, aku telah membohongi Mas Joko mengenai segala tentang statusmu di keluarga kami. Sampai saat ini, Mas Joko percaya saja akan apa yang kuucapkan. Tetap saja aku menjawab pertanyaan mengenaimu dengan jawaban itu karena aku takut jika aku jujur, Mas Joko akan marah besar padaku. Atau apa yang paling kutakutkan akan terjadi.

Dan hal inilah yang membuatku semakin membencimu. Saat Mas Joko ingin menciumku untuk pertama kali sepanjang lima bulan kami menjalin cinta. Kau memukul kepala Mas Joko dengan boneka kusammu itu sambil tertawa lepas. Batal semua! Mas Joko tidak jadi menciumku. Mas Joko langsung pamit pulang setelah gagal menciumku. Aku tahu betapa kecewanya Mas Joko.

“Adik manis, ayo masuk kamar!” kataku dengan mirisnya. Aku menggenggam tanganmu dan menarik tubuhmu ke kamar. Ku dorong tubuhmu sampai jatuh ke lantai. Kulayangkan tanganku ke pipimu. Lekaslah pipimu menjadi merah. Sialan! Kata pertama yang kuterbangkan ke hadapanmu. Ku lihat kau menjatuhkan air mata. Semakin deras air mataku, semakin deras kebencianku padamu.

Hari yang kutunggu datang juga. Aku seolah – olah lahir kembali. Padahal setiap tahun aku pasti melewatinya. Kau memberikan sebuah kotak yang tak tahu apa isinya. Ku buka kotak yang merupakan hadiah ulang tahunku darimu. Boneka? Boneka kusammu itu kau berikan untukku? Boneka kesayanganmu kau jadikan kado untukku? Kulempar jauh – jauh boneka itu sampai melewati atas kepalamu.

“Kamu pikir saya ini anak ingusan seperti kamu?” bentakku.

“Aku mau kasih kado untuk kakak yang lagi ulang tahun!” jawabmu dengan suara yang tak jelas. Kulihat kau menahan tangis. Matamu berkaca – kaca. Ah, aku terlalu lelah untuk mencaci makimu.

Seolah – olah aku membangun dinding pemisah untuk memisahkan kita. Kau selalu berupaya menghancurkan dinding itu, dinding yang membuat hati kita menjadi keras. Di mana hanya ada aku dengan duniaku dan kau dengan duniamu. Kita yang tak pernah bisa memahami maksud hati ini.

Diantara kemunafikanku untuk mencintaimu dan kebiadapanku yang membuatku jatuh akan seribu kesalahan yang menyakitkan dirimu menjadi berdarah dingin menghadapiku. Ini adalah segalanya tentang aku dan kau.

Aku kesetanan akan menghina dirimu. Aku tergila untuk menampar pipimu. Aku terjerumus untuk mencubit tubuhmu. Andai engkau tahu, aku sering menangis tanpa suara. Hanya air mata yang membanjiri untuk menyejukkan hati setelah aku puas menindasmu. Karena aku malu terhadap dirimu. Menyesal aku memilikimu. Kecewa karena kau yang harus menemaniku.

Mungkin ini menjadi akhir dari segalanya. Akhir dari segala keangkuhanku. Akhir dari penantian panjangmu. Akhir dari segala kesetananku. Akhir dari segala rasa sayangmu padaku.

Aku mengusirmu dari rumah setelah kau menjatuhkan bingkai foto kenanganku bersama bapak. Aku mendorongmu keluar dari rumah. Ibu lagi tak ada di rumah semakin membuatku merdeka mengusirmu. Dan saat ku mendorong kau keluar dari pagar dan….

Aku terpaku melihat sesuatu berwarna merah keluar dari kepalamu dan mengalir deras. Kau tergeletak di jalan tanpa daya. Motor yang membuatmu seperti ini telah melarikan diri. Orang – orang hanya bisa diam membisu tak berkutik melihatmu tergeletak bermandi darah.

Air mataku jatuh. Aku memelukmu, adik. Adik, inilah pertama kalinya kakakmu ini memanggil dirimu adik. Musnah. Selesai sudah. Darahmu telah mengucur deras sampai menembus masuk ke dalam hatiku. Biadap! Kakakmu ini memang biadap, dik! Aku tak layak menjadi kakak untukmu, adik dengan jiwa yang begitu tegarnya menghadapi kehidupan.

Mengapa rindu itu selalu hadir? Rasa sesal dan benci pada diriku sendiri masih tertanam dalam hati. Kau punya rasa, kau punya hati. Aku punya kemunafikan, aku punya kenistaan. Maaf atas segala kekejaman yang kulakukan padamu. Terima kasih atas tetesan darahmu yang telah mengalir yang akhirnya menyadarkan kekhilafanku. Terima kasih atas air matamu yang membuatku menjadi dingin membeku dan kau adalah seorang malaikat kecil yang begitu malang. Kaulah satu – satunya yang memiliki hati yang sempurna walau fisikmu tak sempurna.

Aku hanya dapat mengatakan maaf dan terima kasih karena aku tak dapat membalas kebaikan dan sayangmu yang selalu kau curahkan kepadaku.

Kau berhasil menghancurkan dinding pemisah di antara kita berdua. Namun kau tak lagi bisa menikmati hasil kerja kerasmu itu. Aku merindukanmu, aku kehilanganmu. Sebelum aku mengakhiri segalanya, setiap detik yang kulalui bersamamu kuucapkan seribu maaf dan sejuta terima kasih.

Ku peluk bonekamu yang telah mengusam. Ah… adikku sayang, adikku malang. Sedang apa kau di dunia sana, dik? Apa kau masih menangis? Jangan menangis lagi, dik! Jangan sampai ada air matamu yang berjatuhan di dunia sana! Pasti kau bahagia dan menikmati dunia barumu di sana karena aku tahu aku tak lagi bersamamu. Tak ada lagi yang membuat hatimu sakit dan jiwamu tersiksa. Malaikat kecil yang malang, hapuslah air mata kepedihanmu, air mata di Surga!

 

25 Mei 2007


=====================================================================
Cerpen lama....

9 komentar:

  1. hehe.....tadi kufikir ga bleh koment di sini...takut aja mo kasih koment

    BalasHapus
  2. Silahkan komentar dimanapun engkau mau!
    BEBAS!

    BalasHapus
  3. hem...asyik.. simpen dulu nih, baca di rumah aja
    komentar belakangan ya..

    BalasHapus
  4. kisahnya menarik dik, kukira awalnya yang bicara adalah yang mati eh ternyata yang ditinggalkan

    Tapi itulah, kita sering merasa memiliki ketika kita benar-benar kehilangan...
    salut

    BalasHapus
  5. Terima kasih Om Damuh untuk komentarnya...

    BalasHapus
  6. tapi waktu om membacanya masih kurang mengiris dada...
    bisa dieksplor lagi dalam rangkaian katanya

    BalasHapus
  7. Iya, aku juga masih berusaha memperdalam kata - kata itu Om Damuh...
    Malah aku merasa kurang memainkan emosi...
    Terima kasih, Om Damuh

    BalasHapus