Selasa, 02 September 2008

3 Kesempatan

Minggu, 2 April

Hari ini mengingatkanku akan sebuah kejadian yang terjadi satu tahun yang lalu yang terkadang membuat orang tidak percaya akan hal ini. Tapi ini benar. Sungguh. Aku mengalaminya sendiri. Awalnya, akupun tidak percaya menjadi bahkan harus percaya kalau dia masih hidup di alam sana.

Berawal dari kisah ini. Aku mengenalnya saat aku terpilih mengisi acara pensi di sekolahku. Sewaktu itu, pengisi acara pensi diikuti oleh seluruh kakak kelasku kecuali diriku dan seseorang yang belum kukenal karena aku adalah siswi baru di sekolah ini. Aku tidak mengenal seluruh kakak kelasku.

Aku duduk di sudut ruangan itu. Tiba – tiba aku didatangi oleh seorang lelaki yang memisahkan diri dari perkumpulan kakak kelasku tadi. “Hai! Kok nggak ikut gabung sama kita?” tanya Aryo, namanya yang kudengar tadi dari pembicaraan mereka. Dia cukup tampan, baik, ramah, dan terlihat pandai. Hal tersebut membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama. “Eh… enggak”, jawabku. “Kenapa?” tanyanya lagi. “Nggak ah, maksudnya aku nggak kenal sama teman – teman kakak jadinya aku malu.”

Lalu aku diajaknya berkenalan dengan teman-temannya. Dan melalui kegiatan pensi itu, aku bisa bersahabat dengannya. Tapi dalam lubuk hati, aku memendam rasa cinta yang belum sanggup kukatakan padanya.

Setelah empat bulan aku bersahabat dengannya, akhirnya hubungan kita harus terhenti karena dia diisukan menjadi pengguna narkoba. Aku tak ingin memiliki sahabat apalagi kekasih seorang user. Aku malu! Tapi rasa cintaku padanya tak bisa lari darinya.

Ternyata isu ini bukan hanya beredar di telinga siswa-siswi. Isu itu juga terdengar sampai ke telinga guru – guru, bahkan sampai ke kepala sekolah. Sampai akhirnya ia harus dikeluarkan dari sekolah.

Sebelum ia dikeluarkan, aku sempat bertemu dengannya. Ia membisikkan telingaku,”Percayalah! Aku bukan seorang user!” Aku menangis saat melihatnya melintasi gerbang sekolah yang terakhir kalinya. Ia melambaikan tangannya dan memberikan senyumnya padaku. Itu saat terakhir kalinya aku bertemu dengannya.

Dua bulan kemudian terungkaplah segala kebenaran. Ternyata ia bukan seorang user. Sahabatnya hanya iri padanya karena ia terpilih menjadi ketua OSIS. Aku tak menyangka sahabatnya sekejam itu padanya karena hanya sebuah jabatan. Itu namanya sahabat? Setega itukah sahabatnya?

Aku benci pada diriku sendiri mengapa aku tak percaya padanya, langsung percaya akan yang mereka katakan, memecahkan persahabatan, betapa kejamnya aku pada Aryo, sahabatku yang malang karena terfitnah. Dan mengapa begitu jahatnya aku pada Aryo, orang yang selama ini kucintai.

Beberapa bulan setelah isu tersebut terpecahkan, aku mengalami kejadian yang tak pernah ada di pikiran manusia. Padahal aku sudah mulai melupakannya seirirng berjalannya waktu. Dalam satu hari aku melihat Aryo secara langsung dengan mata kepalaku sendiri.

Paginya, aku lupa membawa buku tugas untuk hari ini. Pagi itu aku kalang kabut mencari buku itu dengan dibantu Dian. Tiba-tiba seorang lelaki masuk ke kelasku dan menaruh buku tugasku di atas meja. Ia langsung berjalan keluar dari kelasku. Itu Aryo!!! Aku mengarah keluar kelas dan mencarinya. Namun ia tak terlihat lagi.

“Elo ngapain sih keluar?” tanya Dian, sahabatku yang melihatku keluar kelas.

“Barusan gue ngeliat Aryo.” Kugenggam buku itu.

“Aryo?”

“Iya, barusan aja dia ke sini nganterin buku gue.”

“Ah… mungkin elo salah liat kali,” kata Dian tidak yakin.

“Iya kali!” Tapi aku tetap yakin kalo Aryolah yang mengantarkan buku itu.

Siangnya, kembali aku mengalami hal serupa. Sekolah baru saja usai. Aku tak bisa melupakan kejadian tadi pagi. Apakah benar Aryo yang meletakkan buku itu? Atau orang lain? Apa itu hanya halusinasiku saja?

Pertanyaan itu terus menghantui pikiranku. Sampai aku sadar, aku telah menabrak seseorang. “Eh… kalo jalan pake mata dong!” bentak seorang pria bertubuh tegap. “Maaf! Maaf mas! Saya nggak sengaja! Maaf!” kataku. Buku yang ku pegang jatuh berserakan di jalan. Seorang lelaki membantuku mengambilkan bukuku yang jatuh dan memberikannya padaku. “Terima kasih!” kataku. Dia bangkit berdiri dan hanya membalas kata-kataku tadi dengan senyuman. Ya Tuhan…, itu Aryo. “Aryo!!!” teriakku. Tetapi dia sudah menghilang. Teriakan itu mengundang perhatian orang – orang di pinggir jalan.

Malam hari, setelah aku pulang dari rumah temanku untuk mengerjakan tugas kelompok, aku pulang ke rumah dengan angkot. Lalu aku berhenti di halte di mana aku harus berhenti. Biasanya aku pulang dijemput Aryo dengan motornya atau naik angkot bersamanya. Rumahku tidak begitu berjauhan dengan rumahnya.

Tapi, sejak ia dikeuarkan dari sekolah, aku tidak pernah lagi berjalan pulang bersamanya. Tidak ada lagi orang yang menemaniku. Tak ada lagi orang yang mengantariku dan menjemputku. Tak ada lagi orang yang dapat diajak ngobrol kala senja menyingsing. Tak ada lagi orang yang biasa duduk di kursi bambu rumahku sambil mendengarkan cerita suka dan dukaku untuk meringankan hatiku. Selama ini aku berpikir aku akan selamanya bersama dia. Namun kini aku sadar, kita tak bisa selamanya menghuni dunia bersama seseorang yang kita kasihi.

Malam itu, hujan turun deras sekali. Aku turun dari angkot dan berdiri di halte. Ku telpon Indra, adikku, untuk menjemputku tapi tak diangkat. Aku ingin berlari, tapi aku takut sakit karena besok aku harus mengikuti ujian. Akhirnya, aku sendiri duduk di kursi halte sambil menunggu hujan berhenti.

Aku merasakan seseorang duduk dan memegang tanganku. Ia mengajakku berdiri. Dia ARYO. “Aryo, kamu dari mana?” tanyaku. Dia hanya tersenyum membalas kata-kataku tadi. “Yo, maafin aku ya!” kataku sambil menangis. Dia tersenyum kembali dan membuka payung yang ia pegang. Ia memengang erat tanganku dan memayungiku sampai ke rumah. Terasa sekali tangannya dingin. “Makasih ya!” kataku. Lalu ia pergi dan lama-lama tubuhnya menghilang.

Aku masuk ke rumah. “Indra, gimana sih kamu? Kakak telpon nggak diangkat!” marahku. “Untung ada Aryo yang nganterin kakak pulang, kalo nggak ada dia, kakak bisa sampai besok nungguin hujan,”lanjutku.

“Siapa kak? Kak Aryo?”tanyanya kaget.

“Iya, Aryo yang dulu sering main ke sini itu lho.”

“Lho! Bukannya dia sudah… meninggal?”

“Kamu nggak usah bercanda deh!”

“Aku serius, kak! Tadi sore dia ada di berita.”

Ya Tuhan, siapa yang mengantari bukuku tadi pagi? Siapa yang membantuku mengambil bukuku? Siapa yang mengantari aku pulang? Bulu kudukku berdiri. Tanganku menjadi dingin. Tubuhku terasa lemas. Aku melepaskan tasku dari pundakku. Indra masuk ke kamarnya. Ku duduk di kursi sambil mengganti channel tivi. Dan membuatku berhenti menggerakkan jemariku di atas remote control itu adalah acara berita itu.

“TELAH DITEMUKAN KORBAN TABRAK LARI DALAM KEADAAN TEWAS DI KAWASAN KAMPUNG RAMBUTAN. PRIA YANG DIKENAL BERNAMA ARYO SAPUTRA INI DITEMUKAN WARGA SEMALAM.” Tersiarlah video seorang lelaki bersimbah darah di pinggir jalan. Remote control itu jatuh ke lantai. Tiba – tiba air mataku jatuh ke pipiku. Semakin lama semakin deras. Keringat dingin keluar dari tubuhku.

“ARYO…!!!” Teriakku histeris. Dia sudah pergi sebelum aku mengatakan terima kasih. Dia sudah pergi sebelum aku mengatakan padanya kalau aku cinta padanya. Indra keluar dari kamarnya. Mataku terasa sulit untuk dibuka. Aku masuk ke kamarku.

Kurebahkan tubuhku di atas kasur. Air mata semakin deras membanjiri pipiku. Aku terdiam di dalam kamar. Aku tersadar saat mataku yang sayup – sayup ini tertuju pada setangkai bunga mawar di atas mejaku. Aku berusaha untuk tidak tertidur karena aku harus belajar untuk ujian esok. Tapi mengapa mata ini sangat berat? Mataku tak dapat melihat dengan jelas.

Ku angkat bunga itu dan kubaca selembar kertas yang diselipkan di dekat bunga itu. Mungkin itu surprise dari Dio, pacarku.

Ira, aku tak tahu apa yang harus ku katakan. Apa yang harus aku lakukan kepadamu? Apa yang harus aku ucapkan terhadapmu? Segalanya aku berikan demi dirimu. Mungkin waktu kita tak banyak untuk bersenda gurau. Ternyata hidup itu tidak cukup hanya diisi dengan tawa dan air mata.

Aku hanya ingin kamu mengingatku selalu dan selamanya karena aku mencintaimu seperti kamu menjadi sahabatku. Aku mencintaimu dengan segenap hatiku.

“Bruk…!” Pintu kamarku terbuka. “Kak, itu bunga dari kak Aryo. Kemarin sore, kak Aryo ke sini. Kakak belum pulang, terus dia nitip bunga itu. Tapi aku lupa kasih tahu kakak.” Indra hanya terdiam melihatku. Air mataku terus jatuh tiada habisnya. Aryo… terima kasih telah mengisi hari – hariku. Dan tiba – tiba saja mataku menjadi gelap.

***

Ra, gebetan elo sudah nggak ada.”

“Dian, gue udah tahu.” Aku hanya bisa berkata apa adanya saja.

“Yang tegar ya!”

“Dian, kemarin yang nganter buku gue itu benar – benar Aryo!”

“Ra, jangan gila gitu deh. Itu halusinasi elo kali?”

“Kemarin itu memang Aryo!”

“Ah, elo udah gila!”

Dian meninggalkanku dengan rasa yang tidak percaya. Namun aku tetap percaya, peristiwa kemarin itu adalah tiga kesempatanku untuk bertemu dengan cinta pertamaku dan ia mengungkapkan cintanya padaku. Tiga kesempatan yang tak akan pernah terlupa seumur hidupku. Tiga kesempatan yang tidak akan pernah lagi diberikan Tuhan. Tiga kesempatan yang akan selalu ada walau sulit untuk dipercaya.

15 – 18 Desember 2006

©Aveline Agrippina Tando

20 komentar:

  1. mantabz ave...
    seru... juga seyyeeemm...

    BalasHapus
  2. hmm... ada yang sedikit rancu, biasanya... ngga mudah melupakan cinta pertama, tapi ira cepat sekali punya dio (yang cuman disebut sekali dan seperti dipaksakan ada)...
    tapi kejadian seperti ini sangat mungkin terjadi.. kata orang-orang yang pernah ngalaminnya, karena ada yang tak tersampaikan, dan matinya penasaran...

    anyway... nice story ave..cerita senada sudah banyak beredar sejak dulu kala...
    nulis terusssssssss....

    BalasHapus
  3. aku suka bagian ini terdengar optimis.... keren Vlin....

    BalasHapus
  4. yaaaaaaaaaaaaaaaaah......mo di private ya? wakakakkakakka.... ehm....glek....hehhehe

    BalasHapus
  5. Hahaha... makasih Om Unggul,
    Sebenarnya ini buat tugas menulis.
    :-))

    BalasHapus
  6. Wah, kayaknya ada bagian yang tak terposting. Soalnya psotingnya pake Blogspot. Hehehehe...
    Blogspotnya lagi tidak beres nih..., nanti coba dibenerin lagi (direvisi lagi)

    Makasih banyak yang amat banyak, Tante Cici
    Keep writing, too

    BalasHapus
  7. Soalnya postingnya pake Blogspot, eh... kelewet di sini deh
    hahahaha... terbongkar juga
    :-))

    BalasHapus
  8. Hahaha... ini kan cerpen tugas BI lo?

    Dapet berapa nilainya, Av?

    BalasHapus
  9. makanya lakukan apa yang ingin kita lakukan sebelum semuanya telat...
    tuhkan nyeselnya di belakangan...

    BalasHapus